Penanda Konsonan Mati 19-20.
35 kemampuan mengungkapkan pikiran atau gagasan secara jelas dengan
menggunakan bahasa yang efektif, dan kemampuan menerapkan kaidah tulis menulis yang berlaku Darmiyati Zuchdi, 1997: 62.
Menulis seperti halnya ketiga keterampilan berbahasa lainnya yaitu merupakan suatu proses perkembangan yang panjang. Proses tersebut dimulai dari
tingkat awal atau permulaan, mulai dari pengenalan lambang-lambang bunyi dengan cara menirukan bentuk lambang-lambang bunyi sampai pada kemampuan
menghafal dan membedakan lambang-lambang bunyi, merangkai lambang- lambang bunyi tersebut menjadi suatu kata dan kalimat sederhana yang
mempunyai makna, serta mampu menggunakaan tanda baca maupun huruf kapital sesuai dengan kaidah tata bahasa yang berlaku. Pengetahuan dan kemampuan
yang diperoleh pada tingkat permulaan ini akan menjadi dasar peningkatan dan pengembangan kemampuan siswa Darmiyati Zuchdi, 1997: 63.
Demikian halnya dengan keterampilan menulis aksara Jawa. Aksara Jawa dalam kurikulum muatan lokal Bahasa Jawa SD, mulai diperkenalkan pada kelas
IV. Pada tahap ini, siswa kelas IV SD mulai mengenal lambang-lambang bunyi beraksara Jawa, yaitu aksara
carakan lêgênå
yang berjumlah 20 aksara dari “
hå
” sampai
“ngå”, belajar membedakan lambang bunyi yang satu dengan yang lainnya, belajar merangkai lambang-lambang bunyi aksara Jawa menjadi kata dan
kalimat sederhana, serta mulai belajar menggunakan
sandhangan
baik
sandhangan swårå
sebagai penanda vokal maupun
sandhangan panyigêg wandå
yang berfungsi sebagai penanda konsonan mati.
Sandhangan
itu berfungsi sebagai pengubah bunyi aksara Jawa.
36 Sama halnya dengan huruf Latin, aksara Jawa juga merupakan lambang
yang digunakan untuk menulis teks berbahasa Jawa. Perbedaan antara aksara Jawa dan huruf Latin adalah aksara Jawa bersifat silabik suku kataan Tim
Penyusun, 2003: 5, sehingga satu bentuk aksara Jawa, melambangkan satu suku kata yang terdiri atas
konsonan dan vokal “
a
”, sedangkan setiap satu huruf Latin melambangkan satu konsonan atau satu vokal yang dapat berdiri sendiri.
Aksara Jawa juga bersifat konsonantal seperti yang dikemukakan oleh Hesti Mulyani 2011: 5
aksara Jawa menika ugi asipat konsonantal, tegesipun saben satunggal aksara ingkang dipunpasangi utawi dipunpangku nggambaraken
satunggal konsonan utawi aksara ingkang boten madeg piyambak tanpa aksara
swara, tuladhanipun “wonten”. Pendapat tersebut menegaskan bahwa aksara Jawa bersifat konsonantal, yaitu setiap satu huruf yang diikuti
pasangan
atau tanda
pangkon
menggambarkan satu konsonan yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa huruf vokal
contoh pada kata “
wonten
”. Perbedaan sifat antara aksara Jawa dan huruf Latin itulah yang membuat
siswa kebingungan dalam mempelajari aksara Jawa. Selain itu, bentuk-bentuk aksara Jawa juga hampir sama, sehingga memungkinkan siswa terbalik dalam
menghafal masing-masing bentuk aksara Jawa dan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam mengerjakan soal tentang materi aksara Jawa. Oleh karena itu,
dalam proses pembelajaran aksara Jawa, seharusnya guru mengajarkan aksara Jawa dengan hati-hati, sabar, dan teliti, baik dalam mengajarkan cara menulis
aksara Jawa yang dimulai dari bawah ke atas, ataupun dalam memahamkan siswa terhadap bentuk-bentuk dan bunyi dari masing-masing lambang aksara Jawa.
37 Belajar aksara merupakan proses belajar yang berjenjang karena
kemampuan yang diperoleh pada tingkat permulaan akan menjadi dasar peningkatan dan pengembangan kemampuan siswa selanjutnya. Hal itu
menegaskan bahwa pemahaman siswa dalam mempelajari aksara Jawa pada tingkat permulaan menjadi prasyarat dalam kegiatan mempelajari aksara Jawa
pada tingkat selanjutnya. Oleh karena itu, kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan persoalan aksara Jawa harus segera diatasi agar tidak terjadi
penumpukan materi aksara Jawa yang harus dipelajari siswa. Menulis aksara Jawa merupakan salah satu keterampilan berbahasa
sehingga kesalahan dalam menulis aksara Jawa merupakan salah satu bentuk kesalahan berbahasa. Kesalahan dipahami sebagai penyimpangan atau kekeliruan
yang disengaja ataupun tidak disengaja terhadap suatu kaidah atau aturan bahasa yang telah ditentukan. Kesalahan berbahasa juga diartikan sebagai penggunaan
bahasa, baik secara lisan ataupun tertulis yang menyimpang dari faktor-faktor penentu berkomunikasi atau menyimpang dari norma kemasyarakatan dan
menyimpang dari kaidah tata bahasa Nanik Setyawati, 2010: 15. Kesalahan sering terjadi dalam proses mempelajari bahasa. Kesalahan
berbahasa merupakan bagian dari proses belajar mengajar, baik secara formal maupun tidak formal Nanik Setyawati, 2010: 16. Lebih lanjut, Nanik Setyawati
2010: 17 mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa yang terjadi atau dilakukan oleh siswa dalam suatu proses belajar mengajar mengimplikasikan
tujuan pengajaran bahasa belum tercapai secara maksimal. Semakin tinggi kuantitas kesalahan berbahasa, semakin sedikit tujuan pengajaran bahasa yang