Nyeri Orofasial Akibat Traumatik Neuroma

(1)

NYERI OROFASIAL AKIBAT TRAUMATIK NEUROMA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

MARYATI HASYIM ARYO NIM : 080600163

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2014

Maryati Hasyim Aryo

Nyeri Orofasial Akibat Traumatik Neuroma ix+ 38 halaman

Nyeri orofasial adalah keluhan umum yang mempengaruhi kehidupan jutaan orang di seluruh dunia dan sering terjadi pada masyarakat umum. Sebuah penelitian oleh Lipton dari 45.711 rumah tangga mengungkapkan bahwa 22% dari penduduk AS mengalami nyeri orofasial lebih dari satu kali selama periode enam bulan.

Nyeriorofasialdapat didefinisikan sebagairasa sakit dandisfungsi yang mempengaruhimotorik dansensoriktransmisidalam sistemsaraf trigeminal yang manifestasinya di daerah oral-fasial, walaupun fokusnya bukan di oral-fasial atau semua nyeri yang mempunyai daerah pemicu (trigger point) di oral-fasial. Menurut Okeson (1995), nyeri daerah orofasial termasuk sistem stomatognatik diklasifikasikan dalam dua sumbu (aksis), yaitu sumbu I yang mendeskripsikan kondisi fisik dan sumbu II yang mendeskripsikan kondisi psikologis. Nyeri orofasial pada kondisi fisik terdiri dari nyeri somatik dan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik timbul akibat kerusakan atau perubahan pada jalur nyeri paling sering pada cedera saraf perifer akibat pembedahan atau trauma salah satunya adalah neuroma.

Traumatik neuroma adalah lesi jinak yang jarang terjadi, khususnya menjadi konsekuensi dari prosedur bedah terjadi akibat respon hiperplastik terhadap kerusakan saraf setelah terpotongnya serabut saraf yang besar. Laporan kasus Kodama Y, dkk menyatakan kasus nyeri orofasial pada pasien yang telah menjalani


(3)

beberapa kali operasi TMJ didiagnosis dengan traumatik neuroma.Pasien traumatik neuroma harus didiagnosa banding dengan riwayat bedah TMJ sebelumnya berkaitan dengan nyeri orofasial di wilayah TMJ tersebut.


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 23 Januari 2014

Pembimbing : Tanda Tangan

Hendry Rusdy, drg., Sp.BM., M.Kes ...……… NIP : 19800517 200312 1 005


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 23 Januari 2014

TIM PENGUJI SKRIPSI

KETUA : Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM ANGGOTA : 1. Hendry Rusdy, drg., Sp.BM., M.Kes


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini telah selesai disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Pada penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak. Terutama sekali penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Ibnu Hasim, S.Sos., MM dan Ibunda Hj. Salamah atas kasih sayang, doa, dan dukungan serta bantuannya yang begitu besar sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara penulis yang tersayang yaitu Julius, Mulyadi dan Maulana Hasyim Aryo yang telah mendukung dan memotivasi penulis. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp.BM selaku Ketua Departemen Bedah Mulut dan

Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan atas saran dan petunjuk yang diberikan kepada penulisan skripsi ini.

2. Hendry Rusdy, drg.,Sp.BM., M.Kes selakudosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan motivasi selama masa penyelesaian skripsi ini.

3. Seluruh staf pengajar di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial yang telah memberikan ilmu dan bimbingan.

4. Simson Damanik, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani program akademik.


(7)

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi USU yang telah membimbing penulis selama menjalani pendidikan.

6. Suami tersayang Ikhlasul Manna yang selalu memberi motivasi dan semangat kepada penulis serta selalu sabar menghadapi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Thamrin dan Rina yang selama ini turut membantu penulis.

8. Tidak lupa pula sahabat-sahabat penulis Kiky, Ratna, Icha, Indah, Lina dan seluruh teman-teman angkatan 2008 lainnya yang telah memberikan bantuan, doa, dan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Penulis juga mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 23 Januari 2014 Penulis

(Maryati Hasyim Aryo) NIM: 080600163


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN . ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

BAB 2 NYERI OROFASIAL 2.1 Definisi Nyeri Orofasial ... 3

2.2 Neuroanatomi dan Neurofisiologi ... 4

2.2.1 Sel Saraf ... 4

2.2.2 Reseptor Nyeri ... 4

2.2.3 Perjalanan Nyeri ... 5

2.2.4 Teori-Teori Nyeri ... 8

2.3 Klasifikasi Nyeri Orofasial ... 11

2.4 Mekanisme Nyeri ... 13

2.5 Perawatan Nyeri... 14

2.5.1 Tindakan Farmakologis ... 14

2.5.2 Tindakan Non Invasif ... 16

2.5.3 Tindakan Invasif/Pembedahan ... 19

BAB 3 TRAUMATIK NEUROMA 3.1 Traumatik ... 21


(9)

3.3 Definisi Traumatik Neuroma ... 21

3.4 Etiologi Traumatik Neuroma ... 22

3.5 Patofisiologi Traumatik Neuroma ... 23

BAB 4 NYERI SENDI TEMPOROMANDIBULAR YANG BERKAITAN DENGAN TRAUMATIK NEUROMA 4.1 Nyeri Sendi Temporomandibular ... 24

4.2 Etiologi Nyeri Sendi Temporomandibular ... 25

4.3 Patofisiologi Nyeri Sendi Temporomandibular ... 27

4.3.1 Faktor Intra-Artikular ... 29

4.3.2 Faktor Ekstra-Artikular ... 30

4.3.3 Patofisiologi Nyeri Sendi Temporomandibular yang Berkaitan dengan Traumatik Neuroma ... 31

4.4 Komplikasi Bedah Sendi Temporomandibular ... 33

BAB 5 KESIMPULAN ... 35


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi serabut saraf ... 6 2. Perbedaan serabut saraf A-delta dan C ... 6


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Masukan sensorik dan respon utama terhadap nyeri orofasial ... 3 2. Perjalanan impuls nyeri ... 7 3. Proses terjadinya nyeri ... 8 4. Mekanisme pintu gerbang dengan menutup dan membuka dapat mengatur

perjalanan impuls nyeri ... 10 5. Anatomi sendi temporomandibular ... 24 6. A. Posisi preaurikular ... 32

B. Insisipreaurikular ... 32 7. Trigger point pada preaurikular ... 33


(12)

BAB 1 PENDAHULUAN

Nyeri orofasial adalah keluhan umum yang mempengaruhi kehidupan jutaan orang di seluruh dunia dan sering terjadi pada masyarakat umum. Nyeri ini merupakan masalah kesehatan yang kompleks yang dapat membahayakan kualitas hidup pasien dan membuat para dokter frustasi.1 Sebuah penelitian oleh Lipton dari 45.711 rumah tangga mengungkapkan bahwa 22% dari penduduk AS mengalami nyeri orofasial lebih dari satu kali selama periode enam bulan.2

Menurut Asosiasi Nyeri Internasional(1979) nyeri adalah suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan. Nyeriorofasialdapat didefinisikan sebagairasa sakit dandisfungsi yang mempengaruhimotorik dansensoriktransmisidalam sistemsaraf trigeminal yang manifestasinya di daerah oral-fasial, walaupun fokusnya bukan di oral-fasial atau semua nyeri yang mempunyai daerah pemicu (trigger point) di oral-fasial.2,3Menurut Okeson (1995), nyeri daerah orofasial termasuk sistem stomatognatik diklasifikasikan dalam dua sumbu (aksis), yaitu sumbu I yang mendeskripsikan kondisi fisik dan sumbu II yang mendeskripsikan kondisi psikologis. Nyeri orofasial pada kondisi fisik terdiri dari nyeri somatik dan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik timbul akibat kerusakan atau perubahan pada jalur nyeri paling sering pada cedera saraf perifer akibat pembedahan atau trauma salah satunya adalah neuroma.4

Traumatik neuroma adalah lesi jinak yang jarang terjadi, khususnya menjadi konsekuensi dari prosedur bedah terjadi akibat respon hiperplastik terhadap kerusakan saraf setelah terpotongnya serabut saraf yang besar.5,6 Laporan kasus Kodama Y, dkk menyatakan kasus nyeri orofasial pada pasien yang telah menjalani beberapa kali operasi TMJ didiagnosis dengan traumatik neuroma. Pasien tersebut telah menjalani operasi sebanyak lima kali, pasca pembedahan pasien mengalami


(13)

nyeri parah disebabkan oleh titik pemicu (trigger point) yang menekan di daerah preaurikular sebelah kiri.7

Pasien traumatik neuroma harus didiagnosa banding dengan riwayat bedah TMJ sebelumnya berkaitan dengan nyeri orofasial di wilayah TMJ tersebut. Mendiagnosis penyebab nyeri orofasial pada pasien dengan riwayat gangguan TMJ adalah sulit, ada atau tidak rasa sakit dengan gejala gangguan TMJ yang berasal dari perawatan sebelumnya. Masalah yang dapat berasal dari TMJ meliputi infeksi pasca operasi, reaksi giant cell, dan dislokasi dari TMJ. Nyeri orofasial yang disebabkan oleh lesi tumor atau massa yang berada di dekat TMJ sering salah diagnosis sebagai TMD, sehingga diagnosis yang tepat dan rencana perawatan yang diperlukan menjadi tertunda.7

Manfaat dari penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan dokter gigi dan mahasiswa kedokteran gigi mengenai nyeri orofasial yang terkait dengan traumatik neuroma pada pasien yang sering menjalani operasi TMJ, sehingga dapat dijadikan informasi kepada pasien kemungkinan untuk terjadinya traumatik neuroma pasca operasi TMJ yang berulang.


(14)

BAB 2

NYERI OROFASIAL

2.1 Definisi Nyeri Orofasial

Nyeri orofasial dapat didefinisikan sebagai rasa sakit dan disfungsi yang mempengaruhi transmisi motorik dan sensorik dalam sistem saraf trigeminal. Nyeri orofasial merupakan rasa nyeri yang lebih kompleks dibandingkan dengan rasa nyeri pada bagian tubuh lainnya karena menyangkut banyaknya struktur anatomi dan fisiologi di dalamnya.2,4

Impuls-impuls saraf dari struktur-struktur orofasial berjalan ke sentral melalui saraf trigeminus, fasialis, glossofaringeus,segmen kedua dan ketiga servikalis dari suatu daerah kecil pada sudut mandibula. Masukan dan respon utama diperlihatkan dalam (Gambar 1). Tempat-tempat penting dari nyeri orofasial adalah kulit dan mukosa, pulpa dentin, periodonsium, periosteum, dinding pembuluh darah, dan kapsul sendi temporomandibular. Nyeri orofasial dapat dirangsang oleh faktor-faktor fisik yaitu tekanan, regangan, tegangan atau perubahan pH. Di samping itu, faktor-faktor kimia yaitu histamin, serotonin, kimia dan asam laktat.8

Gambar 1. Masukan sensorik dan respons utama terhadap nyeri orofasial8

LOBUS FRONTALIS LOBUS SENSORIK

(Respon emosional) (Lokasi dan sifat-sifat)

LOBUS TEMPORALIS (memori)

Saraf kranial HIPOTALAMUS

(II, III, V, VII, IX) (Respon otonom)


(15)

2.2 Neuroanatomi dan Neurofisiologi

Penghantaran nyeri sangat rumit, karena itu amat penting untuk mengetahui tentang neuroanatomi dan neurofisiologi nyeri. Sensibilitas terhadap rangsangan instrinsik dan ekstrinsik bergantung dari anatomi sistem penerima rangsang yang terdiri dari reseptor sebagai struktur yang dirancang untuk menerima rangsang. Reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas yang tersebar luas pada tubuh.4

2.2.1 Sel Saraf

Sel saraf atau neuron terdiri dari badan sel, nukleus, sitoplasma, dan tonjolan-tonjolan yang disebut dendrit yang bertugas membawa impuls menuju badan sel dan serabut saraf yang bertugas membawa impuls dari badan sel ke perifer. Disebelah luar serabut saraf terdapat selubung yang disebut mielin yang dibungkus lagi oleh neurolema.Selubung ini hanya terdapat pada sistem saraf perifer.Serabut saraf unipolar merupakan serabut saraf sensoris yang bertugas sebagai penerima dan penyalur rangsang dari luar tubuh ke susunan saraf pusat. Pada sel saraf unipolar terdapat tonjolan pusat dan tonjolan perifer yang berakhir pada kulit dan selaput lendir. Ujungnya bertugas menerima rangsang dan disebut reseptor.

Berdasarkan lokasinya, reseptor nyeri di kelompokkan menjadi:4

1. Eksteroseptif adalah reseptor yang menerima rangsang pada permukaan luar tubuh

2. Enteroseptif adalah reseptor yang menerima rangsang dari organ dalam tubuh

3. Propioseptif adalah reseptor yang menerima rangsang dari otot, tendon dan persendian.

2.2.2 Reseptor Nyeri

Menurut Guyton (1996) pada dasarnya ada lima macam reseptor sensori di dalam tubuh yaitu:4

1. Mekanoseptor yaitu reseptor yang mendeteksi perubahan bentuk reseptor atau sel di dekat reseptor tersebut


(16)

3. Nosiseptor yaitu reseptor yang mendeteksi kerusakan di dalam jaringan baik kerusakan fisik maupun kimia

4. Reseptor elektromagnet yaitu reseptor yang mendeteksi cahaya pada retina mata

5. Kemoreseptor yaitu reseptor yang mendeteksi pengecapan di dalam mulut, bau di dalam hidung, kadar O2 di dalam darah arteri, osmolitas cairan tubuh, kadar CO2 dan bahan kimia tubuh lainnya.

Reseptor nyeri disebut nosiseptor yang umumnya diartikan sebagai ujung saraf bebas pada serabut saraf bermielin dan tidak bemielin. Persepsi nyeri diperantai oleh reseptor kimia spesifik yang timbul bila terjadi kerusakan jaringan. Substansi tersebut adalah asetil kolin, histamin serotonim, prostaglandin dan bradikinin.4

2.2.3 Perjalanan Nyeri

Untuk lebih mudah memahami proses terjadinya nyeri, dibutuhkan pengetahuan yang baik tentang anatomi fisiologi sistem persarafan. Rangkaian proses terjadinya nyeri diawali dengan tahap transduksi. Hal ini terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian perifer tubuh, distimulasi oleh berbagai stimulus seperti faktor biologis, mekanis, listrik thermal, radiasi dan lain-lain. Serabut saraf tertentu bereaksi atas stimulus tertentu, sebagaimana disebutkan dalam klasifikasi. Klasifikasi serabut saraf dapat dilihat dalam Tabel 1. Dapat dilihat bahwa informasi nosiseptif dapat diteruskan oleh serabut A-delta dan serabut C, tetapi kedua jenis serabut tersebut juga menyampaikan informasi dari termoreseptor, mekanoreseptor ambang rendah, dan masing-masing serabut otonom preganglionik dan postganglionik.9,10


(17)

Tabel 1. Klasifikasi serabut saraf10 Tipe serabut Diameter (µm) Penghantaran

(m/detik) Reseptor Afferen Efektor Eferen

A-α 12-21 70-120 Otot spindle- aferen

primerOrgan tendon golgi

α-akson motoneuron ke otot rangka

A- 6-12 35-70 Otot spindle-aferen

sekunder, Mekanoreseptor ambang

rendah

A- 2-8 12-48 -akson motoneuron

ke otot spindle

A-δ 1-6 2.5-35 Ambang rendah

Mekanoreseptor Termoreseptor Nosiseptor

Β 1-3 2.5-15 Preganglionik

Serabut-serabut otonom

C 0.4-1.2 0.7-1.5 Ambang rendah

Mekanoreseptor Termoreseptor Nosiseptor Postganglionik Serabut-serabut otonom

Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe mekanis atau thermal (yaitu serabut saraf A-Delta) sedangkan slow pain ( nyeri lambat) biasanya dicetuskan oleh serabut saraf C.Serabut saraf A-Delta mempunyai karakteristik menghantarkan nyeri dengan cepat serta bermielinasi dan serabut saraf C yang tidak bermielinasi, berukuran sangat kecil dan bersifat lambat dalam menghantarkan nyeri.Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi, dan jelas dalam melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menyampaikan impuls yang tidak terlokalisasi (bersifat difusi) visceral dan terus menerus.9

Tabel 2. Perbedaan serabut saraf A-delta dan C9

Serabut A-delta Serabut C

Bermielinasi Tidak Bermielinasi

Diameter 2-5 mikrometer Diameter 0.4-12.2mikrometer Kecepatan hantar 12-30 m/dt Kecepatan hantar 0.5-2 m/dt Menyalurkan impuls nyeri yang bersifat tajam ,

menusuk, terlokalisasi dan jelas

Menyalurkan impuls nyeri yang bersifat tidak terlokalisasi, visceral dan terus-menerus


(18)

Sebagai contoh mekanisme kerja serabut A-delta dan serabut C dalam suatu trauma adalah ketika sesorang menginjak paku, sesaat setelah kejadian orang tersebut dalam waktu kurang 1 detik akan merasakan nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang merupakan transmisi dari serabut A. Dalam beberapa detik selanjutnya nyeri menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena persarafan serabut C.9

Gambar 2. Perjalanan impuls nyeri11

Tahap selanjutnya adalah transmisi, dimana impuls nyeri kemudian ditransmisikan serat afferen (A-delta dan C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn, dimana disini impuls akan bersipnasis di substansia gelatinosa ( lamina II dan III) impuls kemudian menyebrang keatas melewati traktus spinothalamus anterior dan lateral diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formatio retikularis membawa impuls fast pain. Di bagian thalamus dan korteks selebri inilah individu kemudian dapat mempersepsikan, mengambarkan, melokalisasi, menginterpretasikan dan mulai berespon terhadap nyeri.Beberapa impuls nyeri ditransmisikan melalui traktus paleospinothalamus pada bagain tengah medulla spinalis. Impuls ini memasuki formatio retikularis dan sistem limbik yang mengatur perilaku emosi dan


(19)

kognitif, serta integritas dari sistem saraf otonom. Slow pain yang terjadi akan membangkitkan marah, cemas, tekanan darah meningkat, keluar keringat dingin dan jantung berdebar-debar (Gambar 3).9

Gambar 3. Proses terjadinya nyeri9

2.2.4 Teori-Teori Nyeri

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri.Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul.

1. Teori Spesifik

Teori spesifik dikemukakan oleh Descarter pada abad 17.Teori ini didasari adanya jalur-jalur tertentu transmisi nyeri. Adanya ujung-ujung saraf bebas pada perifer bertindak sebagai reseptor nyeri dimana saraf-saraf ini diyakini mampu untuk menerima stimulus nyeri dan menghantarkan impuls nyeri ke susunan saraf pusat.

Stimulus nyeri: biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer

Impuls nyeri diteruskan oleh serat afferen (A-delta & C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn

Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III) Impuls melewati traktus spinothalamus

Impuls masuk ke formatio retikularis Impuls langsung masuk ke thalamus

Sistem limbik Fast Pain

Slow pain

- Timbul respon emosi


(20)

Impuls kemudian di transmisikan melalui dorsal horn (akar belakang) dan substansia gelatinosa ke thalamus dan terakhir pada area korteks.Nyeri kemudian dapat di intreprestasikan dan muncul respon terhadap nyeri.9

2. Teori Pattern

Teori ini dikemukan pada awal tahun 1900. Teori ini mengemukakan bahwa terdapat dua serabut nyeri utama yaitu serabut yang menghantarkan nyeri secara cepat dan serabut yang menghantarkan nyeri secara lambat (serabut A-delta dan serabut C). Stimulasi dari serabut saraf membentuk sebuah “pattern/pola“. Teori ini mengenalkan juga konsep “central summation” dimana impuls perifer dari kedua saraf disatukan di spinal cord dan dari sana hasil penyatuan impuls diteruskan ke otak untuk diinterpretasikan. Sebagaimana halnya dengan teori spesifik, teori ini juga tidak memperhatikan perbedaan persepsi dan faktor psikologis dari masing-masing individu.9

3. Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control)

Teori gate control dikemukakan oleh Melzack dan Wall (1965) didasarkan pada kejadian fisiologis mekanisme pada medula spinalis. Teori ini merupakan teori yang mempunyai peran penting terhadap pemahaman mekanisme nyeri. Teori kontrol gerbang dapat diuraikan sebagai informasi mengenai adanya kerusakan disalurkan ke sistem saraf pusat serabut saraf perifer yang kecil.Sel-sel dalam sum-sum tulang belakang atau nukleus saraf kranial kelima akan terangsang oleh kerusakan tersebut dan sistem kontrol desenden pada otak modulasi eksitasi sel-sel transmisi yang menyalurkan informasi kerusakan.4

Teori gate control menyatakan bahwa nyeri dan persepsi nyeri dipengaruhi oleh interksi dari dua sistem yaitu:

1. Substansi gelatinosa pada dorsal horn di medulla spinalis

2. Sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat) yang terdapat dalam batang otak.

Sebagaimana dibahas di depan serabut A-delta berdiameter kecil membawa impuls nyeri cepat sedangkan serabut C membawa impuls nyeri lambat.Sebagaimana tambahan bahwa serabut A-Beta yang berdiameter lebar membawa impuls yang dihasilkan oleh stimulus taktil (perabaan/sentuhan). Didalam substansia gelatinosa impuls ini akan bertemu dengan suatu gerbang yang membuka dan menutup


(21)

berdasarkan prinsip siapa yang lebih mendominasi, serabut taktil A-Beta ataukah serabut nyeri yang berdiameter kecil.Apabila impuls yang dibawa serabut nyeri yang berdiameter kecil melebihi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A-Beta maka

“gerbang” akan terbuka sehingga perjalanan impuls nyeri tidak terhalangi sehingga impuls akan sampai ke otak, sebaliknya apabila impuls yang dibawa oleh serabut

taktil lebih mendominasi “gerbang” akan menutup sehingga impuls nyeri akan

terhalangialasan inilah yang mendasari mengapa dengan melakukan masase dapat mengurangi durasi dan intensitas nyeri.

Gambar 4. Mekanisme “Pintu Gerbang” dengan menutup dan membuka dapat mengatur perjalanan impuls nyeri 12

Sistem kedua digambarkan sebagai “pintu gerbang” terletak di batang otak. Hal ini diyakini bahwa sel-sel di otak tengah dapat diaktifkan oleh beberapa faktor seperti: opiat, faktor psikologis, bahkan dengan kehadiran nyeri itu sendiri dapat memberikan sinyal reseptor di medulla. Reseptor ini dapat mengatur serabut saraf di

spinal cord untuk mencegah perjalalanan transmisi nyeri. Hipotesa ini dapat sedikit membantu untuk menjelaskan kenapa pada anak-anak yang dilakukan sirkumsisi, yang sebelumnya diberikan anestesi tidak merasakan nyeri yang hebat saat tindakan dilakukan.9


(22)

2.3 Klasifikasi Nyeri Orofasial

Klasifikasi nyeri harus berdasarkan pada struktur yang bertanggung jawab pada produksi masukan nosiseptif atau sumber nyeri yang benar. Suatu klasifikasi nyeri yang lengkap harus memuat kondisi nyeri yang berasal dari masukan somatosensoris atau faktor fisik dan masukan psikososial atau faktor psikologis yang memuat pengalaman nyeri.4

Menurut Okeson (1995), nyeri daerah orofasial termasuk sistem stomatognatik diklasifikasikan dalam dua sumbu (aksis), yaitu sumbu I yang mendeskripsikan kondisi fisik dan sumbu II yang mendeskripsikan kondisi psikologis. Sumbu I mendeskripsikan kondisi fisik yang bertanggung jawab pada inisiasi impuls nosiseptif. Kondisi ini dapat diklasifikasikan menurut jaringan yang menghasilkan rasa nyeri, yaitu:

1. Nyeri Somatik

Nyeri somatik merupakan fenomena nyeri yang kompleks, struktur somatik merupakan bagian pada tubuh seperti otot-otot atau tulang.9 Nyeri somatik muncul dari struktur muskuloskeletal atau visceral diterjemahkan melalui transmisi nyeri utuh dan sistem modulasi. Contoh nyeri orofasial yang umum dari nyeri muskuloskeletal adalah gangguan temporomandibular atau nyeri periodontal.13 Nyeri somatik terdiri dari:

a. Nyeri somatik superfisial

Ada dua macam nyeri superfisial, bentuk yang pertama adalah nyeri dengan onset yang tiba-tiba dan mempunyai kualitas yang tajamdan bentuk kedua adalah nyeri dengan onset yang lambat disertai dengan rasa terbakar.Nyeri superfisial dapat dirasakan pada seluruh permukaan tubuh atau kulit pasien. Trauma gesekan, suhu yang terlalu panas dapat menjadi penyebab timbulnya nyeri orofasial ini.9

b. Nyeri somatik dalam

Nyeri somatik dalam biasanya bersifat difus (menyebar)berbeda dengan nyeri superfisial yang mudah untuk dilokalisir. Struktur somatik yang ada di dalam tubuh manusia berbeda-beda intensitasnya terhadap nyeri bagian yang mempunyai sensitivitas tinggi terhadap nyeri antara lain: tendon, fasial dalam, ligament, pembuluh darah, tulang periosteum dan nervus.Otot skeleton hanya sensitif terhadap iskemi dan peregangan.Tulangdan kartilago biasanya sensitif terhadap tekanan


(23)

yangekstrim atau stimulasi kimia. Nyeri somatik dalam dapat dibagi mejadi nyeri muskuloskeletal dan nyeri visera.4,9

2. Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik adalah nyeri yang diakibatkan ketidaknormalan komponen-komponen dalam sistem saraf sendiri. Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf. Berbagai penyebab lesi sistem saraf seperti trauma, kompresi, keracunan toksin, gangguan metabolik dan sebagainya. Akibat lesi khususnya pada serabut saraf aferen (SSA), fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya berubah, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivitas SSA menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral).3,4

Nyeri neuropatik merupakan simtomatik dari abnormalitas struktur pada sistem saraf perifer atau pusat nyeri neuropatik, dapat dibagi menjadi dua kategori besar yaitu antara lain:

a. Nyeri episodik

Nyeri episodik merupakan nyeri yang mempunyai waktu remisi lengkap diantara episode penyakit dan dipacu oleh suatu rangsang. Nyeri episodik terbagi atas nyeri neurovaskuler dan nyeri neuralgia.4 Kondisi episodik adalah neuralgia paroksismal ditandai dengan tiba-tiba, nyeri seperti shock yang berlangsung hanya beberapa detik sampai menit. Nyeri episodik diberi nama sesuai dengan saraf yang terkena, seperti neuralgia trigeminal, neuralgia glossopharyngeal, nervus intermedius neuralgia, dan neuralgia laring superior.2

b. Nyeri neuropatik kontiniu

Nyeri neuropatik kontiniu merupakan nyeri neuropatik yang tidak mempunyai periode remisi dan dibagi menjadi nyeri neuritis, nyeri deferensiasi dan nyeri simpatetikal.4 Gangguan nyeri neuropatik kontiniu dapat memiliki komponen perifer dan sentral. Gangguan nyeri neuropatik perifer adalah hasil dari perubahan yang telah terjadi di neuron perifer seperti neuritis, neuralgia postherpetic, dan nyeri deferensiasi yang terjadi sekunder terhadap trauma (yaitu pasca operasi neuroma). Nyeri ini


(24)

seperti rasa terbakar dan pasien melaporkan sensasi abnormal (parastesi) sering yang diperburuk oleh gerakan atau sentuhan.2

3. Nyeri Psikologis

Struktur orofasial yang mendasari klasifikasi nyeri orofasial adalah struktur kutaneus dan mukogingival, struktur mukosa, struktur gigi-geligi, struktur muskuloskeletal, struktur visera, dan struktur neural. Sumbu II mendeskripsikan kondisi psikologis yang dapat menghasilkan atau mempengaruhi pengalaman rasa nyeri. Kelainan mental yang termasuk dalam sumbu II adalah kelainan ansietas, kelainan mood, kelainan somatoform, dan kondisi lainnya seperti faktor psikologis yang dipengaruhi oleh kondisi medis. Nyeri ini biasanya timbul karena pengaruh psikologis, mental, emosional atau faktor perilaku. Sakit kepala, back pain, atau nyeri perut adalah contoh yang paling umum. Nyeri ini dianggap sebagai suatu yang tidak nyata, padahal semua nyeri yang dinyatakan pasien adalah nyata.4,9

2.4 Mekanisme Nyeri

Mekanisme nyeri berlangsung melalui reseptor nyeri, serabut saraf sensori periferal, sumsum tulang belakang, medula oblongata, formasi retikuler, mesenfalon, talamus, dan korteks serebri.4 Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu tranduksi/transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/ perception.Keempat proses tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:14 1. Transduksi/Transduction

Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang dapat diakses oleh otak. Proses transduksi dimulai ketika nosiseptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini (nosiseptor) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan.

2. Transmisi/Transmission

Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar. Saraf aferen akan berakson pada dorsal horn di spinalis.


(25)

Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic

melalui ventral lateral dar thalamus menuju korteks serebral. 3. Modulasi/Modulation

Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nosiseptor tersebut. Proses modulasi melibatkan sistem neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian korteks. Selanjutnya impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor.

4. Persepsi/Perception

Persepsi adalah proses yang subjektif. Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan dengan proses fisiologis atau proses anatomis. Oleh karena itu, faktor psikologis, emosional, dan behavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional.

2.5 Perawatan Nyeri

Terdapat tiga kategori tindakan yang akan digunakan untuk mengontrol nyeri yaitu: tindakan farmakologis, non-invasif dan tindakan invasif. Ketiganya sering digunakan bersamaan didalam upaya mengontrol nyeri.9

2.5.1 Tindakan Farmakologis

Penatalaksanaan nyeri menurut WHO secara farmakologis meliputi penggunaan analgesik non-opiat, analgesik opiat dan analgesik adjuvan.

1. Analgesik non-opiat sering digunakan untuk berbagai keadaan yang mengakibatkan nyeri seperti trauma, penggunaan analgesik non-opiat ini meliputi nyeri yang bersifat ringan sedang dan digunakan secara berkesinambungan dengan obat-obatan opiat. Analgesik non-opiat (analgetik non-narkotik) atau sering disebut juga Nonsteroid

Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) seperti aspirin, asetominofen, dan


(26)

dan antidemam (antipiretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada ujung saraf perifer di daerah yang mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera. Obat ini juga menurunkan pelepasan prostaglandin di daerah cedera. Obat ini umumnya diberikan untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang.9,15

2. Analgesik opiatterbagi menjadi tiga kelompok obat, yaitu opiat agonist,partial agonist dan agonist-antagonis (campuran: komponen yang menghambat efek opiat pada salah satu reseptor dan memproduksi efek opiat pada reseptor lainnya). Opiat bekerja dengan mengikat reseptor opiat pada neuron efferent, sehingga impuls nyeri akan terhenti pada spinal cord dan tidak ditransmisikan ke korteks. Dalam keadaan ini nyeri kemudian tidak dipersepsikan.Analgesik opiat agonist-antagonist merupakan opiat campuran, komponen yang menghambat efek opiat pada reseptor lainnya. Butorphanol (Stadol), Nalbuphine (Nubain), Decozine (Dalgan) merupakan contoh jenis analgesik opiat agonist-antagonist. Analgesik opiat antagonist termasuk kedalamnya Naloxone (Narcan) dan Naltrexone (Trexal) dan yang paling sering digunakan adalah Naloxone (Narcan). Efek samping yang ditimbulkan adalah sedasi, depresi pernapasan dan mual.9

3. Analgesik adjuvan adalah obat yang dikembangkan bukan untuk memberikan efek analgesik, tetapi ditemukan mampu menyebabkan penurunan nyeri pada berbagai nyeri kronis. Contohnya adalah sedatif ringan atau tranquiliser seperti diazepam (Valium®), mungkin membantu menurunkan spasme otot yang disertai nyeri selain menurunkan kecemasan, stres, dan ketegangan sehingga pasien mampu tidur dengan baik. Antidepresan seperti amitriptilin hidroklorid (Elavil®), diberikan untuk mengatasi depresi selain juga memberi efek mengurangi gangguan nyeri.15

2.5.2 Tindakan Non Invasif

Tindakan pengontrolan nyeri non invasif digunakan untuk mendukung terapi farmakologis yang sudah diberikan. Dalam pelaksanaanya, pasien dan keluarga perlu


(27)

dilibatkan didalam merencanakan tindakan non-invasif sehingga ketika pasien dan keluarga dapat melalukannya dengan efektif ketika harus menjalani perawatan dirumah. Jenis daripada tindakan noninvasif antara lain:

2.5.2.1 Membangun hubungan terapeutik perawat-pasien

Terciptanya hubungan terapeutik antara pasien dan perawat akan memberikan pondasi dasar terlaksananya asuhan keperawatan yang efektif pada pasien yang mengalami nyeri. Hubungan saling percaya yang terbentuk akan membuat perawat merasa nyaman dalam mendengarkandan bertindak memberikan asuhan keperawatan sebaliknya pasiennya merasa nyaman untuk mendengarkan anjuran perawat dan berani untuk menyatakan keluhan-keluhannya.9

2.5.2.2 Bimbingan antisipasi

Menghilangkan kecemasan pasien sangatlah perlu, terlebih apabila dengan timbulnya kecemasan akan meningkatkan persepsi nyeri pasien. Pada pasien yang akan mengalami tindakan operasi, penjelasan prosedur tindakan akan mengurangi kecemasan pasien. Penjelasan mengenai bagaimana tindakan akan dilakukan, apa yang akan dirasakan pasien saat tindakan akan dilakukan sangat penting untuk mengurangi kecemasan pasien.9

2.5.2.3 Relaksasi

Relaksasi adalah suatu tindakan untuk “membebaskan” mental dan fisik dari ketegangan dan stres, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Berbagai metode relaksasi digunakan untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan otot sehingga didapatkan penurunan denyut jantung, penuruanan respirasi serta penurunan ketegangan otot. Contoh tindakan relaksasi yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri adalah napas dalam dan relaksasi otot.15

2.5.2.4 Imajinasi Terbimbing

Imajinasi terbimbing dapat digunakan bersamaan saat melakukan tindakan relaksasi atau merupakan tindakan terpisah.Imajinasi terbimbing adalah upaya untuk menciptakan kesan dalam pikiran pasien, kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi pasien terhadap nyeri.Tindakan ini membutuhkan konsentrasi yang cukup, upayakan kondisi lingkungan pasien mendukung untuk tindakan ini. Kegaduhan, kebisingan, bau menyengat atau cahaya yang sangat terang perlu dipertimbangkan agar tidak


(28)

mengganggu pasien untuk konsentrasi. Beberapa pasien lebih relaks apabila dengan menutup mata.9,15

2.5.2.5 Distraksi

Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal lain di luar nyeri, dengan demikian diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Salah satu kerugian tindakan ini yang perlu dipikirkan adalah apabila stimulasi distraksi berakhir maka nyeri yang dirasakan biasanya semakin bertambah berat, oleh karena itu alasan tersebut penggunaaan teknik distraksi lebih efektif digunakan ketika hendak membebaskan nyeri sebentar saja seperti saat onset dari pemberian obat analgesik atau pada saat perawat baru menyiapkan obat analgesik. Cara bagaimana distraksi dapat mengurangi nyeri dapat dijelaskan dengan teori gate control. Pada spinal cord, sel-sel reseptor yang menerima stimuli nyeri periferal dihambat oleh stimuli dari serabut-serabut saraf yang lain.9,16

Distraksi ini meliputi:

a. Distraksi visual misalnya: menonton tv dan melihat pemandangan b. Distraksi auditory misalnya: mendengarkan suara /musik yang disukai. 2.5.2.6 Akupungtur

Akupungtur merupakan terapi pengobatan kuno cina,dimana akupungtur menstimulasi titik-titik tertentu pada tubuh meningkatkan aliran energi (disebut:chi) disepanjang jalur yang disebut meridian. Titik-titik akupungtur dapat distimulasi dengan memasukkan dan mencabut jarum, menggunakan panas, tekanan/pijat, laser atau stimulasi elektrik atau kombinasi dari berbagai macam cara tersebut.9

2.5.2.7 Biofeedback

Merupakan metode elektronik yang mengukur respon fisiologis, seperti gelombang pada otak, kontraksi otot, atau temperatur kulit kemudian

“mengembalikan” memberikan informasi tersebut ke pasien. Kebanyakan alat

biofeedback terdiri dari beberapa elektroda yang ditempatkan pada kulit dan sebuah unit amplifier yang mentransformasikan data berupa tanda visual seperti lampu yang berwarna. Pasien kemudian mengenali tanda tersebut sebagai respon stres dan menggantikannya dengan respon relaksasi.9,15


(29)

2.5.2.8 Stimulasi Kutaneus

Teknik ini bekerja dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengontrol nyeri. Hal ini berkaitan dengan teori gate control. Stimulasi kutaneus akan merangsang serabut-serabut saraf perifer untuk mengirimkan impuls yang dibawa oleh serabut A-Beta mendominasi maka mekanisme gerbang akan menutup sehingga impuls nyeri tidak dihantarkan ke otak. Stimulasi kulit dapat dilakukan dengan cara pemberian kompres dingin, balsem analgetika dan stimulasi kontralateral.9,16

2.5.2.9 Akupresur

Akupresurdikembangkan dari ilmu pengobatan kuno Cina dengan menggunakan sistem akupungtur. Terdapat beberapa teknik akupresur yang dapat dilakukan oleh pasien secara mandiri untuk membebaskan rasa nyeri.Pasien dapat menggunakan ibu jari atau jari untuk memberikan tekanan pada titik akupresur untuk membebaskan ketegangan pada otot kepala bahu atau leher.Seperti halnya akupungtur, akupresur kemungkinan bekerja dengan melepaskan endorphin dalam membebaskan nyeri.9,15

2.5.2.10 Psikoterapi

Psikoterapi dapat menurunkan perpsesi nyeri pada beberapa pasien, terutama pada pasien yang sangat sulit sekali untuk mengontrol nyeri, pada pasien yang mengalami depresi, atau pada pasien yang pernah mempunyai riwayat masalah psikiatri. Salah satu model pendekatan psikiatri adalah dengan membangun kerangka pikiran yang positif pada pasien, sebuah pendekatan yang mengajarkan pasien untuk membingkai kembali masalah yang dihadapi dengan meningkatkan kesadaran sehingga menggunakan teknik hipnotis dalam mengontrol nyeri, terbukti cara ini cukup efektif dalam memodifikasi respon nyeri, akan tetapi hanya beberapa orang saja yang mempunyai keahlian dalam bidang ini.9

2.5.3 Tindakan Invasif/Pembedahan

Tindakan invasif merupakan komplemen dari tindakan-tindakan lainnya hanya dalam upaya membebaskan nyeri seperti tindakan perilaku-kongnitif, fisik maupun terapi farmakologis, dimana pasien tidak mendapatkan kebebasan nyeri melalui cara-cara tersebut. Tindakan invasif dapat diindikasikan pada keadaan pasien dengan nyeri kanker kronis atau dalam beberapa kasus nyeri benign kronis. Tindakan


(30)

ini dilakukan apabila tindakan dengan tindakan-tindakan non-invasif tidak dapat untuk membebaskan nyeri. Pasien perlu diberikan pengetahuan tentang implikasi setelah tindakan pembedahaan untuk mengontrol nyeri. Sebagai contoh hilangnya fungsi motorik pada pasien akan membuat rasa nyaman beberapa kasus pembedahan.

1. Cordotomy

Cordotomymerupakan tindakan menginsisi traktus anterolateral dari spinal cord untuk mengintrupsi transmisi nyeri. Dikarenakan sulit untuk mengisolasi saraf yang berespon terhadap nyeri bagian tubuh atas, pembedahan ini sering dilakukan untuk mengatasi nyeri pada bagian abdomen atau kaki, termasuk didalamnya nyeri parah yang diakibatkan oleh kanker stadium terminal.

2. Neurectomy

Neurectomy adalah tindakan pembedahan dengan menghilangkan sebuah saraf. Hal ini terkadang dilakukan untuk membebaskan nyeri. Neurectomy

perifer merupakan tindakan pemotongan saraf pada bagian distal spinal cord.

3. Symphatectomy

Saraf simpatis mempunyai peran penting didalam memproduksi dan mentransmisi sensasi nyeri.Symphatectomy termasuk didalamnya adalah merusak dengan melakukan injeksi atau insisi pada ganglia dalam saraf simpatis biasanya dilakukan pada daerah lumbar atau pada bagian dorsal servik di dasar leher.

4. Rhizotomy

Rhizotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan

pemotongan pada dorsal spinal root.Tindakan ini biasanya dilakukan untuk menghilangkan nyeri kanker pada bagian kepala, leher atau paru-paru,

rhizotomy dilakukan tidak hanya dengan melakukan pemotongan pada serabut saraf akan tetapi juga bisa dilakukan dengan menginjeksikan alkohol atau phenol ke dalam ruang subarachnoid.9


(31)

BAB 3

TRAUMATIK NEUROMA

3.1 Traumatik

Traumatik dapat didefinisikan sebagai cedera pada tubuh akibat paparan akut tubuh ke suatu bentuk energi atau akibat ketiadaan suatu bahan esensial misalnya oksigen dan panas. Walaupun jaringan memiliki elastisitas untuk menyerap energi, namun apabila kemampuan tersebut terlampaui maka akan terjadi cedera.17

3.2 Neuroma

Setelah pemutusan saraf perifer, bagian proksimal saraf umunya membentuk tunas dalam upaya menjalin kembali hubungan dengan komponen distal yang terputus disebut neuroma yang terbentuk dari sel Schwann dan elemen saraf lainnya.18

3.3 Definisi Traumatik Neuroma

Traumatik neuroma bukanlah neoplasma sebenarnya melainkan keadaan hiperplastik, respon reparatif dari cedera saraf, proliferasi reaksi jaringan saraf setelah kerusakan saraf perifer dan biasanya muncul sebagai nodul yang bisa teraba. Traumatik neuroma adalah lesi jinak yang jarang terjadi, terutama menjadi konsekuensi dari prosedur bedah.5,6,17,18 Traumatik neuromat idak berkapsul, bukan massa neoplastik yang rusak dari akson, sel endoneurial, sel Schwann, dan proliferasi sel perinerural dalam matriks kolagen yang padat. Dalam beberapal esi, inflamasi sel dapat ditemukan dalam matriks neuroma.17

Traumatik neuroma sering ditemui setelah cedera saraf perifer somatik,

otonom dan saraf kranial. Istilah ‘traumatik neuroma’ dipakai untuk menggambarkan

massa nodul dari pertumbuhan akson dan sel Scwhann yang berkembang di akhir tunggul saraf proksimal diikuti pemutusan secara parsial atau keseluruhan saraf.19 Setelah pemutusan saraf perifer, bagian proksimal saraf umumnya membentuk tunas sebagai upaya menyambung kembali hubungan dengan komponen distal yang terputus. Saraf yang rusak dan terputus diperbaiki dari bagian distal oleh pertumbuhan akson melalui pembuluh dari proliferasi sel Schwann. Traumatik


(32)

neuroma menunjukkan adanya kekeliruanpada pembaharuan saraf dimana diikuti oleh cedera saraf, tunas saraf dari lokasi cedera tetapi karena alasan anatomis dan fisiologis tidak dapat menghasilkan perbaikan saraf secara fungsional. Jika saraf terpotong, amputasi neuroma dapat berkembang pada tunggul (ujung), jika saraf terluka sepanjang sisinya, baik secara berkelanjutan maupun neuroma lateral dapat terlihat.18,20,21

3.4 Etiologi Traumatik Neuroma

Seperti namanya, lesi ini disebabkan oleh trauma saraf perifer, muncul sebagai suatu pertumbuhan yang berlebihan bersifat bukan neoplasma dari akson dan merupakan jaringan parut fibrous. Transeksi dari saraf sensorik dapat menyebabkan peradangan dan jaringan parut didaerah cedera, jaringan parut ini mengganggu pertumbuhan akson reparatif. Dalam rongga mulut, cedera mungkin dalam bentuk trauma dari prosedur bedah seperti ekstraksi gigi, dari suntikan bius lokal, atau dari kecelakaan.22

Pada tahun 1965 Robinson dan Slavkin menunjukkan bahwa traumatik neuroma setelah cedera saraf kecil dalam rongga mulut tidak jarang menyebabkan nyeri wajah. Gejala perkembangan traumatik neuroma melibatkan mekanisme perbaikan saraf bersama dan kontraksi bekas luka.23,24 Dengan demikian, perkembangan traumatik neuroma dapat dibagi menjadi:24

1. Saraf dan cedera jaringan yang berdekatan

2. Proliferasi bersama dari saraf dan luka, perbaikan sel dan tindakan molekul sinyal

3. Luka dan kontraksi bekas luka

4. Reaksi pertahanan (proliferasi) dari serabut saraf yang menyebabkan konstriksi

5. Perkembangan antara keseimbangan antara regenerasi saraf (profilerasi) dan kerusakan (kontraksi).

3.5 Patofisiologi Traumatik Neuroma

Bagian saraf proksimal berproliferasi dalam upaya untuk beregenerasi menjadi bagian distal, menjadi terlibat dan terjebak dalam bekas luka yang sedang


(33)

berkembang, menghasilkan massa komposit jaringan fibrosa, sel Schwann dan akson.22 Tekanan pada area yang dicurigai memprovokasi rasa sakit. Impuls yang berasal dari traumatik neuroma berlangsung secara spontan dan dihasilkan oleh serabut mielin yang kecil yang biasanya mengirimkan informasi nosiseptif.23,25

Secara spontan nyeri dari traumatik neuroma mungkin disebabkan oleh kontraksi jaringan parut. Kemungkinan lainnya didominasi dari penyaluran rasa sakit serabut tipe C di neuroma dan berbagai mekanisme dalam sistem saraf pusat. Sumber lain dari nyeri mungkin terlepasnya serabut saraf neuroma yang sedang berkembang dan perjalanan jarak yang cukup besar ke sekitar jaringan. Setiap pemutusan saraf sensorik cenderung menyebabkan pembentukan traumatik neuroma, gejala klinis dapat bervariasi. Traumatik neuroma pada nyeri wajah ditandai dengan riwayat operasi dengan karakter menyengat, terbakar, atau parastesi. Gangguan sensori berhubungan dengan ukuran batang saraf dan muncul sebagai parastesi atau anastesi. Rasa sakit mungkin ada,baik secara spontan atau pemicu.23,24,25


(34)

BAB 4

NYERI SENDI TEMPOROMANDIBULAR YANG BERKAITAN DENGAN TRAUMATIK NEUROMA

4.1 Nyeri Sendi Temporomandibular

Nyeri pada sendi temporomandibular adalah suatu gejala klinis yang sifatnya sangat subjektif, sangat tergantung pada pengalaman masing-masing dengan keluhan yang berbeda-beda. Nyeri orofasial merupakan istilah umum untuk menyatakan adanya masalah di sekitar jaringan mulut dan wajah, termasuk otot-otot mastikasi dan sendi temporomandibular.26 Nyeri mastikatori yang berasal dari sendi temporomandibular disebut artralgia mastikatori. Nyeri artralgia dapat berasal dari struktur-struktur sendi dan ligamennya termasuk jaringan tulang sekitarnya. Nyeri yang berasal dari jaringan tulang terjadi bila permukaan fibrous artikularis hilang dan disebut artritis. Nyeri yang berasal dari struktur sendi temporomandibular bersifat somatik dalam. Nyeri sendi temporomandibular kebanyakan berhubungan dengan trauma dan fungsi yang salah yang diikuti oleh inflamasi. Bila nyeri sendi temporomandibular berlanjut, maka dapat terjadi nyeri alih seperti nyeri kepala dan nyeri mastikatori.4


(35)

Banyak faktor telah diduga potensial menyebabkan terjadinya nyeri orofasial yang terkait dengan disfungsi sendi temporomandibular. Kelainan dalam hubungan kontak oklusal antara geligi bawah dan geligi atas, serta maloklusi orthodontik sering disebut sebagai penyebab utama. Setiap orang memiliki ambang batas yang berbeda dan penerimaan yang berbeda terhadap rasa nyeri dan mungkin juga terdapat elemen psikogenik. Daerah penyebaran rasa sakit yang paling sering dari sendi adalah telinga, pipi, daerah temporal, tetapi sebaliknya rasa nyeri dari daerah didekatnya dapat meluas ke sendi. Rasa nyeri atau disfungsi secara langsung berkaitan dan bertambah parah oleh berfungsinya rahang atau pengujian fungsional otot-otot mastikasi atau struktur persendian dan bukan karena penyakit lokal karena karies yang melibatkan gigi dan struktur rongga mulut. Rasa nyeri biasanya timbul saat mengunyah, berbicara, dan fungsi-fungsi rahang lainnya.26

4.2 Etiologi Nyeri Sendi Temporomandibular

Etiologi dari gangguan sendi temporomandibular adalah multifaktorial.28,29Sebuah tinjauan literatur ilmiah mengungkapkan lima faktor utama yang terkait dengan gangguan sendi temporomandibular. Faktor-faktor ini adalah kondisi oklusal, trauma, stres emosional, masukan nyeri yang dalam, dan aktifitas parafungsional.

1. Kondisi oklusi

Pada maloklusi dapat menyebabkan ketidakseimbangan neuromuskular dan menyebabkan iskemik yang dapat menjadi faktor predisposisi dari gangguan sendi temporomandibular. Akan tetapi dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan, peran oklusi dalam menimbulkan gangguan sendi temporomandibular masih belum jelas.29,30

2. Trauma

Tentunya trauma pada struktur wajah dapat menyebabkan gangguan fungsional dalam sistem pengunyahan. Banyak bukti yang mendukung konsep ini. Trauma tampaknya memiliki dampak yang lebih besar pada gangguan intrakapsular darigangguan otot. Trauma dapat dibagi kedalam dua tipe secara umum, yaitu makrotrauma dan mikrotrauma. Pada makrotrauma, tekanan yang terjadi secara langsung dapat menyebabkan perubahan pada bagian diskus artikularis dan


(36)

prosesus kondilarissecara langsung. Trauma besar yang tiba-tiba dapat mengakibatkan perubahan struktural, seperti pukulan pada wajah atau kecelakaan. Sedangkan pada mikrotrauma, posisi diskus artikularis dan prosesus kondilarisdapat berubah secara perlahan-lahan. Trauma ringan tapi berulang dalam jangka waktu yang lama, seperti bruxism dan clenching dapat menyebabkan mikrotrauma pada jaringan yang terlibat seperi gigi, sendi rahang, atau otot.28,29 3. Stres emosional

Stres emosional dapat menyebabkan peningkatan aktifitas otot pada posisi istirahat atau bruxism atau keduanya, yang dapat menimbulkan kelelahan yang berakibat pada spasme otot. Spasme otot yang terjadi nantinya akan menimbulkan kontraksi, ketidakseimbangan oklusal dan degeneratif atritis. Stres emosional juga dapat meningkatkan respon saraf simpatis yang menyebabkan nyeri pada otot mastikasi.28,29,30

4. Masukan nyeri yang dalam

Meski sering diabaikan, sebuah konsep yang umum adalah bahwa sumber masukan nyeri yang dalam dapat menyebabkan fungsi otot berubah. Masukan nyeri yang dalam terpusat dapat merangsang otak, menghasilkan kontraksi pelindung. Ini merupakan cara yang normal dimana tubuh merespon cedera atau ancaman dalam cedera. Oleh karena itu wajar menemukan pasien yang menderita sakit, seperti sakit gigi (yaitu nekrosis pulpa), memiliki keterbatasan pembukaan mulut. Ini merupakan respon tubuh terhadap perlindungan bagian yang cedera dengan membatasi penggunaannya. Temuan klinis ini umumnya pada pasien yang banyak mengalami sakit gigi. Setelah sakit gigi teratasi, kembali membuka mulut secara normal.Keterbatasan dalam membuka mulut hanyalah respon sekunder dengan pengalaman rasa sakit yang mendalam. Jika dokter gigi tidak mengenali fenomena ini, bagaimanapun atau dia dapat menyimpulkan bahwa pembukaan mulut yang terbatas merupakan masalah gangguan temporomandibular primer dan pengobatan akan salah arah.29

5. Aktifitas parafungsional

Aktifitas parafungsional adalah semua aktifitas diluar fungsi normal (seperti mengunyah, bicara, menelan) dan tidak mempunyai tujuan fungsional. Contohnya adalah bruxism dan kebiasaan-kebiasaan lain seperti menggigit kuku, pensil, bibir,


(37)

mengunyah satu sisi, tongue thrust, dan bertopang dagu. Aktifitas yang paling berat dan sering menimbulkan masalah adalah bruxism termasuk clenching dan

grinding. Bruxism adalah mengerat gigi atau grinding terutama pada malam hari, sedangkan clenching adalah mempertemukan gigi atas dan bawah dengan keras yang dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari. Pasien yang melakukan

clenching atau grinding pada saat tidur sering melaporkan adanya rasa nyeri pada sendi rahang dan kelelahan pada otot-otot wajah saat bangun tidur.28,29,30

4.3 Patofisiologi Nyeri Sendi Temporomandibular

Interfase antara prosesus kondilaris dan diskus merupakan tempat gerak engsel yang dimungkinkan terutama oleh perlekatan diskus pada prosesus kondilaris melalui ligamen diskus. Stabilitas tambahan dari diskus diberikan oleh gerakan resiprokal (berbalasan) lapisan superior zona bilaminar (serabut elastis) yang melawan tarikan dari muskulus pterigoideuslateralis superior. Muskulus pterigoideus lateralis superior ini prinsipnya bersifat pasif, dan berkontraksi hanya pada penutupan paksa saja. Kontraksi muskulus pterigoideus lateralis inferior terjadi selama pergerakan membuka mulut, dan mengakibatkan pergeseran prosesus kondilaris ke anterior.Kerjasama antara sendi pada kedua sisi memungkinkan diperolehnya rentang gerakan mandibula yang menyeluruh.31

a. Dislokasi

Dislokasi misalnya luksasi, terjadi bila kapsula (ligamen kolateral) dan ligamen temporomandibular mengalami gangguan sehingga memungkinakan prosesus kondilaris untuk bergerak lebih ke depan dari eminensia artikularis dan ke superior pada saat membuka mulut. Kontraksi otot dan spasme yang terjadi selanjutnya akan mengunci prosesus kondilaris dalam posisi ini, sehingga menyebabkan terhalangnya gerakan-gerakan menutup. Dislokasi dapat terjadi satu sisi (unilateral) atau dua sisi (bilateral), dan kadang terjadi secara spontan bila mulut dibuka lebar misalnya pada saat makan atau menguap.Dislokasi dapat juga ditimbulkan oleh trauma saat penahanan mandibula waktu dilakukan anestesi umum atau akibat pukulan.Dislokasi dapat dapat bersifat kronis dan kambuhan, dimana pasien akan mengalami serangkaian serangan yang menyebabkan kelemahan abnormal kapsula pendukung dan ligamen (subluksasi kronis).


(38)

b. Kelainan internal

Jika perlekatan meniskus pada kutub prosesus kondilaris lateral mengendur atau terputus atau jika zona bilaminar mengalami kerusakan atau degenerasi akibat trauma atau penyakit sendi (trauma stratum superior, yaitu serabut elastik) atau keduanya maka stabilitas sendi akan terganggu, akibatnya akan terjadi pergeseran diskus ke arah anteromedial akibatnya tidak adanya penahanan terhadap pergerakan m. pterygoideus lateralis superior. Berkurangnya pergeresan ke arah enterior yang

spontan dari diskus ini akan menimbulkan “kliking” yang khas, yang akan terjadi bila jarak antara insisal meningkat. Sumber “kliking” sendi ini berhubungan dengan

pergeseran prosesus kondilaris melewati pita posterior meniskus yang tebal. Dengan memendeknya pergeseran anterior dari meniskus, terjadi “kliking” berikutnya.Pada tahap inilah diskus akan bersifat fibrokartilagenus, yang mendorong terbentuknya konfigurasi cembung-cembung.

c. Closed lock

Closed lock merupakan akibat dari pergeseran diskus ke anterior yang terus bertahan. Bila pita posterior diskus yang mengalami deformasi tertahan di anterior prosesus kondilaris, akan terbentuk barier mekanis untuk pergeseran prosesus kondilaris yang normal. Jarak antara insisal jarang melebihi 25 mm, tidak terjadi

translasi dan fenomena “kliking” atau juga bersifat permanen.Pada kondisi persisten, jarak antara insisal secara bertahap akan meningkat akibat peregangan dari perlekatan posterior diskus, dan bukannya oleh karena pengurangan pergesaran yang terjadi, kedaaan ini dapat berkembang ke arah perforasi diskus yang diserati dengan osteoarthritis pada prosesus kondilaris dan eminensia artikularis.

d. Closed lock acute

Keadaan closed acute yang akut biasanya diakibatkan oleh trauma yang menyebabkan prosesus kondilaris terdorong ke posterior dengan akibat terjadi cedera pada perlekatan posterior.Rasa sakit atau tidak enak yang ditimbulkannya dapat sangat parah dan keadaan ini kadang disebut sebagai discitis. Discitis ini mengambarkan keradangan pada perlekatan diskus daripada keadaan diskus yang avaskular/aneural.31

Pada bagian berikut telah diteliti kejadian patofisiologi terkait dengan gangguan TMJ terdiri dari dua faktor yaitu faktor intra artikular dan ekstra artikular.


(39)

Ini mungkin terlibat dalam berbagai tingkat perbedaan patologi, faktor diketahui secara spesifik terkait dengan diagnosis tertentu yang dijabarkan lebih lanjut pada golongan tersendiri.32

4.3.1 Faktor Intra-artikular

Peristiwa ini meliputi pelepasan radikal bebas, neuropeptida, sitokin, agen proinflamasi, enzim, dan faktor pertumbuhan. Hal ini menyebabkan pembentukan kondisi internal derangement, degenerasi dan nyeri kronik. Imobilisasi dapat disebabkan oleh faktor ekstra atau intra artikular.32

a. Produksiradikal bebas

Radikal bebas yang sangat tidak stabil dan reaktif dan cepat akan berinteraksi dengan molekul sekitarnya untuk memulai reaksi kimia dan atau menyebabkan cedera jaringan selseperti sinoviositis, menghasilkan radikal bebas dalam menanggapi pemuatan berlebihan.

b. Neuropeptida

Proinflamasi dan neuropeptida nosiseptif yang dilepas dalam TMJ dengan nosiseptif terminal saraf trigeminal ditemukan pada jaringan retrodisk dan kapsul ligamen. Pelepasan neuropeptida dimulai dengan rangsangan mekanik intra-artikular dan nosiseptif yang berlebihan, efek ini bersifat reversibel dengan opiat. Efek primer (aktifitas nosiseptor, inflamasi neurogenik) yang diikuti oleh munculnya berbagai enzim dan sitokin yang terkait dengan in vitro dan in vivo dengan aktifitas biologis yang menyebabkan perubahan degeneratif yang khas. Hal ini penting untuk dipahami bahwa neuropeptida dilepaskan oleh terminal saraf. Inflamasi neurogenik yang dihasilkan, biasanya elemen penting dari penyembuhan dan perbaikan.

c. Sitokin

Sitokin adalah protein kecil yang dikeluarkan oleh sel-sel yang memiliki efek tertentu pada hubungan atau interaksi antar sel dan perilaku sel. Sitokin termasuk

interleukin(IL), lymphokines dan sel jaringan molekul, seperti tumor necrosis factor(TNF) dan interferon, yang memicu peradangan. Di antara sitokin dilaporkan dalam sendi osteoarthritis adalah interleukin1(IL-1), interleukin6(IL6) dan TNF-α, yang berhubungan dengan degradasi kartilago. Beberapa molekul ini berkorelasi


(40)

dengan keparahan penyakit dan dapat digunakan untuk memprediksi hasil terapi. Sitokin mengerahkan efeknya melalui sejumlah mekanisme:

1. Efek proinflamasi potensi, akumulasi prostaglandin dan molekul lain 2. IL-1 dan TNF-α, yang dikenal induser dari sintesis dan aktivasi

metalloproteases oleh kondrosit, mungkin menyebabkan peningkatan kerusakan jaringan

3. Stimulasi ujung-ujung saraf sensorik, merangsang rasa sakit dan pelepasan proinflamasi neuropeptida

4. Generasi radikal bebas. d. Agen proinflammatori

Sejumlah molekul aktif dalam proses inflamasi telah diidentifikasi dalam gangguan TMJ, ada pula yang erat hubungannya dengan gejala klinis dan respon terapi. Korelasi antara tingkat signifikan prostaglandin(PGE2) dan nyeri terhadap pergerakan. PGE2 terlibat dalam patogenesis osteoartritis dan menginduksi produksisitokin, proteasedanROS (superoksida dan anion hidroksil).32

4.3.2 Faktor Ekstra-Artikular

Bukti terbaru menunjukkan bahwa sejumlah faktor ekstra-artikular secara signifikan dapat mempengaruhi inisiasi dan perkembangan nyeri sendi. Termasuk di dalamnya nutrisi, genetik dan jenis kelamin.32

a. Genetik

Variasi genetik dalam inisiasi dan pemeliharaan sindrom nyeri kronis telah banyak dipelajari. Timbulnya nyeri otot pengunyahan telah dikaitkan dengan varian(haplotipe) dari pengkodean gen katekolamin-O-methyltransferase (COMT). Mutasi pada gen yang mengkode kolagent elah dikaitkan dengan penyakit sendi degeneratif. Namun,t idak ada data yang sama saat ini tersedia untuk gangguan TMJ, tetapi ini sepertinya wajar melakukan hubungan genetik akan dibentuk oleh penelitian mendatang.

b. Jenis Kelamin

Nyeri gangguan TMJ dan tanda-tanda klinis osteoarthritis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria. Meskipun alasan untuk hal ini adalah jelas


(41)

mereka mungkin terkait dengan temuan bukti terbaru menunjukkan hormon wanita tidak memodulasi pelepasan neuropeptida dari sel ganglion trigeminal.

4.3.3 Patofisiologi Nyeri Sendi Temporomandibular yang Berkaitan dengan Traumatik Neuroma

Penanganan secara bedah yang biasa dilakukan untuk kelainan TMJ, tanpa memperhatikan prosedur yang dilakukan umumnya adalah preaurikular. Penangan ini bersifat langsung, secara estetik dapat diterima penderita dan digunakan secara luas untuk pembedahan sendi. Terdapat sedikit variasi dan modifikasi dalam penempatan insisi awal, yaitu insisi pembuka oblik anterior superior, insisi pada sisi lateral tragus dan bukannya pada anteriornya dan modifikasi insisi yang sedikit berbentuk kurva linier. Pilihan insisi sebagian besar didasarkan pada mana yang disukai oleh operator, karena tidak satupun yang menunjukan keuntungan ataupun kerugian yang lebih besar.Insisi awal (3-4cm) dibuat tepat di anterior tulang rawan bagian luar telinga sampai mencapai fasia temporalis. Fasia ini dibagi dan kartilago auditori eksternaterbuka melalui pemotongan tajam dan tumpul tepat di anterior tragus.Kartilago auditori eksterna berfungsi sebagai panduan potongan medioanterior yang mencapai atau mengarah ke arkus zigomatikus.Prosesus kondilaris dipalpasi dan dengan pemotongan lebih jauh kapsula akan terlibat. Penanganan kapsula ini tergantung pada prosedur yang digunakan, tetapi jika dibutuhkan jalan masuk ke rongga sendi superior, kapsula dipotong anteroposterior sepanjang posisinya pada sisi lateral dari eminensia dan fossa dan pada bagian inferior, mencapai perlekatan posterior. Untuk memperlihatkan permukaan artikular prosesus kondilaris, rongga sendi bagian bawah dimasuki melalui insisi ke dalam diskus sepanjang perlekatan inferolateral prosesus kondilaris. Potongan tersebut dimodifikasi pada tahap ini untuk bisa lebih jelas memperlihatkan strukturnya atau untuk mendapatkan jalan masuk bagi pelaksanaan prosedur yang dipilih. Jika dibutuhkan penambahan jalan masuk dilakukan penanganan submandibular (Risdon) yang dikombinasikan dengan pemotongan preaurikular.31


(42)

Gambar 6. a. Posisi preaurikular 33b. Insisi preaurikular 34

Pertimbangan anatomis yang berkaitan dengan pembedahan preauricular adalah kelenjar parotid, vena dan arteri temporalis superfisialis, dan nervus fasialis serta auriculotemporalis. Struktur-struktur ini terletak di anterior jalur pembedahan preaurikular. Struktur yang berisiko paling tinggi adalah cabang temporalis dari nervus fasialis, yang berjalan arah anteroposterior, melintasi arkus zigomatikus tepat di depan dari meatus auditus eksternus (tulangnya). Nervus tersebut mensarafi muskulus aurikularis anterior, otot dahi dan sebagian besar okuli orbikularis. Penggunaan rangsangan saraf elektrik disposabel mempermudah penentuan lokasi saraf motorik. Jika cabang temporalis dari nervus fasialis mengalami cedera saat pelaksanaan pembedahan, sering kali saat penarikan atau penekanan, kemunduran tersebut akan diketahui saat pemulihan anestesi. Muskulus frontalis dan okuli orbikularis dari sisi yang terlibat mengalami paralisis yang jelas.31

Denervasi merupakan lanjutan atau akibat yang sering kali timbul setelah pembedahan TMJ, baik yang terpotongnya suplai saraf bagian perifer pada sendi, atau akibat cedera atau terpotongnya nervus masseter atau auriculotemporalis itu sendiri. Rasa sakit menekan dan tajam disebabkan oleh tekanan titik pemicu (trigger point) di daerah preaurikular.Nyeri dari jaringan lunak atau organ yang berdekatan dapat terjadi traumatik neuroma.7,31

4.4 Komplikasi Bedah Sendi Temporomandibular Joint

Salah satu komplikasi jangka panjang yang paling menantang dari operasi TMJ adalah nyeri persisten. Pasien yang sebelumnya menjalani beberapa operasi


(43)

TMJ, seperti pengangkatan kedua disk TMJ, penyisipan implan proplast, condylectomy, dan penyisipan Lorenz TMJ mengalami nyeri yang parah menekan titik pemicu (trigger point) di daerah preaurikular (Gambar 7).

Gambar 7. Trigger point pada preaurikular 7

Rasa sakit menekan dan tajam disebabkan oleh tekanan titik pemicu (trigger point) di daerah preaurikular kiri menunjukkan lesi neurogenik. Nyeri dari jaringan lunak atau organ yang berdekatan dapat terjadi infeksi atau lesi, seperti myositis dari otot masseter, peradangan atau infeksi kelenjar getah bening, parotitis, infeksi pasca operasi, traumatik neuroma, hematoma, abses jahitan, lesi dari sporadis, atau tumor lokal lainnya. Semua pasien dengan masalah ini harus sepenuhnya dievaluasi setelah operasi oleh tim TMJ multidisiplin yang meliputi spesialis TMJ non bedah dengan farmakologis yang sesuai, psikologis, dan dukungan terapi fisik.7,35

Kita harus segera waspada untuk mengulang prosedur bedah, karena ada bahaya jangka panjang yang timbul yaitu "TMJ cripple" pada pasien yang telah melaksanakan beberapa prosedur TMJ masih memiliki rasa sakit terus-menerus, dan pasien kini memiliki maloklusi-pergerakan sendi terbatas dan mungkin kelemahan saraf wajah. Dalam beberapa kasus, alasan yang tepat untuk nyeri persisten tidak dapat ditentukan dan tidak kelihatan secara anatomis atau patologis.35


(44)

BAB 5

KESIMPULANDAN SARAN

Nyeri orofasial adalah rasa sakit dan disfungsi yang mempengaruhi motorik dan sensorik transmisi dalam sistem saraf trigeminal yang manifestasinya di daerah oral-fasial, walaupun fokusnya bukan di oral-fasial atau semua nyeri yang mempunyai daerah pemicu (trigger point) di oral-fasial. Nyeri orofasial merupakan istilah umum untuk menyatakan adanya masalah di sekitar jaringan mulut dan wajah, termasuk otot-otot mastikasi dan sendi temporomandibular. Nyeri sendi temporomandibular kebanyakan berhubungan dengan trauma dan fungsi yang salah yang diikuti oleh inflamasi. Pada pasien yang sebelumnya menjalani beberapa operasi TMJ mengalami nyeri yang parah menekan titik pemicu (trigger point) di daerah preaurikular, rasa sakit menekan dan tajam menunjukkan lesi neurogenik. Nyeri dari jaringan lunak atau organ yang berdekatan dapat terjadi traumatik neuroma. Traumatik neuroma sering ditemui setelah cedera saraf perifer, somatik, otonom dan saraf kranial. Traumatik neuroma pada nyeri wajah ditandai dengan riwayat operasi dengan karakter menyengat, terbakar, atau parastesi.Tekanan pada daerah yang dicurigai memprovokasi rasa sakit yang dihasilkan oleh serabut myelin kecil yang biasanya mengirimkan informasi nosiseptif.

Salah satu komplikasi jangka panjang yang paling menantang dari operasi TMJ adalah nyeri persisten. Kita harus segera waspada untuk mengulang prosedur bedah, karena ada bahaya jangka panjang yang timbul pada pasien yang telah melaksanakan beberapa operasi TMJ masih memiliki rasa sakit terus-menerus pada daerah orofasial, sehingga diperlukan diagnosis dan rencana perawatan yang tepat agar tidak terjadi komplikasi.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sarlani E. Diagnosis and treatment of orofacial pain. Braz JOral Sci, 2003; 2(6): 283-90

2. De Leeuw R. Orofacial pain: Guidelines for assesment, diagnosis, and management. 4th ed. USA: Quintessence book, 2008: 3

3. Meilala L. Nyeri orofasial, mekanisme dan farmakoterapi. JITEKGI, 2003; 1(2): 123-128

4. Yusuf HY, Murniati N. Nyeri sistem stomatognatik. Jakarta: EGC, 2012: 20-22, 28, 39-40, 42-4, 56

5. Li Q, Gao E, Yang Y, Hu H. Traumatic neuroma in a patient with breast cancer after mastectomy: A case report and review of the literature. World Journal of Surgical Oncology, 2012; 10(35): 1-6

6. LanglaisRP, Miller CS. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. Jakarta : Hipokrates, 2012: 80

7. Kodama Y, et al. Orofacial pain related to traumatic neuroma in a patient with multiple tmj operations. The journal of craniomandibular practice, 2012; 30(3): 183-187

8. Walsh TD. Kapita selekta penyakit dan terapi. Alih bahasa. Caroline w. Jakarta: EGC, 1997: 351

9. Prasetyo SN. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010: 11-17, 26, 29, 56-75

10.Klineberg I. Craniomandibular disorders and orofacial pain: Diagnosis and management. Oxford: Wright, 1991: 11

11.DarwisMS. Fisiologi nyeri, 2011.http://fikarkasper309. blogspot.com/2011/08/fisiologi-nyeri.html (Juli 1. 2013)

12.Berta Ulan, 2013.

http://beequinn.wordpress.com/nursing/kebutuhan-dasar-manusia-i-kdm-i/nyeri/ (Juli 1. 2013)

13.Ellis E, Hupp JR, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th ed. Missouri: Mosby, 2003: 663

14.Ardinata D. Multidimensional nyeri. Jurnal keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, 2007; 2(2): 77-81


(46)

15.Tamsuri A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: EGC, 2004: 44,48,50-66

16.Priharjo R. Perawatan nyeri: Pemenuhan aktivitas istirahat pasien. Jakarta: EGC, 1996: 41-4

17.Yang JR, Wang CJ, Kao WB, Wang YL. Traumatic neuroma of bilateral mental nerve: A case report with literature review. Taiwan J Oral Maxillofac Surg, 2010; 21: 252-60

18.Neville BW, Dam DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral and maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadephia: Saunders, 2004: 454

19.Lee EJ, Calcaterra TC, Zuckerbraun L. Traumatic neuromas of the head and neck. ENT Journal, 1998; 77(8): 670-6

20.Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 5th ed. Missouri: Mosby Elsevier, 2008: 623

21.Miloro M. Peterson’s principle of oral and maxillofacial surgery. βnd ed. London: BC Decker, 2004: 611

22.Regezi JA, Sciubba JJ. Oral pathology clinical-pathologic correlations. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1989: 207

23.Rasmussen OC. Painful traumatic neuromas in the oral cavity. Oral surgery, 1980; 49(2): 191-

24.Foltán R, Klíma K, Špačková J, Šedý J. Mechanism of traumatic neuroma development. Medical Hypotheses, 2008; 71: 572-6

25.Lopes MA, Vargas PA, Almeida OP, Takahama A, Leon JE. Oral traumatic neuroma with mature ganglion cells: A case report and review of the literature. JOMFP, 2009; 13(2): 67-9

26.Dipiyono HM. Gangguan nyeri dan bunyi clicking pada sendi temporomandibula,2008.

http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1205_pp1001065.pdf(Agustus 22. 2013) 27.Irawan T. Nyeritemporomandibular joint, 2012. http://irawanphysio.

blogspot.com/012/05/nyeri-temporomandibular-joint.html (Oktober 29. 2013) 28.Jerolimov V. Temporomandibular disorders and orofacial pain.


(47)

29.Okeson JP. Management of temporomandibular disorders and occlusion. 6th ed. St. Louis, Missouri: Elsevier, 2008: 29-56, 130-158

30.Roda RP, Bagan JV, Fernandez JMD, Bazan SH, Soriano YJ. Rivew of temporomandibular joint pathology. Part I: Classification, epidemiology and risk factor. Medicina Oral, 2007; 12:E295-7

31.Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Jakarta: EGC, 1996: 296-300, 318

32.Sharav Y, Benoliel R. Orofacial pain & headache. Philadelphia: Elsevier Limited, 2008: 154-161

33.Dugdale DC. Ear examination,

2013.http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_PrintArticle.aspx?gcid= 003340 (Oktober 29. 2013)

34.Cornelius C, et al. Midface nasal bone-open reduction, 2009.https://www2.aofoundation.org/wps/portal/surgery (Oktober 29.2013) 35.Eisele DW, Smith RV. Complication in head and neck surgery. 2nd

ed.Philadelphia: Mosby Elsevier, 2009.http://www.mdconsult.com/books /page.do?eid=4-u1.0-B978-1-4160-4220-4..50030-4--cesec17&isbn=978 4160 -4220-4&type=bookPage&from=content&uniqId=425538558-2(Agustus 23. 2013)


(1)

Gambar 6. a. Posisi preaurikular 33b. Insisi preaurikular 34

Pertimbangan anatomis yang berkaitan dengan pembedahan preauricular adalah kelenjar parotid, vena dan arteri temporalis superfisialis, dan nervus fasialis serta auriculotemporalis. Struktur-struktur ini terletak di anterior jalur pembedahan preaurikular. Struktur yang berisiko paling tinggi adalah cabang temporalis dari nervus fasialis, yang berjalan arah anteroposterior, melintasi arkus zigomatikus tepat di depan dari meatus auditus eksternus (tulangnya). Nervus tersebut mensarafi muskulus aurikularis anterior, otot dahi dan sebagian besar okuli orbikularis. Penggunaan rangsangan saraf elektrik disposabel mempermudah penentuan lokasi saraf motorik. Jika cabang temporalis dari nervus fasialis mengalami cedera saat pelaksanaan pembedahan, sering kali saat penarikan atau penekanan, kemunduran tersebut akan diketahui saat pemulihan anestesi. Muskulus frontalis dan okuli orbikularis dari sisi yang terlibat mengalami paralisis yang jelas.31

Denervasi merupakan lanjutan atau akibat yang sering kali timbul setelah pembedahan TMJ, baik yang terpotongnya suplai saraf bagian perifer pada sendi, atau akibat cedera atau terpotongnya nervus masseter atau auriculotemporalis itu sendiri. Rasa sakit menekan dan tajam disebabkan oleh tekanan titik pemicu (trigger point) di daerah preaurikular.Nyeri dari jaringan lunak atau organ yang berdekatan dapat terjadi traumatik neuroma.7,31

4.4 Komplikasi Bedah Sendi Temporomandibular Joint

Salah satu komplikasi jangka panjang yang paling menantang dari operasi TMJ adalah nyeri persisten. Pasien yang sebelumnya menjalani beberapa operasi


(2)

TMJ, seperti pengangkatan kedua disk TMJ, penyisipan implan proplast, condylectomy, dan penyisipan Lorenz TMJ mengalami nyeri yang parah menekan titik pemicu (trigger point) di daerah preaurikular (Gambar 7).

Gambar 7. Trigger point pada preaurikular 7

Rasa sakit menekan dan tajam disebabkan oleh tekanan titik pemicu (trigger point) di daerah preaurikular kiri menunjukkan lesi neurogenik. Nyeri dari jaringan lunak atau organ yang berdekatan dapat terjadi infeksi atau lesi, seperti myositis dari otot masseter, peradangan atau infeksi kelenjar getah bening, parotitis, infeksi pasca operasi, traumatik neuroma, hematoma, abses jahitan, lesi dari sporadis, atau tumor lokal lainnya. Semua pasien dengan masalah ini harus sepenuhnya dievaluasi setelah operasi oleh tim TMJ multidisiplin yang meliputi spesialis TMJ non bedah dengan farmakologis yang sesuai, psikologis, dan dukungan terapi fisik.7,35

Kita harus segera waspada untuk mengulang prosedur bedah, karena ada bahaya jangka panjang yang timbul yaitu "TMJ cripple" pada pasien yang telah melaksanakan beberapa prosedur TMJ masih memiliki rasa sakit terus-menerus, dan pasien kini memiliki maloklusi-pergerakan sendi terbatas dan mungkin kelemahan saraf wajah. Dalam beberapa kasus, alasan yang tepat untuk nyeri persisten tidak dapat ditentukan dan tidak kelihatan secara anatomis atau patologis.35


(3)

BAB 5

KESIMPULANDAN SARAN

Nyeri orofasial adalah rasa sakit dan disfungsi yang mempengaruhi motorik dan sensorik transmisi dalam sistem saraf trigeminal yang manifestasinya di daerah oral-fasial, walaupun fokusnya bukan di oral-fasial atau semua nyeri yang mempunyai daerah pemicu (trigger point) di oral-fasial. Nyeri orofasial merupakan istilah umum untuk menyatakan adanya masalah di sekitar jaringan mulut dan wajah, termasuk otot-otot mastikasi dan sendi temporomandibular. Nyeri sendi temporomandibular kebanyakan berhubungan dengan trauma dan fungsi yang salah yang diikuti oleh inflamasi. Pada pasien yang sebelumnya menjalani beberapa operasi TMJ mengalami nyeri yang parah menekan titik pemicu (trigger point) di daerah preaurikular, rasa sakit menekan dan tajam menunjukkan lesi neurogenik. Nyeri dari jaringan lunak atau organ yang berdekatan dapat terjadi traumatik neuroma. Traumatik neuroma sering ditemui setelah cedera saraf perifer, somatik, otonom dan saraf kranial. Traumatik neuroma pada nyeri wajah ditandai dengan riwayat operasi dengan karakter menyengat, terbakar, atau parastesi.Tekanan pada daerah yang dicurigai memprovokasi rasa sakit yang dihasilkan oleh serabut myelin kecil yang biasanya mengirimkan informasi nosiseptif.

Salah satu komplikasi jangka panjang yang paling menantang dari operasi TMJ adalah nyeri persisten. Kita harus segera waspada untuk mengulang prosedur bedah, karena ada bahaya jangka panjang yang timbul pada pasien yang telah melaksanakan beberapa operasi TMJ masih memiliki rasa sakit terus-menerus pada daerah orofasial, sehingga diperlukan diagnosis dan rencana perawatan yang tepat agar tidak terjadi komplikasi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sarlani E. Diagnosis and treatment of orofacial pain. Braz JOral Sci, 2003; 2(6): 283-90

2. De Leeuw R. Orofacial pain: Guidelines for assesment, diagnosis, and management. 4th ed. USA: Quintessence book, 2008: 3

3. Meilala L. Nyeri orofasial, mekanisme dan farmakoterapi. JITEKGI, 2003; 1(2): 123-128

4. Yusuf HY, Murniati N. Nyeri sistem stomatognatik. Jakarta: EGC, 2012: 20-22, 28, 39-40, 42-4, 56

5. Li Q, Gao E, Yang Y, Hu H. Traumatic neuroma in a patient with breast cancer after mastectomy: A case report and review of the literature. World Journal of Surgical Oncology, 2012; 10(35): 1-6

6. LanglaisRP, Miller CS. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim. Jakarta : Hipokrates, 2012: 80

7. Kodama Y, et al. Orofacial pain related to traumatic neuroma in a patient with multiple tmj operations. The journal of craniomandibular practice, 2012; 30(3): 183-187

8. Walsh TD. Kapita selekta penyakit dan terapi. Alih bahasa. Caroline w. Jakarta: EGC, 1997: 351

9. Prasetyo SN. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010: 11-17, 26, 29, 56-75

10.Klineberg I. Craniomandibular disorders and orofacial pain: Diagnosis and management. Oxford: Wright, 1991: 11

11.DarwisMS. Fisiologi nyeri, 2011.http://fikarkasper309. blogspot.com/2011/08/fisiologi-nyeri.html (Juli 1. 2013)

12.Berta Ulan, 2013. http://beequinn.wordpress.com/nursing/kebutuhan-dasar-manusia-i-kdm-i/nyeri/ (Juli 1. 2013)

13.Ellis E, Hupp JR, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th ed. Missouri: Mosby, 2003: 663


(5)

15.Tamsuri A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: EGC, 2004: 44,48,50-66

16.Priharjo R. Perawatan nyeri: Pemenuhan aktivitas istirahat pasien. Jakarta: EGC, 1996: 41-4

17.Yang JR, Wang CJ, Kao WB, Wang YL. Traumatic neuroma of bilateral mental nerve: A case report with literature review. Taiwan J Oral Maxillofac Surg, 2010; 21: 252-60

18.Neville BW, Dam DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral and maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadephia: Saunders, 2004: 454

19.Lee EJ, Calcaterra TC, Zuckerbraun L. Traumatic neuromas of the head and neck. ENT Journal, 1998; 77(8): 670-6

20.Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 5th ed. Missouri: Mosby Elsevier, 2008: 623

21.Miloro M. Peterson’s principle of oral and maxillofacial surgery. βnd ed. London: BC Decker, 2004: 611

22.Regezi JA, Sciubba JJ. Oral pathology clinical-pathologic correlations. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1989: 207

23.Rasmussen OC. Painful traumatic neuromas in the oral cavity. Oral surgery, 1980; 49(2): 191-

24.Foltán R, Klíma K, Špačková J, Šedý J. Mechanism of traumatic neuroma

development. Medical Hypotheses, 2008; 71: 572-6

25.Lopes MA, Vargas PA, Almeida OP, Takahama A, Leon JE. Oral traumatic neuroma with mature ganglion cells: A case report and review of the literature. JOMFP, 2009; 13(2): 67-9

26.Dipiyono HM. Gangguan nyeri dan bunyi clicking pada sendi temporomandibula,2008.

http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1205_pp1001065.pdf(Agustus 22. 2013) 27.Irawan T. Nyeritemporomandibular joint, 2012. http://irawanphysio.

blogspot.com/012/05/nyeri-temporomandibular-joint.html (Oktober 29. 2013) 28.Jerolimov V. Temporomandibular disorders and orofacial pain.


(6)

29.Okeson JP. Management of temporomandibular disorders and occlusion. 6th ed. St. Louis, Missouri: Elsevier, 2008: 29-56, 130-158

30.Roda RP, Bagan JV, Fernandez JMD, Bazan SH, Soriano YJ. Rivew of temporomandibular joint pathology. Part I: Classification, epidemiology and risk factor. Medicina Oral, 2007; 12:E295-7

31.Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Jakarta: EGC, 1996: 296-300, 318

32.Sharav Y, Benoliel R. Orofacial pain & headache. Philadelphia: Elsevier Limited, 2008: 154-161

33.Dugdale DC. Ear examination,

2013.http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_PrintArticle.aspx?gcid= 003340 (Oktober 29. 2013)

34.Cornelius C, et al. Midface nasal bone-open reduction, 2009.https://www2.aofoundation.org/wps/portal/surgery (Oktober 29.2013) 35.Eisele DW, Smith RV. Complication in head and neck surgery. 2nd

ed.Philadelphia: Mosby Elsevier, 2009.http://www.mdconsult.com/books /page.do?eid=4-u1.0-B978-1-4160-4220-4..50030-4--cesec17&isbn=978 4160 -4220-4&type=bookPage&from=content&uniqId=425538558-2(Agustus 23. 2013)