Pembelajaran Konstruktivistik LANDASAN TEORI

10 mencerna, mendalami, dan merumuskan sendiri, siswa itu tidak akan memperoleh pengetahuan tersebut Paul Suparno, 1997.

B. Pembelajaran Konstruktivistik

Pembelajaran konstruktivistik di Indonesia disebabkan karena kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang berkembang begitu pesat dalam era globalisasi ini membawa perubahan yang signifikan pada sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini pandangan kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit pemahaman kesamaan, pemahaman keteraturan, dan lebih jauh pemahaman inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri. Oleh karena itu kita dapat menggunakan pembelajaran konstruktivistik yang membebaskan siswanya untuk bereksplorasi sesuai dengan kemampuannya namun guru juga mengawasi dan mengontrol siswanya. Dengan pembelajaran ini siswa lebih banyak mendapatkan pengalaman-pengalaman nyata dalam pembelajaran daripada sebuah teori. Konstruktivisme adalah teori yang menyeluruh yang tidak berniat untuk menghancurkan tapi untuk merekonstruksi ajaran masa lalu dan sekarang dan 11 teori-teori belajar. Menurut konstruktivisme, belajar adalah hasil konstruksi mental individu dimana peserta didik belajar dengan berkat pencocokan baru terhadap informasi yang diberikan dan membangun hubungan yang berarti. Disini peserta didik diberi kebebasan lebih untuk menjadi pemecah masalah yang efektif, mengidentifikasi dan mengevaluasi permasalahan, serta menguraikan cara-cara untuk mentransfer pembelajaran mereka untuk masalah ini. Jika seorang siswa mampu melakukan dalam situasi pemecahan masalah, pembelajaran bermakna maka harus terjadi karena siswa telah membangun interpretasi tentang bagaimana sesuatu bekerja menggunakan struktur yang sudah ada sebelumnya. Dengan membuat interpretasi pribadi gagasan eksternal dan pengalaman, konstruktivisme memungkinkan siswa kemampuan untuk memahami bagaimana ide-ide dapat berhubungan satu sama lain dan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Ruang kelas konstruktivis menyajikan pelajar dengan kesempatan untuk belajar dengan tujuan untuk membantu peserta didik untuk membangun pengetahuan sebelumnya dan memahami bagaimana membangun pengetahuan baru dari pengalaman otentik tentu pandangan sesuai dengan pengalaman belajar. Pendekatan humanistik Rogers untuk belajar juga kondusif untuk perubahan pribadi dan pertumbuhan, dan dapat memfasilitasi pembelajaran, dengan ketentuan bahwa siswa berpartisipasi sepenuhnya dalam proses belajar. Dewey mengatakan pengetahuan muncul hanya dari situasi dimana peserta didik harus menarik mereka keluar dari pengalaman yang berarti. Selanjutnya situasi ini harus tertanam dalam konteks sosial seperti ruang kelas dimana siswa dapat 12 mengambil bagian dalam memanipulasi bahan dengan demikian membentuk sebuah komunitas pelajar yang membangun pengetahuan mereka bersama. Siswa tidak bisa belajar dengan cara menghafal hafalan, mereka hanya dapat belajar dengan hidup diarahkan, dimana kegiatan nyata digabungkan dengan teori. Implikasi nyata dari teori Dewey adalah bahwa siswa harus melakukan kegiatan yang berarti yang mendorong mereka untuk menerapkan konsep-konsep mereka mencoba untuk belajar. Konstruktivisme Piaget didasarkan pada pandangannya tentang perkembangan psikologis anak. Dalam teorinya, dasar dari belajar adalah penemuan: untuk memahami adalah untuk menemukan, atau merekonstruksi oleh penemuan kembali, dan kondisi tersebut harus dipenuhi jika dalam individu- individu dimasa depan akan dibentuk yang mampu produksi dan kreativitas dan bukan hanya pengulangan Piaget, 1973. Menurut Piaget, anak-anak melalui tahapan-tahapan di mana mereka menerima ide-ide mereka kemudian dapat membuang sebagai salah. Pemahaman karena itu dibangun langkah demi langkah melalui partisipasi aktif dan keterlibatan. Piaget merupakan salah seorang tokoh pelopor aliran konstruktivisme. Ia berpendapat bahwa anak membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungannya. Dalam pandangan Piaget pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Konstruktivisme menekankan pentingnya pengetahuan dunia, keyakinan, dan keterampilan individu membawa untuk menanggung pada belajar. Melihat 13 pembangunan pengetahuan baru sebagai kombinasi dari sebelum belajar cocok dengan informasi baru, dan kesiapan untuk belajar, teori ini membuka perspektif baru, yang mengarah individu untuk informasi pilihan tentang apa yang harus menerima dan bagaimana memasukkannya ke schemata yang ada, serta seperti apa untuk menolak. Rekapitulasi prinsip-prinsip utama konstruktivisme mengatakan bahwa itu menekankan pembelajaran dan tidak, mendorong otonomi pelajar dan keterlibatan pribadi dalam belajar. Dalam teori konstruktivis, konteks yang diberikan signifikansi karena membuat situasi dan peristiwa yang bermakna dan relevan, dan menyediakan pelajar dengan kesempatan untuk membangun pengetahuan baru dari pengalaman. Terlebih lagi dengan memberikan kesempatan untuk berpikir independen, konstruktivisme memungkinkan siswa untuk bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri dengan membingkai pertanyaan dan kemudian menganalisa. Paradigma konstruktivisme kognitif telah berperan dan tanggung jawab dalam belajar dari guru kepada pelajar yang tidak lagi dilihat sebagai pasif atau tak berdaya. Siswa dipandang sebagai individu yang aktif dalam membangun pengetahuan dan pemahaman baru sedangkan guru dipandang sebagai fasilitator bukan diktator pembelajaran. Pembelajaran konstruktivistik merupakan suatu teori yang menganggap bahwa belajar adalah proses untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangun atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Konsekuensinya pembelajaran harus mampu memberikan pengalaman nyata bagi siswa. Siswa dituntut harus aktif dalam melakukan 14 kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran konstruktivistik, yaitu: 1 Mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan. 2 Mengutamakan proses. 3 Menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial. 4 Pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman. Salah satu model pembelajaran yang didasarkan pada pandangan kontruktivisme adalah pembelajaran kooperatif. Menurut Kagan dalam www. model-pembelajaran-kooperatif-tipe.html, belajar kooperatif adalah suatu istilah yang digunakan dalam prosedur pembelajaran interaktif, dimana siswa belajar bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk memecahkan berbagai masalah. Setiap siswa tidak hanya menyelesaikan tugas individunya, tetapi juga berkewajiban membantu tugas teman kelompoknya, sampai semua anggota kelompok memahami suatu konsep. Vygostky penganut aliran konstruktivisme yang lebih menekankan pada hakekat pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygostky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan aspek eksternal dari pembelajar dan penekanan pada lingkungan sosial pembelajar. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep 15 budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam ”Zone of proximal development”. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Teori Vy gotsky yang lain adalah ”scaffolding”. Scaffolding adalah memberikan kepada seorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah kedalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vigotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu: a Menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing zona of proximal development mereka. b Pendekatan dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vigotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha 16 menemukan konsep-konsep dan pemecahan masalah. Teori yang dikembangkan oleh piaget maupun vygotsky lebih menekankan asfek kognitif akan tetapi piaget lebih mengarah ketahapan-tahapan perkembangan individu. Ini berarti pengetahuan anak itu sudah lahir dengan sendirinya. Vygotsky lebih mengarah kepada proses pencapaian pengetahuan melalui interaksi atau hubungan kerjasama baik antar lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial. Pendekatan pembelajaran TGT yang berbasis permainan sangat menekankan hubungan kerjasama dalam memecahkan suatu permasalahan. Permainan tersebut dilalui oleh siswa melalui tahapan-tahapan dan setiap tahapan diberikan permasalahan yang harus diselesaikan bersama kelompok.

C. Konsep