5.3. Pengaruh Persepsi Tentang Klinik VCT Terhadap Tingkat Pemanfaatan Klinik VCT
Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda antara variabel persepsi tentang klinik VCT didapatkan p value 0,000 0,05. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan
bahwa variabel persepsi tentang klinik VCT berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pemanfaatan klinik VCT. Khairurahmi 2008, menyatakan bahwa persepsi
terhadap pelayanan kesehatan berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemanfaatan klinik VCT.
Menurut Azwar yang dikutip oleh Putri 2007, sikap dan tingkah laku hendaknya memenuhi norma yang dikehendaki oleh masyarakat khususnya pasien
atau si penderita yaitu sopan, sabar, ramah tamah, tidak ragu-ragu, penuh perhatian, selalu memberikan bantuan dan pertolongan yang diperlukan, membina hubungan
yang baik dengan pasien dan keluarganya sehingga timbul kepercayaan kepada tenaga kesehatan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat diketahui bahwa pengetahuan yang rendah tentang klinik VCT karena mereka mengganggap bahwa klinik VCT
hanya untuk menentukan seseorang postitif HIVAIDS atau tidak dan pengambilan ARV. Selama mereka merasa tubuh mereka baik-baik saja mereka tidak akan
memeriksakan diri lagi. Penderita HIVAIDS seringkali memeriksakan diri kembali ketika tubuh mereka sudah menurun yaitu dengan jumlah CD-4 yang sangat rendah.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, responden menyatakan bahwa pra tes yang dilakukan oleh pihak pemberi pelayanan sebagian tergolong cukup baik.
Sebagian menyatakan mereka mendapat pra tes dari pihak LSM, setelah merasa
bahwa mental sudah cukup baik maka mereka akan didampingi oleh pihak LSM untuk memerikasakan diri ke klinik VCT.
Dalam proses konseling pra tes, konselor dituntut untuk mampu menyiapkan diri klien untuk pemeriksaan HIV, memberi pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau
tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Dalam konseling didiskusikan juga tentang seksualitas, hubungan relasi
dan suntikan berisiko serta membantu klien untuk melindungi diri dari infeksi. Konseling dimaksud juga untuk pemahaman yang salah tentang AIDS dan mitosnya
Depkes RI, 2004. Menurut penelitian Haruddin,Dkk 2007, di klinik VCT RSUP Sarjito Yogyakarta, kendala yang dihadapi dalam melakukan pra tes adalah waktu
tunggu klien yang lama, konselor tidak siap di tempat, bahasa yang digunakan konselor terkadang sulit untuk dimengerti oleh klien dan tempat konseling yang tidak
nyaman. Menurut laporan UNGASS 2005, dinyatakan bahwa terbatasnya sarana tes,
konseling dan perawatan ARV merupakan salah satu tantangan utama bagi kesuksesan program nasional guna meredam jumlah kasus. Tantangan lainnya yaitu
terbatasnya penjangkauan terhadap kelompok risiko tinggi, tingginya penggunaan jarum suntik di kalangan IDU, masih tingginya stigma terhadap ODHA.
Menurut penelitian Haruddin, dkk 2007 di klinik VCT RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta, kendala yang dihadapi dalam melakukan tes adalah waktu tunggu klien,
sikap petugas yang kurang empati dan pengambilan sampel yang dilakukan tidak di ruangan pengambilan sampel.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, responden menyatakan bahwa tes yang diikuti mereka masih cukup baik, akan tetapi beberapa dari mereka menyatakan
bahwa tes dilakukan tanpa ada pengulangan informasi seputar HIVAIDS. Responden juga mengharapkan adanya ruangan yang terpisah agar responden nyaman
dan lebih leluasa dalam memyampaikan keluhan kesehatan yang mereka rasakan karena klinik VCT yang ada di puskesmas masih satu ruangan dengan poli anak.
Konseling dan dukungan sangat diperlukan ketika pemberitahuan hasil untuk mengatasi reaksi klien. Reaksi awal akan menjadi sangan berat dan ini merupakan
bagian yang normal. Reaksi yang timbul biasanya melibatkan kejiwaan seperti ketakutan, kehilangan percaya diri, rasa bersalah, depresi hingga tindakan bunuh diri.
Namun, ada juga klien yang menanggapinya secara positif yaitu dengan meningkatkan kehidupan beragama seperti mendekatkan diri dengan Tuhan. Reaksi
yang negatif dapat ditekan dengan konseling pra tes yang maksimal dan menunjukkan empati ketika menyampaikan hasil tes.
Berdasarkan hasil wawancara, responden menyatakan bahwa petugas kesehatankonselor menyampaikan status mereka dengan cara yang kurang baik yaitu
dengan hanya menyatakan “anda positif HIV” , ada yang dibacakan di depan petugas kesehatan yang lain. Bahkan sebagian yang menyatakan hasil tes diberikan begitu
saja dengan kepada LSM yang mendampingi. Responden menyatakan bahwa pendamping lebih berperan dibanding petugas kesehatan.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Green dalam Notoatmodjo 2003, dimana faktor ketersediaan sarana dan pra sarana merupakan faktor yang
memengaruhi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Fasilitas sarana
dan prasarana mendukung ikut berperan serta membentuk terjadinya perilaku seseorang. Putri 2007, menyatakan bahwa ada hubungan bariabel persepsi tentang
ruangan perawatan dengan pemanfaatan Pusyansus RSUP Adam Malik Medan Tahun 2007.
Berdasarkan hasil peneltian Dayaningsih 2009 yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang, menyatakan bahwa sifat pelayanan yang masih passive finding,
promosi klinik VCT yang masih kurang dan penempatan klinik VCT yang kurang ideal akan memengaruhi kualitas pelayanan VCT.
Hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa fasilitas yang tersedia di klinik VCT Puskesmas Tanjung Morawa cukup memadai dengan alasan dekat
dengan rumah dan cukup untuk melakukan tes. Yang menjadi keluhan responden adalah tidak tersedianya ARV. Responden merasa sangat sulit untuk mendapat ARV
karena lokasi pengambilan ARV jauh yaitu di Rumah Sakit Umum Deli Serdang. Sebagian besar responden yang bekerja sangat mengeluh tentang penyediaan obat
bagi mereka, karena butuh waktu yang cukup lama untuk mengambil obat. Jadwal mereka untuk bisa konsultasi dengan dokter di rumah sakit juga terbatas yaitu 1X
seminggu yakni pada hari Selasa. Hasil wawancara dengan petugas kesehatan di Puskesmas Tanjung Morawa,
ARV tidak dapat disediakan di klinik VCT Puskesmas Tanjung Morawa karena tidak adanya dokter spesialis penyakit dalam yang bekerja di tempat tersebut. Pemberian
dosis ARV harus sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien oleh dokter spesialis penyakit dalam.
5.4. Saran dan Harapan Penderita HIV AIDS