Profil pelayanan informasi obat dan harapan penderita asma di Kabupaten Sleman.

(1)

INTISARI

Mutu pelayanan kesehatan di apotek diatur oleh aturan standar pelayanan yang ditetapkan oleh menteri kesehatan RI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pelayanan informasi obat yang diterima dan harapan penderita asma di Kabupaten Sleman. Jenis penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional. Responden dalam penelitian ini adalah penderita asma yang pernah menebus obat dan menerima pelayanan informasi obat di apotek di Kabupaten Sleman serta bersedia mengisi kuesioner sebagai instrumen dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif menggunakan program komputer.

Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak semua komponen informasi mengenai penyakit dan obat asma diterima oleh responden dan harapan responden terhadap pelayanan informasi obat yang diberikan oleh apoteker adalah apoteker menjelaskan informasi penyakit dan obat asma mengenai efek samping, indikasi, kontraindikasi dan pantangan makanan/minuman. Oleh karena itu, perlu peran pemerintah melalui dinas kesehatan untuk melakukan pengawasan apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian di apotek.


(2)

ABSTRACT

Quality of health services in pharmacy governed by standard rules of service set by the Indonesia’s health minister.

This study aims are to learn about profile of drug information services received and expected from patients with asthma in pharmacy of Sleman district. This study is a descriptive with cross-sectional study design. Respondents in this study were patients with asthma who had redeem a drug and receive drugs information service in pharmacy in Sleman district and willing to fill in a questionnaire as an instrument in this study. The data were analyzed using descriptive statistics computer program.

Study’s result states that not all of information about asthma and asthma medication information received by asthma patients in a pharmacy of Sleman district and respondents expect drug’s information service given by pharmacist is that pharmacist explain informations about asthma and asthma medicationtion about side effects, indications, contraindications and abstinence of food / drinks. So, there is a need for participation of government through health department to supervise pharmacist in doing pharmacy services in pharmacy.


(3)

PROFIL PELAYANAN INFORMASI OBAT DAN HARAPAN PENDERITA ASMA DI KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Maria Theresia Ghea NIM : 108114195

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Segala perkara dapat kutanggung di dalam DIA yang memberi

kekuatan kepadaku

(Filipi 4:13)

Ia Menjadikan Semua Indah Pada Waktunya

(Pengkotbah 3 : 11a)

Setetes air matamu DIA perhitungkan,

Sepatah katamu DIA dengarkan,

Sekecil-kecilnya masalahmu DIA pedulikan,

DIA-lah Tuhan yang mengerti akan hidupmu.

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada :

Yesus Kristus atas berkat dan kasih-Nya

Bapak dan ibuku tercinta yang selalu mendukungku

Ka omint,i’in dan serno, saudaraku tersayang


(7)

(8)

(9)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat dan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Profil Pelayanan Informasi Obat dan Harapan Penderita Asma di Kabupaten Sleman” dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Fakultas Farmasi pada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2014. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan pernah berhasil diselesaikan tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M. Si., Ph. D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing atas dukungan, arahan serta semangat yang telah diberikan selama penulis menyusun skripsi

2. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. dan Ibu Dita Maria Virginia, S.Farm., Apt., M.Sc selaku dosen penguji

3. Kedua orangtuaku Bonefasius Be’o, S. Pd dan Presedis Sole serta ketiga saudaraku yang dengan tulus ikhlas memberikan dukungan berupa kasih sayang, nasehat, doa dan materi dalam setiap langkah hidup penulis

4. Seluruh penderita asma yang menjadi responden dalam penelitian ini yang secara tidak langsung telah membantu penulis menyelesaikan skripsi

5. Segenap dosen pengajar, staf bagian sekretariatan serta laboran fakultas farmasi universitas sanata dharma atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini


(10)

(11)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

INTISARI ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1.Permasalahan ... 4

2.Keaslian penelitian ... 4

3.Manfaat penelitian ... 6

a. Manfaat teoritis ... 6


(12)

x

B. Tujuan Penelitian ... 7

1.Tujuan umum ... 7

2.Tujuan khusus ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Pelayanan Informasi Obat ... 8

B. Pelayanan Informasi Obat Di Apotek ………... 13

1.Informasi tertulis ... 14

2.Informasi lisan ... 14

C. Pharmaceutical Care……….………. 18

D. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma ….……...……….. 19

E. Asma ...……… 21

1.Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma ... 22

2.Gejala ... 23

3.Penatalaksanaan asma ... 24

F. Metode Penelitian ……… 25

G. Keterangan Empiris .……… 26

BAB III. METODE PENELITIAN ... 27

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27

B. Variabel Penelitian ... 27

C. Definisi Operasional Penelitian ... 27

D. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 28

E. Subyek Penelitian ... 28


(13)

xi

G. Instrumen Penelitian ... 29

H. Tata Cara Penelitian ... 30

1.Studi pendahuluan atau orientasi ... 30

2.Pembuatan kuesioner ... 30

3.Pengujian kuesioner ... 31

4.Penyebaran kuesioner dan pengumpulan kuesioner ... 31

I. Etika Penelitian ... 32

J. Teknik Analisis Data ... 32

K. Keterbatasan Penelitian ... 35

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Hasil Penelitian ... 36

1.Deskripsi karakteristik responden ... 37

2.Profil pelayanan informasi obat yang diterima penderita asma di apotek di Kabupaten Sleman... 38

3.Harapan penderita asma terhadap pengobatan yang diterima di apotek di Kabupaten Sleman... 70

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN ... 81


(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I Karakteristik penderita asma pada bulan Februari-April 2014 ... 37 Tabel II Komponen informasi mengenai penyakit asma ... 40 Tabel III Komponen informasi mengenai obat asma ... 58 Tabel IV Harapan penderita asma terhadap pelayanan informasi obat di

apotek ……….. 70


(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Frekuensi pelayanan informasi mengenai faktor pencetus

asma yang diterima penderita……… 43

Gambar 2. Frekuensi pelayanan informasi obat mengenai pemeriksaan

penunjang yang diterima penderita asma……….. 45 Gambar 3 Frekuensi pelayanan informasi obat asma mengenai hal yang

dilakukan ketika terjadi serangan yang diterima penderita…… 47 Gambar 4. Frekuensi pelayanan informasi obat mengenai tingkat

keparahan penyakit asma yang diterima penderita………

49

Gambar 5. Frekuensi pelayanan informasi obat mengenai gejala asma

yang diterima penderita………

53

Gambar 6. Persentase pelayanan informasi penyakit asma yang diterima penderita asma ... 57 Gambar 7. Persentase pelayanan informasi obat yang diterima penderita


(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Validasi kuesioner ...……… 82 Lampiran 2. Kuesioner penelitian ... 85 Lampiran 3. Tabulasi data ... 95


(17)

xv INTISARI

Mutu pelayanan kesehatan di apotek diatur oleh aturan standar pelayanan yang ditetapkan oleh menteri kesehatan RI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pelayanan informasi obat yang diterima dan harapan penderita asma di Kabupaten Sleman. Jenis penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional. Responden dalam penelitian ini adalah penderita asma yang pernah menebus obat dan menerima pelayanan informasi obat di apotek di Kabupaten Sleman serta bersedia mengisi kuesioner sebagai instrumen dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif menggunakan program komputer.

Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak semua komponen informasi mengenai penyakit dan obat asma diterima oleh responden dan harapan responden terhadap pelayanan informasi obat yang diberikan oleh apoteker adalah apoteker menjelaskan informasi penyakit dan obat asma mengenai efek samping, indikasi, kontraindikasi dan pantangan makanan/minuman. Oleh karena itu, perlu peran pemerintah melalui dinas kesehatan untuk melakukan pengawasan apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian di apotek.


(18)

xvi ABSTRACT

Quality of health services in pharmacy governed by standard rules of service set by the Indonesia’s health minister.

This study aims are to learn about profile of drug information services received and expected from patients with asthma in pharmacy of Sleman district. This study is a descriptive with cross-sectional study design. Respondents in this study were patients with asthma who had redeem a drug and receive drugs information service in pharmacy in Sleman district and willing to fill in a questionnaire as an instrument in this study. The data were analyzed using descriptive statistics computer program.

Study’s result states that not all of information about asthma and asthma medication information received by asthma patients in a pharmacy of Sleman district and respondents expect drug’s information service given by pharmacist is that pharmacist explain informations about asthma and asthma medicationtion about side effects, indications, contraindications and abstinence of food / drinks. So, there is a need for participation of government through health department to supervise pharmacist in doing pharmacy services in pharmacy.


(19)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kefarmasian di apotek di Indonesia seharusnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Undang – undang kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 4 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan,pada pasal 5 ayat 2 juga dinyatakan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau (DepKes, 2009 b). Oleh karena itu, setiap tenaga kesehatan, khususnya apoteker, wajib memberikan pelayanan terbaik untuk menunjang kesehatan warga negara Indonesia melalui praktek pelayanan kefarmasian. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengolahan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien.

Pada proses pelayanan kesehatan, obat merupakan komponen yang memegang peranan penting pada sebagian besar upaya kesehatan baik untuk menghilangkan gejala/symptom dari suatu penyakit, obat juga dapat mencegah penyakit bahkan obat juga dapat menyembuhkan penyakit. Namun, di sisi lain obat juga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila penggunaanya tidak tepat. Oleh sebab itu, penyediaan informasi obat yang benar, objektif dan lengkap akan sangat mendukung dalam pemberian pelayanan kesehatan yang


(20)

terbaik kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan kemanfaatan dan keamanan dalam penggunaan obat.

Perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan pola penyakit di masyarakat yaitu meningkatnya prevalensi penyakit kronik (Depkes RI, 2001). Salah satu penyakit kronik yang memerlukan terapi seumur hidup selain perubahan pola hidup adalah asma. Asma didefinisikan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan penyempitan saluran napas yang bisa kembali secara spontan atau jika diterapi dengan obat yang tepat (DepKes RI, 2007). Asma banyak diderita oleh anak-anak dan dewasa baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 300 juta manusia di dunia menderita asma dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025. Satu dari 250 orang yang meninggal adalah penderita asma (WHO, 2011), sehingga dalam penatalaksanaannya membutuhkan perhatian yang lebih serius.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy inChildren) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih diangka yang cukup rendah yaitu 2,1%, kemudian pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Prevalensi asma di Jakarta mencapai angka 7,25%. Menurut data dari Depkes diprediksi jumlah penderita penyakit asma di Indonesia semakin meningkat dari tahun 1996 yang hanya 5% menjadi 15 % pada tahun 2005. Khusus daerah Yogyakarta prevalensi penyakit asma sebesar 3,46% (Oemiati, 2010). Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Yogyakarta menyebutkan


(21)

bahwa asma termasuk dalam peringkat ke-3 penyebab kunjungan pasien ke rumah sakit, dan juga menempati peringkat pertama pada tahun 2010.

Dampak buruk asma mengakibatkan menurunnya kualitas hidup, produktivitas menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, harus dirawat di rumah sakit dan bahkan menyebabkan kematian. Hal ini membutuhkan pelayanan pengobatan asma yang rasional dan sesuai standar pelayanan agar tingkat kekambuhan dapat diminimalisir (Stevani, 2007). Melihat fakta diatas maka perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak khususnya tenaga kesehatan dalam peningkatan pengobatan asma (DepKes RI, 2005).

DinKes RI (2007) menerbitkan standar yang secara khusus membahas mengenai pharmaceutical care untuk penyakit asma. Pada standar ini terdapat penjelasan tentang beberapa hal yang seharusnya diterima oleh pasien asma saat memperoleh pelayanan informasi mengenai penyakit dan terapi yang diterima berkaitan dengan informasi frekuensi pemakaian obat, jalur atau rute pemberian obat, lama pengobatan, efek samping, kontraindikasi, cara penyimpanan, faktor pencetus timbulnya kekambuhan, cara pencegahan, dan apa saja yang harus dihindari pada saat menjalani pengobatan. Diharapkan dengan adanya pedoman ini pasien lebih banyak menerima informasi mengenai penyakit yang dideritanya dan dapat meningkatkan kesadaran untuk menjaga kualitas hidup.

Pelayanan informasi yang jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini sangat diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Penyerahan obat kepada pasien harus disertai dengan pemberian informasi secara lisan dan tulisan. Informasi lisan sekurang-kurangnya


(22)

terdiri dari: informasi frekuensi, cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, efek samping obat, aktifitas, dan makanan serta minuman yang harus dihindari selama terapi. Informasi tulisan dalam bentuk label/etiket meliputi nama, aturan pakai, cara pakai, dan tanggal penyerahan (Depkes, 2006 a).

Penderita asma membutuhkan perawatan dalam jangka waktu yang panjang sehingga kepatuhan dalam penggunaan obat menjadi prioritas. Pada penderita asma rawat jalan tidak berada dalam lingkungan yang terkendali seperti halnya penderita rawat inap dan penderita harus bertanggung jawab terhadap kesehatannya sendiri.

Melihat hal-hal yang terjadi di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai profil pelayanan informasi obat dan harapan penderita asma di Kabupaten Sleman.

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan terfokus pada beberapa permasalahan seperti berikut:

a. Seperti apakah pelayanan informasi obat yang diterima penderita asma di apotek di Kabupaten Sleman?

b. Apakah harapan penderita terhadap pelayanan informasi obat asma di Kabupaten Sleman?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai profil pelayanan informasi obat dan harapan penderita asma di Kabupaten Sleman sejauh ini belum pernah dilakukan oleh


(23)

peneliti lain. Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan mengenai pelayanan informasi obat adalah sebagai berikut:

a. Purba (2012), meneliti evaluasi ketersediaan pelayanan informasi obat resep captropil sebagai anti hipertensi di apotek – apotek wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian ini terfokus pada obat captropil untuk penyakit hipertensi sedangkan pada penelitian yang dikerjakan oleh peneliti difokuskan pada penyakit asma.

b. Djunaria (2010), meneliti assessment pelayanan informasi obat penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) oleh petugas penyerah obat di puskesmas kota Pangkal Pinang Provinsi Bangka Belitung. Penelitian ini terfokus pada penyakit ISPA, penelitian dilakukan di puskesmas dan di tempat yang berbeda yaitu di kota Pangkal Pinang Provinsi Bangka Belitung dan subyek penelitian adalah seorang penyerah obat. Sedangkan pada penelitian yang dikerjakan oleh peneliti dilaksanakan di apotek dengan subyek penelitian adalah seorang konsumen atau penderita yang pernah menebus obat di apotek dan dilakukan di wilayah Kota Yogyakarta.

c. Handayani, Gitawati, Muktiningsih dan Raharni (2006), meneliti eksplorasi pelayanan informasi obat yang dibutuhkan pasien apotek dan kesiapan apoteker memberi informasi terutama untuk penyakit kronik dan degeneratif. Subyek penelitian adalah seorang apoteker, dan tidak difokuskan pada jenis penyakit kronik atau degeneratif tertentu. Sedangan yang peneliti lakukan lebih terfokus pada penyakit asma.


(24)

d. Puspitasari (2001), meneliti mengenai motivasi konsumen terhadap layanan informasi dan konsultasi obat di apotek di Kota Yogyakarta. Penelitian ini lebih difokuskan pada motivasi konsumen terhadap informasi dan konsultasi yang diterima di apotek sedangkan yang peneliti lakukan yaitu bertujuan mengetahui seperti apakah profil pelayanan informasi obat yang diterima pasien asma.

e. Suhartati (2014), meneliti mengenai penerapan standar pelayanan kefarmasian pada pasien asma oleh apoteker pada sepuluh apotek di Kota Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta dan meneliti semua aspek mengenai pelayanan kefarmasian sedangkan yang peneliti lakukan lebih difokuskan kepada pelayanan informasi obat dan lokasinya di kabupaten Sleman.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai kesesuaian maupun hal yang tidak sesuai dalam penerapan pharmaceutical care pada pasien asma menurut standar dalam KepMenKes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dan Bina Farmasi Deprtemen Kesehatan RI tahun 2007.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat memberikan masukan informasi dan referensi

kepada apoteker di apotek mengenai pelayanan kefarmasian sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum khususnya bagi penderita asma.


(25)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mendapatkan profil pelayanan informasi obat dan harapan penderita asma di Kabupaten Sleman. 2. Tujuan khusus

Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk

a. Mengidentifikasi pelayanan informasi obat yang diterima penderita asma di Kabupaten Sleman.

b. Mengidentifikasi harapan penderita terhadap pelayanan informasi obat yang diterima.


(26)

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pelayanan Informasi Obat

Peran apoteker dalam pelayanan informasi obat bukanlah hal yang baru. Asas kontribusi apoteker pada pelayanan kesehatan adalah pengetahuan yang mendalam tentang obat. Instalasi farmasi adalah sentra informasi obat karena instalasi ini wajib memelihara sumber informasi yang sesuai dan mengembangkan mekanisme untuk mengevaluasi informasi serta meneruskannya kepada staf profesional rumah sakit dan kepada penderita (Siregar dan Amalia, 2004).

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, perawat, profesi kesehatan lainnya dan kepada pasien (Depkes RI, 2004). Pelayanan informasi obat adalah salah satu bentuk kerja kefarmasian yang diberikan kepada konsumen selaku pengguna obat berdasarkan kepada konsep

pharmaceutical care. Informasi obat kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu penggobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (DepKes RI, 2006 a).

Kegiatan pelayanan informasi obat berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang bersifat pasif atau aktif. Pelayanan yang bersifat aktif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi obat,


(27)

misalnya penerbitan buletin, brosur, leaflet, seminar, dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat sebagai jawaban atas pernyataan yang diterima (DepKes, 2004).

Pelayanan informasi obat adalah suatu kegiatan menyediakan informasi mengenai obat yang obyektif dan akurat kepada pasien dan tenaga kesehatan. Sasaran informasi obat terdiri dari pasien/keluarga pasien, tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat, bidan, asisten apoteker, dan lain-lain, serta pihak lain seperti manajemen tim/kepanitiaan klinik dan lain-lain (Ikawati, 2010). Menurut DepKes (2004) menyatakan bahwa kegiatan dalam pelayanan informasi obat meliputi:

a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan pasif,

b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau tatap muka,

c. Membuat leaflet dan buletin,

d. Menyediakan informasi bagi komite/panitia farmasi dan terapi sehubunggan dengan penyusunan formularium rumah sakit,

e. Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan lainnya,

f. Mengkordinasikan penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian. Pasien memerlukan informasi tentang obat yang mereka terima, mencakup cara penggunaan, penyimpanan, efek samping, dan cara menangani efek samping, serta cara memantau efek samping obat. Suatu sistem pelayanan


(28)

kesehatan dapat meyediakan mutu obat yang tetinggi, tetapi jika obat itu digunakan secara tidak tepat, maka pasien tidak dapat memperoleh manfaat atau bahkan menimbulkan efek yang merugikan. Walaupun akses kepada informasi obat yang baik tidak menjamin penggunaan obat yang tepat, namun informasi obat itu pasti merupakan persyaratan dasar untuk keputusan penggunaan obat yang rasional (Siregar dan Amalia, 2004).

Menurut DepKes (2006 a), pelayanan informasi obat harus benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini sangat diperlukan dalam upaya penggunaan obat yang rasional oleh pasien.

Informasi obat yang lazim diperlukan pasien meliputi :

a. Waktu penggunaan obat, misalnya berapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah diwaktu pagi, siang, sore atau malam. Dalam hal ini termasuk apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan,

b. Lama penggunaan obat, apakah selama keluhan masih ada atau harus dihabiskan meskupun sudah teras sembuh,

c. Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh karena itu pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang benar terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat tetes mata, obat dalam bentuk inhaler, krim/salep dan suppositoria,

d. Efek yang akan timbul dari penggunaan obat yang akan dirasakan, misalnya berkeringat, mengantuk, kurang kesadaran, tinja berubah warna, dan sebagainya,


(29)

e. Hal-hal yang mungkin timbul. Misalnya efek samping obat, interaksi obat dengan obat lain atau makanan tertentu, dan kontraindikasi obat tertentu dengan diet rendah kalori, kehamilan dan menyusui,

f. Cara penyimpanan yang baik untuk obat tersebut (Setiadji, 1996).

Salah satu penyebab ketidaktaatan penggunaan obat adalah tidak adanya atau kurangnya komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman pasien terhadap penyakit yang diderita dan pengobatannya. Kurangnya komunikasi ini disebabkan informasi obat dianggap kurang penting atau dibeberapa pelayanan kesehatan petugas belum paham informasi apa saja yang perlu diberikan dan menganggap informasi mengenai cara pakai obat saja sudah cukup (Sunarsih, 2002).

Untuk mengembangkan pelayanan informasi obat yang obyektif harus memenuhi beberapa kriteria (WHO, 1993), yaitu:

a. Informasi harus berdasarkan standar yang telah disepakati serta menjamin ketepatan dan obyektifitas dari informasi,

b. Informasi yang relevan harus resedia pada saat diperlukan, c. Terjangkau dan dapat dimengerti oleh petugas,

d. Luwes, dapat diberikan dengan berbagai cara dan bentuk, e. Relevan dengan kebutuhan pengguna,

f. Obyektif,tanpa disertai pesan-pesan promosi,

g. Dikembangkan dengan masukan dari para pengguanya, h. Telah diuji coba dalam tingkat penerimaan dan manfaatnya.


(30)

Pelayanan informasi obat dapat diukur dengan menggunakan indikator pelayanan pasien (WHO, 1993) sebagai berikut:

a. Rata-rata waktu penyerahan obat, yaitu mengukur rata-rata waktu petugas memberikan obat kepada pasien, yang dimulai pada saat pasien dipanggil dan berada diloket sampai meninggalkan loket,

b. Persentase obat diberikan dengan etiket yang benar, yaitu mengukur tingkat informasi tertulis yang diberikan pada kemasan obat,

c. Persentase pasien yang memahami informasi obat yang benar, yaitu mengukur efektifitas informasi obat yang diberikan kepada pasien.

Informasi tentang suatu obat dan promosi yang dilakukan sangat mempengaruhi penggunaan obat tersebut dan tinggi rendahnya pemahaman konsumen mengenai produk tergantung pada tingkat kebenaran informasi yang disampaikan penjual atau pengusaha serta daya tangkap konsumen yang bersangkutan (Siregar, 1994). Untuk mejaga dan memajukan kesehatan, kekuatan metal dan fisik rakyat adalah pemberian informasi yang cukup mengenai obat pada orang yang memerlukan informasi oleh orang yang dalam kedudukannya bias memberikan informasi tersebut dan orang yang diharapkan tahu banyak tentang obat adalah apoteker. Karena hal tersebut adalah bidangnya dan menjadi tanggung jawabnya (Anief, 2001).

Menurut Kimia Farma (2003) menyatakan pasien perlu informasi obat dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

a. Interpretasi pasien beragam terhadap etiket/label obat(signa) b. Tingkat pemahaman pasien beragam


(31)

c. Tingkat kepatuhan pasien beragam d. Efek samping obat yang mungkin terjadi

e. Obat populer untuk terapi penyakit tertentu dipakai untuk penyakit lain

Informasi obat bagi para pelaku pelayanan berfungsi untuk menyegarkan kembali pengetahuan mengenai obat dan meningkatkan pengambilan keputusan dalam memberikan informasi tentang penggunaan obat paa waktu melayani pasien. Informasi obat juga penting untuk meningkatkan pengetahuan obat dan penggunaannya secara rasional (Trisna, 2007).

B. Pelayanan Informasi Obat Di Apotek

Ada berbagai macam definisi dari informasi obat, tetapi pada umumnya maksud dan intinya sama saja. Salah satu definisinya adalah informasi obat merupakan setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi, toksikologi dan farmakoterapi obat. Informasi obat mencakup tetapi tidak terbatas pada pengetahuan seperti nama kimia, struktur dan sifat fisika-kimia, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi, mekanisme kerja, waktu mulai kerja dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang direkomendasikan, absorbsi, metabolisme detoksifikasi, ekskresi, efek samping dan reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan. Tanda dan gejala, pengobatan toksisitas dan setiap informasi lainnya yang berguna dalam diagnosis dan pengobatan pasien (Siregar, 2006).

Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian, pengevaluasian, pengindeksan, pendistribusian, penyebaran atau penyampaian


(32)

informasi tentang obat dalam berbagai bentuk dan berbagai metode kepada pengguna atau keluarga pengguna (Siregar, 2006). Ada dua jenis metode utama dalam pelayanan informasi obat kepada pasien, yaitu dengan metode lisan dan tertulis. Apoteker perlu memutuskan kapan suatu jenis metode akan digunakan untuk memberikan pelayanan informasi obat yang lebih tepat. Dalam banyak situasi klinik, pemberian informasi lisan biasanya diikuti dengan pemberian informasi tertulis.

1. Informasi tertulis

Informasi tertulis merupakan dokumentasi informasi tertentu yang diberikan kepada pasien atau keluarga pasien. Keuntungan dari format tertulis adalah memungkinkan pasien untuk membaca ulang informasi tersebut dan secara pelan-pelan menginterpretasikan informasi tersebut (Siregar, 2006). Pemberian informasi obat secara tertulis dapat dilakukan oleh apoteker dengan jalan memberikan bulletin, leaflet, label obat ataupun catatan kecil kepada pasien (Anonim, 2004).

2. Informasi lisan

Setelah ditetapkan bahwa informasi lisan adalah tepat, apoteker perlu memutuskan jenis metode informasi lisan yang digunakan. Ada dua jenos metode pemberian informasi secara lisan, yaitu komunikasi tatap mukadan komunikasi telepon. Komunikasi tatap muka dengan pasien lebih disukai karena lebih membantu apoteker dalam menilai keberhasilan pemberian informasi obat yang dilakukan (Siregar, 2006).


(33)

Mewujudkan pengertian dan penerimaan yang baik antara pasien dan apoteker dalam pelaksanaan konsultasi, menurut Santoso (1994), idealnya mencakup beberapa komponen informasi seperti disebut berikut ini:

a. Informasi tentang masalah kesehatan

Pasien seharusnya diberkan informasi yang sesuai dengan maslah kesehatan yang dideritanya

b. Informasi tentang perawatan

c. Informasi tentang obat dan pemilihan obat

Tujuan yang spesifik dari setiap pemilihan obat dan kerja obat harus diinformasikan secara benar dan objektif. Informasi ini meliputi informasi tentang dosis, frekuensi pemakaian, dan durasi pengobatan

d. Informasi tentang reaksi obat yang digunakan

Pemberian informasi ini seringkali tidak dilakukan karena dirasakan tidak penting bagi pasien untuk mengetahui bagaimana reaksi obat yang digunakan. Penjelasan tentang resiko penggunaan obat tidaklah mudah, akan tetapi perlu diberikan informasi tentang segala sesuatu yang mungkin terjadi.

e. Informasi tentang pengawasan perawatan

Pada akhirnya pasien perlu diberikan informasi tentang bagaimana melakukan pengawasan terhadap akibat dari pengobatan yang dipilihnya. Untuk beberapa kasus, saat dimana efek yang diharapkan terjadi adalah sangat penting untuk diinformasikan. Pasien juga perlu diinformasikan tentang apa yang harus dilakukan apabila terjadi efek samping yang tidak diinginkan (side effect). Saat


(34)

ini sangat banyak faktor yang mempengaruhi ketaatan pengobatan. Adapun faktor tersebut adalah (Bauman, 2005):

1) Kompleksnya pengobatan

Kompleksnya pengobatan yang diberikan akan mempengaruhi ketaatan pengobatan pasien. Penggunaan obat asma dengan cara inhalasi sering dirasakan rumit oleh pasien. Hal ini membuat pasien cenderung memilih pengobatan yang lebih mudah, walaupun tidak sesuai standar, seperti penggunaan obat secara oral.

2) Kemampuan memahami informasi

Data menunjukan informasi dan instruksi pengobatan baik dari dokter, apoteker maupu dari brosur penjelasan sangat sulit untuk dipahami pasien. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pasien, latar belakang budaya dan keterampilan penerimaan informasi. Banyak pasien asma menggunakan obatnya hanya ketika timbul gejala. Untuk alasan yang sama, penggunaan obat pelega lebih tinggi dibandingkan dengan obat pengontrol (pencegah), karena obat pelega secara langsung menyebabkan bronkodilatasi, maka efeknya lebih cepat dirasakan oleh pasien.

3) Kepercayaan pasien

Pasien pergi berobat sering karena kepercayaan tentang penyakitnya. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kepercayaan tentang penyakit, manfaat dan hambatannya, berpengaruh terhadap ketaatan pengobatan pasien. Penyakti akut/kronik atau penyakit yang menimbulkan rasa sakit dan mengancam jiwa pasiennya, memerlukan tingkat ketaatan yang lebih


(35)

tinggi dibandingkan penyakit yang tidak berat. Penyakit asma dalah penyakit kronik yang dalam kondisi ringan memberikan gejala klinis yang bersifat reversible sehingga pasien asma seringkali menganggap penyakitnya tidak menimbulkan masalah yang berat pada dirinya.

4) Sikap terhadap pengobatan

Komunikasi dan pertanyaan terbuka sangat membantu untuk menemukan sikap pasien terhadap pengobatan. Sikap terhadap pengobatan berhubungan dengan bahaya pengobatan yang diberikan, bahaya ketergantungan dan sikap anti terhadap pengobatan.

5) Komunikasi pasien dengan tenaga kesehatan

Kualitas dari interkasi pasien dengan tenaga kesehatan memberikan pengaruhutama terhadap perilaku pengobatan pasien. Pada penatalaksanaan asma, tenaga kesehatan kurang memperhatikan terkait pemberian infromasi yang cukup, karena waktu yang tersedia terbatas. Idealnya tenaga kesehatan terutama dokter dan apoteker menyediakan informasi yang cukup, meskipun singkat tetapi dapat mudah dimengerti dan diingat oleh pasien. Informasi yang diberikan juga jangan terlalu berlebihan, karena pasien sering sekali melupakan sebagian dari informasi yang diberikan, meskipu informasi yang diberikan sudah jelas (Bauman, 2005). Komunikasi yang baik akan meningkatkan motivasi pasien untuk taat terhadap pengobatannya dan rasa percaya terhadap penatalaksanaan penyakitnya.


(36)

Situasi ketika pasien telah mendapat resep, maka komponen informasi yang harus diberikan meliputi (Suryawati, 1998):

a. Memberikan informasi nama obat dan indikasi/kegunaan obat, b. Informasi mengenai cara penggunaan dan aturan pakai khusus,

c. Informasi mengenai efek samping, kontaindikasi, dan peringatan, serta apa yang harus dilakukan kalau terjadi efek samping yang tak diharapkan,

d. Informasi mengenai cara penyimpanan obat dirumah, dan bagaimana mengetahui kalau obat telah rusak.

Apotek sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan memiliki kekuatan yang harus diperhatikan, yaitu harus disadari bahwa obat merupakan komoditi khusus yang harus dilayani kepada pasien dengan informasi. Hal ini yang membedakan apotek dengan toko obat biasa. Kebutuhan penggunaan jasa informasi, perilaku kebutuhan informasi, tingkat penerimaan informasi perlu diketahui untuk mengembangkan pelayanan informasi tersebut. Seringkali kegagalan informasi disebabkan pelayanan yang diberikan belum tentu sesuai dengan kebutuhan penggunaan. Informasi obat tidak secara otomatis dapat mengubah perilaku penggunaan obat, kecuali pelayanan informasi obat memang diarahkan secara khusus untuk intervensi penggunaan obat.

C. Pharmaceutical Care

Peran apoteker kini berdasarkan pada filosofi “pharmaceutical care” atau diterjemahkan sebagai “asuhan kefarmasihan” (Anonim, 2003). Menurut DepKes RI (2004), pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung


(37)

jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pharmaceutical care juga merupakan kemampuan dari praktek farmasi yang memerlukan interaksi langsung dari apoteker dengan pasien dengan tujuan kepedulian kepada pasien menangani kebutuhan yang bekaitan dengan obat (Kisdarjono, 2004).

Peran apoteker diharapkan tidak hanya menjual obat seperti yang selama ini terjadi, tetapi lebih kepada mejamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pengunanya dan harga yang wajar serta pada saat pemberian obat disertakan dengan informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya dilakukan evaluasi (Anonim, 2003 a). Apoteker memberikan jaminan bahwa obat yang diberikan adalah obat yang benar dan diperoleh maupun diberikan dengan benar, dan pasien menggunakan dengan benar. Segala keputusan professional apoteker didasarkan pada pertimbangan atas kepentingan pasien dan aspek ekonomi yang menguntungkan pasien (Anonim, 2003 a).

D. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma

Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman yang ditetapkan oleh DepKes RI (2007) tentang “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit

Asma”. Adapun informasi yang dapat disampaikan kepada pasien dan keluarganya adalah sebagai berikut :

1. Mengenali sejarah penyakit, gejala-gejala dan faktor-faktor pencetus asma. 2. Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien asma.


(38)

3. Bagaimana mengenali serangan asma dan tingkat keparahannya; serta hal-hal yang harus dilakukan apabila terjadi serangan termasuk mencari pertolongan apabila diperlukan.

4. Upaya pencegahan serangan pada pasien asma yang berbeda antar satu individu dengan individu lainnya yaitu dengan mengenali faktor pencetus seperti olah raga, makanan, merokok, alergi, penggunaan obat tertentu, stres, polusi.

5. Adanya hubungan asma dengan merokok.

6. Pengobatan asma yang sangat individualis dan tergantung pada tingkat keparahan asma.

7. Secara garis besar pengobatan asma dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu: a. Terapi simptomatik digunakan pada saat eksaserbasi dengan efek kerja

cepat.

b. Terapi pemeliharaan digunakan rutin untuk mencegah serangan asma. 8. Macam-macam obat asma dengan indikasi dan cara pemberian yang beragam. 9. Rute pemberi secara oral, parenteral, dan inhalasi (inhaler, rotahaler, dan

nebuliser).

10. Kapan frekuensi obat asma digunakan, cara penggunaan dengan alat peraga, seberapa banyak/sering/lama obat-obat tersebut digunakan, kemungkinan terjadinya efek samping, pencegahan, dan cara meminimalkan efek samping. 11. Mengingatkan pasien berkumur dengan air setelah menggunakan inhaler yang

mengandung kortikosteroid untuk meminimalisir pertumbuhan jamur dimulut dan tenggorokan.


(39)

12. Obat-obat asma untuk diberikan pada wanita hamil dan keamanan pengobatan asma bagi wanita menyusui.

13. Cara penyimpanan obat dan cara mengetahui jumlah obat yang tersisa dalam aerosol inhaler.

14. Pengobatan jangka panjang yang membutuhkan kepatuhan dalam pengobatan.

15. Apabila ada keluhan pasien dalam penggunaan obat harap segera melaporkan ke dokter atau apoteker.

E. Asma

Asma merupakan penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekambuhan bervariasi yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightnees), dispnea, batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (PDPI, 2006; GINA, 2009). Faktor yang mempengaruhi terjadi asma merupakan kombinasi antara pejamu (faktor lingkungan) dan faktor genetik (keturunan) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Menurut data studi survey kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia, pada tahun 1986 asma menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkokontriksi kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronchitis kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di indonesia atau sebesar 5.6 %.


(40)

Pada tahun 1995 SKRT, melaporkan prevalensi asma di seluruh indonesia sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Di Yogyakarta sendiri angka kejadian asma sekitar 16, 4% dari jumlah penduduk (Dinkes Yogyakarta, 2010).

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma

Adapun beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah sebagai berikut:

a. Imunitas dasar

Mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma kemungkinan terjadi ekspresi sel Th2 yang berlebihan (NHLBI, 2007). Menurut Moffat, dkk (2007), gen ORMDL3 mempunyai hubungan kuat sebagai faktor predisposisi asma.

b. Umur

Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10 %), yaitu umur 5-14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih kecil yaitu sekitar 3-5 % (Asthma And Allergy Foundation Of America, 2010). Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute Of Health And Welfare (2007), keajadian asma pada kelompok umur 18-34 tahun adalah 14% sedangkan >65 tahun menurun menjadi 8,8 %. Di Jakarta, sebuah studi pada RSUP persahabatan menyimpulkan rerata angka kejadian asma adalah umur 46 tahun (Pramata, 2009).

c. Jenis kelamin

Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan


(41)

tetapi, pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma diantara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009).

d. Faktor pencetus

Paparan terhadap alergen merupakan faktor pencetus asma yang paling penting. Alergen –alergen ini dapat berupa debu, kutu, kecoak, binatang dan polen/serbuk sari.

e. Status sosio-ekonomi

Mieclk dkk. (1996), menemukan hubungan antara status sosio-ekonomi/pendapatan dengan prevalensi derajat asma berat. Dimana, prevalensi derajat asma berat paling banyak terjadi pada penderita dengan status sosioekonomi yang rendah yaitu sekitar 40%.

2. Gejala

Pemicu asma pada setiap orang berbeda-beda tergantung dari alergen yang menyerang sehingga menimbulkan gejala pada penderita (RSST, 2013). Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa batuk, sesak napas, napas berbunyi (mengi), rasa berat di dada, dahak sulit keluar.

Gejala yang berat juga dapat timbul, seperti serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk, kesadaran menurun. Gejala akan muncul utamanya saat malam


(42)

hari atau dini hari yang dipicu oleh faktor pencetus. Saat pemeriksaan fisik terlihat normal kecuali saat eksaserbasi (Depkes RI, 2007). Pemeriksaan fungsi paru ditunjukan untuk menegakkan diagnosis dengan melihat derajat obstruksi saluran napas, variabilitas, dan reversibilitas saluran napas. Dalam melihat kecenderungan terpapar alergen perlu juga dilakukan tes sensitivitas kulit untuk melihat status alergi sehingga dapat membantu dalam menentukan faktor resiko (Bourke, 2003). 3. Penatalaksanaan asma

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. GINA (2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk melakukan penatalaksanaan berdasarkan hasil kontrol penderita asma. Keadaan asma yang terkontrol dapat dipertahankan dengan dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu medikasi dan pengobatan berdasarkan derajat penyakit.

Obat untuk mengobati asma dapat diklasifikasikan sebagai controllers

atau relievers. Pengobatan Asma dapat diberikan dalam berbagai cara seperti inhalasi , oral , atau melalui injeksi.

a. Glukokortikosteroid inhalasi merupakan controller yang paling efektif,

Leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan untuk

pasien dewasa dengan asma persisten ringan, dan beberapa pasien yang

sensitif terhdap aspirin, Teofilin adalah bronkodilator dan bila diberikan


(43)

b. Rapid-acting inhaled 2-agonists merupakan reliever untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan sebagai pengobatan awal, Bronkodilator antikolinergik yang digunakan dalam asma termasuk ipratropium bromida dan oxitropium

bromide, teofilin dapat dipertimbangkan untuk menghilangkan gejala asma,

Short-acting oral 2-agonists sesuai digunakan untuk beberapa pasien yang

tidak dapat menggunakan obat inhalasi (GINA, 2006).

F. Metode Penelitian

Pengambilan data dapat dilakukan dengan menggunakan wawancara dengan instrument berupa kuesioner. Arikunto (2002), menyatakan bahwa instrumen penelitian adalah fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pengerjaanya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Kuesioner ini adalah daftar beberapa pertanyaan atau pernyataan secara tertulis dan sudah terdapat jawaban-jawaban yang akan membantu responden untuk memilih jawaban yang sesuai dengan kondisi dan apa yang dirasakan atau dialami responden (Widi, 2009). Skala likert merupakan skala yang digunakan untuk mengukur sikap responden dalam memberikan respon terhadap item – item yang ada (Sarwono, 2012).

Menurut Azwar (2007), agar suatu kuesioner dapat berfungsi sebagai alat atau instumen penelitian, maka harus mempunyai beberapa persyaratan yaitu sebagai berikut:


(44)

1. Relevan dengan tujuan dan hipotesis penelitian 2. Mudah ditanyakan

3. Mudah dijawab oleh responden

4. Data yang diperoleh mudah diolah (diproses).

Menurut Sugiyono (2010), teknik non-random adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Menurut Notoatmodjo (2010), accidental sampling adalah pengambilan sampel atau responden sesuai dengan kriteria inklusi yang secara kebetulan ada atau ditemui pada saat melakukan penelitian. Univariate analysis merupakan analisis data berdasarkan distribusi frekuensi dan dapat disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

G. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai profil pelayanan informasi obat dan harapan penderita asma berdasarkan persepsi penderita di Kabupaten Sleman.


(45)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang mengkaji tentang profil pelayanan informasi obat dan harapan penderita asma di Kabupaten Sleman ini merupakan jenis penelitian deskriptif menggunakan rancangan cross sectional. Menurut Azwar (2004), penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk disimpulkan dan dipahami. Pendekatan cross sectional karena akan menggambarkan suatu kejadian pada suatu fenomena atau situasi pada satu waktu (Widi, 2009).

B. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah

a. Profil pelayanan informasi obat

b. Harapan penderita asma terhadap pelayanan informasi obat

C. Definisi Operasional Penelitian

1. Profil pelayanan informasi obat adalah gambaran mengenai konten atau isi dari pelayanan informasi obat yang diterima penderita yang meliputi sejarah penyakit asma, gejala dan serangan asma, tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi serangan, obat yang digunakan, alat yang dipakai, rute atau cara pemakaian obat, obat untuk ibu hamil dan menyusui dan menyarankan


(46)

penderita melakukan kontrol asma untuk meminimalkan keparahan penyakit asma yang diderita sesuai dengan standar pharmaceutical care untuk penyakit asma yang diterbitkan oleh DepKes RI (2007).

2. Harapan penderita adalah pandangan atau keinginan penderita terhadap pelayanan informasi obat asma yang diterima sehingga mendapatkan pelayanan informasi yang bermutu dan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. 3. Penderita asma dalam penelitian ini adalah orang yang menderita penyakit

asma.

D. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Sleman. Pengambilan data dilakukan terhadap responden yang ditemui di kampus III Sanata Dharma, apotek Kimia Farma jalan Laksda Adisucipto, gereja Maria Asumpta Babarsari pada bulan Februari-April 2014. Pada bulan November sampai Januari 2014 dilakukan proses perijinan dan observasi ke rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dan setelah dilakukan observasi ditemukan bahwa jumlah penderita asma yang berobat pada 3 bulan terakhir dalam jumlah yang sedikit. Kemudian peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian pada penderita asma yang berobat di apotek pada bulan Februari sampai April 2014.

E. Subyek Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan subyek uji penderita asma yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu


(47)

2. Penderita asma yang pernah menebus obat di apotek

subyek uji dikategorikan kedalam kriteria eksklusi jika penderita tidak bersedia untuk menjadi responden

F. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah teknik non-random yaitu accidental sampling untuk penderita asma.

Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini berdasarkan pendapat Roscoe (1975) dalam Sekaran (2003) yaitu jumlah sampel lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 orang. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebanyak 31 responden.

G. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner. Pengukuran ini menggunakan skala likert. Skala likert yang digunakan adalah modifikasi skala likert yaitu pilihan jawaban dari 1-3 (P: pernah, KK: kadang – kadang, TP: tidak pernah).

Kuisoner yang digunakan dalam bentuk closed – ended question untuk melihat profil pelayanan informasi obat yang diterima penderita asma dan untuk harapan penderita terhadap pelayanan informasi obat menggunakan open-ended question.

Pernyataan yang tertulis dalam kuesioner diambil dari “Standar


(48)

dan “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma” (Bina Farmasi DepKes RI 2007) yang memuat tentang beberapa informasi yang seharusnya diterima oleh penderita asma pada saat proses pelayanan mengenai informasi obat berlangsung.

H. Tata Cara Penelitian

Tata cara yang dilakukan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Studi Pendahuluan atau Orientasi

Pada awalnya penelitian ini akan dilakukan di rumah sakit di kota Yogyakarta tetapi setelah melakukan observasi dari bulan Desember 2013 sampai awal Februari 2014 tidak ditemukan penderita asma yang berobat di rumah sakit tersebut. Kemudian peneliti memutuskan untuk mengambil data pada penderita asma di Kabupaten Sleman.

2. Pembuatan Kuesioner

Total pernyataan dalam kuesioner sebanyak 22 pernyataan dan 1 pertanyaan mengenai harapan penderita asma. Komponen informasi yang terdapat dalam kuesioner yaitu informasi mengenai sejarah penyakit, gejala dan faktor pencetus, pemeriksaan penunjang untuk pasien asma, pengenalan serangan asma, tingkat keparahan asma, hal yang harus dilakukan ketika terjadi keluhan setelah penggunaan obat asma, upaya pencegahan serangan asma, hubungan asma dengan merokok, pengobatan asma simptomatik dan pencegahannya, jenis obat asma terkait nama dan indikasi, cara atau rute pemberian obat, cara penyimpanan dan cara mengetahui obat yang tersisa dalam inhaler, berkumur setelah penggunaan


(49)

obat inhaler, waktu penggunaan obat dan obat yang aman untuk ibu hamil/menyusui, peragaan penggunaan obat dan efek samping obat.

3. Pengujian Kuesioner a.Uji pemahaman bahasa

Sebelum pengumpulan data dilakukan uji coba untuk menghindari adanya kesulitan dalam mengartikan pertanyaan dalam kuesioner. Uji pemahaman bahasa ini berfungsi untuk mengetahui apakah bahasa penyusun dalam menulis pernyataan dan pertanyaan dalam kuesioner sudah bisa dipahami oleh responden (Azwar, 2007). Uji pemahaman bahasa kuesioner dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 6 orang dewasa (bukan termasuk sampel) yang berada di Paingan dan pernah membeli obat dari apotek. Responden yang diambil untuk dilakukan pengujian bahasa ini bukan merupakan penderita asma.

b. Uji Validitas Isi

Prosedur validitas isi kuesioner dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis rasional atau mengkonsultasikan item-item dalam kuesioner dengan

professional judgement. Professional judgement pada penelitian ini adalah seorang apoteker. Pernyataan dan pertanyaan yang telah divalidasi secara

professional judgement diharapkan menjadi pernyataan dan pertanyaan yang berkualitas untuk dijadikan alat pengumpulan data penelitian (Azwar, 2007).

4. Penyebaran dan Pengumpulan Kuesioner

Penyebaran dan pengisian kuesioner diberikan langsung kepada responden yang memenuhi kriteria penelitian. Responden diminta untuk mengisi kuesioner saat itu juga dan langsung dikembalikan kepada peneliti. Hal ini


(50)

dilakukan untuk menghindari responden untuk lupa mengisi kuesioner, kuesioner tidak kembali lagi kepada peneliti atau ada pertanyaan yang tidak terisi. Dalam mengisi kuesioner, peneliti mendampingi responden untuk menghindari ada data yang missing, dan maksud dari kuesioner.

I. Etika Penelitian

Menurut Nursalam dan Pariani (2003) etika penelitian meliputi informed consent, Anonimity (tanpa nama) dan Confidentiality (kerahasiaan). Apabila subyek menolak untuk dijadikan subyek uji maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap menghormati hak-hak subyek. Pada penelitian ini, lembar persetujuan diberikan sebelum penderita dijadikan sebagai responden. Jika penderita setuju dan mengisi lembar persetujuan maka penderita diberikan kuesioner untuk selanjutnya diisi. Peneliti tidak mencantumkan nama responden pada naskah tetapi pada lembar kuesioner dicantumkan.

J. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif secara kuantitatif, yaitu cara analisis dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data tentang karakteristik dan distribusi frekuensi kecenderungan jawaban responden yang telah diperoleh dengan menggunakan teknik analisis data univariat. Pengolahan data dan analisis data tersebut menggunakan komputer dengan program SPSS 16.0. Analisis univariat digunakan untuk meringkas atau mendeskripsikan data yang dikumpulkan melalui kuesioner.


(51)

Hasil penelitian yang telah diperoleh dianalisis secara univariat dengan melihat frekuensi dan persentase jawaban responden kemudian data-data tersebut disajikan dalam bentuk diagram yang menggambarkan karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan dan penghasilan. Selain itu, data juga disajikan dalam bentuk tabel untuk menggambarkan profil pelayanan informasi mengenai obat dan penyakit yang diterima penderita asma berdasarkan pharmaceutical care untuk penyakit asma. Analisis data harapan responden dilakukan secara kualitatif yaitu dengan menulis jawaban responden dan menghitung frekuensi responden yang menjawab pertanyaan dalam kuesioner dengan jawaban yang sama.

Metode pengolahan data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Editing

Setiap lembar kuesioner diperiksa untuk memastikan bahwa setiap pernyataan dan pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner telah terjawab semua oleh responden

2. Coding

Peneliti memberi coding dengan membuat skor untuk setiap pilihan jawaban sebagai berikut:

 Nilai 0 untuk jawaban “responden yang tidak hamil/tidak menggunakan inhaler”

 Nilai 1 untuk alternatif jawaban “pernah”

 Nilai 2 untuk alternatif jawaban “kadang-kadang’


(52)

Pemberian kode pada setiap jawaban yang terkumpul dalam kuesioner untuk mempermudah dalam pengolahan data. Pilihan jawaban dalam kuesioner digantikan kedalam bentuk angka agar dapat diolah.

Empat jenis skala yang dapat digunakan dalam pengukuran data adalah skala odinal, skala nominal, skala interval dan skala ratio. Pada penelitian ini, menggunakan skala ordinal, yaitu angka digunakan untuk data berdasarkan urutan dari jawaban. Angka – angka tersebut mewakili dari setiap jawaban, jika angka 1 lebih banyak maka angka 2 dan angka 3 lebih sedikit dari angka 1.

3. Processing

Melakukan pemindahan atau memasukan data dari kuesioner ke dalam komputer untuk selanjutnya diproses.Memasukan data kedalam komputer dilakukan dengan SPSS versi 16.00.

4. Cleaning

Proses yang dilakukan setelah data masuk kedalam komputer. Data akan diperiksa ada kesalahan atau tidak, jika terdapat data yang salah akan diperiksa oleh proses cleaning ini.

5. Tabulasi langsung

Pada penelitian ini digunakan sistem pengolahan data langsung yang ditabulasi oleh kuesioner. Metode ini paling sederhana bila dibandingkan dengan metode lain. Tabulasi ini dilakukan dengan memasukan data dari kuesioner kedalam kerangka tabel yang telah disediakan, tanpa proses perantara lain. Tabulasi langsung dilakukan dengan sistem tally yaitu cara menghitung data menurut klasifikasi yang telah ditentukan.


(53)

K. Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini, ditemukan keterbatasan penelitian yaitu

1. Tidak dilakukan konfirmasi kapan terakhir kali penderita menerima obat asma di apotek.

2. Dokumen yang menyatakan responden adalah penderita asma adalah hasil dari hasil wawancara

3. Cara pemilihan responden tidak spesifik karena tidak ada data pasti responden menderita asma seperti medical record


(54)

36 BAB VI

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Profil Pelayanan Informasi Obat Dan Harapan Penderita Asma Di Kabupaten Sleman dengan menggunakan standar yang ada dalam KepMenKes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dan Bina Farmasi DepKes RI (2007) tentang

Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Kedua standar yang digunakan ini merupakan acuan standar pelayanan kefarmasian dalam melayani pasien berupa pelayanan resep, pelayanan informasi obat, bentuk promosi dan edukasi, konseling, kegiatan monitoring dan evaluasi, serta pelayanan residensial (home care). Namun pada penelitian ini, peneliti secara khusus akan membahas mengenai pelayanan informasi obat karena kegiatan ini merupakan salah satu kunci keberhasilan pengobatan kepada pasien.

Hasil penelitian dibagi menjadi 3 bagian penting, yaitu 1). deskripsi karakteristik responden, 2). profil pelayanan informasi obat yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu pelayanan informasi mengenai penyakit dan pelayanan informasi mengenai obat yang diterima penderita asma di Kabupaten Sleman dan 3). Harapan pasien terhadap pelayanan informasi obat yang diterima di Kabupaten Sleman.


(55)

1. Deskripsi Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan responden yang dapat dilihat dalam tabel I. berikut:

Tabel I. Karakteristik penderita asma yang menebus obat asma di apotek di Kabupaten Sleman pada bulan Februari – April 2014

Karakteristik Jumlah Responden,

n=31 Persentase (%) 1. Usia <20 tahun 20-30 tahun 31-40 tahun 40tahun 9 16 3 3 29,0 51,6 9,7 9,7 2. Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan 9 22 29,0 71,0 3. Pekerjaan Tidak Bekerja Mahasiswa Karyawan Swasta PNS Lain-lain 1 20 5 1 4 3,23 64,5 16,1 3,23 12,9 4. Pendidikan Terakhir

SMA/SLTA DIPLOMA SI 25 1 5 80,6 3,23 16,31 Usia sebagian besar responden (51,6%) berada pada usia produktif di mana pada umur tersebut responden mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensia sehingga mampu berpikir kritis dalam menghadapi masalah yang dialami responden (Christiana, 2005). Responden mengerti penyakit yang dialami, cara mengatasi dan mudah untuk diberikan pengertian mengenai penyakit dan obat yang diterima responden. Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki- laki adalah


(56)

1,2–2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak (Rengganis, 2008).

Peningkatan risiko pada anak laki-laki disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa pubertas laki-laki dan tidak terjadi pada perempuan, semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara yang membatasi respon bernapas (Purnomo, 2008). Terkait dengan pelayanan apotek tentunya hal ini dapat mempengaruhi tingkat daya tanggap seorang dalam menerima pelayanan. Tingkat pengetahuan responden dapat digambarkan dengan tingkat pendidikan responden dan terkait dengan pelayanan apotek tentunya hal ini dapat mempengaruhi tingkat daya tanggap seorang dalam menerima pelayanan. Pendidikan yang tinggi walaupun sifatnya tidak pasti diasumsikan dapat mempengaruhi pola pikir seseorang mengenai masalah kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas juga wawasan atau pengetahuan yang dimilikinya bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Beberapa penelitian menyatakan bahwa intelegensi berbanding lurus dengan tingkat pendidikan (Azwar, 2007).

2. Profil pelayanan informasi obat yang diterima penderita asma di Kabupaten Sleman.

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang memiliki titik fokus kepada pasien untuk mendukung terapi yang tepat dan rasional, menyediakan dan menyalurkan informasi mengenai obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan instansi lain, menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang


(57)

berhubungan dengan obat dan meningkatkan profesionalisme apoteker (Dinkes, 2013).

Pharmaceutical care juga harus diterapkan dengan baik di apotek. Beberapa komponen dari pharmaceutical care yang harus diterapkan antara lain pelayanan informasi obat, konseling, monitoring penggunaan obat, edukasi, promosi kesehatan dan evaluasi terhadap pengobatan yang merupakan bagian dari standar pelayanan farmasi komunitas. Berdasarkan standar pelayanan farmasi komunitas, semua informasi tersebut diatas seharusnya diberikan di apotek oleh apoteker dan merupakan hak konsumen (pasien). Informasi yang lengkap dan jelas akan mengurangi resiko terjadinya medication error. Untuk konsumen perlu adanya sosialisasi tentang hak-hak konsumen terutama untuk mendapatkan pelayanan informasi obat yang lengkap dan jelas serta konseling tentang pengobatan harus dilakukan secara intensif sehingga hak-hak pasien terhadap jenis pelayanan farmasi yang seharusnya mereka dapatkan dipahami oleh konsumen terutama untuk konsumen yang merupakan pasien dengan penyakit kronis seperti asma (DepKes RI, 2008).

Komponen informasi obat yang diterima pasien asma pada saat apoteker memberikan pelayanan informasi obat di apotek dapat dilihat pada tabel dibawah ini untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci dari hasil penelitian dengan jumlah responden yang ikut berpartisipasi sebanyak 31 orang.


(58)

a. Profil pelayanan informasi mengenai penyakit kepada penderita asma di Kabupaten Sleman

Apoteker memiliki tanggung jawab dalam proses penyerahan obat yang berkaitan dengan pemberian informasi mengenai kondisi dan obat yang akan diberikan kepada pasien sesuai dengan standar yang berlaku.

Tabel 1I. Komponen informasi mengenai penyakit asma yang diterima penderita asma di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014

No Jenis informasi Jawaban Jumlah (n=31)

Persentase (%)

1 Sejarah penyakit Pernah 15 48,4

Kadang-kadang 14 45,2

Tidak pernah 2 6,5

2 Faktor pencetus penyakit asma Pernah 21 67,7

Kadang-kadang 7 22,6

Tidak pernah 3 9,7

3 Pemeriksaan penunjang Pernah 7 22,6

Kadang-kadang 14 45,2

Tidak pernah 10 32,3

4 Hal yang dilakukan ketika terjadi serangan asma

Pernah 14 45,2

Kadang-kadang 13 41,9

Tidak pernah 4 12,9

5 Upaya pencegahan terjadi serangan asma

Pernah 10 32,3

Kadang-kadang 17 54,8

Tidak pernah 4 12,9

6 Tingkat keparahan penyakit asma

Pernah 17 54,8

Kadang-kadang 12 38,7

Tidak pernah 2 6,5

7 Cara mengenali serangan asma Pernah 9 29,0

Kadang-kadang 18 58,1

Tidak pernah 4 12,9

8 Hubungan asma dengan merokok

Pernah 13 41,9

Kadang-kadang 15 48,4

Tidak pernah 3 9,7

9 Gejala timbulnya penyakit asma

Pernah 13 41,9

Kadang-kadang 16 51,6

Tidak pernah 2 6,5

10 Hal yang dilakukan jika ada keluhan akibat penggunaan obat

Pernah 9 29,0

Kadang-kadang 14 45,2


(59)

11 Kepatuhan mengkonsumsi obat

Pernah 9 29,0

Kadang-kadang 15 48,4

Tidak pernah 7 22,6

1) Sejarah penyakit

Berdasarkan Tabel II, dari 31 responden yang diteliti sebanyak 15 orang (48,4%) menjawab pernah menerima informasi mengenai sejarah penyakit yang diderita, 14 orang (45,2%) menjawab kadang – kadang dan 2 orang (6,5%) menjawab tidak pernah. Menurut DepKes RI (2007) tentang “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma” menyebutkan bahwa risiko untuk berkembangnya

asma merupakan interaksi antar faktor penjamu (host) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu tersebut yaitu alergi, predisposisi genetik asma, hipereaktifitas bronkus, jenis kelamin dan ras/etnik.

Menurut DepKes RI (2008) tentang pedoman pengendalian penyakit asma mengatakan bahwa seseorang dikatakan mengidap penyakit asma jika memiliki satu atau dua faktor berikut yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Anak yang dilahir dari orangtua yang positif mengidap penyakit asma kemungkinan besar mengidap penyakit asma, hal ini akan menjadi lebih parah oleh adanya faktor pemicu terjadi asma seperti alergen dalam ruangan misalnya debu, asap rokok, binatang berbulu, alergen kecoak, kapang, ragi dan jamur;

pemacu misalnya rinovirus, pemakaian β2 agonis dan ozon; pencetus misalnya

faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamine, dan metakolin.

Telah dibuktikan oleh banyak penelitian bahwa bila kedua orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 60% anaknya akan menderita


(60)

penyakit alergi, baik asma, rhinitis atau bentuk alergi lainnya. Bila salah satu orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 40% anak mereka akan menderita alergi. Apabila kedua orangtuanya tidak terkena penyakit alergi, maka kemungkinan 15% menderita penyakit alergi. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau dan debu (Ramaiah, 2006).

Pemberian informasi mengenai asal-usul penyakit asma ini diperlukan oleh pasien dan kelurga pasien agar mereka mengenali penyakit yang diderita dan mengetahui apa penyebab sehingga mengidap penyakit asma tersebut. Diharapkan dengan mengetahui penyakit yang diderita, pasien asma lebih memperhatikan kondisi fisik dan lingkungan disekitarnya sehingga peluang untuk terjadinya asma dan serangan asma dapat diminimalisir.

2) Faktor pencetus asma

Menurut DepKes RI (2007) tentang “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma” mengatakan bahwa faktor pencetus sehingga seseorang mengalami serangan asma dan asma adalah alergen didalam dan diluar ruangan misalnya debu, kecoak, jamur, tepung sari bunga, asap rokok, polusi udara diluar dan didalam ruangan, infeksi saluran pernapasan, obesitas, olahraga dan hiperventilasi, perubahan cuaca, makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan, ekspresi emosi yang berlebihan, iritan (parfum dan bau-bauan yang merangsang).

Serangan asma mendadak disebabkan oleh faktor yang tidak diketahui maupun yang diketahui seperti paparan terhadap alergen, virus, atau polutan


(61)

dalam maupun luar rumah, dan masing-masing faktor ini dapat menginduksi respon inflamasi. Dari hasil penelitian pada Tabel II, 31 responden yang diteliti, sebanyak 21 orang (67,7%) menjawab selalu menerima informasi mengenai faktor pencetus penyakit asma seperti pengaruh debu, serbuk sari, asap rokok, dan udara dingin, 7 orang (22,6%) menjawab kadang – kadang dan 3 orang (9,7%) menjawab tidak pernah menerima informasi mengenai faktor pencetus penyakit asma seperti pengaruh debu, serbuk sari, asap rokok, dan udara dingin.

Gambar 1. Frekuensi pelayanan informasi mengenai faktor pencetus asma yang diterima penderita di Kabupaten Sleman Pada bulan Februari-April 2014

Kebiasaan merokok dapat mempercepat penurunaan fungsi paru dan semakin meningkatnya keparahan penyakit asma. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar daripada pengaruh debu (Suryani, 2005). Asap rokok dan debu merupakan faktor pencetus yang sering menjadi penyebab kekambuhan asma. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suhartati (2014), sebanyak 5 orang dari 9


(62)

orang subyek uji yang merupakan apoteker mengatakan bahwa telah memberikan informasi kepada penderita untuk menghindari paparan faktor pencetus terjadinya kekambuhan asma. Hal ini yang menyebabkan banyak responden memilih jawaban selalu diberikan informasi mengenai faktor pencetus.

Faktor pencetus penyakit asma ini harus diperhatikan dalam pemberian informasi oleh apoteker dan terutama oleh pasien karena berhubungan langsung dengan penyakit yang diderita oleh pasien. Bila faktor pencetus tidak diketahui oleh pasien dan keluarga maka akan timbulnya penyakit asma dan semakin sering pasien tersebut mengalami eksaserbasi atau serangan asma.

3) Pemeriksaan penunjang

Menurut DepKes RI (2007) tentang “Pharmaceutical Care Untuk

Penyakit Asma” mengatakan bahwa pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat

apakah pasien menderita gejala asma dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan fungi paru.

Dari hasil pada Tabel II, sebanyak 7 orang (22,6%) menjawab pernah menerima informasi mengenai pemeriksaan penunjang untuk pasien asma, seperti pemeriksaan dengan spirometer untuk mengukur kapasitas bernafas dan memeriksa terjadinya gangguan pada sumbatan jalan nafas, 14 orang (45,2%) menjawab kadang – kadang, dan 10 orang (32,3%) menjawab tidak pernah menerima informasi mengenai pemeriksaan penunjang untuk pasien asma, seperti pemeriksaan dengan spirometer untuk mengukur kapasitas bernafas dan memeriksa terjadinya gangguan pada sumbatan jalan nafas.


(63)

Gambar 2. Frekuensi pelayanan informasi obat mengenai pemeriksaan penunjang yang diterima penderita asma di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014

Menurut DepKes RI (2007), pemeriksaan fisik untuk mengetahui keadaan fisik pasien seperti apakah tejadi keadaan napas menjadi lebih cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar bunyi mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas) sehingga pemeriksaan fungsi paru dengan menggunakan spirometri atau peak expiratory flow meter untuk mengukur kapasitas bernafas penderita dapat dilakukan.

Asma dapat diklasifikasi pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat – ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan gejala – gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi ini sangat


(64)

bergunan untuk penatalaksanaan asma berkaitan dengan terapi yang akan diterima oleh pasien (MenKes, 2008).

Pada pemeriksaan ini diperlukan kerjasama antara pasien dan tenaga kesehatan. Informasi mengenai pemeriksaan ini dan manfaat yang akan diterima harus diberikan kepada pasien oleh apoteker agar pasien mengerti dan menyetujui setiap tindakan/penanganan yang diterima. Dengan mengetahui ini pasien diharapkan bersedia berpartisipasi dalam pengobatan penyakit asma yang diderita dan mempercayai semua pengobatan yang diterima.

4) Hal yang dilakukan ketika terjadi serangan

Penanganan awal ketika terjadi serangan merupakan perawatan untuk menangani asma pada saat terjadi serangan, dimana penderita itu sendiri yang berperan penting untuk dapat mengenadalikan kondisinya. Pada Tabel II tertulis dari 31 responden yang diteliti, sebanyak 14 orang (45,2%) menjawab selalu, 13 orang (41,9%) menjawab kadang – kadang dan 4 orang (12,9%) tidak pernah menerima informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan jika terjadi serangan asma,seperti jangan panik, mencoba bernafas dengan pelan, mencari obat untuk digunakan, dan mencari pertolongan untuk segera dibawa ke dokter.


(65)

Gambar 3. Frekuensi pelayanan informasi obat asma mengenai hal yang dilakukan ketika terjadi serangan yang diterima penderita di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014

Menurut Suhartati (2014), informasi terkait cara penanganan awal ketika terjadi serangan asma mandiri (self care) merupakan hal yang penting untuk disampaikan oleh apoteker kepada penderita asma sehingga pada saat terjadi serangan penderita dapat menentukan cara pengambilan keputusan untuk mengatasi serangan asma. Serangan asma dapat menyebabkan sesak nafas dan nafas tidak beraturan sehingga informasi seperti mencoba menarik napas dengan pelan, mencari obat yang sering dipakai untuk mengurangi serangan merupakan penanganan awal ketika terjadinya serangan asma (Mangunegoro, 2004).

Serangan asma dapat terjadi kapan dan dimana saja sehingga hal-hal yang dapat memicu terjadinya serangan asma harus dihindari. Tetapi bila serangan ini tidak dapat dihindari maka pasien harus segera mendapatkan pertolongan (Kumoro, 2008).


(66)

Untuk melakukan suatu tindakan pengobatan membutuhkan pengetahuan tentang penyakit tersebut. Bila pasien dan keluarga tidak mengetahui tindakan yang akan dilakukan maka pasien kemungkinan tidak akan bisa diselamatkan. Disinilah peran penting apoteker dalam pemberian informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan ketika terjadi serangan sangat dibutuhkan

5) Upaya pencegahan terjadinya serangan

Aktifitas pencegahan serangan asma adalah upaya untuk mencegah terjadinya kekambuhan asma. Aktifitas pencegahan itu dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan, menjaga kebersihan di sekitar lingkungan tempat tinggal, menghindari faktor pencetus serangan asma dan taat untuk mengkonsumsi obat antiasma yang telah diberikan oleh apoteker (Sundaru, 2007).

Berdasarkan data pada Tabel II, informasi pencegahan terjadinya serangan asma diperoleh hasil bahwa responden yang lebih banyak memilih pada pilihan jawaban selalu (32,3%) dan kadang-kadang (54,8%). Sedangkan responden yang memilih jawaban tidak pernah hanya 12,9% orang dari 31 responden. Hal ini terlihat bahwa apoteker kurang memperhatikan pemberian informasi mengenai pencegahan serangan asma.

Upaya pencegahan terjadinya serangan asma ini harus diketahui oleh pasien agar kualitas hidupnya semakin baik. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan menghindari segala faktor pencetus terjadinya serangan seperti debu, kecoak, jamur, tepung sari bunga, asap rokok, polusi udara diluar dan didalam ruangan, infeksi saluran pernapasan, obesitas, olahraga dan hiperventilasi, perubahan cuaca yang ekstrim, makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna


(67)

makanan), obat-obatan, ekspresi emosi yang berlebihan, iritan (parfum dan bau-bauan yang merangsang) (DepKes RI, 2008). Informasi ini penting diberikan kepada pasien oleh apoteker pada saat menerima pelayanan informasi obat agar menghindari terjadinya peningkatan pasien yang mengalami serangan asma.

6) Tingkat keparahan penyakit asma

Dari 31 responden yang diteliti, sebanyak 17 orang (54,8%) mejawab selalu, 12 orang (38,7%) menjawab kadang – kadang dan 2 orang (6,5%) mejawab tidak pernah menerima informasi mengenai bagaimana mengetahui seberapa berat penyakit asma yang dialami, seperti adanya gejala sesak nafas, batuk, mengeluarkan bunyi saat menghembuskan nafas (mengi), dada terasa sesak saat bernafas yang muncul setiap hari, dan aktifitas fisik terbatas sebagai pertanda asma yang dialami sudah cukup berat.

Gambar 4. Frekuensi pelayanan informasi obat mengenai tingkat keparahan penyakit asma yang diterima penderita di Kabupaten Sleman pada bulan Februari-April 2014


(1)

22.

Saya mendapat penjelasan bagaimana mengetahui berapa obat yang masih tersisa dalam inhaler

Selalu

Kadang-kadang

Tidak pernah

Bagian II. HarapanResponden


(2)

Data umum responden

Petunjuk

: berilah tanda silang (x) pada pilihan jawaban yang sesuai dengan keadaan anda.

Nama

: ...(jika tidak keberatan)

Jenis kelamin

:

( ) laki

laki

( ) perempuan

Umur

:

( ) <20 tahun

( ) 31 - 40 tahun

( ) 20

30 tahun

( ) > 40 tahun

Alamat

: ...

Pendidikan terakhir : ...

Pekerjaan

: ...


(3)

Lampiran 3.Tabulasi data

Tabel V. Tabulasi data

No. Pil

RESPONDEN

%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

1

S v v v v v v v v v v v v v v v 15 48.4

KK v v v v v v v v v v v v v v 14 45.2

TP v v 2 6.5

2

S v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 21 67.7

KK v v v v v v v 7 22.6

TP v v v 3 9.7

3

S v v v v v v v 7 22.6

KK v v v v v v v v v v v v v v 14 45.2

TP v v v v v v v v v v 10 32.3

4

S v v v v v v v v v v v v v v 14 45.2

KK v v v v v v v v v v v v v 13 41.9

TP v v v v 4 12.9

5

S v v v v v v v v v v 10 32.3

KK v v v v v v v v v v v v v v v v v 17 54.8

TP v v v v 4 12.9

6

S v v v v v v v v v v v v v v v v v 17 54.8

KK v v v v v v v v v v v v 12 38

.7

TP v v 2 6.5

7

S v v v v v v v v v 9 29.0

KK v v v v v v v v v v v v v v v v v v 18 58.1

TP v v v v 4 12.9

8 S v v v v v v v v v v v v v 13 41.9

KK v v v v v v v v v v v v v v v 15 48.4

TP v v v 3 9.7


(4)

KK v v v v v v v v v v v v v v v v 16 51.6

TP v v 2 6.5

10 S v v v v v v v v v 9 29.0

KK v v v v v v v v v v v v v v 14 45.2

TP v v v v v v v v 8 25.8

11 S v v v v v v v v v 9 29.0

KK v v v v v v v v v v v v v v v 15 48.4

TP v v v v v v v 7 22.6

12 S v v v v v v v v v v 10 32.3

KK v v v v v v v v v ` v v v 12 38.7

TP v v v v v v v v v 9 29.0

13 S v v v v v v v v v v 10 32.3

KK v v v v v v v v v v v v 12 38.7

TP v v v v v v v v v 9 29.0

14

S v v v v v v v 7 22.6

KK v v v v v v v v v v v v 12 38.7

TP v v v v v v v v v v v v 12 38.7

15

S v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 19 61.3

KK v v v v v v v v v v 10 32.3

TP v v 2 6.5

16

S v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 22 71.0

KK v v v v v v v 7 22.6

TP v v 2 6.5

17

S v v v v v v v v 8 25.8

KK v v v v v v v v v v v v 12 25.8

TP v v v 3 38.7

18

S v v v v v v v 7 22,6

KK v v v v v v v 7 22,6

TP v v v v v v v v v 9 29,0

19

S v v v v v v v v v v 10 32,6

KK v v v v v v v v v v 10 32,6

TP v v v v v v v v v 9 29,0

S - -


(5)

20 KK - -

TP v 1 3,23

21

S v v v v v v v v v v v 11 35.5

KK v v v v v v v v v v v v v v 14 45.2

TP v v v v v v 6 19.4

22

S v v v v 4 12,1

KK v v v v v v v v v v v 11 35,5

TP v v v v v v v 7 22,6


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “Profil Pelayanan Informasi

Obat Dan Harapan Penderita Asma Di Kabupaten Sleman

dengan nama lengkap Maria Theresia Ghea, lahir di Danga

pada tanggal 6 Juli 1992. Penulis merupakan anak kedua

dari pasangan Bonefasius Be’o dan Presedis Sole. Penulis

telah menempuh pendidikan di TK St. Teresia Danga-Flores

(1997-1998), SD Inpres Danga-flores (19987-2004), SMPK

Hanura Danga-Flores (2004-2007), SMAK Syuradikara

Ende-Flores (2007-2010), dan melanjutkan di Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa

kuliah, penulis pernah menjadi anggota paduan suara

fakultas “Veronica” dan menjadi panitia KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam

pemilihan presiden BEM Universitas tahun 2012 dan gubernur BEM fakultas

tahun 2013. Penulis juga aktif di komunitas pemazmur di Gereja Maria Asumpta

Babarsari Yogyakarta.