Prinsip Kesantunan Leech Teori-teori Kesantunan Berbahasa

yang digunakan siswa usia remaja dalam percakapan sehari-hari. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing teori ahli yang disebutkan di atas.

2.2.1 Prinsip Kesantunan Leech

Leech 1983 : 120, mengemukakan prinsip kesantunan tersebut dibutuhkan untuk menjelaskan hubungan antara makna dan daya. Menurut Leech prinsip kerjasama yang diungkapkan oleh Grice tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering cara tidak langsung untuk menyampaikan maksud. Selain itu prinsip kerjasama tidak dapat menjelaskan hubungan antara arti semantik dan maksud situasional dalam kalimat yang bukan kalimat pernyataan, Leech,1993 : 121-122. Seseorang penutur seringkali tidak menggunakan tuturan langsung dan lebih memilih untuk mengungkapkan sesuatu secara implisit. Tuturan dengan maksud direktif diungkapkan secara deklaratif sehingga tuturan tersebut tidak terdengar seperti sebuah perintah. Prinsip kesantunan lebih menekankan pada aspek sosial psikologis antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh pada maksim relevansi, seorang penutur tidak memenuhi maksim tersebut dan justru melanggarnya. Hal ini dilakukan penutur untuk menjaga kesantunan terhadap mitra tuturnya. Contoh : Ibu : “Tolong ambilkan kucir di atas meja rias” Rani : “Maaf, saya sedang mengepel lantai” Tuturan yang diungkapkan oleh Rani melanggar maksim relevansi karena tanggapan yang diberikan tidak sesuai dengan tuturan ibu. Tuturan “Maaf, saya sedang mengepel lantai” memang tidak ada kaitannya dengan tuturan ibu, namun secara tidak langsung tuturan Rani merupakan sebuah penolakan pada perintah ibu. Rani menolak mengambilkan kucir karena sedang mengepel lantai. Tuturan Rani tersebut lebih santun daripada Rani mengungkapkan penolakan secara langsung dengan mengatakan „tidak‟. Untuk menjaga kesantunan tersebut Leech mengemukakan enam maksim dalam prinsip kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim simpati. Maksim ini berfungsi untuk menjaga kesantunan sebuah tuturan. Maksim pertama adalah maksim kebijaksanaan. Sebuah tuturan dapat dikatakan memenuhi maksim kebijaksanaan bila tuturan tersebut memberikan keuntungan pada mitra tutur. Dengan mematuhi prinsip kebijaksanaan, penutur dapat menghindari sikap dengki dan kurang santun kepada mitra tutur menurut maksim ini semakin banyak tuturan yang dituturkan maka semakin besar juga keinginan penutur untuk bersikap santun kepada mitra tuturnya. Contohnya ketika sedang naik mobil, seorang bertemu dengan seorang teman yang menunggu bus, sebagai bentuk kesantunan, ia memberi tawaran untuk bersama naik mobil. Tawaran ini merupakan bentuk kepatuhan seorang penutur dengan prinsip kebijaksanaan. Dengan memberikan tawaran, penutur berarti ingin memberikan keuntungan kepada mitra tuturnya. Maksim kedua adalah maksim kemurahan hati. Melalui maksim ini, Leech menyarankan agar penutur mengutamakan kepentingan mitra tuturnya. Dengan memberikan tawaran,penutur berarti ingin memberikan keuntungan kepada mitra tuturnya. Mendahulukan kepentingan mitra tutur dan bersikap murah hati, penutur akan dianggap sebagai orang yang santun. Denagn memberikan tawaran untuk memboncengkan, penutur pada contoh diatas juga bisa dikatakan mematuhi maksim kemurahan hati. Tuturan “Ayo, bareng aku pulangnya..” sebagai bentuk kesantunan penutur kepada mitra tuturnya. Dengan memberikan tawaran untuk memboncengkan berarti mengutamakan kepentingan mitra tuturnya dan memberikan keuntungan orang lain. Mitra tutur akan senang bila mendapatkan sebuah pujian dari pada sebuah penghinaan. Oleh karena itu, penutur disarankan untuk memberikan pujian kepada mitra tuturnya. Dengan memaksimalkan pujian dan penghormatan kepada orang lain, penutur mematuhi maksim penerimaan. Sebagai contoh tuturan berikut : A : “kemarin nilai ujian tengah semester Bahasa Indonesia ku dapat nilai seratus lho. B : “wah, padahal aku merasa kesulitan waktu mengerjakannya, kamu hebat ya.” C : “Ah, Cuma gitu aja, aku juga bisa.” Tuturan B adalah tuturan yang mematuhi maksim penerimaan karena B memberikan pujian kepada A sedangkan tuturan C melanggar maksim penerimaan, karena C tidak berusaha memaksimalkan pujian terhadap lawan tuturnya. C justru terkesan meremehkan A karena C pun merasa ia bisa mendapatkan nilai yang sama seperti A. Berbeda dengan maksim penerimaan yang berpusat kepada orang lain, maksim kerendahan hati lebih berpusat pada diri sendiri. Maksim ini mewajibkan penutur untuk meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dengan kata lain, maksim ini meminta penutur untuk bertutur dengan rendah hati pada contoh tuturan A, B, C, tuturan B melanggar maksim kerendahan hati karena C menonjolkan dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dirinya juga bisa mendapatkan nilai seratus seperti A. Maksim kecocokan atau disebut juga maksim kesepakatan menekankan agar penutur menjaga kecocokan dalam bertutur dengan mitra tutur. Seorang penutur harus menanggapi tuturan mitra tuturnya agar kegiatan bertutur dapat terus berlangsung. Maksim ini tidak membenarkan jika seorang penutur membelokan atau mengalihkan percakapan. Maksim yang terakhir adalah maksim simpati. Maksim menyarankan kepada penutur agar memaksimalkan simpati dan meminimalkan antipati. Artinya apabila mitra tutur sedang mengalami peristiwa duka, penutur wajib untuk menanggapinya dengan menunjukkan rasa simpati. Apabila penutur justru menunjukkan antipatinya, penutur tersebut melanggar maksim simpati. Contoh : R : tanganku sakit, kemarin aku jatuh saat main futsal. T : bagian mana yang sakit? Sudah pergi ke dokter belum? J : rasain, emang enak Pada contoh diatas, T mencoba menunjukkan simpatinya dengan menunjukkan rasa ingin tahunya tentang luka yang dialami R. T juga menunjukkan rasa kawatirnya dengan bertanya apakah lukanya sudah diobati dengan pergi ke dokter. Dengan demikian, T telah mematuhi maksim simpati. Berbeda dengan J yang justru menunjukkan antipati dengan mengolok-olok J.

2.2.2 Prinsip Kesantunan Brown dan Levinson