Hukum Pidana Masyarakat Adat Batak Toba di Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 sudah banyak marga Pasaribu menikah dengan gadis dari marga pendatang tadi. Sehingga di sisi lain dalam sistem Dalihan Natolu kedudukan mereka tidak selamanya lagi sebagai hula - hula melainkan sebaliknya sebagai boru. Penduduk asli Kecamatan Borbor yaitu marga Pasaribu yang sekarang adalah generasi kesepuluh atau marga kesebelas dan seterusnya dari orang yang pertama sekali mendiami daerah ini. Begitupun diantara sesama marga Pasaribu yang disebut dongan tubu yaitu mereka terdiri dari satu ayah sa ama sedangkan kelompok dongan tubu yang lebih besar lagi yaitu satu nenek moyang sa ompu. Setelah pemekaran Kabupaten Toba Samosir dari Kabupaten Tapanuli Utara keberadaan daerah ini yaitu Kecamatan Borbor bukanlah termasuk Kecamatan yang masih tertinggal dibanding Kecamatan lainnya di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Toba Samosir. Hal ini dapat dilihat dengan adanya fasilitas - fasilitas umum seperti fasilitas Kesehatan, Pendidikan, Transportasi serta fasilitas lainnya. Meskipun demikian keberadaan hukum adat termasuk hukum pidana adat pada saat tertentu masih tetap diperhatikan yang artinya masih sering terjadi sengketa yang ada dalam masyarakat baik pidana maupun perdata diselesaikan secara hukum adat Batak Toba, hal ini disebabkan rasa kekeluargaan yang masih dijunjung tinggi dan ingin melestarikan hubungan kekeluargaan yang selama ini terjalin.

B. Hukum Pidana Masyarakat Adat Batak Toba di Kecamatan Borbor Kabupaten Toba Samosir

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 Sama halnya dengan hukum pidana adat masyarakat lainnya di Indonesia, hukum pidana adat Batak Toba juga tidak ada membedakan antara pelanggaran yang bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim pidana dengan pelanggaran yang bersifat perdata yang harus diperiksa oleh hakim perdata pula. Begitu juga tidak dibedakan apakah itu pelanggaran adat, agama kesusilaan atau kesopananan. Kesemuanya itu akan diperiksa dan diadili oleh hakim adat sebagai satu kesatuan perkara dan pertimbangan yang keputusannya bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum pidana dapat dilihat perbedaan antara delik hukum atau kejahatan dengan delik undang-undang pelanggaran tetapi hukum pidana adat tidak menganut sistem yang membeda- bedakannya. Hukum pidana adat tidak mementingkan kekuasaan hukum sebagaimana hukum pidana bangsa Indonesia yang bersifat nasional. Sehingga hukuman terhadap peristiwa kejahatan dihukum dengan hukuman penjara oleh karena hukum pidana adat Batak Toba juga tidak mengenal sistem hukum penjara. 22 Dan berdasarkan sumber bacaan, penulis menyebut hukum pelangaran itu disebut sebagai hukum pidana Batak Toba. Hukum pelanggaran dalam bahasa Batak Toba disebut dengan istilah “Panguhuman tu angka parsala”, yang berarti hukum dalam hal yang berbuat salah, pengadilan terhadap mereka serta hukuman yang dijatuhkan. “Sala” berarti kesalahan, perbuatan tercela, pelanggaran. “Parsala”, orang yang melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran. Istilah Parsala, agak lebih luas dalam penerapannya daripada kata “Pangalaosi”. Yaitu 22 Loc. cit Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 orang yang menyalahi menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus diumumkan sebagai suatu peraturan yang harus dipatuhi. Sedangkan Parsala berarti bersalah berbuat Sesuatu yang tidak boleh dilakukannya dalam arti yang lebih umum. 23 23 J. C. Vergouwen, Masyarakat dan hukum adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka Azet, 1986 hal. 391 Dalam masyarakat Batak Toba, juga dikenal bentuk-bentuk tindak pidana. Yang mana perbuatan tersebut dianggap sala. Beberapa dari bentuk tindak pidana tersebut diantaranya adalah: 1. Kawin semarga. Dalam masyarakat Batak Toba, marga adalah menentukan identitas. Artinya yang semarga, adalah berarti mereka berasal dari keturunan yang sama, masih saudara, sehingga antara laki-laki dan perempuan tidak boleh kawin karena mereka adalah mariboto.. Jika hal ini dilanggar, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap adat istiadat. Terhadap pelanggaran ini akan dapat dikenakan sanksi berupa pengusiran keduanya karena telah mengotori kesucian kampung. Bahkan pada zaman dahulu jika hal tersebut terjadi, maka untuk dapat diterimanya mereka sebagai warga kampung, harus diadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam, sebagai cara memulihkan kesucian tadi. Dan biaya yang dikeluarkan, dibebankan kepada kedua orang tersebutpelaku. 2. Mangalansum yaitu bermain curang dengan barang dagangan. 3.Pargadam pangarasun Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 yaitu membuat racun untuk membunuh orang lain. Dan biasanya ini dilakukan dengan memasukkan racun tersebut terhadap makanan yang menjadi sasarannya. Dengan tujuan atau maksud tertentu seperi supaya hasil panen bagus, menjadi kaya dan sebagainya. 4.Dorma yaitu sarana gaib yang digunakan oleh orang muda yang dilanda asmara. 5.Sirotahi mual yaitu mencemari sumur, mata air, kolam, sungai, sampai air tidak layak dikonsumsi orang atau hewan. 6.Manggadis lume yaitu menjual benda yang diamanatkan. 7.Mengambil benda yang ditemukan di jalan, tanpa memberitahukannya terhadap kepala kampung. 8. Mambarobo yaitu mencuri jala ikan di sungai atau di danau. 9. Mamorus yaitu mencuri hasil bumi di ladang orang 10.Pemeliharaan begu ganjang yaitu semacam santet, dengan tujuan untuk membunuh orang lain karena alasan-alasan tertentu apakah karena saingan, dendam, atau bahkan membunuh bayi yang masih di dalam kandungan. Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 11.Lalai ataupun sengaja sehingga ternak kepunyaannya merusak tanaman orang lain. . 12.Sibola huta yaitu menyebarkan berita bohong, sehingga terjadi pertengkaran diantara warga. 13. Marhata pasul menggunakan kata-kata kasar, sehingga orang lain merasa dihina. 14. Marnihim-nihim ugasan natinangko. Membawa lari diam-diam barang yang sudah diketahuinya adalah hasil curian. 15. Pangguntu yaitu orang yang menimbulkan keributan. Ataupun melakukan perkelahian. 16. Mangalangkup Berzinah 17. Pasiak- siakhon di namarsaripe kekerasan dalam rumah tangga. 18.Paroa-roahon memfitnah atau pencemaran nama baik. 19.Manangko mencuri Selain tindak pidana tersebut, masih banyak lagi bentuk tindak pidana dalam masyarakat Batak Toba, tindak pidana pada poin15,16,17,18,19 akan dijelaskan lebih lanjut pada halaman berikutnya. Dalam hukum pidana adat masyarakat Batak Toba orang yang melakukan kesalahan harus mengakui kesalahannya, dan harus membenarkan bahwa dia patut mendapat hukuman “manopoti sala”. Berarti dia menundukkan diri sendiri, tunduk pada adat dan pertimbangan umum, bahwa dia menyerahkan diri kepada pemegang kekuasaan dan akan memberikan ganti rugi seperti yang sudah diputuskan atau yang masih akan diputuskan. Dia tidak lagi melawan, dia telah Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 mengakui kekeliruan tindakannya, dia telah melakukan tindakan dan telah berbuat salah, tahu bahwa menyangkal tidak ada gunanya, barangkali sudah menyesal mengakui sebagian atau seluruhnya dan sudah siap menerima apa yang akan dituntut darinya. Dia bersedia memperbaiki kesalahan yang dilakukannya “pauli uhum “ melalui penebusan pribadi. Manopoti sala adalah tindakan menghina diri sendiri, pauli uhum berarti menuntut bahwa dia harus memberikan pengorbanan tertentu. Dia meski membayar pelanggaran yang dilakukannya ”Manggarar utang sala”. Dengan ini ia membebani diri sendiri. Ia mesti menebus sesuai dengan apa yang dituntut adat “ Manggarar adat”, dia mesti membayar hutang yang ditimbulkan oleh tindakannya yang salah “garar ni utang”. Dengan ini membebani diri sendiri. Jika keputusan hukumnya sudah tercapai dia dibebani dengan ganti rugi yang harus dilaksanakan “marutang”. Hal ini diwujudkan melalui penghinaan, dan melalui kepatuhannya terhadap kewajiban yang dijatuhkan di atas pundaknya “panopotion“. Kewajiban ini disebut paulihon, bentuk dan sarana untuk memulihkan hukum atau topot – topot yaitu apa yang menunjukkan pengakuan salah, topot juga berarti mengunjungi. 24 Manopoti salana dan pembetulan pelanggaran yang menyertainya tidak selalu merupakan tindakan suka rela. Tindakan ini memang dapat bersifat sukarela tetapi biasanya tidak terelakkan, karena ada tekanan dari luar. Di zaman dahulu selalu ada ancaman menyertai suatu putusan, yakni ditempatkan di luar perlindungan hukum ”dipaduru diruar ni patik”, atau di luar adat “dibalian ni adat”. Dalam rumpun kampung yang kecil atau dalam tempat seorang penjahat 24 Ibit hal. 392. Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 tinggal,pengucilan “mandurui”, bisa berarti dijauhi orang’pasiding-siding”. Dalam konteks yang lebih luas, dan dalam kasus yang lebih parah, seorang penjahat bisa dibuang dan diusir dari kampung atau dibuang. Jadi semenjak dahulu, paksaan yang dilatarbelakangi seperti ini, menandai pemenuhan kewajiban yang dibebankan ke pundak si pelanggar, yang harus ditunaikannya itulah hukumanya, ”uhumna’. Sesuai dengan pertimbangan hukuman dijatuhkan kepadanya. Jika tidak pelanggaran sepenuhnya terjadi dalam ruang lingkup masyarakat yang menjadi tempat tinggal si pelanggar dan masa seterusnya akan dihabiskan di situ, panopotionna akan disertai permohonan ampun serta janji bahwa untuk seterusnya dia akan menjauhkan diri dan dia akan jera. Inilah yang dialami si pelanggar. 25 Suku bangsa Batak Toba menarik garis keturunan melalui garis ayah atau patrilineal satu kelompok kerabat dihitung dari satu ayah “sa ama”, satu nenek moyang “sa ompung” dan kekerabatan yang terkecil atau kelurga batih disebut ripe. Istilah ripe dapat juga disebut untuk menyebut keluarga luas Patrilineal. Sa ompu dapat disebut klen. Tetapi istilah itu dipakai juga untuk menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang sampai generasi ke duapuluh. Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis

C. Kewenangan Dalihan Natolu Menyelesaikan Tindak Pidana Adat dan Proses Penyelesaiannya