dengan nilai H’ : 0H’2,302
= keanekaragaman rendah 2,302H’6,907
= keanekaragaman sedang H’6,907
= keanekaragaman tinggi
Krebs, 1985, hlm: 522
e. Indeks Equitabilitas Indeks Keseragaman E E =
max H
H dimana :
H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner
H max = keanekaragaman spesies maximum
= ln S dimana S banyaknya spesies dengan nilai E berkisar antara 0-1
Krebs, 1985, hlm: 522
f. Indeks Similaritas IS
IS =
b a
c +
2
X 100 dimana:
a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b
c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
Bila: IS = 75 – 100
: Sangat mirip IS = 50 – 75
: mirip IS = 25 – 50
: tidak mirip IS =
≤ 25 : sangat tidak mirip
Suin, 2002, hlm: 42
g. Kandungan Organik Substrat
Kandungan organik substrat dihitung dengan menggunakan rumus: KO =
100 x
A B
A −
dengan: KO
= Kandungan organik A
= Berat konstan substrat B
= Berat abu Widle, 1972 dalam Adianto, 1993, hlm : 17
h. Kejenuhan Oksigen
Kejenuhan = 100
x [t]
] [
O
2 2
u
O
Dimana: O
2
[u] = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur mgl
O
2
[t] = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya pada tabel sesuai
dengan temperatur. Barus, 2004, hlm : 59
i. Analisis Korelasi
Dilakukan dengan menggunakan Analisis Korelasi Pearson SPSS versi 16.00 antara faktor fisik kimia terhadap indeks keanekaragaman.
Menurut Sugiyono 2005, tingkat hubungan nilai Indeks Korelasi dinyatakan sebagai berikut:
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,00 Sangat kuat
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Variabel Biotik
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada empat stasiun di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara didapat 34 genus makrozoobenthos,
yang termasuk ke dalam tiga filum, lima kelas, 11 ordo, dan 26 famili seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1 Klasifikasi Makrozoobenthos yang Didapatkan Pada Setiap Stasiun Penelitian di Beberapa Lokasi di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan
Medang Deras Kabupaten Batubara.
Filum Kelas
Ordo Famili
Genus
1. Annelida 1. Polychaeta
1. Errantia 1. Nereididae
1. Nereis 2. Arthropoda
2. Crustacea 2. Decapoda
2. Palaemonidae 2. Palaemonetes
3. Scylladae 3. Scylla
3. Moluska 3. Bivalvia
3. Anysomyaria 4. Malleidae
4. Malleus 5. Mytilidae
5. Septifer 4. Eulamellibranchia
6. Donacidae 6. Donax
7. Mactridae 7. Mactra
8. Spisula 8. Pholadidae
9. Pholas 9. Solecurtidae
10. Hiatula 10. Tellinidae
11. Tellina 11. Veneridae
12. Chamelea 5. Pterioida
12. Pectinidae 13. Aequipecten
14. Argopeceten 15. Lyropecten
6. Taxodonta 13. Arcidae
16. Anadara 4. Cephalopoda
7. Sepiida 14. Sepiidae
17. Sepia 5. Gastropoda
8. Archaeogastropoda 15. Fissurellidae 18. Macroschisma
16. Neritidae 19 Neritina
20. Septaria 9. Basommatophora
17. Melampidae 21. Ellobium
10. Mesogastropoda 18. Cerithiidae
22. Telescopium 19. Cymatiidae
23. Cymatium 20. Naticidae
24. Natica 25. Neverita
Filum Kelas
Ordo Famili
Genus
26. Polinices 21. Potamididae
27. Cerithidea 22. Thiaridae
28. Melanoides 23. Turritellidae
29. Turitella 11. Neogastropoda
24. Buccinidae 30. Engina
31. Nassaria 32. Siphonalia
25. Muricidae 33. Murex
26. Nassaridae 34. Nassarius
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa makrozoobenthos yang banyak didapatkan adalah dari filum Moluska yaitu dari kelas Gastropoda sebanyak 17 genus. Filum Moluska lebih
banyak dibandingkan dua filum lainnya, hal ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya. Menurut Simanjuntak 2010 filum Moluska yang didapat pada perairan
Pulau Sembilan adalah 15 genus dari 19 genus makrozoobenthos yang didapatkan. Pelawi 2010 juga menyatakan filum Moluska yang didapat di Danau Lut Tawar
adalah 15 genus dari 19 genus yang didapat. Dibandingkan Manullang 2011 filum Moluska yang didapat di Sungai Sibiru-biru adalah empat genus. Menurut Susanna
1998, Moluska memiliki indeks penyebaran terbesar sehingga dapat dikatakan bahwa Moluska hidup pada berbagai daerah. Moluska memiliki pola sebaran jenis
mengelompok diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan, ketersediaan makanan dan tipe substrat. Banyaknya genus dari kelas Gastropoda yang didapatkan di lokasi
penelitian menunjukkan bahwa kondisi fisik-kimia di perairan ini dapat mendukung kehidupannya seperti suhu, pH, jenis substrat dasar perairan yang berupa lumpur
berpasir
sehingga mampu berkembangbiak dengan cepat dan disebabkan oleh cara penyebaran yang luas karena mempunyai daerah jelajah yang digunakan untuk mencari
dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Menurut Siagian 2001 dalam Suwondo et al., 2005 suhu yang tepat untuk kehidupan benthos yaitu berkisar 25-32
⁰
C. Derajat keasaman pH akan mempengaruhi daya tahan organisme. Menurut Ardi 1999
dalam Suwondo, et al., 2005 Gastropoda umumnya banyak dijumpai pada daerah yang memiliki pH lebih besar dari tujuh yang merupakan pH optimum bagi makrozoobenthos.
Filum Annelida lebih sedikit ditemukan bahkan hanya satu genus dan ditemukan hanya pada stasiun tiga atau daerah muara dan mendominasi jumlahnya,
seperti pada penelitian sebelumnya Zahidin 2008, menyatakan bahwa organisme yang mampu bertahan hidup di daerah muara adalah filum Annelida, kelompok
polychaeta yaitu Nereis karena kelompok ini mampu mentolerir perubahan salinitas yang besar. Pada umumnya makrozoobenthos yang mampu bertahan hidup di muara
berasal dari organisme laut bukan dari air tawar, karena organisme laut lebih mampu mentolerir perubahan salinitas yang besar dari pada spesies tawar menghadapi
kenaikan salinitas.
Filum Arthropoda dari kelas Crustaceae merupakan fauna mangrove dengan penyebaran yang luas. Crustaceae dan Moluska mendominasi komunitas fauna bentik
pada kebanyakan ekosistem mangrove. Penyebaran yang luas menyebabkan komposisi kelas Gastopoda dan Crustaceae lebih besar dibandingkan kelas-kelas lain.
Umumnya kelompok Crustacea memiliki adaptasi dalam menghindarkan diri dari mangsanya yaitu dengan cara membenamkan diri di dalam lubang lumpur, dan lebih
aktif pada malam hari, sehingga jarang ditemukan pada siang hari. Menurut Kasry, 1996 dalam Agus, 2008 pada tingkat juvenile, kepiting jarang kelihatan di daerah
bakau pada siang hari, karena lebih suka membenamkan diri di lumpur, sehingga kepiting ini juga disebut kepiting lumpur.
3.1.1 Nilai Kepadatan Populasi K, Kepadatan Relatif KR dan Frekuensi Kehadiran FK Pada Setiap Stasiun Penelitian.
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian menunjukkan nilai Kepadatan Populasi ind.m
2
, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobenthos sebagai berikut:
Tabel 3.2 Kepadatan Populasi ind.m
2
, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobenthos pada Setiap Stasiun Penelitian.
N o
Genus Stasiun
Stasiun Stasiun
Stasiun I
II III
IV K
KR FK
K KR
FK K
KR FK
K KR
FK 1
Nereis -
- -
- -
- 25,9
3 19,0
50,0 -
- -
2 Palaemonet
es -
- -
1,23 1,01
5,56 -
- -
1,85 1,80
5,56 3
Scylla 0,62
0,45 5,56
0,28 0,23
11,1 1
- -
- 0,62
0,60 5,56
4 Malleus
- -
- 1,23
1,01 5,56
- -
- -
- -
5 Septifer
1,85 1,35
16,6 7
7,41 6,06
27,7 8
- -
- -
- -
6 Donax
- -
- 0,62
0,51 5,56
- -
- -
- -
7 Mactra
19,7 5
14,4 1
50,0 4,94
4,04 27,7
8 5,56
4,07 38,8
9 21,6
20,9 6
72,2 2
8 Spisula
- -
- 1,23
1,01 5,56
- -
- -
- -
9 Pholas
- -
- 0,62
0,51 5,56
- -
- -
- -
1 Hiatula
- -
- 1,85
1,52 16,6
7 -
- -
- -
- 1
1 Tellina
14,2 10,3
6 50,0
- -
- 1,23
0,90 11,1
1 -
- -
1 2
Chamelea -
- -
1,23 1,01
11,1 1
0,62 0,45
5,56 -
- -
1 3
Aequipecte n
- -
- 0,62
0,51 5,56
- -
- -
- -
1 4
Argopecten 1,85
1,35 11,1
1 -
- -
- -
- -
- -
1 5
Lyropecten 0,62
0,45 5,56
2,47 2,02
16,6 7
- -
- -
- -
1 6
Anadara 85,1
9 62,1
6 88,8
9 23,4
6 19,1
9 50,0
10,4 9
7,69 55,5
6 20,9
9 20,3
6 83,3
3 1
7 Sepia
- -
- 0,62
0,51 5,56
0,62 0,45
5,56 -
- -
1 8
Macroschis ma
2,47 1,80
16,6 7
4,32 3,54
33,3 3
- -
- -
- -
1 9
Neritina 0,62
0,45 5,56
5,56 4,55
11,1 1
4,94 3,62
33,3 3
0,62 0,60
5,56 2
Septaria 2,47
1,80 16,6
7 0,62
0,51 5,56
- -
- -
- -
2 1
Ellobium 2.47
1.80 5.56
1,23 1,01
5,56 0,62
0,45 5,56
- -
- 2
2 Telescopiu
m -
- -
5,56 4,55
27,7 8
1,85 1,36
11,1 1
- -
- 2
3 Cymatium
- -
- 1,85
1,52 11,1
1 1,23
0,90 11,1
1 4,32
4,19 16,6
7 2
4 Natica
1,23 0,90
5,56 3,09
2,53 27,7
8 1,23
0,90 11,1
1 19,1
4 18,5
6 61,1
1 2
5 Neverita
1,23 0,90
5,56 0,62
0,51 5,56
- -
- -
- -
2 6
Polinices -
- -
- -
- 0,62
0,45 5,56
- -
- 2
7 Cerithidea
- -
- 5,56
4,55 33,3
3 4,32
3,17 11,1
1 4,94
4,79 22,2
2 2
8 Melanoides
- -
- -
- -
75,9 3
55,6 6
83,3 3
- -
- 2
9 Turitella
- -
- 6,17
5,05 27,7
8 0,62
0,45 5,56
- -
- 3
Engina 2,47
1,80 5,56
1,23 1,01
11,1 -
- -
8,02 7,78
38,8
Keterangan: Stasiun I
: Daerah pariwisata Substrat pasir Stasiun II
: Daerah mangrove Substrat lumpur berpasir Stasiun III
: Daerah muara sungai Substrat lumpur berpasir Stasiun IV
: Daerah pembuangan limbah pabrik Substrat lumpur berpasir
Pada Stasiun I genus Anadara memiliki Kepadatan K, Kepadatan Relatif KR dan Frekuensi Kehadiran FK tertinggi masing-masing sebesar 85,19 indm
2
, 62,16 dan 88,89. Hal ini karena kondisi lingkungan perairan yang sesuai untuk pertumbuhan
Anadara, diantaranya salinitas yang diukur pada stasiun ini adalah 32 ‰. Sebagaimana menurut Marzuki et al., 2006 yang menyatakan faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan Anadara yaitu salinitas dan makanan. Anadara menyukai kondisi habitat dengan salinitas yang tinggi 30‰ dan kondisi perairan
dengan suhu 27 ⁰C Tabel 3.6. Suhu tersebut dapat mendukung ketersediaan oksigen terlarut untuk proses metabolisma dan respirasi organisma air. Romimohtarto
Juwana 2009 juga menyatakan bahwa, cahaya mempunyai pengaruh besar secara tidak langsung dalam hubungannya dengan perpindahan populasi makrozoobenthos.
Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah pada stasiun I adalah genus Lyropecten dan Nassaria masing-masing sebesar 0,62 indm
2
, 0,45, dan 5,56. Hal ini diakibatkan karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai
untuk pertumbuhan Lyropecten dan Nassaria. Menurut Alcantara et al., 1991 dalam Junardi Wardoyo, 2008 genus Nassaria sangat menyukai kondisi sedimen dengan
tipe berlumpur. Sedangkan substrat dasar pada stasiun I adalah pasir, akan menghambat pertumbuhan populasi Nassaria. Sedangkan Lyropecten umumnya
menyukai habitat pada kedalaman lebih dari tiga meter dan dapat juga ditemukan pada daerah pantai atau daerah hempasan ombak khususnya pada tingkat juvenil
Setyobudiandi, 1997 dalam Darojah, 2005.
1 9
3 1
Nassaria 0,62
0,45 5,56
1,85 1,52
16,6 7
- -
- -
- -
3 2
Siphonalia 2,47
1,80 5,56
24,6 9
20,2 55,5
6 0,62
0,45 5,56
10,4 9
10,1 8
38,8 9
3 3
Murex -
- -
1,85 1,52
11,1 1
- -
- 1,85
1,80 16,6
7 3
4 Nassarius
- -
- 5,56
4,55 11,1
1 -
- 8,64
8,38 44,4
4 ∑ Taksa
14 29
16 12
Total 137.
04 100
283. 33
122. 22
100 511.
11 136.
42 100
350. 00
103. 09
100 411.
11
Pada Stasiun II genus Siphonalia memiliki Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi masing-masing sebesar 24,69 indm
2
, 20,20 dan 55,56. Hal ini karena kondisi perairan yang sesuai untuk pertumbuhan populasi
Siphonalia yaitu substrat dasar berupa lumpur dengan kandungan organik paling tinggi dari keempat stasiun yaitu 6,425 yang berasal dari dekomposisi serasah
mangrove. Hynes 1976 dalam Wargadinata 1995, hlm: 14, menyatakan bahwa Siphonalia adalah genus yang menyukai habitat yang berlumpur dan berpasir.
Menurut Koesbiono 1979, hlm: 27 kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan Siphonalia, dimana kadar organik ini adalah sebagai
nutrisi bagi Siphonalia tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi Siphonalia yang
menyukai substrat yang kaya akan bahan organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi Siphonalia.
Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah pada stasiun II masing-masing sebesar 0,28 indm
2
, 0,23 dan 11,11 adalah genus Scylla. Hal ini dikarenakan, substrat dasar yang berupa lumpur sehingga genus tersebut mampu
membenamkan diri pada lubang di dalam substrat dasar untuk menghindari predator. Genus Scylla lebih aktif pada malam hari. Menurut Kasry 1996 dalam Agus 2008
kepiting jarang kelihatan di daerah bakau pada siang hari, karena lebih suka membenamkan diri di lumpur, sehingga kepiting ini juga disebut kepiting lumpur.
Menurut Mossa, et al., 1985 dalam Agus 2008 kepiting bakau termasuk golongan hewan nokturnal, karena kepiting beraktivitas pada malam hari. Kepiting ini bergerak
sepanjang malam untuk mencari pakan bahkan dalam semalam kepiting ini mampu bergerak mencapai 219 – 910 meter.
Pada Stasiun III genus Melanoides memiliki Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi masing-masing sebesar 75,93 indm
2
, 55,66 dan 83,33. Dikarenakan, kondisi lingkungan perairan yang sesuai untuk pertumbuhan
populasi Melanoides yaitu suhu 26 ⁰C dan pH air yang optimum bagi perairan ini yaitu 7,3 Tabel 3.6. Menurut Barus 2004, nilai pH yang ideal bagi kehidupan
organisma air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Genus Melanoides mampu berkembangbiak pada jenis substrat lumpur berpasir, genus ini juga mempunyai cara
penyebaran yang luas karena kemampuan jelajah
untuk mencari dan memanfaatkan sumber daya yang diperlukan.
Menurut Nirarita et al., 1996 dalam Suwondo et al., 2005 pada umumnya substrat dasar yang berlumpur disenangi oleh Melanoides
daripada dasar yang berupa pasir, sedangkan mengelompoknya jenis Melanoides yang lain diduga karena sifatnya yang hidup bergerombol, seragam dan menempel
pada satu tempat sepanjang waktu.
Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah pada stasiun III masing-masing sebesar 0,62 indm
2
, 0,45 dan 5,56 adalah genus Chamelea, Polinices, Ellobium, Siphonalia, dan Turitella. Dikarenakan lingkungan yang tidak
sesuai bagi reproduksinya karena salinitas yang diukur pada stasiun ini adalah rendah yaitu 7‰ Tabel 3.6. Menurut Barus 2004, makrozoobenthos mempunyai toleransi
yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan. Ada jenis makrozoobenthos tertentu toleran terhadap perubahan faktor lingkungan abiotik yang besar, sementara
jenis lainnya sangat sensitif.
Pada Stasiun IV genus Mactra memiliki Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi sebesar 21,60 indm
2
, 20,96 dan 72,22. Hal ini karena, substrat dasar perairan lumpur berpasir yang pada umumnya disukai jenis
kepa dan kerang-kerangan. Kehadiran Mactra yang mendominasi pada stasiun ini dikarenakan faktor fisik kimia perairan yang masih mendukung bagi kehidupan hewan
ini. Kondisi perairan dengan Kadar Oksigen Terlarut DO 5,5 mgl, Tabel 3.6. Umumnya jumlah Mactra akan mendominasi pada nilai oksigen terlarut berkisar
antara 6-8 mgl, akan tetapi genus Mactra juga memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap oksigen terlarut, suhu pada perairan ini adalah 30 ⁰C namun kondisi
tersebut dapat ditolerir oleh genus ini. Menurut Barus 2004, Kecenderungan organisma air untuk dapat bertahan pada kondisi oksigen yang rendah sangat
dipengaruhi oleh faktor temperatur.
Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran terendah pada stasiun IV masing-masing sebesar 0,62 indm
2
, 0,60 dan 5,56 pada genus Neritina. Hal ini diakibatkan, kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan populasi
Neritina karena kondisi perairan pada stasiun IV dengan pH 8,9 Tabel 3.6. Menurut
Barus 2004, Kondisi perairan yang sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup berbagai organisma karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisma dan respirasi. Menurut Lock Williams 1981 menyatakan, suatu individu dapat berkembang dengan baik pada habitat yang mampu menyuplai
kehidupannya sedikit atau minim akan berakibat spesies tersebut tidak dapat hidup pada daerah tersebut.
Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan total kepadatan populasi tertinggi terdapat pada stasiun satu yaitu 137,04 indm
2
. Hal ini disebabkan karena populasi yang ditemukan pada stasiun satu merata penyebarannya walaupun ada yang
sangat mendominasi yaitu Anadara. Menurut Muhajir 2009 dalam Marzuki et al., 2006 kerang Anadara hidup di perairan pantai yang memiliki pasir berlumpur,
ditemukan pada substrat yang kaya kadar organik, dengan sifat hidup mengelompok. Hal ini juga diakibatkan karena kondisi fisik kimia perairan di stasiun ini sangat
mendukung untuk penyebaran populasinya, genus yang hidup pada perairan tersebut dapat mentolerir perubahan faktor fisik kimia perairan walaupun adanya aktivitas
pariwisata tidak begitu mempengaruhi kondisi fisik kimia perairan ini.
Total kepadatan populasi terendah terdapat pada stasiun IV yaitu 103,09 indm
2
. Stasiun IV merupakan lokasi pembuangan limbah pabrik, rendahnya total kepadatan populasi makrozoobenthos, karena adanya aktivitas seperti membuang
limbah pabrik ke badan air sehingga akan mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos. Menurut Muhajir 2009 dalam Darmono 1995 Limbah industri
dan hasil kegiatan manusia lainnya dapat mengkontaminasi perairan termasuk laut dan akan berakumulasi dalam rantai makanan biota yang berasal dari perairan tersebut.
Menurut Odum 1994, hlm: 385 perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makrozoobenthos karena makrozoobenthos
merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemaran kimia maupun fisik. Hal ini disebabkan makrozoobenthos pada
umumnya tidak dapat bergerak dengan cepat dan habitatnya di dasar perairan yang umumnya adalah tempat bahan tercemar. Menurut Wilhm 1975 dalam Marsaulina
1994, hlm: 9 perubahan sifat substrat dan penambahan pencemaran akan berpengaruh terhadap kelimpahan dan keanekaragamannya.
Genus Nassarius dan Argopecten hanya terdapat pada stasiun I, hal ini disebabkan faktor abiotik pada stasiun ini dapat mendukung bagi kehidupan
makrozoobenthos tersebut selain itu terdapatnya suplai makanan yang cukup serta kemampuan berkompetisi dengan jenis yang lain.
Genus Donax, Hiatula, Pholas, Aequipecten, Spisula, dan Malleus hanya terdapat pada stasiun II, karena beberapa kelompok bivalvia sangat mendominasi di
daerah mangrove yang memiliki ketersediaan nutrisi yang melimpah yang berasal dari serasah di daerah mangrove. Selain itu dikarenakan Stasiun II yang memiliki substrat
berupa lumpur berpasir, yaitu kondisi dimana kelompok bivalvia berkembang dengan baik. Menurut Nybakken, 1988, hlm: 261 pantai berlumpur cenderung untuk
mengakumulasi bahan organik, yang berarti bahwa tersedia cukup banyak makanan yang potensial untuk organisme penghuni pantai.
Genus Nereis, Polinices, Melanoides hanya terdapat pada stasiun III dikarenakan stasiun III merupakan daerah yang sesuai untuk pertumbuhan
makrozoobenthos tersebut, karena genus tersebut mampu menyuplai makanannya dengan kondisi parameter abiotik yang masih toleran untuk pertumbuhannya dan
karena kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi perairan tersebut sehingga mampu mempertahankan hidupnya. Menurut Zahidin 2008, hlm: 96, organisme
yang mampu bertahan hidup di daerah muara yaitu dari kelompok polychaeta yaitu Nereis.
3.1.2 Nilai KR 10 dan FK 25 dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian.
Berdasarkan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti Tabel 3.3 maka dapat dikelompokkan
makrozoobenthos yang memiliki KR 10 dan FK 25 adalah sebagai berikut Tabel 3.3. Nilai KR 10 dan FK 25 dari Makrozoobenthos yang
Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian.
No Genus
Stasiun I Stasiun II
Stasiun III Stasiun IV
KR FK KR FK KR FK KR FK
1 Anadara 62,16
88,89 19,19
50 -
- 20,36
83,33 2 Mactra
14,41 50
- -
- -
20,96 72,22
3 Melanoides -
- -
- 55,66
83,33 -
- 4 Nereis
- -
- -
19 50
- -
5 Natica -
- -
- -
- 18,56
61,11 6 Siphonalia
- -
20,20 55,56
- -
10,18 38,89
7 Tellina 10,36
50 -
- -
- -
- Jumlah genus
3 2
2 4
Tabel 3.3 dapat menunjukkan bahwa genus makrozoobenthos yang memiliki KR 10 dan FK 25 pada stasiun I terdapat tiga genus yaitu Anadara, Mactra,
dan Tellina. Pada stasiun II terdapat dua genus yaitu Anadara dan Siphonalia. Pada stasiun III terdapat dua genus yaitu Melanoides dan Nereis. Sedangkan Pada Stasiun
IV terdapat empat genus yaitu Anadara, Mactra, Natica, dan Siphonalia.
Pada stasiun I, II, dan IV, merupakan lokasi yang baik untuk tempat hidup dan berkembang genus Anadara, Mactra, dan Siphonalia. Menurut Barus 2004, hlm:
126 kepadatan relatif merupakan proporsi dari jumlah total individu suatu spesies yang terdapat pada seluruh sampling area dan suatu habitat dikatakan cocok dan
sesuai bagi perkembangan suatu organisme, apabila nilai KR 10. Sedangkan frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies
dalam sampling plot yang ditentukan. Suatu habitat dikatakan sesuai bagi perkembangan organisme, apabila nilai FK 25. Menurut Lock William 1981,
suatu individu akan dapat hidup pada habitat yang mampu menyuplai kehidupannya, jika penyuplaian akan kebutuhan kehidupannnya sedikit atau minim akan berakibat
spesies tersebut tidak dapat mempertahankan kehidupannya.
3.1.3 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E di Setiap
Stasiun Penelitian.
Perhitungan indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman merupakan analisis yang biasa digunakan dalam analisa populasi dan komunitas makrozoobenthos.
Tabel 3.4 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E di Setiap Stasiun Penelitian.
INDEKS STASIUN
I II
III IV
Keanekaragaman H 1,37
2,76 1,53
2,06 Keseragaman E
0,52 0,82
0,55 0,83
Berdasarkan Tabel 3.4 bahwa Indeks Keanekaragaman H’ yang diperoleh dari keempat stasiun berkisar 1,37-2,76. Indeks Keanekaragaman H’ tertinggi
terdapat pada stasiun II yaitu 2,76 dan terendah pada stasiun I yaitu 1,37. Indeks Keanekaragaman yang tergolong sedang pada stasiun II karena pada lokasi ini
merupakan daerah mangrove, yaitu mampu mengangkut nutrien dan detritus untuk dimanfaatkan oleh makrozoobenthos dan menyebabkan kandungan organik substrat
pada stasiun II tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu 6,425 . Kemudian dipengaruhi oleh nilai DO yang tinggi dibandingkan dengan stasiun penelitian yang
lain yaitu 6,5 mgl. Menurut Brower et al., 1990 hlm: 52 semakin tinggi nilai DO dalam suatu perairan, maka semakin tinggi pula keanekaragaman biota dalam perairan
tersebut. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang
relatif merata.
Indeks Keanekaragaman H’ terendah pada stasiun I disebabkan melimpahnya jumlah salah satu genus yaitu Anadara pada stasiun I. Stasiun I merupakan daerah
pariwisata yang memiliki kondisi perairan yang jernih sehingga akan mempengaruhi kedalaman penetrasi yang selanjutnya akan mempengaruhi suhu sehingga
mempengaruhi penyebaran makrozoobenthos. Menurut Odum 1994, keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari tiap
jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya dinilai rendah.
Indeks Keseragaman E yang diperoleh dari keempat stasiun penelitian berkisar 0,52 - 0,83. Indeks Keseragaman E tertinggi pada stasiun IV yaitu 0,83 dan
terendah pada stasiun I yaitu 0,52. Stasiun IV mempunyai Indeks Keseragaman tertinggi yaitu 0,83. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu pada
stasiun tersebut lebih merata dibandingkan dengan stasiun-stasiun penelitian yang lain
atau dengan kata lain pada stasiun I jumlah spesies dari masing-masing genus yang diperoleh tidak ada yang mendominasi. Sedangkan pada stasiun IV terdapat genus
yang banyak jumlahnya dan terdapat spesies yang jumlahnya mendominasi yakni Mactra. Menurut Tarumingkeng 1994, hlm: 101 penyebaran merata disebabkan oleh
pengaruh negatif dari persaingan makanan diantara individu-individu dan dapat disebabkan oleh sifat spesies yang bergerombol atau adanya keragaman habitat
sehingga terjadi pengelompokan di tempat yang terdapat banyak makanan.
3.1.4 Indeks Similaritas IS Pada Setiap Stasiun Penelitian
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai Indeks Similaritas IS seperti pada Tabel 3.5 berikut:
Tabel 3.5 Indeks Similaritas IS atau Kesamaan pada Setiap Stasiun Penelitian.
IS I
II III
IV I
- 55,81
33,33 46,15
II -
- 57,78
58,54 III
- -
- 56
IV -
- -
-
Tabel 3.5 menunjukkan bahwa Indeks Similaritas IS yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 33,33 - 58,54.
Penelitian menunjukkan bahwa Indeks Similaritas IS yang mempunyai kriteria mirip adalah stasiun I dengan stasiun II, stasiun II dengan III, stasiun II dan
IV, dan stasiun III dan IV. Kemiripan ini dikarenakan faktor ekologis, beberapa spesies makrozoobenthos yang ditemukan memiliki kesamaan.
Kriteria tidak mirip dijumpai antara stasiun I dengan stasiun III, dan antara stasiun I dengan stasiun IV. Hal ini dikarenakan faktor ekologis, dimana pada stasiun I
lebih banyak didominasi oleh beberapa genus dari kelas bivalvia karena daerah tersebut adalah daerah dengan kondisi substrat pasir. Sehingga beberapa genus lebih
menyukai daerah tersebut dan beberapa genus tersebut sedikit dijumpai pada lokasi
yang lain. Ketidakmiripan ini juga diakibatkan oleh perbedaan faktor fisik kimia lingkungan dan adanya perbedaan aktivitas.
Sebagaimana Krebs 1985, hlm 525 menyatakan bahwa indeks similaritas digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan makrozoobenthos yang hidup
di luar tempat yang berbeda. Apabila semakin besar indeks similaritasnya, maka jenis makrozoobenthos yang sama pada stasiun yang berbeda semakin banyak. Selanjutnya
dijelaskan bahwa kesamaan makrozoobenthos antara dua lokasi yang dibandingkan sangat dipengaruhi oleh kondisi faktor lingkungan yang terdapat pada daerah tersebut.
Hal yang paling penting diantaranya adalah kondisi substrat dasar perairan dan kandungan organiknya.
3.2 Variabel Abiotik
Rata-rata nilai faktor fisik-kimia perairan yang diukur pada setiap stasiun penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 3.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian.
No Parameter Fisik-Kimia
Satuan Stasiun
I II
III IV
1 Temperatur Air ⁰C
27 29
26 30
2 Penetrasi Cahaya Cm
20 13
28 15
3 Intensitas Cahaya Candela
46900 7500
32800 28300
4 pH Air -
8,1 7,6
7,3 8,9
5 DO mgl
6,2 6,5
6,2 5,5
6 BOD5 mgl
1,6 2,2
1,8 1,1
7 Salinitas ‰
32 20
7 29
8 Kandungan Organik Substrat 2,570
6,425 0,642
1,146 9 Kejenuhan Oksigen
78,88 78,53
77,6 60,19
10 Jenis Substrat
- Pasir
Lumpur berpasir
Lumpur berpasir
Lumpur berpasir
Keterangan: Stasiun I : Daerah pariwisata
Stasiun II : Daerah mangrove Stasiun III : Daerah muara sungai
Stasiun IV : Daerah pembuangan limbah pabrik PT Multi Mas Nabati
a. Temperatur Air
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu air pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 26 – 30 °C. Dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun IV
pembuangan limbah pabrik sebesar 30 °C dan terendah sebesar 26 °C pada stasiun III muara. Tingginya suhu pada stasiun IV disebabkan adanya aktivitas pembuangan
limbah pabrik yang langsung ke badan air, sehingga akibat dari aktivitas tersebut dapat menyebabkan meningkatnya suhu di perairan tersebut. Secara keseluruhan suhu
pada keempat stasiun penelitian masih dapat mendukung bagi kehidupan makrozoobenthos.
Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan makrozoobenthos. Menurut James Evison 1979, hlm: 152 batas toleransi
makrozoobenthos terhadap suhu tergantung pada spesiesnya. Umumnya suhu di atas 30 °C dapat menekan pertumbuhan makrozoobenthos.
Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap
suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik Suin, 2002, hlm: 40.
Pola suhu ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran gas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian
geografis dan juga oleh faktor kanopi penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh ditepi Brehm Meijering, 1990 dalam Barus, 2004, hlm: 45. Menurut
Hariyanto et al., 2008, hlm: 111 meskipun suhu air kurang bervariasi akan tetapi sangat berpengaruh terhadap organisme air karena umumnya organisme air memiliki
toleransi yang sempit stenothermal. Perubahan suhu akan mengubah pola sirkulasi, stratifikasi, dan gas terlarut sehingga akan mempengaruhi kehidupan organisme air.
Dari perspektif biologi, kandungan gas oksigen dalam air merupakan salah satu penentu karakteristik kualitas air yang terpenting dalam lingkungan kehidupan
akuatis. Konsentrasi oksigen dalam air mewakili status kualitas air pada tempat dan waktu tertentu saat pengambilan sampel air. Dengan kata lain keberadaan dan besar
atau kecilnya muatan oksigen di dalam air dapat dijadikan indikator ada atau tidaknya pencemaran di suatu perairan Asdak, 1995.
b. Penetrasi Cahaya