Pengaruh Suku Bunga Deposito Dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka Pada Bank Umum Di Indonesia Tahun 2004 - 2010
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi membutuhkan modal dasar sebagai alat untuk menggerakkan perekonomian. Modal dasar pembangunan dapat berupa kekayaan alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan lain sebagainya. Diantara modal pembangunan tersebut, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan finansial suatu bangsa untuk membiayai proses pembangunannya dalam bentuk investasi.
Proses pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi mutlak membutuhkan investasi. Tingkat investasi bahkan acapkali dijadikan tolok ukur dalam memprediksi tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai. Semakin besar investasi, semakin besar pula pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dan pada akhirnya akan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam model pertumbuhan Solow, dikatakan bahwa tingkat investasi sama dengan tingkat tabungan. Sedangkan tingkat tabungan merupakan bagian pendapatan yang tidak dibelanjakan. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk menabung. Semakin banyak tabungan masyarakat yang terkumpul, akumulasi modal semakin besar sehingga semakin banyak investasi yang dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, tingkat tabungan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa.
(2)
Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu kebutuhan akan pembangunan nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dibidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Masih lemahnya kemampuan partisipasi swasta dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi.
Menurut Mckinnon dan Shaw (1973), elemen terpenting dalam pembangunan ekonomi adalah liberalisasi pasar keuangan. Dengan adanya liberalisasi sektor keuangan akan menghilangkan distorsi yang terjadi di pasar uang dan meningkatkan kemampuan sistem keuangan. Sistem keuangan yang maju akan memperlancar pertumbuhan ekonomi. Untuk itu kebijakan pemerintah haruslah secara langsung mendorong pertumbuhan sistem keuangan (Kuncoro, 1993).
Di banyak negara berkembang, sektor keuangan belum menunjukkan kinerja yang optimal. Optimalisasi lembaga-lembaga keuangan diukur melalui rasio antara jumlah kekayaan yang dinyatakan dengan uang (financial assets)
dengan Produk Domestik Bruto (Nasution, 1991). Bila rasio penggunaan uang dalam suatu negara tinggi menunjukkan semakin besar serta semakin luas kegiatan lembaga-lembaga keuangan maupun pasar uang. Hal tersebut juga tercermin dari semakin beragamnya produk keuangan yang dihasilkan dan digunakan dalam masyarakat.
Lembaga perbankan mempunyai peranan yang penting, bukan hanya sebagai perantara finansial tetapi juga sebagai pihak yang membatasi, menilai dan
(3)
mendistribusikan resiko yang berkaitan dengan berbagai kegiatan finansial. Pada mekanisme pasar, peranan ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara keuntungan yang diperoleh dengan resiko yang dihadapi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, “ψank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Definisi tersebut menjelaskan salah satu fungsi bank sebagai financial intermediery.
Modal pembangunan yang berasal dari dalam negeri biasanya dihimpun dari dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan investasi. Lembaga perbankan merupakan lembaga yang mempunyai potensi untuk menghimpun dana masyarakat. Dana yang dihimpun dari masyarakat disebut dana pihak ketiga, yang terdiri atas tabungan, giro, dan deposito. Setelah dikeluarkannya kebijakan deregulasi sektor perbankan, banyak bank berdiri dan diberikan kebebasan dalam menetapkan suku bunga deposito, bunga pinjaman, dan pengelolaan lainnya. Hal tersebut mendorong pesatnya pertumbuhan dana pihak ketiga yang terhimpun dari masyarakat.
Dilihat dari perkembangannya, dana pihak ketiga mengalami peningkatan yang cukup berarti, khususnya dalam waktu tujuh tahun terakhir, seiring dengan tumbuhnya perekonomian. Pada januari 2004 dana pihak ketiga yang terhimpun sebesar 886,459 triliun rupiah, dan meningkat menjadi 2.338,824 triliun rupiah pada desember tahun 2010. Artinya, dalam periode tersebut terjadi kenaikan sebesar 163,84 persen.
(4)
Dari jumlah dana pihak ketiga yang terkumpul, hampir separuhnya berasal dari deposito, sedangkan sisanya bersumber dari tabungan dan giro. Deposito merupakan simpanan yang pencairannya hanya dapat dilakukan pada jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah dengan bank. Dilihat dari komposisinya, dana pihak ketiga bank umum yang terhimpun pada desember 2010, terdiri dari deposito 45,74 persen, tabungan 31,35 persen, dan giro sebesar 22,91 persen. Maka dapat dikatakan bahwa deposito masih merupakan produk yang digemari masyarakat yang ingin berinvestasi dengan resiko rendah.
Selain itu, salah satu daya tarik bagi masyarakat yang ingin menanamkan modalnya dalam bentuk simpanan deposito adalah suku bunga deposito yang ditawarkan. Suku bunga deposito menawarkan tingkat pengembalian dari dana yang disimpan dalam periode tertentu. Dalam upaya menarik minat masyarakat,
0 500 1000 1500 2000 2500
Des'04 Des'05 Des'06 Des'07 Des'08 Des'09 Des'10
Tabungan Giro Deposito
Gambar 1. Perkembangan Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010 Sumber : Bank Indonesia (2011)
(5)
bank-bank bersaing untuk menghimpun dana dari masyarakat melalui berbagai cara, diantaranya adalah dengan menawarkan suku bunga deposito yang lebih tinggi, peningkatan pelayanan melalui fasilitas on-line, mengeluarkan produk-produk berhadiah, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat untuk disimpan di banknya.
Disamping tingkat suku bunga yang ditawarkan, inflasi juga memegang peran penting dalam mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menabung. Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Inflasi yang tinggi akan mengurangi nilai riil dari uang yang disimpan. Oleh karenanya, tingkat inflasi yang lebih tinggi dibandingkan suku bunga akan mengakibatkan nilai riil uang dimasa depan akan menurun, dan pada gilirannya akan membuat masyarakat enggan menyimpan dananya di bank. Selain itu, tingkat inflasi yang tinggi juga akan meningkatkan kecenderungan masyarakat memegang uang sebagai motif berjaga-jaga (precaution motive). Disinilah dibutuhkan kejelian dari pemerintah melalui lembaga yang terkait untuk mengendalikan inflasi sehingga dapat berdampak positif terhadap perekonomian.
1.2 Perumusan Masalah
Menurut Kwik Kian Gie (2004), Perekonomian Indonesia tidak pernah
tidak ditekan inflasi. Inflasi diatas level 7 persen per tahun merupakan fenomena
yang lazim terjadi di Indonesia, walaupun bagi sebagian negara maju level
tersebut sudah dikatakan tinggi. Namun inflasi yang terlampau rendah juga belum
(6)
Sejak diberlakukannya kebijakan Inflation Targeting Framework pada Juli
2005, BI-rate resmi digunakan sebagai suku bunga acuan. Pemerintah melalui
Bank Indonesia menetapkan target inflasi yang diharapkan dan
mengumumkannya ke masyarakat setiap bulan atau setiap selesai dilaksanakannya
rapat dewan gubernur BI. Penetapan target inflasi dibarengi dengan penetapan
BI-rate yang diharapkan segera direspon oleh dunia usaha khususnya kalangan
perbankan.
Perkembangan inflasi kerap menjadi alasan BI menaikkan atau
menurunkan BI-rate. Ketika inflasi tinggi, Bank Indonesia segera mengumumkan
kenaikan BI-rate, dan begitupun sebaliknya. Namun seringkali terjadi gap antara
pemerintah dan dunia usaha, dimana perubahan BI Rate tidak serta-merta direspon
oleh kalangan perbankan dengan merubah suku bunganya.
Seperti yang terjadi pada tahun 2005 dan 2008, ditengah kekhawatiran
pemerintah akan pelarian modal ke luar negeri pada saat inflasi tinggi sedangkan
suku bunga deposito lebih rendah dari inflasi, kalangan perbankan justru memiliki
pendapat berbeda. Kalangan perbankan berpendapat bahwa walaupun tingkat
inflasi lebih tinggi dari suku bunga deposito, pelarian modal tidak otomatis terjadi
selama stabilitas keamanan dan politik tetap stabil. Inflasi memang bisa menjadi
referensi bagi deposan, tetapi belum tentu hal itu membuat deposan menarik
seluruh dananya, yang dibutuhkan adalah penyesuaian tingkat suku bunga
(7)
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan jumlah deposito yang terhimpun pada bank umum
di Indonesia?
2. Apakah tingkat inflasi dan suku bunga deposito berpengaruh terhadap jumlah
deposito pada bank umum di Indonesia, baik masing-masing maupun secara
bersama-sama?
3. Sampai sejauh mana pengaruh tingkat inflasi dan suku bunga deposito
terhadap jumlah deposito pada bank umum di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji perkembangan jumlah deposito pada bank umum di Indonesia.
2. Menganalisis pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap jumlah
deposito berjangka pada bank umum di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Memberikan dasar bagi pengambil kebjakan dalam penyusunan rencana dan
strategi yang baik dan terarah untuk digunakan sebagai referensi bagi peneliti
lain yang berkaitan dengan hubungan suku bunga deposito, inflasi dan jumlah
deposito.
2. Bagi penulis merupakan tambahan khasanah pengetahuan dan wawasan
berharga yang disinkronkan dengan pengetahuan teoritis yang diperoleh dari
(8)
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada jumlah deposito berjangka yang
terhimpun pada bank umum di Indonesia, tidak mencakup yang terhimpun pada
Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Periode penelitian digunakan data bulanan mulai
bulan Januari tahun 2004 hingga bulan Desember 2010. Sumber data yang
digunakan diperoleh dari publikasi bulanan Bank Indonesia dan publikasi
indikator ekonomi semesteran Badan Pusat Statistik.
Periode tahun penelitian diambil berdasarkan pertimbangan untuk
meminimalisir pengaruh variabel nonekonomi terhadap gejolak variabel inflasi
dan suku bunga. Dimana periode tahun 2004 – 2010, diharapkan berada dibawah satu rezim pemerintahan dengan kestabilan ekonomi dan politik yang cukup
terjaga. Dengan alasan tersebut diharapkan fluktuasi yang terjadi atas variabel
moneter seperti suku bunga dan inflasi merupakan fenomena ekonomi yang dapat
dijelaskan oleh teori-teori yang ada.
Suku bunga deposito yang digunakan adalah suku bunga berjangka satu
bulan yang diharapkan sudah dapat mewakili fluktuasi suku bunga deposito
berjangka lainnya. Selain itu, karena data series yang digunakan adalah data
bulanan, maka suku bunga deposito satu bulan diharapkan lebih cepat merespon
perubahan suku bunga BI Rate. Sedangkan untuk data inflasi, yang digunakan
adalah data inflasi bulanan (month to month) yang dihitung dan diterbitkan oleh
Badan Pusat Statistik setiap bulan. Data ini diharapkan dapat menggambarkan
fluktuasi harga barang dan jasa secara lebih cepat dan dapat menjelaskan
(9)
Pemilihan variabel bebas, yakni inflasi dan suku bunga deposito
didasarkan kepada pertimbangan bahwa kedua variabel tersebut pada batas-batas
tertentu dapat diintervensi oleh kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter.
Variabel-variabel moneter dan makroekonomi lain seperti PDB, nilai tukar, dan
suku bunga luar negeri tidak dimasukkan kedalam model, atas pertimbangan
bahwa variabel tersebut berada diluar jangkauan otoritas moneter untuk
mengendalikan. Sehingga penelitian hanya dikhususkan untuk meneliti pengaruh
dari variabel suku bunga deposito dan inflasi terhadap jumlah deposito yang
(10)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Klasik
Menurut teori klasik, tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga
dimana pergerakan tingkat bunga pada perekonomian akan mempengaruhi
tabungan, secara matematis dapat ditulis S = f(i). Artinya, keinginan masyarakat
untuk menabung sangat bergantung pada tingkat bunga. Makin tinggi tingkat
bunga, semakin besar keinginan masyarakat untuk menabung atau masyarakat
akan terdorong untuk mengorbankan pengeluarannya untuk menambah besarnya
tabungan. Jadi tingkat bunga menurut pendapat klasik adalah balas jasa yang
diterima seseorang karena menabung/menyimpan uangnya atau hadiah yang
diterima seseorang karena menunda konsumsinya.
Investasi juga merupakan fungsi dari tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat
bunga, semakin kecil keinginan masyarakat untuk melakukan investasi. Hal
tersebut dikarenakan keuntungan yang diharapkan dari investasi akan relatif kecil
terhadap tingkat bunga. Sebaliknya, apabila tingkat bunga rendah maka
keuntungan relatif dari investasi terhadap tingkat bunga yang dibayarkan akan
besar sehingga investasi akan meningkat. Karena tingkat bunga merupakan biaya
pinjaman dan pengembalian akibat meminjamkan dana ke pasar keuangan, maka
untuk memahami lebih baik tentang tingkat bunga dalam perekonomian dapat
(11)
Y = C + I + G (2.1)
Y – C – G = I (2.2)
Y – C – G adalah output yang tersisa setelah permintaan konsumen dan pemerintah terpenuhi; inilah yang disebut tabungan nasional (national saving)
atau ringkasnya tabungan (S). Dalam bentuk ini, identitas pos pendapatan nasional
manunjukkan bahwa tabungan sama dengan investasi. Untuk memahami identitas
ini secara lebih lengkap, kita bisa memacah tabungan nasional menjadi dua
bagian. Satu bagian menunjukkan tabungan sektor swasta dan bagian lain
menunjukkan tabungan pemerintah:
S = (Y – T – C) + (T – G) = I (2.3)
Untuk melihat bagaimana tingkat bunga menyeimbangkan pasar keuangan,
substitusikan fungsi konsumsi dan fungsi investasi kedalam pos pendapatan
nasional:
Y – C(Y – T) – G = I(r) (2.4)
Selanjutnya, nyatakan bahwa G dan T ditetapkan oleh kebijakan serta Y
ditetapkan oleh faktor-faktor produksi dan fungsi produksi.
(2.5)
(2.6)
Gambar 2 menunjukan tingkat keseimbangan suku bunga di pasar
keuangan. Ketika suku bunga berada pada level i1 (dibawah suku bunga
keseimbangan), masyarakat akan menabung lebih sedikit dan lebih banyak
membelanjakan uangnya. Pada kondisi ini tingkat tabungan berada pada S1
(12)
kelebihan permintaan untuk investasi sedangkan dana yang tersedia dalam bentuk
tabungan tidak mencukupi. Keadaan ini mendorong pelaku usaha bersedia untuk
membayar lebih atas dana yang dipinjamnya. Hal ini akan memberikan tekanan
pada naiknya suku bunga dan pada gilirannya akan meningkatkan tabungan.
Proses ini berlanjut terus hingga jumlah tabungan yang tersedia setara dengan
investasi yang diinginkan, yakni pada tingkat suku bunga i2, dimana jumlah
tabungan (S2) sama dengan Investasi (I2). Pada tingkat bunga ekuilibrium, hasrat
rumah tangga untuk menabung seimbang dengan hasrat perusahaan untuk
menanamkan modal dan jumlah dana pinjaman yang ditawarkan sama dengan
jumlah yang diminta.
Gambar 2. Kurva Investasi dan Tabungan A
i1
S1 I1
i (interest rate)
Investasi, Tabungan, I, S S(r)
I(r) i2
I2=S2
(13)
Teori Tingkat Bunga Fischer, terdapat dua tingkatan bunga, yaitu bunga nominal dan bunga riil. Tingkat bunga yang dibayar oleh bank adalah tingkat
bunga nominal dan kenaikan dalam daya beli masyarakat adalah tingkat bunga
riil. Hubungan antara ketiga variabel tersebut dalam dinyatakan dalam persamaan
Fischer sebagai berikut:
r = i
–
π
(2.7)
dimana:
r = real interest rate (tingkat bunga riil)
i = nominal interest rate (tingkat bunga nominal)
π = tingkat inflasi
Tingkat bunga riil adalah tingkat bunga nominal dikurangi dengan tingkat
inflasi. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perubahan tingkat bunga dapat
terjadi karena adanya perubahan tingkat bunga riil atau perubahan tingkat inflasi.
2.1.2 Teori Tabungan dan Investasi Menurut Aliran Keynes
Keynes mengatakan bahwa tingkat bunga adalah balas jasa yang diterima
seseorang karena orang tersebut tidak menimbun uang atau balas jasa yang
diterima seseorang karena mengorbankan preferensi likuiditasnya. Menurut teori
preferensi likuditas, ada tiga motif yang mendasari seseorang memegang uang:
Pertama, motif transaksi. Permintaan uang untuk tujuan melakukan
transaksi. Permintaan uang ini sangat tergantung pada tingkat pendapatan
seseorang. Jika pendapatan mengalami peningkatan maka uang tunai yang ditahan
(14)
sangat dipengaruhi pula oleh tingkat harga. Bila tingkat harga mengalami
kenaikan (inflasi) akan mempengaruhi besarnya permintaan uang tunai untuk
tujuan transaksi.
Kedua, motif berjaga-jaga, yaitu tindakan seseorang untuk menyimpan
sebagian dari pendapatan atau kekayaan dalam bentuk uang tunai, karena banyak
pengeluaran yang tidak terduga sebelumnya. Besar kecilnya uang untuk motif ini
sangat ditentukan oleh besar kecilnya uang untuk transaksi. Semakin besar nilai
transaksi yang dilakukan oleh seseorang, maka semakin banyak uang yang
dibutuhkan untuk berjaga-jaga.
Ketiga, motif spekulasi. Disamping untuk memperlancar transaksi dan
untuk berjaga-jaga, tujuan orang memegang uang tunai juga dimaksudkan untuk
tujuan spekulasi. Uang untuk tujuan ini akan dipergunakan untuk membeli
surat-surat berharga (obligasi) pada saat harganya murah dan akan menjualnya kembali
ketika harganya mahal.
Menurut Keynes, semakin besar liquidity prefefence seseorang, semakin
besar keinginan orang tersebut untuk menahan uang tunai, maka semakin besar
pula tingkat bunga yang diterima orang tersebut bilamana ia meminjamkan uang
tersebut kepada orang lain. Pendapat Keynes ini sangat berbeda dengan pendapat
aliran klasik, dimana tingkat bunga menurut teori klasik adalah premi yang
diterima karena menunda konsumsinya pada masa yang akan datang.
Permintaan uang mempunyai hubungan yang negatif dengan tingkat
bunga. Hubungan negatif antara permintaan uang dengan tingkat bunga ini dapat
(15)
pendapat tentang adanya tingkat bunga nominal. Bilamana tingkat bunga turun
dari tingkat bunga normal, dalam masyarakat ada suatu keyakinan akan naik suku
bunga masa yang akan datang. Bila masyarakat memegang obligasi (surat
berharga) pada saat suku bunga naik, pemegang obligasi tersebut akan mengalami
kerugian. Guna menghindari kerugian ini, tindakan yang dilakukan adalah
menjual obligasi yang dengan sendirinya akan mendapatkan uang tunai dan uang
tunai ini yang dipegang pada saat suku bunga naik. Hubungan inilah yang disebut
motif spekulasi permintaan uang tunai, karena masyarakat akan melakukan
spekulasi tentang obligasi di masa yang akan datang.
Teori Tingkat Bunga Keynes. Bunga adalah sebuah pembayaran untuk menggunakan uang. Dalam teori preferensi likuiditas, Keynes menjelaskan
pandangannya mengenai bagaimana tingkat bunga ditentukan dalam jangka
pendek. Teori preferensi likuiditas adalah kerangka kurva LM. Teori ini memiliki
asumsi adanya penawaran uang riil tetap dan biasanya tidak tergantung oleh
tingkat bunga, yaitu:
(M/P)s = M/P (2.8)
Bunga adalah salah satu determinan dalam memutuskan berapa banyak
uang yang ingin dipegang oleh seseorang. Ketika tingkat bunga naik, maka
masyarakat cenderung memilih sedikit memegang uang, sehingga:
(M/P)d = L(r) (2.9)
Teori Loanable Funds. Teori loanable funds meramalkan dan menganalisis perubahan suku bunga dengan menggunakan penawaran dan
(16)
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi besar kecilnya penetapan suku
bunga, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebutuhan dana
Faktor kebutuhan dana dikhususkan untuk dana simpanan, yaitu seberapa
besar kebutuhan dana yang diinginkan. Apabila bank kekurangan dana, sementara
permohonan pinjaman meningkat, maka yang dilakukan oleh bank agar dana
tersebut cepat terpenuhi adalah dengan meningkatkan suku bunga simpanan.
Namun peningkatan suku bunga simpanan akan pula meningkatkan suku bunga
pinjaman. Sebaliknya apabila dana yang ada dalam simpanan bank cukup banyak,
sementara permohonan pinjaman sedikit maka bunga simpanan akan turun.
2. Target laba yang diinginkan
Hal ini disebabkan target laga merupakan salah satu komponen dalam
menentukan besar kecilnya suku bunga pinjaman. Jika laba yang diinginkan besar
maka bunga pinjaman ikut besar dan demikian pula sebaliknya. Namun untuk
menghadapi persaingan, target laba dapat diturunkan seminimal mungkin.
3. Kualitas jaminan
Kualitas jaminan juga diperuntukkan untuk suku bunga pinjaman.
Semakin mudah jaminan dapat dicairkan, semakin rendah bunga kredit yang
dibebankan, dan sebaliknya.
4. Kebijakan pemerintah
Dalam menentukan bunga simpanan maupun bunga pinjaman, bank tidak
(17)
batasan maksimal dan minimal untuk suku bunga yang diizinkan. Tujuannya
adalah agar bank-bank dapat bersaing secara sehat.
5. Jangka waktu
Baik untuk bunga simpanan maupun bunga pinjaman, faktor jangka waktu
merupakan faktor yang sangat penting. Semakin panjang jangka waktu pinjaman,
maka akan semakin tinggi bunganya. Hal tersebut disebabkan besarnya
kemungkinan resiko macet dimasa mendatang.
6. Reputasi perusahaan
Reputasi perusahaan juga sangat menentukan suku bunga terutama untuk
bunga pinjaman. Perusahaan yang telah memiliki reputasi baik akan mudah
memperoleh kredit dengan bunga yang relatif lebih rendah.
7. Produk yang kompetitif
Produk yang kompetitif menentukan besar kecilnya suku bunga pinjaman.
Kompetitif maksudnya adalah produk yang dibiayai tersebut laku dipasaran.
Untuk produk yang kompetitif, bunga kredit yang diberikan relatif rendah jika
dibandingkan dengan produk yang kurang kompetitif. Hal ini disebabkan produk
yang kompetitif tingkat perputaran produknya tinggi sehingga pembayarannya
diharapkan lancar.
8. Hubungan baik
Biasanya bunga pinjaman dikaitkan dengan faktor kepercayaan kepada
seseorang atau perusahaan. Dalam praktiknya, bank menggolongkan nasabahnya
kedalam nasabah utama dan nasabah biasa. Penggolongan ini didasarkan pada
(18)
utama biasanya mempunyai hubungan baik dengan pihak bank, sehingga dalam
penentuan suku bunganya berbeda dengan nasabah biasa. Nasabah yang memiliki
hubungan baik dengan bank tentu bunganya lebih rendah.
9. Persaingan
Dalam kondisi tidak stabil dan bank kekurangan dana, sementara tingkat
persaingan dalam memperebutkan dana masyarakat cukup ketat, maka bank-bank
harus berupaya untuk menarik minat masyarakat menyimpan dana di banknya.
Dalam kondisi ini dibutuhkan kejelian untuk menangkap informasi tentang suku
bunga yang diberikan oleh bank pesaing. Oleh karena itu dalam kondisi
persaingan, maka bank harus rela memangkas margin laba yang biasa
diperolehnya demi memperoleh nasabah.
2.1.4 Teori Inflasi
Inflasi adalah kecendrungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus-menerus dalam kurun waktu tertentu. Diartikan juga sebagai naiknya terus
menerus tingkat harga pada suatu perekonomian akibat kenaikan permintaan
agregat/penurunan penawaran agregat. Indeks harga konsumen adalah ukuran
tingkat harga sebagai indikator inflasi. IHK dihitung setiap bulan berdasar
perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga seluruh ibu
kota propinsi di Indonesia (Soebagiyo dan Prasetyawati, 2002).
Nopirin (1996), inflasi dapat digolongkan ke dalam tiga macam
(19)
1. Inflasi berdasarkan sifatnya
laju inflasi berbeda-beda antara negara satu dengan negara lainnya atau dalam
satu negara untuk kurun waktu yang berbeda. Atas dasar perkembangannya,
inflasi dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu:
a. Creeping inflation (inflasi merayap), adalah inflasi tahap awal dengan
kenaikan harga secara lambat atau juga sering disebut dengan inflasi
lunak. Biasanya creefing inflation ditandai dengan inflasi yang rendah
(<10%/tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat dengan prosentase
yang kecil dalam jangka waktu yang relatif lama.
b. Galloping inflation, adalah inflasi menengah yang ditandai dengan
kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam
waktu yang relatif pendek serta memiliki akselerasi, artinya harga-harga
minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya.
c. Hyper inflation, adalah kondisi inflasi yang paling parah akibatnya
terhadap perekonomian, harga-harga naik sampai lima atau enam kali.
Hyper inflation merupakan hal yang sering terjadi akibat tindakan
pemerintah untuk menutup defisit anggarang belanja dengan jalan
mencetak uang baru, sehingga jumlah uang beredar dimasyarakat tinggi
dan mengakibatkan laju inflasi bertambah tinggi.
Sedangkan menurut Boediono (1985), Ada berbagai cara untuk
menggolongkan macam inflasi berdasarkan tingkat keparahannya, yakni :
a. Inflasi ringan (dibawah 10% setahun)
(20)
c. Inflasi tinggi (antara 30-100% setahun)
d. Hiperinflasi ( diatas 100% setahun)
2. Inflasi berdasarkan asalnya
Inflasi dapat dibedakan menjadi inflasi yang berasal dari dalam negeri
(domestic inflation) dan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported
inflation). Inflasi yang berasal dari dalam negeri adalah inflasi yang sumber
penyebabnya berasal dari keadaan perekonomian dalam negeri sendiri.
Timbulnya inflasi ini karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan
percetakan uang yang baru, panen yang gagal dan sebagainya. Inflasi yang
berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan
harga-harga di luar negeri, sehingga akan mempengaruhi barang-barang yang di
impor.
3. Inflasi berdasarkan penyebabnya
Sebelum kebijaksanaan untuk mengatasi inflasi diambil, terlebih dahulu
diketahui faktor-faktor yang menyebabkan inflasi. Atas dasar ini kita bedakan
menjadi :
a. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang
terlalu kuat. Sehingga antara jumlah barang dengan jumlah permintaan
berjalan tidak seimbang, akibatnya harga barang menjadi lebih tinggi atau
naik inflasi semacan ini disebut demand pull inflation.
b. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Sehingga membawa
dampak bagi produsen dimana akan mengurangi keinginan mereka untuk
(21)
Berkurangnya penawaran yang tidak diikuti dengan pengurangan
permintaan yang sama besarnya akan menyebabkan kenaikan harga. Ini
disebut cost push inflation.
Akibat atau efek dari terjadinya inflasi bagi ekonomi adalah :
1. Efek terhadap pendapatan (Equity Effect)
Efek inflasi terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang
dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi.
Pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya inflasi :
- Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap.
- Seseorang yang menumpukkan kekayaan dalam bentuk uang kas.
- Seseorang yang memberikan pinjaman uang dengan bunga lebih rendah
dari laju inflasi.
2. Efek terhadap output (Output Effect)
Inflasi yang mengakibatkan perubahan pada alokasi faktor produksi
melalui :
- Kenaikan output. Dengan alasan bahwa dengan adanya inflasi dalam
tingkat yang rendah, maka permintaan akan barang cenderung naik
sehingga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya, dan
akibatnya harga barang tidak melonjak tinggi.
- Penurunan output. Apabila inflasi mengalami kenaikan dan cenderung
kearah hiperinflasi maka kondisi perekonomian akan mengalami
(22)
permintaan yang pada akhinya membawa dampak bagi produsen dalam
pengurangan jumlah produksinya.
3. Efek terhadap efisiensi (Efficiency Effect).
Inflasi dapat membawa efek bagi perubahan alokasi faktor-faktor
produksi. Perubahan dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai
macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam
produksi beberapa barang tertentu. Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan
adanya inflasi dapat mengakibatkan alokasi faktor produksi menjadi tidak
efisien. Secara garis besar inflasi adalah perubahan dalam pola distribusi
kekayaan dan pendapatan. Ada efek inflasi yang kurang nyata yaitu bahwa
umumnya orang-orang yang memegang asset liquid seperti uang tunai dan
deposito akan rugi karena penurunan daya beli asset tersebut. Sedangkan
orang yang mempunyai asset fisik seperti tanah akan menerima manfaat.
Dari sudut produksi, terdapat perbedaan yang penting antara efek inflasi
kecil dan efek inflasi besar. Umumnya para ekonom sependapat bahwa inflasi
kecil lebih baik daripada deflasi. Kesimpulan ini diperoleh dari beberapa
faktor. Salah satunya adalah untuk mencapai laju inflasi sama dengan nol atau
negatif, permintaan agregat harus dikurangi sampai sistemnya mengalami
pengangguran, atau untuk mencapai tingkat kegiatan ekonomi yang sesuai
dengan pekerjaan penuh (full employment). Kita mengalami inflasi karena
sumber-sumber yang harus dipakai dengan tenaga kerja, akan cenderung
(23)
2.2 Pengertian dan Fungsi Bank
Bank komersial adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak.
Berdasarkan jenisnya, bank hanya dibedakan menjadi dua, yaitu bank
umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (pasal 1 UU
No. 10 tahun 1998). Perbedaan antara bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat
meliputi beberapa aspek, diantaranya; kegiatan usaha, permodalan, alokasi kredit,
badan hukum, kepemilikan, dan double principle.
Secara umum, fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai
financial intermediary. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsisebagai agent
of trust, agent of development, dan agent of services
a. Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam
penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau
(24)
Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank,
uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut dan pada saat
yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank. Pihak
bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur
atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Pihak bank
percaya bahwa pihak debitur tidak akan menyalagunakan pinjamannya, debitur
akan mengelola dana pinjamannya dengan baik, debitur akan mempunyai
kemampuan untuk membayar pada saat jatuh tempo, dan debitur mempunyai
niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat
jatuh tempo.
b. Agent of development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan sektor riil tidak
dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling
mempengaruhi. Sektor riil tidak akan dapat berkinerja dengan baik apabila
sektor moneter tidak bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa berupa
penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kerugian
perekonomian di sektor rill. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat
melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi
barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini
tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancarankegiatan
investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan
(25)
c. Agent of servies
Disamping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga
memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa
yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian
masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman
uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian
tagihan.
Ketiga fungsi bank diatas diharapkan dapat memberikan gambaran yang
menyeluruh dan lengkap mengenai funsi bank dalam perekonomian, sehingga
bank tidak hanya dapat diartikan sebagai lembaga perantara keuangan (financial
intermediary institution).
2.3 Pengertian Deposito
Simpanan deposito dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
dinyatakan sebagai simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada
waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Berbeda
dengan tabungan dan giro, simpanan deposito mengandung unsur jangka waktu
(jatuh tempo) yang lebih panjang dan dapat ditarik atau dicairkan hanya setelah
jatuh tempo. Begitu pula dengan suku bunga yang diberikan relatif lebih tinggi
dibanding dengan tabungan dan giro. Bunga disesuaikan dengan perkembangan
pasar dan biasa diberikan setiap bulan sesuai dengan tanggal jatuh temponya.
Tabungan deposito juga dapat berfungsi sebagai alat investasi jangka
panjang maupun jangka pendek. Dengan menginvestasikan uang dalam deposito
(26)
dua belas bulan atau dua puluh empat bulan. Nasabah akan dikenakan denda
(penalty) dengan tidak mendapat hasil apapun apabila mencairkan dana deposito
sebelum jatuh tempo. Dengan demikian, bila nasabah berniat menggunakan uang
tersebut dalam jangka pendek sebaiknya membuka tabungan. Karena dengan
membuka tabungan, dana sewaktu-waktu dapat diambil tanpa harus dikenakan
denda. Namun, perlu ketahui bahwa suku bunga tabungan yang diberikan
biasanya lebih kecil dari suku bunga deposito bank.
Uang yang simpan di bank dan memenuhi persyaratan tertentu, seratus
persen dijamin pemerintah dari resiko kegagalan bayar. Skema garansi tersebut
masih diberlakukan oleh pemerintah untuk jangka waktu yang belum dapat
ditentukan. Nasabah tidak perlu khawatir akan kehilangan uang yang disimpan
apabila bank tersebut ditutup atau diambil alih. Pemerintah akan bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa uang nasabah akan dibayarkan kembali sesuai
dengan jumlah yang disimpan.
Deposito berjangka juga tersedia dalam mata uang asing, seperti dolar AS.
Dalam situasi ekonomi yang tidak pasti, seorang nasabah dapat memilih untuk
tidak menyimpan uang seluruhnya dalam bentuk tabungan deposito rupiah
melainkan juga dalam dollar AS. Hal ini didasarkan pada pertimbangan
kemungkinan anjloknya nilai mata uang rupiah dimasa depan disebabkan iklim
ekonomi dunia yang kian tidak pasti.
2.4 Penelitian Terdahulu
Wahyu Setyaningsih (1999). Berjudul “Analisis faktor-faktor yang Mempengaruhi Deposito Berjangka Rupiah sesudah Deregulasi Perbankan 1 juni
(27)
1983 di Indonesia kurun waktu 1984-1998”. Penelitian ini menggunakan data tahunan dari tahun 1984-1998. Variabel dependen yang digunakan adalah jumlah
deposito berjangka rupiah sedangkan variabel independennya adalah PDB riil
perkapita, suku bunga deposito berjangka, nilai tukar valas (Dollar AS terhadap
rupiah). Untuk pengujian yang digunakan model pendekatan PAM (Partial
Adjusment Model).
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah PDB riil perkapita
dan suku bunga deposito berjangka rupiah sebelumnya berpengaruh positif dan
signifikan. Sedangkan kurs valuta dolar AS terhadap rupiah tidak berpengaruh
terhadap deposito berjangka rupiah. Dalam analisis hubungan antara variabel
dependen dan variabel independen pada penelitian ini membuktikan penggunaan
model regresi berganda non linier adalah tepat. Hasil uji asumsi klasik terdapat
model regresi yang menunjukkan tidak terdapat gejala multikolinearitas,
heteroskedatisitas, dan autokorelasi. Hasil estimasi PAM diperoleh bahwa
elastisitas jangka panjang lebih besar dari elastisitas jangka pendek. Artinya
dalam elastisitas jangka panjang sudah tidak dipengaruhi lagi oleh tingkat
deposito berjangka rupiah periode sebelumnya.
Siti Fatimah Nurhayati (2002). Berjudul “Analisis Permintaan Deposito Dalam Valuta Asing Pada Bank Swasta Nasional Di Indonesia” dari tahun 1985 -2001. Variabel dependen yang digunakan adalah Permintaan Deposito dalam
Valuta Asing sedangkan variabel independennya adalah PDB, Suku Bunga
(28)
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa
pengujian t menunjukkan ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap simpanan
valuta asing di Indonesia yaitu variabel suku bunga deposito Rupiah berpengaruh
negatif pada jangka pendek dan positif dalam jangka panjang, suku bunga
internasional LIBOR berpengaruh positif dalam jangka panjang, sedangkan
variabel pendapatan perkapita riil dan kurs tidak berpengaruh.
Romauli Putri M. Marbun (2005). ψerjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka Pada Bank
Pemerintah di Sumatera Utara” dari tahun 1993 – 2003. Variabel dependen yang digunakan adalah jumlah deposito pada bank-bank pemerintah di Propinsi
Sumatera Utara, sedangkan yang menjadi variabel independen adalah pendapatan
perkapita dan tingkat suku bunga deposito.
Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa pendapatan perkapita memiliki
pengaruh yang positif terhadap perkembangan jumlah deposito berjangka. Begitu
pula dengan tingkat suku bunga berpengaruh positif terhadap jumlah deposito
berjangka. Pengujian dilakukan dengan model regresi linier berganda dengan
koefisien determinasi sebesar 0,976.
Tuti (2006). ψerjudul “Analisis Permintaan Deposito ψerjangka Dalam
Negeri Pada ψank Umum di Indonesia” , periode tahun 1990 sampai 2004. Data yang digunakan adalah data triwulanan. Penelitian ini ingin melihat hubungan
antara tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan suku bunga
deposito terhadap permintaan deposito dalam negeri pada bank umum di
(29)
Model persamaan awal yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
regresi dengan Partial Adjusment Model (PAM). Namun, karena pada model
regresi PAM itu tidak menghasilkan signifikansi pada variabel Y(-1), sehingga
model PAM ini tidak bisa dipakai selanjutnya untuk melakukan pegujian statistik
dan pengujian asumsi klasik. Untuk itu digunakan metode OLS dengan fungsi dan
persamaan regresi linier. Dari pengujian-pengujian yang dilakukan, ternyata hasil
estimasi masih menyimpang asumsi klasik yaitu mengandung heteroskedastisitas,
namun setelah diobati ternyata model regresi ini telah dinyatakan sehat dan
memenuhi asumsi klasik kembali.
Kesimpulan yang diperoleh adalah inflasi berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap permintaan deposito dalam negeri, sedangkan perubahan nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS berpengaruh positif dan signifikan terhadap
permintaan deposito. Variabel independen lainnya, yakni suku bunga deposito,
menunjukan pengaruh yang tidak signifikan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yang pertama
adalah periode penelitian yang digunakan. Pada penelitian sebelumnya belum
didapai penelitian tentang jumlah deposito berjangka untuk periode tahun 2004 -
2010. Kedua, data series yang digunakan, pada penelitian sebelumnya
menggunakan data tahunan dan triwulanan, sedangkan penelitian ini
menggunakan data bulanan. Ketiga, dalam hal variabel independen yang
digunakan. Penelitian sebelumnya, Wahyu Setyaniningsih (1999) menggunakan
PDB riil perkapita, suku bunga, dan kurs rupiah sebagai variabel independen,
(30)
suku bunga, Kurs rupiah, dan suku bunga Libor. Keempat, perbedaannya terletak
pada metode pembentukan model yang digunakan. Pada penelitian-penelitian
sebelumnya, model estimasi yang digunakan adalah regresi linier berganda
dengan metode OLS dan Partial Adjustment Model (PAM), sedangkan penelitian
ini menggunakan regresi linier berganda dengan Metode Garch (1,1).
2.5 Kerangka Pemikiran
Inflasi dan suku bunga deposito diduga memiliki pengaruh terhadap
perkembangan jumlah deposito yang terhimpun, selain itu terdapat pula pengaruh
dari faktor lain seperti stabilitas keamanan dan politik dan tingkat suku bunga di
luar negeri. Tingkat inflasi itu sendiri merupakan fenomena yang terjadi sebagai
akibat dari kondisi makro ekonomi yang dipengaruhi oleh jumlah uang beredar,
nilai tukar, situasi ekonomi internasional dan lain-lain. Sedangkan suku bunga
deposito merupakan produk perbankan yang menjadi kewenangan masing-masing
bank untuk menetapkan berdasarkan perhitungan beban operasional, margin
keuntungan, tingkat kompetisi, dan lain-lain.
Pada saat Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui instrumen
moneter yang dimilikinya, kebijakan tersebut akan mempengaruhi perekonomian
melalui berbagai jalur transmisi. Kebijakan OPT akan berimbas pada jumlah uang
beredar dan nilai tukar, sedangkan kebijakan BI Rate akan menjadi acuan
perbankan dalam menetapkan suku bunga tabungan maupun pinjaman. Dalam
kerangka kebijakan Inflation Targeting, dimana sasaran akhirnya adalah inflasi,
kebijakan moneter tersebut diharapkan akan direspon oleh dunia usaha, sehingga
(31)
JUMLAH TABUNGAN DEPOSITO DEPOSITO BANK INDONESIA SUKU BUNGA DEPOSITO INFLASI Instrumen Moneter Respon Perbankan & Dunia Usaha PERTUMBUHAN EKONOMI Kondisi Makro:
1. JUB 2. Nilai tukar 3. Situasi eko
internasional 4. dll
Respon Bank: 1. Beban Ops 2. Margin laba 3. Faktor resiko 4. Kompetisi 5. dll
INVESTASI Stabilitas keamanan dan politik Suku bunga Luar Negeri BI Rate OPT Keterangan :
Didalam ruang lingkup penelitian Diluar ruang lingkup penelitian
(32)
Dengan tingkat inflasi dan suku bunga yang terkendali maka diharapkan
terjadi akumulasi tabungan masyarakat, salah satunya dalam bentuk deposito.
Tabungan masyarakat ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber dana bagi investasi
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2.6 Hipotesis
Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:
a. H0 : Suku bunga deposito tidak berpengaruh positif terhadap
jumlah deposito berjangka.
Ha : Suku bunga deposito berpengaruh positif terhadap jumlah
deposito berjangka.
b. H0 : Inflasi tidak berpengaruh negatif terhadap terhadap jumlah
deposito berjangka.
Ha : Kurs rupiah berpengaruh negatif terhadap jumlah deposito
berjangka.
c. H0 : Suku bunga deposito dan inflasi secara simultan tidak
berpengaruh terhadap jumlah deposito berjangka.
Ha : Suku bunga deposito dan inflasi secara simultan berpengaruh
terhadap jumlah deposito berjangka.
Keterangan :
H0 : Hipotesis Awal
(33)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini dilakukan berdasarkan data series bulan yang dipublikasikan
oleh Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS), diantaranya adalah
Publikasi Tinjauan Kebijakan Moneter dan Statistik Perbankan Indonesia yang
diterbitkan bulanan. Selain itu terdapat pula data yang diperoleh dari Publikasi
Indokator Ekonomi yang diterbitkan oleh BPS. Jenis data yang dikumpulkan
meliputi :
- Jumlah deposito pada bank Umum (bulanan)
- Data inflasi m-t-m (bulanan)
- Data suku bunga deposito 1 bulan (bulanan)
3.2 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan untuk mendukung dan mencapai tujuan
penelitian adalah analisis deskriptif dan model AutoRegressive Conditional
Heteroscedasticity (ARCH) dan Generalized AutoRegressive Conditional
Heteroscedasticity (GARCH).
3.2.1 Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran tentang
perilaku data setiap variabel yang akan diteliti. Variabel yang diteliti dalam
penelitian ini adalah jumlah deposito, tingkat suku bunga deposito satu bulan,
(34)
3.2.2 Model AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH) dan Generalized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH)
Metode dalam penelitian ini menggunakan model AutoRegressive
Conditional Heteroscedasticity (ARCH) dan Generalized AutoRegressive
Conditional Heteroscedasticity (GARCH), yaitu suatu analisis yang digunakan
untuk mengetahui pengaruh satu atau beberapa variabel independen terhadap suatu
variabel dependen.
Salah satu asumsi yang mendasari estimasi regresi linier berganda dengan
metode OLS adalah residual harus bersifat konstan dari waktu ke waktu. Apabila
residual tidak bersifat konstan, maka terkandung masalah heteroskedastisitas. Pada
penelitian ini data runtut waktu yang diolah menghasilkan masalah
heteroskedastisitas. Oleh karena itu metode estimasi dengan menggunakan OLS
tidak dapat dilakukan, karena koefisien yang dihasilkan tidak bersifat BLUE (best
linier unbiased estimator). Sebagai jalan keluar, kini telah ada model yang khusus
digunakan untuk menghadapi kondisi seperti ini. Model tersebut dikenal dengan
ARCH (AutoRegresive Conditional Heteroscedasticity).
Kelebihan model ini dibandingkan dengan analisis regresi linear berganda
adalah model ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu permasalahan,
tetapi justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat model, bahkan dengan
memanfaatkan heteroskedastisitas dalam error yang tepat, maka akan diperoleh
estimator yang lebih efisien (Nachrowi dan Usman, 2006).
Model ini dikembangkan oleh Robert Engle (1982) dan dimodifikasi oleh
Mills (1999). Dalam perkembangannya muncul variasi dari model ini, yang dikenal
(35)
Heteroscedasticity), yang dikembangkan oleh tim Bollerslev (1986 dan 1994).
Dalam model ARCH, varian residual data runtut waktu tidak hanya
dipengaruhi oleh variabel independen, tetapi juga dipengaruhi oleh nilai residual
data itu sendiri. Model ARCH menggunakan dua persamaan berikut ini:
Yt = β0 + β1X1t + β2X2t + εt (3.1) (3.2)
Dengan Y adalah variabel dependen, X variabel independen (bisa ditambah sesuai
keperluan), ε adalah pengganggu atau residual, adalah varian residual, dan disebut sebagai komponen ARCH.
Ada berbagai bentuk ARCH dan GARCH, antara lain:
1. GARCH (1,1)
2. ARCH in Mean (M-ARCH)
3. Treshold ARCH (TARCH)
4. Eksponential ARCH/GARCH (E-(G)ARCH)
5. Simple asymmetric ARCH (SAARCH)
6. dan lain-lain.
Namun yang akan digunakan dalam penelitian ini dan menjadi model yang baik
untuk memprediksi variabel deposito adalah model GARCH (1,1). Persamaan dari
model ini adalah, sebagai berikut:
Yt = β0 + β1X1t + β2X2t + εt (3.3)
(3.4)
(36)
Yt = variabel dependen pada akhir bulan ke-t
Xit = variabel independen i pada akhir bulan ke-t (i = 1,2,3, ...)
βi = koefesien regresi berganda
ε
t = error term ke-tSedangkan varian bersyarat , memiliki tiga bagian, yaitu
= rata-rata (mean)
= Volatilitas periode sebelumnya (disebut komponen ARCH)
= Varian periode sebelumnya (disebut komponen GARCH)
Hal yang menarik dalam persamaan ini tidak hanya peramalan dari Yt saja,
tapi juga peramalan varians . Perubahan dalam varians sangat penting misalnya
dalam memahami pasar saham atau pasar keuangan.
3.2.2.1 Prosedur Estimasi Model ARCH-GARCH
Dalam mengaplikasikan model ARCH dan GARCH, langkah-langkah yang
dilakukan adalah, sebagai berikut:
1. Identifikasi efek ARCH
Dalam pemodelan ARCH-GARCH didahului dengan identifikasi apakah data
mengandung heteroskedastisitas. Dilanjutkan dengan melihat apakah terdapat
efek ARCH pada residunya.
2. Estimasi Model
Pada tahapan ini dilakukan simulasi beberapa model ragam dengan
menggunakan model rataan yang telah didapatkan. Kemudian dilanjutkan
dengan pendugaan parameter model untuk memilih model terbaik.
(37)
Evaluasi model dilakukan dengan memperhatikan beberapa indikator, yaitu
apakah error sudah terdistribusi normal, dan apakah terdapat masalah
otokorelasi pada error-nya
4. Peramalan
Peramalan dilakukan dengan memasukkan parameter kedalam persamaan yang
diperoleh.
3.2.2.2 Kelebihan dan Keterbatasan Model ARCH-GARCH
Kelebihan model ARCH-GARCH dibandingkan dengan metode OLS
adalah, sebagai berikut :
1. Model ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu masalah, namun
justru memanfaatkannya untuk membuat model.
2. Model ini tidak hanya menghasilkan peramalan dari Y, tapi juga peramalan
dari varians. Perubahan dalam varians sangat penting misalnya untuk
memahami pasar saham dan pasar keuangan.
Sedangkan keterbatasan model ini diantaranya adalah:
1. Model ARCH-GARCH digunakan dengan asumsi data harus mengandung
heteroskedastisitas pada varians-nya.
2. Model ini tidak mampu melihat transisi atau perubahan perilaku antara
volatilitas rendah dengan volatilitas tinggi.
3. Model ini mengasumsikan volatilitas dari error bersifat simetri, yaitu pengaruh
shock terhadap volatilitas sama besar ketika terjadi shock positif maupun
(38)
3.2.3 Uji Akar-akar Unit (Unit Roots Test)
Sebelum mengestimasi data runtun waktu maka terlebih dahulu dilakukan
pengujian stasionaritas data untuk masing-masing variabel. Estimasi dengan data
yang tidak stasioner akan menimbulkan regresi palsu/spurious regression
(Nachrowi dan Usman, 2006).
Sekumpulan data dinyatakan stasioner jika nilai rata-rata dan variannya
tidak mengalami perubahan secara sistematik sepanjang waktu, atau rata-rata dan
variannya konstan.
Dalam uji akar unit, hipotesis yang dibentuk adalah
Ho : ρ* = 0 (data mengandung akar unit/tidak stasioner)
Ha : ρ* < 0 (data tidak mengandung akar unit/stasioner)
Statistik ADF dihitung dengan:
ADF = ρ* (3.5)
SE (ρ*)
Data akan dikatakan menolak Ho artinya tidak mengandung akar unit atau sudah
stasioner jika nilai statistik uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) lebih besar negatif
dari nilai kritis tabel Mackinnon atau nilai probability ADF-nya lebih kecil dari
nilai α = 0,05 pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Jika pengujian akar unit pada level belum stasioner maka dilanjutkan
pada pengujian pembeda ke-1 (1st differencing) yaitu meregresikan bentuk
pembeda untuk setiap variabel dimana asumsi model dimodifikasi dengan
nilai lag dependen variabel ∆Y.
(39)
atau
∆Yt= * Yt-1 + 1∆Yt-1 + 2∆Yt-2 + ... + p-1 ∆Yt-p + μt (3.7)
dimana :
* = 1+ 2+ ... + p-1 = nilai koefesien
Penentuan besarnya k berdasarkan perkiraan banyaknya lag yang diperlukan
untuk membuat μt tidak berkorelasi satu sama lain atau sampai data sudah stasioner. Hipotesis untuk pengujian pembeda adalah:
Ho :
* = 0
(data mengandung akar unit/tidak stasioner)Ha :
*
< 0 (data tidak mengandung akar unit/stasioner)Data akan dikatakan menolak Ho artinya tidak mengandung akar unit atau sudah
stasioner jika nilai statistik uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) lebih besar negatif
dari nilai kritis tabel Mackinnon atau nilai probability ADF-nya lebih kecil dari
nilai α = 0,05 pada tingkat kepercayaan 95 persen.
3.2.4Pengujian Asumsi Klasik
Suatu model regresi dapat dikatakan sebagai model regresi terbaik apabila
memenuhi asumsi-asumsi regresi berikut:
3.2.4.1. Normalitas
Analisis regresi linier klasik mengasumsikan bahwa setiap error
berdistribusi normal. Pengujian dilakukan dengan hipotesis, sebagai berikut :
H0 : Error terdistribusi normal
H1 : Error tidak terdistribusi normal
(40)
Jarque-Berra-nya yang dibandingkan dengan nilai tabel Chi-Square ( 2 ) dengan
besarnya “v” adalah sesuai dengan jumlah lag-nya. Jika nilai Jarque Berra-nya lebih kecil dari nilai kritis tabelnya atau nilai probability lebih besar dari nilai α yang ditetapkan, maka kesimpulan diperoleh adalah terima H0, yang artinya data
terdistribusi normal.
3.2.4.2 Nonmultikolinieritas
Multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan linier antar variabel
independen. Kondisi multikolinieritas ditunjukkan dengan berbagai informasi,
sebagai berikut:
1. Nilai R2 tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan.
2. Dengan menghitung koefisien korelasi antar variabel independen. Apabila
koefisiennya rendah, maka tidak terdapat multikolinieritas.
3. Dengan melakukan regresi auxiliary. Regresi ini dilakukan dengan
memperlakukan masing-masing variabel independen sebagai variabel dependen.
Apabila model kita memiliki multikolinieritas, akan memunculkan
akibat-akibat berikut ini:
1. Estimator masih bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), tetapi
memiliki varian dan kovarian yang besar, sehingga sulit dipakai sebagai alat
estimasi.
2. Interval estimasi cenderung lebar dan nilai statistik uji t akan kecil, sehingga
menyebabkan variabel independen tidak signifikan secara statistik dalam
mempengaruhi variabel indepen.
(41)
eksak/linier antar variabel independen. Metode yang digunakan untuk mendeteksi
multikolinieritas adalah dengan melihat nilai R2 otokorelasi (AC) tidak melebihi 0,5
baik + atau -.
3.2.4.3 Asumsi Homoskedastisitas
Salah satu asumsi regresi linier yang harus dipenuhi adalah homogenitas
variansi dari error. Homoskedastisitas berarti bahwa variansi dari erro bersifat
konstan, kebalikannya adalah kasus heteroskedastisitas, yaitu jika kondisi variansi
errornya tidak konstan. Heteroskedastisitas sering muncul pada data keuangan yang
bersifat runtut waktu.
- Pada kondisi homoskedastisitas
Var (Yi) = Var (εi) = σ2 ; i = 1,2,……,n (3.8)
- Pada kondisi heteroskedastisitas
Var (Yi) = Var (εi) = σ2i; i = 1,2,……,n (3.9)
Pada model regresi kuadrat terkecil, jika asumsi homoskedastisitas tidak
terpenuhi, akibatnya adalah :
1. Estimator metode kuadrat terkecil tidak memiliki varian yang minimum (tidak
lagi best), sehingga hanya memenuhi karakteristik LUE (linier unbiased
estimator). Meskipun demikian, estimator metode kuadrat terkecil masih
bersifat linier dan tidak bias.
2. Perhitungan standard error tidak dapat lagi dipercaya kebenarannya, karena
varian tidak minimum. Varian yang tidak minimum mengakibatkan estimasi
regresi tidak efisien.
(42)
Pada penelitian ini pengujian kondisi heteroskedastisitas dideteksi dengan Uji
White Heteroscedasticity. Hipotesis yang diujikan adalah :
H0 : Residu bersifat homoskedastis
Ha : Residu tidak bersifat homoskedastis
Hasil yang diperhatikan dari uji ini adalah nilai Obs*R-squared dan nilai
probabilitasnya. Jika nilai Obs*R-squared lebih kecil dari 2 atau jika nilai
probabilitasnya lebih besar dari α = 0,05, maka terima H0 atau tidak terjadi
heteroskedastisitas. Demikian pula sebaliknya.
3.2.4.4 Asumsi Nonotokorelasi
Otokorelasi dalam konsep regresi linier berarti komponen error berkorelasi
berdasarkan urutan waktu atau korelasi pada dirinya sendiri. Model regresi linier
klasik mengasumsikan bahwa otokorelasi tidak boleh terjadi, artinya covarian antara
εi dan εj sama dengan nol, atau secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Cov (εiεj) = E{[ εi– E(εi)][ εj– E(εj)]} (3.10)
= E(εiεj) = 0 ; i ≠ 0 Dengan asumsi bahwa E(εi) = E(εj) = 0
Artinya, komponen error εi yang berkaitan dengan data pengamatan ke-i tidak dipengaruhi oleh εj yang berkaitan dengan pengamatan ke-j. dengan kata lain, regresi
klasik mensyaratkan bahwa pengamatan sang satu (yi) dengan pengamatan yang lain
(yj) saling bebas (independen).
Uji otokorelasi dapat diketahui dari nilai Durbin-Watson (DW). Jika nilai
DW hitung lebih besar dari nilai dU pada tabel DW, maka dapat disimpulkan tidak
(43)
dalam model”. Daerah penolakan H0 dapat dijelaskan sebagai berikut :
I II III IV V
Tolak H0, Otokorelasi
Positif
Tidak dapat diputuskan
Terima H0, tidak ada otokorelasi
Tidak dapat diputuskan
Tolak H0, Otokorelasi
negatif
- Apabila nilai DW hitung terletak di daerah III, maka tidak ada otokorelasi.
- Bila DW hitung terletak di daerah I, artinya ada otokorelasi positif.
- Bila DW hitung terletak di daerah V, maka ada otokorelasi negatif.
- Bila DW hitung terletak di daerah II dan IV, artinya tidak dapat diputuskan
(daerah ragu-ragu)
3.2.5 Pengujian Kelayakan Model
3.2.5.1 Pengujian Nilai Koefesien Determinasi ( R2 )
Koefesien determinasi adalah rasio dari jumlah kuadrat regresi dengan
jumlah kuadrat total. Kelayakan suatu model regresi dapat dilihat dari koefesien
determinasi (R2) yang menunjukkan proporsi variasi dalam variabel dependen yang
dijelaskan oleh variabel-variabel independen secara bersam-sama. R2 sangat
dipengaruhi oleh penambahan jumlah variabel penjelas, maka untuk
menyesuaikannya digunakan adjusted R2 (R2adj), yang dirumuskan sebagai berikut:
(3.11)
atau
(3.12)
(3.13)
dimana :
(44)
0 < R2, R2adj < 1
Residual Sum of Square = RSS =
∑e
i 2=
∑
(
ŷ
i–
ў
)
2Explained Sum of Square = ESS =
∑
(
y
i–
ŷ
i)
2Total Sum of Square = TSS =
∑
y
i23.2.5.2 Pengujian Koefesien Regresi Secara Simultan
Pengujian koefesien regresi secara simultan dilakukan dengan
menggunakan tabel ANOVA atau tabel Estimate Equation pada Eviews dengan
hipotesis sebagai berikut :
Ho : bi = 0, untuk semua i
Ha : sekurang-kurangnya satu bi ≠ 0 , i = banyak parameter
Statistiki uji F yang digunakan dalam pengujian koefesien regresi secara simultan
adalah : (3.14)
Ho ditolak jika
F
obs> F
α;(p-1)(n-p) yang berarti ada pengaruh dari variabelindependen terhadap variabel dependen yaitu indeks harga saham gabungan.
3.2.5.3 Pengujian Koefesien Regresi Secara Parsial
Pengujian koefesien regresi secara parsial menggunakan statistik uji t,
dengan hipotesis sebagai berikut:
Ho : bi = 0, (tidak ada pengaruh variabel X terhadap variabel Y)
(45)
Statistik uji :
(3.15)
Ho ditolak jika tobs > tα/2;(n-p) yang berarti ada pengaruh dari variabel independen
(46)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka, Suku Bunga Deposito dan Inflasi
4.1.1 Perkembangan Jumlah Deposito Berjangka
Pada periode pengamatan, yaitu Januari 2004 hingga Desember 2010,
jumlah deposito berjangka yang terhimpun cenderung mengalami kenaikan.
Pada bulan Januari 2004 tercatat sebesar 426,42 triliun rupiah, kemudian
berfluktuasi tetapi cenderung naik hingga pada bulan Desember 2010 jumlah
deposito berada pada nilai 1.069,81 triliun rupiah.
Jumlah Deposito (Triliun Rupiah)
350 375 400 425 450
Gambar 4. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2004
Periode
(47)
Pada periode sepanjang tahun 2004 hingga kuartal pertama tahun 2005,
jumlah deposito berjangka yang berhasil dihimpun oleh bank-bank di
Indonesia tidak mengalami peningkatan yang berarti bahkan cenderung
mengalami penurunan. Hal tersebut terlihat dari jumlah tabungan deposito
pada bulan desember 2004 dan maret 2005, masing-masing sebesar 420,99
triliun rupiah dan 421,66 triliun rupiah, lebih sedikit jika dibandingkan angka
bulan januari 2004. Berbagai peristiwa politik, seperti pemilihan umum
legislatif dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung cukup
menyita perhatian masyarakat yang berimbas pada meningkatnya faktor resiko
investasi di dalam negeri. Ditambah lagi masih pada semester kedua 2004,
industri perbankan nasional diwarnai dengan terjadinya fraud (kecurangan)
yang berakhir dengan penutupan dua buah bank dan pencabutan izin usaha
sebuah bank kecil. Hal tersebut cukup membuat industri perbankan nasional
menjadi stagnan.
Pada paruh kedua tahun 2005, ditengah kekhawatiran pelaku usaha
akibat terus meroketnya harga minyak internasional dan kenaikan harga BBM
domestik, minat masyarakat terhadap tabungan deposito berjangka justru
meningkat mencapai jumlah 565,03 triliun rupiah pada bulan Desember 2005.
Jika dibandingkan dengan bulan desember tahun sebelumnya terjadi
peningkatan sebesar 34,22 persen. Hal ini sejalan dengan upaya kebijakan
yang diterapkan oleh Bank Indonesia melalui penerbitan BI-rate sebagai target
operasional dalam pengendalian inflasi sehingga pergerakan suku bunga
(48)
kebijakan pengetatan moneter dengan menaikan suku bunga BI-rate mencapai
12,75 persen.
Perkembangan tabungan deposito berjangka pada bank-bank umum
pada periode tahun 2006 sampai 2007 relatif stabil ditengah tekanan
perekonomian internasional dan domestik yang terjadi. Pada akhir Desember
2006 jumlah dana pihak ketiga yang berasal dari tabungan deposito sebesar
615,16 triliun rupiah, meningkat 8,87 persen dibandingkan bulan Desember
tahun 2005. Sedangkan pada bulan Desember 2007 jumlah deposito yang
berhasil dihimpun mencapai 666,71 triliun rupiah atau meningkat sebesar 8,38
persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan gradual
tingkat suku bunga deposito sebagai respon dari kebijakan BI menurunkan BI
rate tidak banyak mempengaruhi likuiditas sektor perbankan. Jumlah Deposito
(Triliun Rupiah)
Gambar 5. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2005 – 2006
Sumber : Bank Indonesia (2007)
400 425 450 475 500 525 550 575 600 625 650
(49)
Periode tahun 2008 masih diwarnai dengan isu harga minyak dunia
yang tinggi, hingga mencapai 150 US$/barel. Kondisi tersebut sangat
menyulitkan negara-negara pengimpor minyak, termasuk Indonesia. Untuk
mengantisipasi defisit APBN, pemerintah kembali mengurangi beban subsidi
BBM yang menyebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi pada paruh
pertama tahun 2008. Pada rentang waktu ini, pertumbuhan jumlah deposito
berjangka yang terkumpul cenderung melambat, bahkan beberapa kali
mengalami penurunan. Namun pada paruh kedua tahun 2008, penghimpunan
dana pihak ketiga, termasuk deposito, mengalami peningkatan yang cukup
berarti seiring dengan meningkatnya suku bunga deposito yang mencapai
10,57 persen pada Desember 2008.
Gambar 6. Perkembangan jumlah deposito berjangka tahun 2007 - 2008
600 625 650 675 700 725 750 775 800 825 850
Periode Jumlah Deposito
(Triliun Rupiah)
(50)
Faktor lain yang turut mendukung kenaikan DPK adalah kebijakan
pemerintah melalui Perppu pada Oktober 2008 untuk meningkatkan cakupan
penjaminan simpanan oleh LPS dari sebesar Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar
per nasabah per bank. Kebijakan tersebut dinilai cukup efektif untuk
mempertahankan dan bahkan mendorong peningkatan dana masyarakat di
perbankan. Besarnya deposito yang terkumpul oleh sektor perbankan pada
akhir tahun 2008 mencapai 824,7 triliun rupiah atau meningkat sebesar 23,7
persen dibandingkan bulan Desember tahun sebelumnya.
Pada periode tahun 2009, seiring dengan membaiknya perekonomian
domestik, dan mulai kondusifnya situasi perekonomian internasional,
perkembangan jumlah deposito mengalami peningkatan yang cukup berarti,
tercatat sebesar 899,78 triliun rupiah pada bulan Desember 2009. Jumlah ini
terus meningkat pada Desember 2010 menjadi 1.069,81 triliun rupiah atau
meningkat 18,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sejalan dengan
pemulihan ekonomi di berbagai sektor.
4.1.2 Perkembangan Suku Bunga Deposito Satu Bulan
Pada awal periode penelitian, yakni Januari 2004, tingkat suku bunga
deposito 1 bulan sebesar 6,27 persen dan berfluktuasi setiap bulannya. Selama
periode penelitian 2004 - 2010, tercatat dua kali suku bunga deposito mencapai
puncak tertingginya. Yang pertama dimulai pada triwulan keempat tahun 2005,
ditandai dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, tingkat suku bunga deposito
mencapai 10,43 persen dan terus merangkak naik hingga mencapai level 12,01
(51)
persen berlangsung hingga periode bulan Oktober 2006. Selanjutnya pada periode
tahun 2007 hingga semester pertama 2008, tingkat suku bunga deposito relatif
stabil pada kisaran 6 - 8 persen. Periode puncak yang kedua terjadi pada
penghujung tahun 2008, tingkat suku bunga deposito mencapai level 10,75 persen,
namun beberapa bulan kemudian berangsur turun kembali.
Perkembangan suku bunga deposito banyak dipengaruhi oleh suku
bunga SBI dan BI-rate yang merupakan instrumen kebijakan moneter bank
sentral. Pada periode akhir tahun 2005, sebagai imbas dari kenaikan harga
BBM, perekenomian mendapat tekanan yang kuat dari inflasi. Guna meredam
meningkatnya tekanan inflasi dan sebagai langkah antisipatif mengendalikan
tekanan inflasi ke depan, Bank Indonesia melanjutkan kebijakan moneter yang
cenderung ketat. Dalam RDG pada awal bulan Desember 2005, BI Rate Suku bunga
deposito (%)
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00
Gambar 7. Perkembangan suku bunga deposito tahun 2004 – 2010
Sumber : Bank Indonesia (2011)
(52)
ditetapkan naik menjadi sebesar 12,75 persen. Kenaikan suku bunga instrumen
moneter tersebut direspon oleh kenaikan indikator suku bunga lainnya, seperti
suku bunga penjaminan, deposito, simpanan, dan kredit. Kenaikan suku bunga
dana tersebut mendorong pesatnya pertumbuhan volume simpanan masyarakat.
Pada akhir tahun 2010, suku bunga deposito terus mengalami tren
penurunan. Hal tersebut merupakan respon perbankan terhadap penurunan BI rate
pada level 6,5 persen. Pada periode ini, sektor perbankan domestik mengalami
kelebihan likuiditas yang disebabkan oleh derasnya aliran modal asing yang
masuk ke emerging market, termasuk Indonesia. Kelebihan likuiditas yang
didominasi oleh peningkatan dana pihak ketiga, seperti tabungan dan deposito,
sangat berarti bagi upaya penyehatan sektor perbankan dan pada gilirannya akan
berimbas kepada sektor riil melalui peningkatan investasi.
4.1.3 Perkembangan Inflasi
Pada awal periode penelitian, yakni bulan januari 2004, inflasi IHK (m-t-m)
tercatat sebesar 0,57 persen, dan mengalami tren penurunan pada bulan berikutnya
yang mencatat terjadinya deflasi sebesar -0,02 persen pada Februari 2004. deflasi ini
terjadi terutama disumbang oleh penurunan harga kelompok bahan makanan, dan
kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga.
Besaran inflasi bulanan yang tercatat sepanjang periode penelitian (2004m1 :
2010m12) relatif stabil dengan fluktuasi dibawah 1persen perbulan. Nilai inflasi
bulanan menembus angka 1 persen hanya pada bulan-bulan tertentu saja, yakni
(53)
Inflasi (m-t-m) tertinggi yang terjadi pada periode penelitian, tercatat pada
bulan Oktober 2005, sebesar 8,7 persen, yang diakibatkan oleh kenaikan harga
BBM. Namun kondisi ini cepat diantisipasi oleh pemerintah melalui berbagai
program pengamanan, baik di sektor riil maupun sektor keuangan, seperti
peningkatan suku bunga BI-rate dan operasi pasar terbuka. Hasilnya, inflasi
kembali ke level yang dapat dikendalikan dan tidak berdampak buruk terhadap
perekonomian dalam jangka panjang.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa fluktuasi harga di dalam negeri
sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti harga minyak dunia, dan harga
komoditas impor, baik dalam bentuk bahan baku maupun bahan pangan.
Penerapan skema inflation targeting yang menjadi perhatian utama BI dirasakan
cukup efektif dalam meredam gangguan eksternal yang mengancam perekonomian
domestik. Sampai dengan bulan terakhir periode penelitian, yakni Desember 2010,
tercatat sebesar 0,92 persen. -1.00
0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00
Inflasi (%)
Periode
Gambar 8. Perkembangan Inflasi Tahun 2004 – 2010
(54)
4.2 Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka
Analisis deskriptif di atas belum memperlihatkan bagaimana
sebenarnya pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap perubahan jumlah
deposito berjangka. Analisis regresi ini digunakan untuk memperjelas dan
memperlihatkan bagaimana sebenarnya dan seberapa besar pengaruh
variabel-variabel tersebut terhadap jumlah deposito yang terkumpul pada periode Januari
2004 hingga Desember 2010.
4.2.1 Pengujian Model
4.2.1.1 Pengujian Asumsi Klasik a. Pengujian Stasionaritas
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang berupa data runtun
waktu maka terlebih dahulu harus dilakukan pengujian stasionaritas data untuk
masing-masing variabel. Estimasi dengan data yang tidak stasioner akan
menyebabkan superinkonsistensi dan timbulnya regresi palsu (spurious
regression), sehingga sebenarnya metode inferensia klasik tidak dapat diterapkan. Berdasarkan pengujian stasionaritas dengan metode pengujian akar-akar unit
menunjukkan:
Variabel deposito dan suku bunga deposito pada pengujian level belum
stasioner yang ditunjukkan dengan statistik uji -1,44 dan -3,03 dan nilai probability
Augmented Dickey-Fuller (ADF) masing-masing 0,84 dan 0,13 yang lebih besar dari α = 0.05. Pengujian dilanjutkan dengan uji akar-akar unit pada pembeda ke-1 (1st differencing). Pada tahap uji pembeda ke-1 ini variabel deposito dan
(55)
suku bunga deposito menghasilkan nilai probability ADF masing-masing
0,000 dan 0,019 atau lebih kecil dari α = 0.05, sehingga variabel deposito dan suku bunga deposito dapat dikatakan telah stasioner. Sedangkan variabel inflasi
pada pengujian level sudah menghasilkan nilai probability ADF lebih kecil
dari nilai α = 0.05 sehingga memperlihatkan bahwa data inflasi telah stasioner. (lampiran 2 dan 3)
b. Pengujian Kenormalan
Pengujian dilakukan dengan H0 adalah error data terdistribusi normal.
Berdasarkan output dengan menggunakan perangkat lunak Eviews 6 diperoleh
nilai Jarque-Berra sebesar 1,3168 dengan probabilitas 0,5177, angka ini lebih
besar dari nilai α = 0,05, sehingga kesimpulannya adalah terima H0, artinya pada
tingkat ketelitian 5 persen asumsi kenormalan terpenuhi.
c. Pengujian Multikolinieritas
Pemeriksaan adanya multikolinieritas pertamakali dilakukan dengan melihat
nilai koefisien korelasi antar variabel bebasnya. Dari hasil output dapat dilihat nilai
koefisien korelasi yang rendah antar variabel bebas, yang menandakan bahwa
multikolinieritas tidak terjadi.
Tabel 4.1. Koefisien Korelasi Antarvariabel Bebas
CORRELATION
INFLASI SBDEPO INFLASI 1.000000 0.041683 SBDEPO 0.041683 1.000000
(56)
Selain itu, metode lain yang digunakan untuk mendeteksi multikolinieritas
adalah dengan melihat nilai r2 otokorelasi (AC) tidak melebihi 0,5 baik (+/-).
Pengujian Collerogram-Q Statistik dapat dibuktikan bahwa asumsi
nonmultikolinieritas terpenuhi dimana nilai AC tidak ada yang melebihi nilai
+/- 0,5 (lampiran 7)
d. Pengujian Homoskedastisitas
Dengan menggunakan H0 adalah residu bersifat homoskedastis. Pengujian
Heteroskedastisitas dengan metode White Heteroscedasticity Test (cross term)
diperoleh nilai probabilitas Obs*R-squared = 0,000, atau lebih kecil dari nilai α = 0,05, maka H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa residu tidak
bersifat homoskedastik. Dengan kata lain data tersebut mengandung masalah
heteroskedastisitas.
Tabel 4.2. Hasil Output White Heteroscedasticity Test
F-statistic 9.054622 Prob. F(5,78) 0.0000 Obs*R-squared 30.84972 Prob. Chi-Square(5) 0.0000 Scaled explained SS 14.86725 Prob. Chi-Square(5) 0.0109
e. Pengujian Otokorelasi
Pemeriksaan adanya otokorelasi dilakukan dengan statistik uji
Durbin-Watson menunjukkan nilai DW hitung sebesar 1,704. Berdasarkan tabel D-W,
pada nilai n = 83 dan k=2, nilai dU=1,6928 dan dL=1,5942. Artinya, nilai DW
hitung lebih besar dari dU dan lebih kecil dari (4-dU), sehingga dapat disimpulkan
(1)
Lampiran 6. Model Estimasi GARCH (1,1)
Dependent Variable: D(DEPO)
Method: ML - ARCH (Marquardt) - Normal distribution Date: 11/22/11 Time: 18:19
Sample (adjusted): 2004M02 2010M12 Included observations: 83 after adjustments Convergence achieved after 21 iterations
Bollerslev-Wooldridge robust standard errors & covariance Presample variance: backcast (parameter = 0.7)
GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*GARCH(-1)
Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob. C 6.518249 0.932959 6.986638 0.0000 D(INFLASI) -0.341740 0.945467 -1.361450 0.0178 D(SBDEPO) 13.79308 3.892986 3.543059 0.0004
Variance Equation
C 6.829418 9.738990 0.701245 0.4832 RESID(-1)^2 0.224023 0.160016 1.400002 0.1615 GARCH(-1) 0.759790 0.152653 4.977251 0.0000 R-squared 0.312563 Mean dependent var 7.751651 Adjusted R-squared 0.261431 S.D. dependent var 12.61242 S.E. of regression 11.54963 Akaike info criterion 7.706436 Sum squared resid 10271.33 Schwarz criterion 7.881292 Log likelihood -313.8171 Hannan-Quinn criter. 7.776684 F-statistic 4.157131 Durbin-Watson stat 1.687408 Prob(F-statistic) 0.000140
Estimation Command:
=========================
ARCH(H,Z,BACKCAST=0.7,DERIV=AA) D(DEPO) C D(INFLASI) D(SBDEPO) Estimation Equation:
=========================
D(DEPO) = C(1) + C(2)*D(INFLASI) + C(3)*D(SBDEPO) GARCH = C(4) + C(5)*RESID(-1)^2 + C(6)*GARCH(-1) Substituted Coefficients:
=========================
D(DEPO) = 6.51824881949 - 0.341739559907*D(INFLASI) + 13.7930808742*D(SBDEPO) GARCH = 6.82941797708 + 0.224023452596*RESID(-1)^2 + 0.759789929479*GARCH(-1) Dari tampilan diatas, terlihat bahwa seluruh variabel penjelas (independen) nilai probabilitasnya lebih kecil dari α 0,05. Artinya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah deposito.
(2)
80
Lampiran 7. Korelogram
Date: 11/08/11 Time: 21:46 Sample: 2004M02
2010M12
Included observations: 83
Korelogram menunjukan nilai probabilitas yang lebih besar dari 0,05, dan nilai statistik Q yang tidak signifikan pada α=5%. Berarti seluruh variabel sudah tidak mengandung autokorelasi.
(3)
Lampiran 8. Pengujian Normalitas dan Multikolinieritas
Uji Normalitas
Ho : Error term terdistribusi normal H1 : Error term tidak terdistribusi normal Jika p-value < α , H0 ditolak.
Oleh karena p-value = 0,51766 > 0,05, maka H0 diterima
Kesimpulannya adalah dengan tingkat kepercayaan 95%, dapat dikatakan bahwa error term terdistribusi normal.
Uji Multikolinieritas
CORRELATION INFLASI SBDEPO INFLASI 1.000000 0.041683 SBDEPO 0.041683 1.000000
0 2 4 6 8 10 12
-2 -1 0 1 2
Series: Standardized Residuals Sample 2004M02 2010M12 Observations 83
Mean 0.068401 Median -0.013004 Maximum 2.734114 Minimum -2.455945 Std. Dev. 1.001369 Skewness 0.241666 Kurtosis 3.383630 Jarque-Bera 1.316874 Probability 0.517660
(4)
82
Lampiran 9. Grafik Data Empiris dan Model Estimasi
Grafik data empiris perkembangan D(DEPO)
Grafik estimator persamaan
D(DEPO) = 6,5182 - 0,3417*D( INFLASI) + 13,7931*D(SBDEPO)
-5.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 -30.00
-20.00 -10.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82
D(DEPO) dlm Triliun Rupiah
Data series ke-i
D(DEPO) dlm Triliun Rupiah
(5)
iii
RINGKASAN
WAHYU PURNAMAHADI. Pengaruh Suku Bunga Deposito dan Inflasi Terhadap Jumlah Deposito Berjangka pada Bank Umum di Indonesia Tahun 2004-2010 (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI)
Tabungan dan investasi memiliki peran yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu bentuk tabungan sekaligus investasi yang banyak diminati masyarakat adalah tabungan deposito. Inflasi merupakan salah satu faktor penghambat penting tumbuhnya minat masyarakat terhadap tabungan deposito berjangka, sedangkan suku bunga merupakan salah satu faktor pendorong tumbuhnya deposito berjangka. Dalam skema kebijakan Inflation Targeting, kenaikan inflasi biasanya langsung disikapi oleh pemerintah dengan kebijakan pengetatan moneter melalui peningkatan suku bunga BI Rate. Dengan kebijakan ini diharapkan akan direspon oleh dunia perbankan dengan menyesuaikan suku bunga bank, seperti suku bunga kredit, tabungan, dan deposito. Namun seringkali terdapat kesenjangan antara respon perbankan dengan harapan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan antara pemerintah dan dunia perbankan dalam menyikapi fenomena inflasi dan pengaruhnya terhadap akumulasi modal yang tersimpan dalam bentuk tabungan dan deposito. Untuk itu dibutuhkan suatu penelitian yang komprehensif berdasarkan data empiris yang ada mengenai seberapa besar pengaruh inflasi dan suku bunga deposito terhadap perkembangan jumlah deposito berjangka.
Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan deposito serta pengaruh suku bunga deposito dan inflasi terhadap jumlah deposito yang terhimpun, periode Januari 2004 sampai Desember 2010. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan model Generalized AutoRegressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). Metode ini tidak memandang heteroskedastisitas sebagai suatu masalah, tetapi justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk membuat model, bahkan dengan memanfaatkan heteroskedastisitas dalam error yang tepat, maka akan diperoleh estimator yang lebih efisien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah deposito berjangka cenderung mengalami kenaikan. Pada bulan Januari 2004 tercatat sebesar 426,42 triliun rupiah, kemudian berfluktuasi tetapi cenderung naik hingga pada bulan Desember 2010 jumlah deposito berada pada nilai 1.069,81 triliun rupiah. Jumlah deposito secara signifikan dipengaruhi oleh inflasi dan suku bunga deposito, baik secara simultan maupun parsial. Model yang terbentuk dari metode GARCH (1,1) menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap deposito sedangkan suku bunga deposito berpengaruh positif. Nilai koefisien inflasi sebesar -0,342, menunjukkan pengaruh yang relatif kecil sebagai faktor pengurang bagi tumbuhnya deposito. Sedangkan suku bunga deposito memiliki koefisien 13,793, yang artinya kenaikan suku bunga deposito akan direspon oleh masyarakat dengan meningkatkan simpanan depositonya dalam jumlah yang cukup berarti.Variabel inflasi dan suku bunga deposito mampu menjelaskan 31,25 persen atas perubahan dalam jumlah deposito yang terhimpun.
Kecilnya pengaruh variabel inflasi dan suku bunga deposito tersebut disebabkan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam berinvestasi dalam bentuk deposito, seperti situasi keamanan dan politik dalam negeri, kredibilitas sektor perbankan, situasi perekonomian internasional, dan lain
(6)
iv
sebagainya. Nilai R2 pada penelitian ini sejalan dengan hasil yang diperoleh pada penelitian sebelumnya yang hanya menghasilkan nilai R2 yang juga relatif kecil. Tuti (2006), menghasilkan nilai R2 sebesar 33,15 persen, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (1999) menghasilkan nilai R2 sebesar 36,33 persen. Dalam rangka meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi dalam bentuk deposito, pemerintah dalam hal ini otoritas moneter, diharapkan lebih jeli menangkap keinginan pasar, terutama dalam hal penetapan BI rate.