Pendahuluan Development of candidate of antiphotoaging active ingredients from some indonesian traditional cosmetic plants

Pembentukan radikal bebas yang dipicu oleh paparan UV dimulai dari interaksi foton dengan asam trans-urokanik atau komponen kimia lainnya pada kulit sehingga membentuk oksigen tunggal. Oksigen tunggal dapat menghasilkan oksigen radikal bebas yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada berbagai komponen seluler dan berperan penting sebagai pencetus photoaging Traikovich 1999; Nishigori et al. 2003; Lin et al. 2005; Huang et al. 2007; Almeida et al. 2008; Dai dan Mumper 2010. Berdasarkan uraian tersebut di atas, diketahui bahwa radikal bebas berperan penting dalam pembentukan MMP-1 sehingga penggunaan senyawa antioksidan sangat penting dalam menghambat pembentukan MMP-1. Hasil penelitian pada hewan coba tikus menunjukkan bahwa kemampuan sistem pertahanan antioksidan pada kulit terhadap ROS menurun seiring dengan penuaan. Hal ini berarti semakin cepat penuaan yang terjadi semakin cepat penurunan kemampuan sistem pertahanan antioksidan kulit. Penurunan kemampuan sistem pertahanan antioksidan kulit memerlukan solusi aplikasi topikal antioksidan. Aplikasi topikal antioksidan memberikan manfaat dalam mencegah pengaruh buruk radikal bebas akibat paparan radiasi UV pada kulit Yasui dan Sakurai 2003; Almeida et al. 2008. Antioksidan asal tumbuhan memperlihatkan kemampuan mengurangi ROS yang menyebabkan photoaging. Hal ini telah memacu penelitian penggunaan bahan tumbuhan yang kaya antioksidan untuk mencegah photoaging . Perlindungan menggunakan sistem pertahanan antioksidan untuk mencegah kerusakan yang disebabkan paparan radiasi UV telah diusulkan sebagai mekanisme bagi senyawa asal tumbuhan dalam memperlambat proses penuaan kulit. Penggunaan antioksidan asal tumbuhan terbukti dapat menghambat pembentukan MMP-1, khususnya pada fibroblast dermis manusia Pluemsamran et al. 2012; Huang et al. 2007; Afaq dan Mukhtar 2006; Moon et al. 2004. Hal ini menunjukkan bahwa antioksidan sangat berperan dalam mencegah photoaging. Potensi tabir surya yang dimiliki suatu bahan juga berperan penting dalam pencegahan photoaging. Tabir surya yang memadai merupakan kebutuhan yang esensial untuk mengontrol kerusakan kulit yang disebabkan oleh radiasi UV, di antaranya kulit terbakar, photoaging dan kanker akibat paparan sinar UV atau photocarcinogenesis Cross et al. 2007; Müller et al. 2008; Korac dan Khambholja 2011. Pengertian bahan tabir surya berdasarkan keputusan Kepala BPOM RI no: HK.00.05.42.1018 didefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk melindungi kulit dari radiasi sinar UV dengan cara menyerap, memancarkan, dan menghamburkan. Tabir surya merupakan standar utama untuk melindungi kulit dari kerusakan akibat paparan radiasi matahari, namun komposisi bahan kimia yang digunakan pada formulasi tabir surya memiliki kemungkinan untuk menghasilkan radikal bebas ketika terpapar radiasi UV. Bahan kimia tabir surya dapat saja terserap oleh kulit dan berpotensi menyebabkan kerusakan kulit Pinnell 2003. Penelitian untuk menemukan kandidat ekstrak bahan aktif tabir surya baru yang bersumber dari alam terus dilakukan dan ditujukan untuk memperoleh suatu bahan aktif tabir surya yang dapat mencegah photoaging, namun tidak memiliki efek samping yang dapat menyebabkan kerusakan kulit. Sun protection factor SPF merupakan suatu nilai yang digunakan untuk mengukur aktivitas suatu tabir surya dan digunakan secara luas untuk mengevaluasi potensi perlindungan suatu material terhadap sinar matahari. Istilah SPF diperkenalkan pertama kali pada dekade 1930-an dan dapat diukur dengan cara pengujian secara in vitro atau in vivo Ho 2001; Gonzalez 2006; Oliveira et al. 2008. Pada tahun 2002, COLIPA The European Cosmetic Toiletry and Parfume Association , JCIA Japan Cosmetic Industry Association, dan CTFA-SA Cosmetic Toiletry and Fragrance Association of South Africa bersama-sama menyepakati metode penentuan SPF. Metode ini didasarkan hasil perbandingan dosis minimum sinar UVA dan UVB yang menyebabkan erythermal MED pada punggung sukarelawan tipe kulit I, II dan III yang menggunakan tabir surya dan tidak menggunakan tabir surya. Namun, pengujian ini memerlukan biaya yang besar dan waktu yang cukup lama. Pertimbangan ekonomi, teknis, dan etis menyebabkan pengukuran SPF secara in vitro lebih dapat diterima dan lazim digunakan dalam penapisan tabir surya untuk pengembangan produk Pissavini et al. 2003; Gonzalez 2006; Oliveira et al. 2008. Pada mulanya, nilai SPF hanya ditujukan untuk menyatakan potensi perlindungan kulit terhadap paparan UVB. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa UVA dapat menyebabkan kerusakan pada kulit. Terkait dengan kerusakan kolagen tipe I, telah diketahui bahwa paparan sinar UVA dan UVB dapat memacu pembentukan MMP-1. Fokus pembuatan produk tabir surya saat ini ditujukan untuk melindungi kulit dari paparan UVA dan UVB Evelson et al. 1997; Chung 2003; Baron et al. 2008. Berdasarkan uraian di atas, maka penentuan aktivitas penghambatan pembentukan MMP-1, aktivitas antioksidan, dan aktivitas tabir surya sangat penting untuk dilakukan dalam upaya penapisan ekstrak bahan aktif antiphotoaging dari tumbuhan kosmetik tradisional Indonesia. Data aktivitas antioksidan, dan data aktivitas tabir surya dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan kandidat ekstrak bahan aktif antiphotoaging. Pada tahap penelitian ini dilakukan penapisan kandidat ekstrak bahan aktif antiphotoaging dari ekstrak etanol rimpang Temu Putih, rimpang Temu Giring, rimpang Temu Ireng, dan daun Ki Urat. Penapisan yang dilakukan meliputi potensi aktivitas penghambatan pembentukan MMP-1, potensi antioksidan, dan aktivitas tabir surya terhadap ekstrak tumbuhan kosmetik tradisional Indonesia tersebut.

2.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2011 hingga bulan Februari 2012 di beberapa lokasi, yaitu 1 Laboratory of Cutaneous Aging Research, Clinical Research Institute, Seoul National University Hospital, Korea Selatan; 2 Laboratorium Kimia Instrumen, Jurusan Kimia, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung; 3 Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

2.2.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: etanol Merck, metanol Merck, aquadest, Transpore Tape ® 3M, USA, Dulbecco’s Modified Eagle Medium DMEM; WelGENE, Trypan Blue Stain 0.4 GIBCO, AcrylamideBis Solution 30 BIO-RAD, Protein Markers ProSieve Color Lonza, polyvinylidene fluoride membranes Amersham Biosciences, Buckinghamshire, England, Antibodi primer rabbit monoclonal anti-MMP-1 Laboratory for Cutaneous Aging Research, Clinical Research Institute, Seoul National University Hospital, Seoul, Republic of Korea antibodi sekunder anti-rabbitIgG-HRP conjugates Santacruz company, AmershamECL Prime Western Blotting Detection Reagent Amersham Pharmacia Biotech,film X-ray AFGA, 2,2’diphenylpicrylhydrazyl DPPH; Sigma Aldrich. Bahan biologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur sel human keratinocyte cell line HaCaT yang diperoleh dari Laboratory for Cutaneous Aging Research, Clinical Research Institute, Seoul National University Hospital, Seoul, Korea Selatan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: freeze dryer FD- 5N EYELA, penangas air WB-20E JEIO TECH, optometrics SPF-290s analyzer, microplate reader VERSA Max Tunable, sterilizer Han Shin Co. LTD, Kodak X-OMAT processor, UV meter Waldman Medizintechnik, water bath JEIO TECH, inkubator CO 2 Series II Thermo Forma, biological safety cabinets 1300 Series A2 Thermo Scientific, lampu UV Phillips TL 20W12 RS florescent sun lamps Einthoven, Netherlands, filter UV C Kodacel filter TA401407, mikroskop IX50 Olympus, neraca Harvard Trip OHAUS, micro high speed centrifuge MICRO 17R Hanil Science Industrial, spektrofotometer UV-vis UV-mini 1240 Shimadzu, tangki elektroforesis EzCell, spektrometer gas kromatografi QP 2010 ULTRA Shimadzu, multitask plate reader model 1420 Victor3 PerkinElmer, pencatu daya PowerPac HC BIO-RAD. Perangkat Lunak yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: ImageJ 1.43u Wayne Rasband National Institutes of Health, USA, SPSS 17.0 SPSS Inc. Chicago, Illinois, USA, MS. Exce 2007 Microsoft.

2.2.2 Ekstraksi sampel

Sampel rimpang Temu Giring, rimpang Temu Ireng, dan rimpang Temu Putih dikoleksi dari daerah Lembang pada bulan Desember 2010. Sampel daun Ki Urat dikoleksi dari daerah Ciampea Bogor pada bulan Januari 2011. Sampel telah diidentifikasi oleh Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dengan nomor surat identifikasi 159IPH.1.02If.8II2011 Lampiran 1. Sampel dibersihkan dengan menggunakan air kran yang bersumber dari air tanah, selanjutnya dibilas dengan menggunakan aquadest sebanyak 3 kali dan ditiriskan dengan mengalirkan udara panas bertemperatur 40°C selama 25 menit. Sebanyak 500 g sampel ditambahkan 500 mL pelarut etanol 80 dan digiling dengan menggunakan blender komersial. Slurry hasil gilingan sampel ditempatkan dalam botol berwarna gelap dan dimaserasi dengan menambahkan 1000 mL pelarut etanol 80. Maserasi dilakukan selama 3 x 24 jam. Maserat dipisahkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring. Maserat dipekatkan dengan menggunakan evaporator pada temperatur 35°C hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental dikeringkan lebih lanjut dengan menggunakan freeze dryer untuk memperoleh ekstrak kering.

2.2.3 Penyiapan kultur sel HaCaT

Cryovial kultur sel HaCaT dikeluarkan dari nitrogen cair, lalu ditempatkan dalam wadah yang berisi dry ice , dicairkan dengan menempatkannya pada penangas air bertemperatur 37°C. Ditambahkan 2 mL media DMEM, kemudian kultur sel HaCaT dipindahkan pada 100 mm cell culture dish yang telah berisi 10 mL media DMEM yang mengandung 10 Fetal Bovine Serum, 2 mM glutamin, antibiotik penisilin 100 UmL dan streptomisin 100 µgmL. Kultur sel diinkubasi selama 24 jam pada 37°C dengan kadar CO 2 5 di inkubator. Setelah 24 jam, media diganti dan diinkubasi selama 48-72 jam. Setelah 48-72 jam diamati kultur sel HaCaT di bawah mikroskop, bila kultur sel HaCaT mencapai subkonfluen 80-90 maka dilakukan subkultur. Media dibuang dan kultur sel HaCaT dibilas dengan 7 mL Phosphate buffered saline PBS. Setelah PBS dibuang, ditambahkan 3 mL trypsin-EDT dan diinkubasi selama 5-7 menit pada 37 o C, 5 CO 2 . Setelah diinkubasi, ditambahkan 5-8 mL media DMEM dan dipindahkan pada tabung 15 mL, lalu disentrifugasi pada 1.500 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan kultur sel diresuspensi dengan menambahkan 10 mL media DMEM. Sel HaCaT dihitung dengan menggunakan hemasitometer, bila perlu dilakukan pengenceran hingga diperoleh suspensi sel HaCaT 10 6 selmL dengan menambahkan media DMEM. Sebanyak 2 mL suspensi sel ditempatkan pada 100 mm cell culture dish , lalu ditambah sebanyak 8 mL media DMEM dan inkubasi selama 48-72 jam. Subkultur dilanjutkan hingga diperoleh kultur sel dalam jumlah yang cukup untuk percobaan yang akan dilakukan.

2.2.4 Penentuan aktivitas penghambatan pembentukan MMP-1

Disiapkan 50 mL suspensi sel HaCaT dengan konsentrasi 10 5 selmL dalam media DMEM yang mengandung 10 FBS, 2 mM glutamin, antibiotik penisilin 100 UmL, dan streptomisin 100 µgmL. Disiapkan 15 buah 35 mm cell culture dish . Sebanyak 2 mL suspensi sel HaCaT ditumbuhkan pada masing-masing 35 mm cell culture dish, lalu diinkubasi selama 24 jam pada 37°C dengan kadar CO 2 5. Setelah 24 jam, media dibuang, kultur sel dicuci dengan PBS dan diberikan 2 mL media DMEM tanpa serum, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam, kultur sel dibagi menjadi 4 perlakuan dan kontrol yang masing-masing terdiri atas 3 buah 35 mm cell culture dish . Perlakuan 1 merupakan kultur sel HaCaT yang mendapat ekstrak rimpang Temu Giring 100 ppm dalam DMEM. Perlakuan 2 merupakan kultur sel HaCaT yang mendapat ekstrak rimpang Temu Ireng 100 ppm dalam DMEM. Perlakuan 3 merupakan kultur sel HaCaT yang mendapat ekstrak rimpang Temu Putih 100 ppm dalam DMEM. Perlakuan 4 merupakan kultur sel HaCaT yang mendapat ekstrak daun Ki Urat 100 ppm dalam DMEM. Kontrol merupakan kultur sel HaCaT yang hanya mendapat DMEM.