1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika manusia sudah menginjak usia dewasa, mereka dituntut untuk memenuhi berbagai hal sesuai dengan tugas perkembangannya. Havighurst
dalam Hurlock, 1999 menyatakan bahwa menginjak usia dewasa atau biasa disebut sebagai usia dewasa awal yang berada pada rentang usia 18 – 40 tahun,
individu dihadapkan pada tugas perkembangan untuk memilih pasangan hidup. Pada masa ini mereka dituntut untuk melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau
sebuah rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa UU No.1 tahun1974 dalam Subekti Tjitrosudibio, 2001. Wismanto 2012
menambahkan bahwa pernikahan mengandung harapan untuk mencapai suatu kebahagiaan baik material maupun spiritual. Kebahagiaan yang ingin dicapai
adalah kebahagiaan yang kekal karenanya pernikahan yang diharapkan juga merupakan pernikahan yang kekal, yang hanya berakhir dengan kematian dari
salah satu pasangan. Setiap orang menginginkan keluarga yang utuh dan bahagia selamanya di
dalam pernikahannya. Namun pada kenyataannya bahwa tidak semua orang dapat menjalani kehidupan pernikahannya dengan baik sehingga tidak mampu lagi
Universitas Sumatera Utara
meneruskan pernikahan tersebut. Ketika ketegangan antara pasangan tidak mereda dan terus memuncak, dan terjadi pada waktu yang cukup lama, maka tidaklah
mengherankan jika perceraian dilihat sebagai alternatif penyelesaian yang baik untuk permasalahan yang sedang dihadapi Miller Siegel, dalam Margiantari,
2008. Ketika pasangan memilih untuk melakukan perceraian, hal itu merupakan
indikasi dari adanya ketidakpuasan pasangan di dalam pernikahannya. Seperti yang diungkapkan Wismanto 2004 yang menyatakan bahwa perceraian adalah
indikasi tidak adanya kepuasan pernikahan di antara suami istri. Ketika seseorang puas dengan pernikahannya, maka kehidupannya akan bahagia dan berusaha
mempertahankan pernikahan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang merasa tidak puas dengan pernikahannya, maka ia cenderung akan mengakhiri hubungan itu
dan dapat mengakibatkan perceraian. Hurlock 1999 juga berpendapat bahwa perceraian merupakan puncak dari ketidakpuasan pernikahan yang tertinggi dan
terjadi apabila suami dan istri sudah tidak mampu lagi saling memuaskan, saling melayani dan mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua
belah pihak. Penelitian yang dilakukan oleh Markman dalam Larsen Olson, 1989
menemukan bahwa terdapat 77 pasangan yang bercerai mengalami masalah- masalah yang berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kepuasan
pernikahan. Gottman dan Levenson 2002 juga mengadakan studi penelitian longitudinal terhadap 79 pasangan mengenai prediksi terjadinya perceraian
melalui kepuasan pernikahan dan menemukan bahwa kepuasan pernikahan
Universitas Sumatera Utara
tersebut merupakan salah satu aspek penting dalam menentukan kestabilan dan keberhasilan dalam pernikahan. Dengan kata lain, jika kepuasan pernikahan tidak
terpenuhi, pernikahan tersebut akan menjadi tidak stabil dan bahkan berakhir dengan perceraian.
Kepuasan pernikahan itu sendiri merupakan evaluasi yang dilakukan oleh suami dan istri terhadap hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau
memuaskan Hendrick Hendrick, 1992. Roach, dkk dalam Pujiastuti Retnowaty, 2004 juga menambahkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan
persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu. Kepuasan
pernikahan dapat dilihat dari evaluasi yang dilakukan terhadap sepuluh aspek dalam pernikahan, meliputi komunikasi yang menyenangkan, kehidupan
beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik
dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya Olson
Fowers, 1989. Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan berkaitan erat dengan kebahagiaan di dalam pernikahan dan tingkat perceraian yang mungkin
terjadi Wismanto, 2004. Kepuasan pernikahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni
latarbelakang ekonomi, pendidikan, hubungan dengan orang tua, kehadiran anak dan usia pernikahan Hendrick Hendrick, 1992. Salim 2010 dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitiannya juga menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah latarbelakang sosial budaya.
Budaya itu sendiri dianut oleh manusia dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia tersebut. Individu sebagai makhluk sosial tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan dimana mereka hidup dengan norma-norma dan adat istiadat yang selalu mengikat, termasuk pernikahannya Amir dkk, 1986.
Pernikahan sebagai bagian dari kehidupan manusia dan merupakan salah satu cara hidup di dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh budaya.
Pandangan setiap budaya terhadap pernikahan berbeda-beda. Menurut Saragih 1980, pada budaya tertentu pernikahan bukan hanya menjadi masalah
antara pihak yang menikah tetapi juga menjadi masalah kedua keluarga belah pihak. Bagi sebagian suku, kehidupan pernikahan dipandang sebagai urusan
bersama oleh keluarga besarnya sedangkan sebagian suku lainnya memandang bahwa kehidupan pernikahan itu merupakan urusan kedua pasangan yang telah
menikah dan tidak ada campur tangan dari keluarga besarnya. Misalnya di dalam suku adat Minangkabau dimana pernikahan menjadi urusan bersama didasarkan
pada falsafah yang menganggap bahwa manusia dan individu hidup bersama-sama sehingga masalah rumah tangga menjadi urusan bersama pula Amir dkk., 1986.
Pada suku Jawa, pernikahan tidak dipandang sebagai penggabungan dua jaringan keluarga yang luas, tetapi dimaksudkan untuk membentuk suatu rumah tangga
sebagai unit yang berdiri sendiri dan semua keputusan berada di tangan pasangan yang telah menikah tersebut. Dengan kata lain, pihak orang tua tidak begitu
berpengaruh terhadap satu rumah tangga yang telah dibina Hariyono, 2006. Pada
Universitas Sumatera Utara
budaya Batak Toba, adat istiadat sangat dijunjung tinggi dan berperan dalam mengatur keseluruhan tingkah laku masyarakatnya, begitu
juga dengan pernikahan sebagai salah satu siklus kehidupan seseorang, sangat dipengaruhi
oleh budaya yang terdapat pada suku tersebut Saragih, 1980. Sumatera Utara merupakan provinsi yang mayoritas didiami oleh Suku
Batak Toba Hadiluwih, 2008. Walaupun merupakan suku mayoritas, tingkat perceraian pada suku ini ditemukan sangat rendah. Berikut data tingkat perceraian
suku Batak Toba yang terjadi di kota Medan berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Medan.
Tabel 1. Data Tingkat Perceraian Di Kota Medan
Tahun Jumlah orang yang
bercerai Jumlah seluruh
kasus perceraian Persentase
2011 40
1894 2.11
2012 43
2229 1.93
Sumber: Pengadilan Negeri Medan 2013 Pengadilan Agama Medan 2013
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus perceraian pada suku Batak Toba pada tahun 2011 sebesar 40 kasus dari total 1894 kasus perceraian atau sebesar 2.11.
Pada tahun 2012, tercatat sebanyak 43 kasus dari total 2229 kasus perceraian atau sebesar 1.93 sumber data dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
Medan. Jika kita memperhatikan tabel di atas lebih lanjut, dapat dilihat bahwa tingkat perceraian semakin meningkat pada periode tahun 2011 ke 2012, namun
sebaliknya kasus perceraian pada suku Batak Toba tidak mengalami peningkatan dan justru mengalami penurunan, yakni dari 2.11 menjadi 1.93.
Silaban 2010 menyebutkan bahwa adanya adat yang mengikat akan mempersempit kesempatan orang untuk bercerai. Pernyataan ini didukung oleh
Universitas Sumatera Utara
Sitohang dan Sibarani 1988 yang menyatakan bahwa pada suku Batak Toba, perceraian sangat dilarang dan apapun akan dilakukan agar perceraian antara
pasangan yang telah menikah tidak terjadi. Ia juga menambahkan bahwa pasangan suami istri Batak Toba adalah satu perasaan baik susah maupun senang dan atas
seluruh kehidupan mereka dan tidak dapat dipisahkan, apapun alasannya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, rendahnya tingkat perceraian
merupakan indikasi dari adanya kepuasan pernikahan sehingga pasangan akan mempertahankan pernikahan tersebut Wismanto, 2004. Berdasarkan data yang
dikemukakan sebelumnya, tingkat perceraian pada suku Batak Toba adalah rendah. Rendahnya tingkat perceraian ini menunjukkan bahwa umumnya
pernikahan Batak Toba cenderung stabil, bertahan, dan kekal. Hal ini sesuai dengan pendapat Matlin 2008 yang menyatakan bahwa pernikahan yang stabil
dan langgeng itu merupakan pernikahan yang memuaskan, bahagia, dan bertahan lama. Adanya kepuasan di dalam kehidupan pernikahan membuat pernikahan itu
kekal dan hanya akan dapat berakhir dengan kematian dari salah satu pasangan Wismanto, 2004.
Adat suku Batak Toba juga tidak terlepas dari sistem kekerabatan dan kekeluargaan yang disebut dengan dalihan na tolu. Nilai adat ini memandang
bahwa pernikahan merupakan urusan bersama kedua belah pihak keluarga dan bukan hanya menjadi masalah antara pihak yang menikah. Hal ini disebabkan
karena pernikahan pada suku Batak Toba bertujuan untuk melanjutkan keturunan marga dan akan bertambahnya keluarga yaitu orang tua dan keluarga pihak suami
ataupun pihak istri Saragih, 1980. Payung Bangun dalam Lubis, 1999
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan bahwa pernikahan suku Batak Toba merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga
mengikat kaum kerabat si laki-laki paranak dengan kaum kerabat si wanita parboru dalam suatu hubungan yang tertentu.
Di awal pernikahan, semua keluarga memberikan nasehat agar pasangan menikah tersebut menjadi keluarga yang rukun dan ‘gabe’ atau bahagia, memiliki
anak laki-laki dan perempuan. Hal ini tampak pada pesan yang selalu disampaikan pada pesta pernikahan pasangan agar: “maranak sampulu pitu, marboru sampulu
onom”, artinya mempunyai putra tujuh belas orang dan putri enam belas Siahaan, 2005. Pasangan tersebut sangat diharapkan untuk menjadi keluarga yang kekal
sampai selama-lamanya, tetap harmonis sampai memiliki cucu, langgeng, bahagia, saling memahami dan menghargai. Pasangan tersebut diharapkan untuk
tetap bersama baik dalam keadaan suka maupun duka, dan akan tetap mempertahankan pernikahannya Sitohang Sibarani, 1988.
Lubis 1999 menyebutkan bahwa keluarga Batak Toba dari kedua belah pihak pasangan suami istri turut dalam penyelesaian konflik yang terjadi di antara
pasangan tersebut. Apabila terjadi perselisihan di antara pasangan, maka akan diselesaikan oleh sistem keluarga dalihan na tolu tersebut. Dalihan na tolu ikut
serta mengatasi masalah di antara pasangan dengan cara musyawarah dan mufakat dan keputusan yang diambil harus dipatuhi anggotanya. Dalihan na tolu ini juga
turut berperan dalam mempertahankan pernikahan pasangan tersebut. Secara psikologis, penerapan nilai adat dalihan na tolu yang ada pada pernikahan suku
Batak Toba merupakan bentuk dukungan sosial dalam pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
Sunarti, dkk. 2005 dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan
pernikahan. Semakin besar dukungan sosial yang diperoleh oleh pasangan, maka semakin baik kepuasan pernikahannya. Blood dalam Margiantari, 2008 juga
menambahkan bahwa adanya support dukungan berperan penting untuk mencapai pernikahan yang sukses. Hal ini senada dengan penelitian Atirah 2005
yang menemukan bahwa dukungan sosial, baik itu dukungan yang berasal dari keluarga besar, keluarga inti, dan tetangga berhubungan dengan pernikahan.
Dukungan sosial itu sendiri merupakan perasaan nyaman yang dirasakan, dihargai, atau bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain
Sarafino, 2006. Sunarti dkk. 2005 mendefinisikan dukungan sosial itu sebagai bantuan fisik dan nonfisik dari keluarga luas, tetangga, atau teman yang
mendatangkan nilai positif kepada pasangan dalam menjalankan fungsi dan perannya. Anggraeni 2009 menambahkan adanya berbagai dukungan sosial yang
diterima oleh individu menyebabkan individu merasa kuat dan tetap tegar dalam menjalani hidupnya, termasuk kehidupan pernikahannya. Dukungan sosial itu
dapat diperoleh dari keluarga, teman, orang tua, pasangan, komunitas sosial, rekan sekerja, tetangga, maupun professional kesehatan Baron Byrne, 2000; Taylor,
2009; Nichole, 2004. Keluarga merupakan sumber dukungan sosial pertama yang penting untuk
mengatasi masalah. Kertamuda 2009 menyatakan bahwa dukungan keluarga menjadi kebutuhan setiap anggotanya, dikarenakan keluarga merupakan tempat
memperoleh kenyamanan, cinta, dukungan emosional sehingga individu menjadi
Universitas Sumatera Utara
bahagia, sehat, dan aman. Gunarsa dan Gunarsa 2000 juga menyatakan hubungan yang didapatkan dari keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh
terhadap keharmonisan atau ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh seseorang. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada
hubungan antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
B. PERUMUSAN MASALAH