Pelayanan Informasi Obat PENELAAHAN PUSTAKA

8

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pelayanan Informasi Obat

Peran apoteker dalam pelayanan informasi obat bukanlah hal yang baru. Asas kontribusi apoteker pada pelayanan kesehatan adalah pengetahuan yang mendalam tentang obat. Instalasi farmasi adalah sentra informasi obat karena instalasi ini wajib memelihara sumber informasi yang sesuai dan mengembangkan mekanisme untuk mengevaluasi informasi serta meneruskannya kepada staf profesional rumah sakit dan kepada penderita Siregar dan Amalia, 2004. Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, perawat, profesi kesehatan lainnya dan kepada pasien Depkes RI, 2004. Pelayanan informasi obat adalah salah satu bentuk kerja kefarmasian yang diberikan kepada konsumen selaku pengguna obat berdasarkan kepada konsep pharmaceutical care . Informasi obat kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu penggobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi DepKes RI, 2006 a. Kegiatan pelayanan informasi obat berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang bersifat pasif atau aktif. Pelayanan yang bersifat aktif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin, brosur, leaflet, seminar, dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat sebagai jawaban atas pernyataan yang diterima DepKes, 2004. Pelayanan informasi obat adalah suatu kegiatan menyediakan informasi mengenai obat yang obyektif dan akurat kepada pasien dan tenaga kesehatan. Sasaran informasi obat terdiri dari pasienkeluarga pasien, tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat, bidan, asisten apoteker, dan lain-lain, serta pihak lain seperti manajemen timkepanitiaan klinik dan lain-lain Ikawati, 2010. Menurut DepKes 2004 menyatakan bahwa kegiatan dalam pelayanan informasi obat meliputi: a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan pasif, b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka, c. Membuat leaflet dan buletin, d. Menyediakan informasi bagi komitepanitia farmasi dan terapi sehubunggan dengan penyusunan formularium rumah sakit, e. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan lainnya, f. Mengkordinasikan penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian. Pasien memerlukan informasi tentang obat yang mereka terima, mencakup cara penggunaan, penyimpanan, efek samping, dan cara menangani efek samping, serta cara memantau efek samping obat. Suatu sistem pelayanan kesehatan dapat meyediakan mutu obat yang tetinggi, tetapi jika obat itu digunakan secara tidak tepat, maka pasien tidak dapat memperoleh manfaat atau bahkan menimbulkan efek yang merugikan. Walaupun akses kepada informasi obat yang baik tidak menjamin penggunaan obat yang tepat, namun informasi obat itu pasti merupakan persyaratan dasar untuk keputusan penggunaan obat yang rasional Siregar dan Amalia, 2004. Menurut DepKes 2006 a, pelayanan informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini sangat diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Informasi obat yang lazim diperlukan pasien meliputi : a. Waktu penggunaan obat, misalnya berapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah diwaktu pagi, siang, sore atau malam. Dalam hal ini termasuk apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan, b. Lama penggunaan obat, apakah selama keluhan masih ada atau harus dihabiskan meskupun sudah teras sembuh, c. Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat tetes mata, obat dalam bentuk inhaler, krimsalep dan suppositoria, d. Efek yang akan timbul dari penggunaan obat yang akan dirasakan, misalnya berkeringat, mengantuk, kurang kesadaran, tinja berubah warna, dan sebagainya, e. Hal-hal yang mungkin timbul. Misalnya efek samping obat, interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu, dan kontraindikasi obat tertentu dengan diet rendah kalori, kehamilan dan menyusui, f. Cara penyimpanan yang baik untuk obat tersebut Setiadji, 1996. Salah satu penyebab ketidaktaatan penggunaan obat adalah tidak adanya atau kurangnya komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman pasien terhadap penyakit yang diderita dan pengobatannya. Kurangnya komunikasi ini disebabkan informasi obat dianggap kurang penting atau dibeberapa pelayanan kesehatan petugas belum paham informasi apa saja yang perlu diberikan dan menganggap informasi mengenai cara pakai obat saja sudah cukup Sunarsih, 2002. Untuk mengembangkan pelayanan informasi obat yang obyektif harus memenuhi beberapa kriteria WHO, 1993, yaitu: a. Informasi harus berdasarkan standar yang telah disepakati serta menjamin ketepatan dan obyektifitas dari informasi, b. Informasi yang relevan harus resedia pada saat diperlukan, c. Terjangkau dan dapat dimengerti oleh petugas, d. Luwes, dapat diberikan dengan berbagai cara dan bentuk, e. Relevan dengan kebutuhan pengguna, f. Obyektif,tanpa disertai pesan-pesan promosi, g. Dikembangkan dengan masukan dari para pengguanya, h. Telah diuji coba dalam tingkat penerimaan dan manfaatnya. Pelayanan informasi obat dapat diukur dengan menggunakan indikator pelayanan pasien WHO, 1993 sebagai berikut: a. Rata-rata waktu penyerahan obat, yaitu mengukur rata-rata waktu petugas memberikan obat kepada pasien, yang dimulai pada saat pasien dipanggil dan berada diloket sampai meninggalkan loket, b. Persentase obat diberikan dengan etiket yang benar, yaitu mengukur tingkat informasi tertulis yang diberikan pada kemasan obat, c. Persentase pasien yang memahami informasi obat yang benar, yaitu mengukur efektifitas informasi obat yang diberikan kepada pasien. Informasi tentang suatu obat dan promosi yang dilakukan sangat mempengaruhi penggunaan obat tersebut dan tinggi rendahnya pemahaman konsumen mengenai produk tergantung pada tingkat kebenaran informasi yang disampaikan penjual atau pengusaha serta daya tangkap konsumen yang bersangkutan Siregar, 1994. Untuk mejaga dan memajukan kesehatan, kekuatan metal dan fisik rakyat adalah pemberian informasi yang cukup mengenai obat pada orang yang memerlukan informasi oleh orang yang dalam kedudukannya bias memberikan informasi tersebut dan orang yang diharapkan tahu banyak tentang obat adalah apoteker. Karena hal tersebut adalah bidangnya dan menjadi tanggung jawabnya Anief, 2001. Menurut Kimia Farma 2003 menyatakan pasien perlu informasi obat dikarenakan hal-hal sebagai berikut: a. Interpretasi pasien beragam terhadap etiketlabel obatsigna b. Tingkat pemahaman pasien beragam c. Tingkat kepatuhan pasien beragam d. Efek samping obat yang mungkin terjadi e. Obat populer untuk terapi penyakit tertentu dipakai untuk penyakit lain Informasi obat bagi para pelaku pelayanan berfungsi untuk menyegarkan kembali pengetahuan mengenai obat dan meningkatkan pengambilan keputusan dalam memberikan informasi tentang penggunaan obat paa waktu melayani pasien. Informasi obat juga penting untuk meningkatkan pengetahuan obat dan penggunaannya secara rasional Trisna, 2007.

B. Pelayanan Informasi Obat Di Apotek