2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan, diantaranya Nurjaeni 2004 yang mengkaji penelusuran karakteristik rumahtangga miskin
dengan menggunakan metode CHAID di Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan fasilitas listrik adalah peubah pertama yang
terpilih dalam membedakan rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak miskin. Peubah-peubah lainnya yang juga berperan dalam membedakan kedua kelompok
rumahtangga adalah pendidikan tertinggi kepala rumahtangga, luas lantai yang digunakan, kepemilikan fasilitas rumahtangga, kepemilikan asset usaha, sumber
air untuk minum dan memasak serta proporsi untuk makanan. Rumahtangga dengan karakteristik tidak memiliki fasilitas listrik dan asset usaha, sumber air
untuk minum dan memasaknya berasal dari sumur tak terlindungair hujan, berjenis lantai tanah dan tidak memiliki fasilitas rumahtangga adalah lebih
menunjukkan karakteristik rumahtangga miskin. Hasil penelitian Papilaya 2006 yang mengkaji akar penyebab
kemiskinan menurut rumahtangga miskin dan strategi penanggulangannya kasus di Kota Ambon Provinsi Maluku dan di Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo
dengan pendekatan Ilmu Penyuluhan Pembangunan menunjukkan bahwa akar penyebab kemiskinan perkotaan dan pedesaan bersifat hierarkis, multi-faktor dan
multi-demensional, yaitu: kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin, kurang normatifnya pelaku etis, lemahnya kepribadian rumahtangga miskin,
memudarnya sistem nilai budaya, kuatnya kepentingan elitis, ketimpangan infrastruktur, persaingan yang tidak adil dan deprivasi kapabilitas aset produksi.
Akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan, yaitu kurang produktifnya perilaku rumahtangga miskin dan kurang normatifnya perilaku elitis.
Faktor-faktor determinan yang mempengaruhi perilaku rumahtangga miskin pada tipologi kemiskinan perkotaan, yaitu: modal sosial tingkat partisipasi sosial dan
modal manusia tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan nonformal, kepribadian melankolis dan kepribadian plegmatis, sedangkan pada tipologi
kemiskinan pedesaan, yaitu: modal sosial tingkat partisipasi sosial, tingkat kekosmopolitan dan budaya gotong royong, modal alamiah akses rumahtangga
terhadap sumberdaya alam dan modal manusia kepribadian melankolis dan kepribadian plegmatis.
Faktor-faktor determinan yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraan rumahtangga miskin pada tipologi kemiskinan perkotaan, yaitu:
modal sosial tingkat kepercayaan sosial dan budaya gotong royong, modal politik akses terhadap kebijakan publik dan kebijakan terhadap kemsikinan dan
modal fisikal akses terhadap kelembagaan dan kondisi perumahan, sedangkan pada tipologi kemiskinan pedesaan, yaitu: modal alamiah akses terhadap
sumberdaya alam, modal fisikal akses terhadap kelembagaan dan kondisi perumahan, modal finansial tingkat pendapatan dan sumber modal dan perilaku
rumahtangga miskin aspek kognitif dan keterampilan. Strategi utama
penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan, yaitu: 1 pelembagaan Good Governance
, 2 peningkatan kapabilitas, 3 revitalisasi modal sosial, 4 advokasi kebijakan publik, 5 keterjaminan sosial, 6 pemberdayaan
infrastruktur, 7 pemberdayaan ekonomi rakyat, dan 8 redistribusi aset produksi. Model pemberdayaan rumahtangga miskin, yaitu: model radar 1HP-6M-
8S satu hati berbasis nilai-nilai lokal dan global, satu perilaku produktif dan normatif dari seluruh stakeholders pembangunan, enam modal dasar berbasis
mata pencaharian utama rumahtangga miskin dan delapan strategi utama penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan.
Harniati 2007 yang mengkaji tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem dan implikasinya pada kebijakan pengurangan
kemiskinan. Penelitian ini menemukan bahwa kemiskinan berasosiasi kuat dengan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada tiap agroekosistem.
Kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola tertentu systematic patterns. Temuan dan simulasi terhadap indikator kemiskinan
memperlihatkan bahwa ada keragaman kemiskinan dan kerentanan diantara agroekosistem. Kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat dengan
agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan, sedangkan rumahtangga di kawasan hutan relatif paling rendah
kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Penelitian ini menemukan juga, bahwa faktor-faktor penciri kemiskinan terkait erat dengan
agroekosistem. Faktor pengeluaran rumahtangga untuk makanan, pemilikan rumah sebagai modal fisik secara umum merupakan faktor penciri lainnya pada
semua agroekosistem. Faktor fasilitas kesehatan dan pengeluaran untuk kesehatan, sanitasi dan lingkungan merupakan ciri yang khas di lahan basah. Sumber
penghasilan dari peternakan dan pertambangan dan porsi pengeluaran yang besar untuk pendidikan terjadi di lahan campuran. Faktor bahan bakar minyak tanah
merupakan penciri pengeluaran dataran tinggi, lahan kering, hutan dan pantaipesisir. Sumber penerangan listrik merupakan faktor yang khas di
pantaipesisir. Faktor transportasi darat berpengaruh nyata terhadap pengeluaran rumahtangga di lahan campuran. Penelitian ini secara umum memberikan
rekomendasi yaitu: 1 kebijakan di bidang pangan bagi penduduk miskin, 2 kebijakan penyediaan modal fisik physical capital bagi rumahtangga miskin,
dan 3 kebijakan pembangunan infrastruktur fisik yang berpihak pada rumahtangga miskin sebagai kebijakan prioritas utama yang harus dilaksanakan di
semua agroekosistem dan nasional. Secara lebih spefisik, untuk lahan basah, kebijakan pembangunan infrastruktur dan fasilitas kesehatan menjadi kebutuhan
prioritas. Daerah hutan dan pesisir, diperlukan penataan kelembagaan, kebijakan pengembangan sumberdaya manusia human capital dan alternatif mata
pencaharian. Daerah pesisir, diperlukan kebijakan khusus yang memperluas akses rumahtangga terhadap penguasaan aset fisik dan keuangan.
Agusta et al. 2003 menyatakan pembangunan infrastruktur di pedesaan Indonesia cenderung berhasil mengurangi kemiskinan melalui pengembangan
ekonomi. Namun demikian, masih terdapat anomali desa-desa dengan penduduk dominan kaya tanpa pembangunan infrastruktur yang ekstensif, juga desa-desa
dengan penduduk dominan miskin miskin meskipun dengan infrastruktur di dalamnya relatif lengkap. Strategi kutub pertumbuhan hanya cocok untuk desa
kaya dan berkembang memiliki infrastruktur lengkap. Kebalikannya, strategi penanggulangan kemiskinan cocok pada desa miskin dengan kombinasi baik desa
berkembang infrastruktur lengkap maupun teringgal kelengkapan infrastruktur rendah. Dalam
konteks pembangunan infrastrukur masa kini, strategi penanggulangan kemiskinan lebih cocok, daripada strategi kutub pertumbuhan,
dalam mengembangkan penduduk desa-desa di Indonesia.
Asra 2000, yang melakukan dekomposisi atas perubahan insiden kemiskinan agregat di Indonesia menurut sektor desa-kota. Beberapa diantara
temuan penting dari studi tersebut adalah bahwa: 1 penurunan kemiskinan di daerah pedesaan merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan
kemiskinan secara agregat dan pertumbuhan ekonomi merupakan komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan poverty reduction di Indonesia,
2 elastisitas kemiskinan terhadap ’distributionally neutral growth’ untuk ketiga ukuran FGT headcount index, poverty gap index dan distributionally sensitive
index di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan,
yang menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah pedesaan lebih elastis atau sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan 3 hasil dari simulasi dekomposisi
menunjukkan bahwa pergeseran di dalam angkatan kerja dan perbaikan peluang kerja di sektor perkotaan memainkan peranan penting dalam mengurangi
kemiskinan agregat. Kemiskinan sebagai suatu masalah sosial ekonomi telah merangsang
banyak kegiatan penelitian yang dilakukan berbagai pihak seperti diuraikan di atas dengan berbagai latar belakang ilmu yang berbeda. Sebagai dasar untuk kebijakan
pengentasannya, memahami masalah kemiskinan seringkali menuntut adanya upaya pendefinisian, pengukuran dan pengidentifikasian kemiskinan Hagenaars
dan De Vos, 1988. Kemiskinan dapat diteliti dengan pendekatan kulatitatif, kuantitatif dan gabungannya Hayati et al. 2006. Sebenarnya sudah terdapat
berbagai kajian yang ditujukan untuk mengklasifikasikan orang miskin dan menganalisis penyebab kemiskinan, namun demikian upaya-upaya tersebut belum
tuntas. Hal ini karena kemiskinan bersifat komplek Bevan dan Joereman, 1997,
multidimensi dan karena kemiskinan bersumber dari aneka kondisi BPS Banten, 2006.
Hasil penelusuran terhadap hasil-hasil tinjauan pustaka dan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa penulusuran faktor penyebab dan karakteristik
kemiskinan wilayah masih bersifat umum dan belum memperhatikan tipologi desanya, begitu pula halnya dalam mengkaji faktor penciri dan karakteristik
rumahtangga miskin. BPS dalam menetapkan rumahtangga miskin selama ini masih belum melihat tipologi wilayahnya. Hal ini berdampak pada strategi
penanggulangan kemiskinan yang dihasilkan masih belum belum spesifik lokasi. Penelitian kali ini akan mengkaji secara lebih dalam tentang faktor
penyebab dan karakteristik desa miskin di pedesaan serta penerapan strategi yang sesuai untuk diterapkan berdasarkan tipologi desa. Lebih lanjut juga diidentifikasi
faktor penciri dan karakteristik rumahtangga miskin serta penerapan strategi yang sesuai untuk diterapkan di daerah pertanian. Diharapkan dengan terjawabnya
pertanyaan-pertanyaan tersebut, upaya melepaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan bisa berhasil atau setidaknya kemiskinan dapat dikurangi dan
programkebijakan dapat langsung menyentuh pada persoalan mendasarnya.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pikir Penelitian
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah ditemukan dimana- mana. Fakta kemiskinan baik menyangkut individu maupun masyarakat akan
mudah dilihat, walaupun baru sebatas persepsi atau penilaian kualitatif. Kemiskinan adalah fakta yang dihadapi manusia. Kemiskinan dari sisi ekonomi
merupakan musuh nyata karena tujuan pembangunan ekonomi tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang salah satunya membebaskan dari
kemiskinan. Kemiskinan ibarat cerita klasik yang tetap melingkupi hingga saat ini. Berbagai upaya menanggulangi kemiskinan telah dilakukan baik oleh pemerintah,
swasta, masyarakat bahkan keterlibatan negara asing donor, akan tetapi tetap saja kemiskinan ini terjadi. Kemiskinan dari sisi waktu berfluktuasi dan sangat
rentan terhadap gejolak ekonomi makro, goncangan politik dan sosial lainnya. Walaupun jumlah penduduk miskin di suatu waktu menurun dengan kata lain
berhasil mematikan mata rantai kemiskinan pada sebagian orang tetapi bisa jadi itu hanya dalam beberapa saat saja dan akan kembali miskin bila goncangan
terjadi. Penurunan kemiskinan di masyarakat ibarat kematian zombie yang tidak mati secara organis-biologis dan akan kembali miskin bila goncangan ekonomi
dan sosial kembali menimpa. Menurut BPS 2006, secara faktual telah terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin dari 54.20 juta jiwa atau 40.10 persen pada tahun 1976 menjadi 22.60 juta jiwa atau 17.47 persen pada tahun 1996. Walaupun demikian, ketika
krisis multi-dimensi melanda Indonesia, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi dua kali lipat, yaitu 49.5 juta jiwa 24.23 persen pada tahun 1998.