Teori tentang Kurikulum Khusus Autis

commit to user 47 stereotip, obsesi terhadap cemas dan takut akan perubahan, kontak mata dan hubungan dengan orang lain sangat buruk, serta lebih menyukai gambar atau benda-benda mati. Dijelaskan pula dalam http:www.yousaytoo.comdefinisi-dan- karakteristik-perilaku-autisme175190 bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks yang gejala-gejalanya meliputi perbedaan dan ketidakmampuan dalam berbagai bidang seperti kemampuan komunikasi sosial, kemampuan motorik kasar dan motorik halus, dan kadang kemampuan intelektual. Tanda-tanda ini semuanya dimulai sebelum anak berusia tiga tahun. Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa autis adalah gangguan perkembangan pervasive yang kompleks pada anak yang ditunjukkan dengan adanya gangguan perilaku interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan pola minat perilaku terbatas yang stereotip diulang-ulang serta ketidakmampuan dalam motorik kasar maupun motorik halus. Gejala-gejala atau gangguan ini muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Oleh sebab itu, diagnosis dini serta pemberian penangangan sedini mungkin sangat diperlukan untuk mengurangi bahkan menghilangkan gejala-gejala autistic yang muncul pada anak.

4. Teori tentang Kurikulum Khusus Autis

Saat ini belum ada kurikulum yang baku untuk pendidikan bagi anak autis. Hal tersebut disebabkan karena penyusunan kurikulum autis perlu mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan siswa yang berbeda-beda. Kurikulum anak autis berbeda dengan anak normal di SD umumregular maupun kurikulum commit to user 48 khusus lainnya. Kurikulum anak normal bisa didasarkan pada tingkat perkembangan dan usia anak sehingga dari anak tingkat sekolah dasar kelas rendah sampai kelas tinggi bisa diprediksikan hampir sama atau dengan kata lain bersifat homogen. Untuk kurikulum khusus A, B, D, dan E dapat mengikuti kurikulum standar dengan dilakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu sesuai dengan kondisi peserta didik. Untuk kurikulum C, C1, D1, dan G dirancang sangat sederhana sesuai dengan batas-batas kemampuan peserta didik dan sifatnya lebih individual. Berbeda dengan anak autistic, mereka mengalami hambatan dalam komunikasi, interaksi social, perilaku, kemampuan motorik kasar dan halus yang terganggu dan bahkan tidak jarang pula mengalami gangguan dalam kemampuan intelektual. Gangguan yang terjadi pada setiap anak pun bervariasi dan berbeda- beda sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan yang bersifat sangat individual. Kurikulum yang digunakan untuk anak autis adalah kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan anak, komunikasi anak, sosialisasi dan kemudian baru mengarah pada akademik anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Ron LeafJohn McEachin 1999:9, yang menyatakan bahwa isi kurikulum untuk anak autis harus mencakup semua keterampilan anak sehingga dapat difungsikan dan digunakan untuk menikmati hidup secara penuh. Kurikulum harus mencakup pengajaran keterampilan yang mungkin tidak diperlukan oleh anak biasa secara formal seperti bermain dan imitasi. Sebuah penekanan yang kuat juga harus diberikan untuk belajar bicara, pengembangan commit to user 49 keterampilan konseptual dan akademis, bermain dan keterampilan sosial. Namun, apabila anak semakin besar, penekanan harus bergeser ke pengetahuan praktis dan keterampilan adaptif. Kurikulum harus diurutkan sesuai dengan tahapan perkembangan mulai dari konsep dan keterampilan yang mudah sampai pada keterampilan kompleks. Namun urutan materi pembelajaran yang diberikan kepada anak tidak boleh bersifat kaku. Dalam hal ini harus benar-benar menyesuaikan dengan kondisi atau keadaan anak. Sebagai contoh, meskipun polanya tidak biasa, beberapa anak belajar membaca sebelum mereka bisa bicara. Dalam menjalankan kurikulum khusus bagi anak autis, pemberian pelayanan pendidikannya harus bersifat individual karena kebutuhan dan gangguan autistic setiap siswa berbeda-beda. Oleh sebab itu diperlukan suatu program pengajaran individual PPI bagi setiap siswa autistic. Program pengajaran individual PPI diturunkan dari istilah aslinya yang berbahasa Inggris yaitu Individualized Educational Program IEP. Dalam Sunardi 2005: 60 dijelaskan bahwa PPI disusun untuk setiap anak luar biasa. Oleh karena sifat PPI sangat individual, karakteristik anak yang dimaksud harus dideskripsikan secara lengkap baik mengenai tingkat kemampuan maupun tingkat kelemahan dalam semua aspek yang berkaitan dengan pendidikan, termasuk prestasi belajar, tingkat kecerdasan, kondisi emosi, kemampuan sosialisasi, fisik, kesehatan dan sebagainya. Menurut Gordon S. Gibb Tina Taylor Dyches 2000:1 tujuan penyusunan IEP adalah : a. Writing the IEP brings you together with the other people who are most concerned with the educations of students with disabilities. The people in commit to user 50 this group, called the multidisciplinary team or the IEP team, discuss each student’s needs and jointly decide on appropriate directions for each student’s learning. The contributions of each member or IEP team are important for student success. b. Writing the IEP creates a document which describes the team’s plans for meeting a student’s educational needs. The IEP provides a formal reverence for accounting for the student’s progress, and also represents a commitment by the school or district to provide the resources required to meet the student’s needs. a menyusun IEP mengajarkan kamu untuk bersama-sama dengan orang lain yang lebih focus dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Orang-orang dalam satu kelompok, disebut tim IEP, mendiskusikan kebutuhan setiap anak dan bersama-sama memutuskan penanganan yang tepat untuk pembelajaran setiap anak. Peran setiap anggota tim sangatlah penting untuk keberhasilan anak. b menulis IEP menciptakan sebuah dokumen yang menggambarkan rencana tertentu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan siswa. IEP merupakan laporan formal mengenai kemajuan siswa serta merupakan komitmen sekolah dan daerah untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan siswa. Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa tujuan dari penyusunan IEPPPI adalah bersama-sama membentuk suatu tim untuk mendiskusikan tentang pendidikan anak luar biasa. Dalam tim EIP mendiskusikan mengenai kebutuhan setiap anak dan bersama-sama memutuskan penanganan yang tepat untuk pembelajaran setiap anak. Selain itu, IEP merupakan laporan formal mengenai kemajuan siswa serta merupakan komitmen sekolah dan daerah untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan siswa. Penyusunan dan pelaksanaan PPI merupakan suatu proses yang sistematik. Menurut Marsh, Price dan Smith dalam Sunardi 2005: 67 proses commit to user 51 pengembangan dan pelaksanaan PPI meliputi tahap awal penjaringan dan rujukan, lanjutan evaluasi dan assessment, dan penulisan PPI. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2. Alur Layanan PLB Sunardi 2005:67 Dari gambar 2 mengenai alur layanan PLB dapat dijelaskan bahwa proses dimulai dari penjaringan dan identifikasi ABK. Setiap sekolah perlu memiliki Penjaringan dan Identifikasi Rujukan ke Tim Pertemuan Tim Assessment Pertemuan Tim Program Pengajaran Negatif e Positif Negatif Positif Pelaksanaan Evaluasi Kelas Biasa commit to user 52 program penjaringan untuk mengidentifikasi anak bermasalah yang mungkin terganggu dalam mengikuti proses belajar dan hasil belajarnya. Proses penjaringan dapat dilakukan dengan cara melakukan tes hasil belajar, tes kelompok, dan angket yang disebarkan kepada guru untuk mengidentifikasi murid-murid yang bermasalah. Selain dengan melakukan tes, penjaringan dan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan kampanye kepedulian kepada masyarakat, survey yang disebarkan kepada tokoh-tokoh masyarakat, dan berkomunikasi dengan guru umum di sekolah regular. Dalam melakukan penjaringan dan identifikasi kemungkinan akan ditemukan murid-murid yang mengalami masalah di kelas. Setiap anak yang menunjukkan tanda-tanda bermasalah akan dirujuk kepada tim PLB. Berdasarkan hasil rujukan tersebut maka tim PLB akan melakukan pertemuan guna memperoleh informasi lengkap mengenai anak yang bermasalah. Setelah melakukan pertemuan, dilakukan pula assessment formal untuk mengetahui tingkat kemampuan anak di berbagai aspek dan untuk menentukan jenis dan tingkat penyimpangannya. Setelah semua data assessment terkumpul, dilakukanlah pertemuan tim assessment untuk mengetahui permasalahan yang ada pada anak, menentukan jenis kelainan bila ada, dan menetapkan lingkungan pendidikan yang paling tepat untuk anak. Apabila melalui pertemuan tim assessment ini tidak ditemui karakteristik luar biasa pada anak, maka anak tidak memerlukan layanan khusus, namun sebaliknya jika anak menunjukkan adanya karakteristik sebagai anak luar biasa maka diperlukan layanan khusus, sehingga diperlukan program pengajaran individual PPI. PPI disusun berdasarkan hasil commit to user 53 assessment yang telah dilakukan oleh tim assessment. PPI yang telah disusun akan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan anak. Evaluasi program dilakukan untuk mengetahui perkembangan anak serta tambahan program yang mungkin dibutuhkan anak. PPI disusun oleh sebuah tim yang disebut tim PPI. Menurut Gordon S. Gibb Tina Taylor Dyches 2000:1-2 tim PPI terdiri dari “ parents of the student, a reguler education teacher, a special education teacher, a local education agency representative, a person to interpret evalualuation results, other knowledgeable that the persons or school may invite, and the student, if appropriate” orang tua siswa, guru umum, guru khusus, perwakilan pendidikan daerah, seseorang untuk menafsirkan hasil evaluasi , orang memiliki pengetahuan lain yang dibutuhkan atau sekolah dapat mengundang, dan siswa jika memungkinkan. Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa tim PPI terdiri dari : a orang tua siswa, orang tua siswa sangat mengetahui tentang kondisi siswa oleh sebab itu mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk ikut serta merencanakan program pendidikan untuk putra-putrinya. Mereka juga diminta untuk memberikan masukan setiap saat bila ada perkembanganperubahan dalam PPI; b guru umum, guru umum diperlukan apabila anak berkebutuhan khusus masuk dalam kelas umum sehingga diperlukan kerja sama dan masukan dari guru umum; c guru PLBguru khusus, merupakan guru yang akan memberikan pelayanan langsung kepada anak berkebutuhan khusus. Guru khusus memiliki hasil assessment terkini yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai commit to user 54 pelayananpendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak; d perwakilan pendidikan daerah, perwakilan ini biasanya digantikan oleh kepala sekolah atau seseorang yang ditunjuk oleh kepala sekolah yang dengan hak untuk bertindak dan menyetujui PPI tersebut; e seseorang untuk menafsirkan hasil evaluasi, merupakan seseorang seperti psikolog sekolah yang memiliki keahlian khusus dalam mengelola hasil evaluasi, orang tersebut harus mampu menjelaskan hasil evaluasi kepada anggota yang lain dalam tim PPI tersebut; f orang lain yang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan dalam penyususnan PPI seperti psikolog, tutor pribadi, terapis okupasi, fisio terapis dan lain-lain; g siswa yang bersangkutan, jika memungkinkan dan siswa tersebut mampu mengerti tentang kebutuhannya. Gordon S. Gibb Tina Taylor Dyches 2000:1 juga menyebutkan langkah-langkah dalam penyususnan IEP yaitu : a. Describe the student b. Describe the student’s present levels of educational performance c. Write the student’s annual goals, with benchmarks or short-term objectives d. Describe the special education and related service needed to achieve the goals e. Describe the extent to which the student will not participate in the general curriculum f. Explain the student’s participation in statewide and district assessments g. Describe ways that the student’s parents will be regularly informed of progress toward goals. Dari pendapat di atas dijelaskan bahwa langkah-langkah dalam menyusun IEP yaitu : a mendeskripsikan anak; b mendeskripsikan tingkat kemampuan anak saat ini; c menuliskan tujuan tahunan anak, baik jangka commit to user 55 panjang maupun jangka pendek; d mendeskripsikan pendidikan khusus dan hubungan kebutuhan pelayanan untuk keberhasilan tujuan; e mendeskripsikan perluasan yang tidak dapat diikuti siswa dalam kurikulum umum; f menjelaskan partisipasi anak dalam assessment; g mendeskripsikan kebiasaan apa yang orang tua inginkan untuk diinformasikan dari kemajuan tujuan. Pendapat yang sama juga di kemukakan oleh Sunardi 2005: 62 bahwa secara garis besar PPI harus meliputi : a. Deskripsi tingkat kemampuan awal anak sekarang b. Tujuan umum jangka panjang dan tujuan khusus jangka pendek c. Rincian layanan pendidikan khusus dan layanan lain yang terkait, termasuk seberapa besar anak dapat berpartisipasi dalam pendidikan di kelas biasa d. Tanggal dimulainya setiap program, termasuk perkiraan selesai dan evaluasinya e. Criteria untuk menentukan ketercapaian setiap tujuan. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa penyusunan PPI merupakan suatu hal yang sangat penting untuk anak berkebutuhan khusus. Dalam penyusunannya, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu : deskripsi tingkat kemampuan awal anak sekarang yaitu mendeskripsikan mengenai kemampuan dan prestasi anak, kelebihan dan kelemahan anak serta kondisi-kondisi khusus pada anak. Untuk mengetahui deskripsi anak dan tingkat kemampuan anak dapat dilakukan dengan melakukan tes formal, tes informal, observasi atau membuat alat ukur lainnya. Tujuan jangka panjang merupakan pernyataan mengenai hal-hal yang akan dicapai pada akhir tahun. Sedangkan tujuan jangka pendek merupakan pernyataan commit to user 56 yang lebih spesifiklebih khusus mengenai keterampilan yang akan dikembangkan untuk mencapai tujuan tahunan tertentu. Setelah mempelajari deskripsi tingkat kemampuan anak dan merumuskan tujuan untuk pendidikan anak, maka langkah selanjutnya yaitu membuat daftar layanan khusus yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak, baik dalam aspek pendidikan maupun aspek lain yang terkait. Dalam hal ini perlu dijelaskan pula seberapa besar partisipasi anak dapat diikutkan dalam kelas biasa untuk diberikan kesempatan berinteraksi dengan teman-teman normal. Dalam PPI harus memuat rencana tanggal dimulainya kegiatan untuk setiap tujuan khusus, jangka waktu kegiatan, dan tangggal evaluasi untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu criteria ketercapaian tujuan yang dapat diamati dan dinilai berupa kemampuan yang dapat ditunjukkan anak. Dalam http:id.wikipedia.orgwikiAutisme disebutkan pula bahwa pembelajaran yang diberikan kepada anak autis haruslah bersifat menyeluruh sesuai dengan kebutuhan anak. Pembelajaran yang diberikan kepada anak autis antara lain : a. Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis ABA yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif. b. Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime . commit to user 57 c. TEACCH Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children . d. Biological Treatment, meliputi terapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.. e. Speech – Language Therapy Terapi Wicara, meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditorypendengaran. f. Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS Picture Exchange Communication System, bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya. g. Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lingkungan sosial lainnya. h. Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy OT, Sensory Integration Therapy SI dan Auditory Integration Training AIT. Dengan adanya berbagai jenis perlakuan dan pembelajaran yang diberikan kepada anak maka diharapkan dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Yang perlu diingat adalah bahwa memberikan perlakuan dan pembelajaran kepada anak autis harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya commit to user 58 dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Melihat kebutuhan pendidikan anak autis seperti yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sekolah autis membutuhkan tenaga pengajar atau pendidik dari berbagai bidang ilmu sesuai dengan kebutuhan pendidikannya. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 29 ayat 5a menyebutkan bahwa pendidik pada SDLBSMPLBSMALB, atau bentuk lain yang sederajat harus mamiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat D-IV atau sarjana S1 latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Sedangkan untuk tenaga kependidikan pada pasal 35 ayat 1e menyebutkan bahwa tenaga kependidikan SDLB, SMPLB, SMALB atau bentuk lain yang sederajat sekurang- kurangnya terdiri atas kepala sekolah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, tenaga kebersihan sekolah, teknisi sumber belajar, psikolog, pekerja social, dan terapis. Jadi, sesuai dengan pasal tersebut maka pendidik di SLB harus merupakan lulusan dari sarjana program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Sedangkan untuk tenaga kepandidikan dapat terdiri dari kepala sekolah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, tenaga kebersihan sekolah, teknisi sumber commit to user 59 belajar, psikolog, pekerja social, dan terapis. Untuk tenaga terapis dapat memilih terapis sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang ada di setiap SLB. Selain mengenai pendidik dan tenaga kependidikan, sebuah SLB juga membutuhkan sarana dan prasarana untuk menunjang kelancaran proses belajar mengajar yang ada di sekolah tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 42 ayat 1 mengenai standar sarana dan prasarana menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Ayat 2 menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi , lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berekreasi dan ruangtempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Lebih spesifik dijelaskan pada Lampiran Peraturan Mentri Pendidikan Nasional No. 33 Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SDLB, SMPLB, dan SMALB poin D mengenai kelengkapan saranan dan prasarana menyebutkan bahwa setiap SDLB, SMPLB, dan SMALB sekurang-kurangnya memiliki ruang pembelajaran umum, ruang pembelajaran khusus, dan ruang commit to user 60 penunjang sesuai dengan jenjang pendidikan dan jenis ketunaan peserta didik yang dilayani. Jadi dari peraturan mentri tersebut dapat diketahui bahwa selain ruang pembelajaran umum, SDLB, SMPLB, maupun SMALB perlu memiliki ruang pembelajaran khusus dan ruang penunjang pendidikan sesuai dengan jenis ketunaan peserta didik, misalnya untuk tunanetra memerlukan ruang Orientasi Mobilitas OM, untuk tunarungu memerlukan Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama BPBI dan ruang terapi wicara, begitu pula dengan jenis kebutuhan khusus lainnya, tak terkecuali dengan sekolah autis. Untuk peserta didik autis di sekolah autis, juga memerlukan ruang pembelajaran khusus yaitu ruang terapi baik untuk okupasi terapi, fisio terapi, terapi wicara, maupun untuk terapi perilaku. Untuk media pembelajaran bagi anak autis disebutkan oleh Wawan RM 2012:13 bahwa strategi visual bagi anak berkebutuhan khusus adalah salah satu pilihan yang efektif untuk pembelajaran. Linda Hadgdon dalam makalah yang disampaikan Wawan RM 2012:13 juga menjelaskan mengenai alasan pemilihan strategi visual bagi anak berkebutuhan khusus antara lain, karena banyak anak dengan gangguan komunikasi dan perilaku adalah pembelajar visual, kebanyakan masalah perilaku dan keterampilan social pada ABK berhubungan dengan kurangnya pemahaman, ABK banyak memperhatikan kekuatan dalam memahami informasi secara visual dibanding apa yang didengar, visual sangat membantu dalam pemrosesan bahasa, pengorganisasian pikiran, daya ingat akan informasi dan keterampilan yang penting dalam komunikasi serta karena informasi visual akan bertahan lama, tidak bersifat sementara, dan tidak cepat hilang. commit to user 61 Dari berbagai macam kebutuhan yang diperlukan oleh anak autis seperti yang telah dijelaskan di atas, maka sebuah sekolah autis dapat menyusun kurikulum khusus yang dimodifikasi menyesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, karakteristik, dan minat anak autis serta mempersiapkan berbagai sarana prasarana dan media pembelajaran yang dibutuhkan. Kurikulum tersebut harus bersifat fleksibel dan mempertimbangkan kemampuan individual tiap peserta didik.

B. Penelitian yang Relevan