220
mampu membeli satu stel pakaian selama setahun yang lalu, tidak mampu mengkonsumsi lauk dan tidak mempunyai persediaan makanan pokok.
Gambaran karakteristik tersebut telah memberikan hasil yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketepatan seperti terlihat pada Tabel 53
yang dihasilkan oleh analisis CHAID cukup besar yaitu 96.6 persen dengan tingkat kesalahan sebesar 3.4 persen. Tabel 53 menunjukkan bahwa jumlah
rumahtangga miskin di Desa Sudimanik yang dihasilkan oleh analisis CHAID sebanyak 365 rumahtangga 78.16 persen sedangkan tidak miskin sebanyak 102
rumahtangga 21.84 persen. Sementara, hasil identifikasi Departemen Pertanian, jumlah rumahtangga miskin lebih banyak yaitu 381 rumahtangga 81.59 persen.
Diagonal kedua Tabel 53 menunjukkan perubahan status desa yang dilakukan dengan analisis CHAID. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak ada
desa tidak miskin berubah menjadi miskin. Namun desa-desa yang sebelumnya miskin berubah menjadi tidak miskin sebanyak 16 desa.
Tabel 53. Ketepatan Klasifikasi Analisis CHAID di Desa Sudimanik Prediksi
Desa Tidak miskin
Miskin Ketepatan
Tidak miskin 86
100.00 Miskin
16 365
95.80 Total
102 21.84
365 78.16
450 96.57
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS
7.2.5 Asosiasi dan Interaksi antar Peubah Penjelas dan Peubah Respon
Pada dendogram hasil analisis CHAID juga dapat diketahui asosiasi dan interaksi antar peubah. Secara keseluruhan asosiasi dan interaksi hanya ditemukan
pada proses analisis CHAID di Desa Babakan Keusik. Asosiasi dan interaksi
221
terjadi pada kelompok rumahtangga yang memiliki luas lantai perkapita lebih dari 8.1 m
2
. Peubah-peubah yang menunjukkan adanya asosiasi dan interaksi adalah kemampuan mengkonsumsi lauk dan persediaan makanan yang dimiliki. Besar
asosiasi antara peubah dapat mengkonsumsi lauk dan memiliki persediaan makanan adalah 1515+52 = 0.78. Nilai ini lebih besar bila dibandingkan dengan
rasio rumahtangga yang tidak dapat mengkonsumsi lauk dan memiliki persediaan makanan yaitu hanya sebesar 1212+17 = 0.43. Sedangkan besarnya interaksi
pada peubah dapat mengkonsumsi lauk dan peubah memiliki persediaan makanan adalah 55.8 persen ─ 13.3 persen = 42.50 persen. Nilai ini lebih kecil bila
dibandingkan dengan peubah tidak dapat mengkonsumsi lauk dan memiliki persediaan makanan yaitu sebesar 100 persen – 50 persen = 50 persen.
VIII. STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Kebijakan makro yang pro poor merupakan prasyarat penting necessary condition
yang tidak dapat ditinggalkan dalam upaya pengurangan kemiskinan. Namun demikian, pelaksanaan kebijakan ini saja belum cukup insufficient,
diperlukan perspektif mikro yang selama ini terabaikan dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan Harniati, 2007.
8.1 Makro di Tingkat Wilayah
Analisis makro di tingkat wilayah dilakukan dengan melakukan analisis SWOT. Analisis SWOT yang terdiri dari analisis internal dan eksternal,
digunakan untuk menentukan dan menganalisis strategi dimaksud, karena faktor- faktor internal dan eksternal di dalam penanggulangan kemiskinan memiliki
tingkat kohesi dan kombinasi yang tinggi untuk saling mempengaruhi.
8.1.1 Analisis Lingkungan Internal
Analisis lingkungan internal bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai faktor yang menjadi kekuatan Strength dan kelemahan
Weakness, dimana kajian internal pada hakekatnya merupakan analisis dan evaluasi atas kondisi, kinerja dan permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan hasil
analisis lingkungan internal diperoleh faktor-faktor yang menjadi kekuatan yang dapat dimanfaatkan oleh Kabupaten Pandeglang dalam menanggulangi
kemiskinan di wilayah pedesaan adalah sebagai berikut: 1. Potensi SDA yang besar
Kabupaten Pandeglang memiliki potensi SDA yang sangat besar. Potensi tersebut antara lain meliputi potensi pada sektor pertanian, peternakan,