Kekerasan dalam rumah tangga Pasiak-siakhon Namarsaripe

Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 pelaku akan dipasung. Namun pada saat ini kedua pelaku akan diusir dari komunitas adat mereka atau dari kampung. 37 37 J.C. Vergouwen Op. cit hal. 288-290.

2. Kekerasan dalam rumah tangga Pasiak-siakhon Namarsaripe

Masalah kekerasan dalam rumah tangga pada masyarakat Indonesia pada akhir-akhir ini merupakan salah satu tindak pidana yang sedang marak diberantas oleh pemerintah kita dewasa ini. Berbagai peristiwa yang terjadi, cukup kiranya untuk menggambarkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya hanya kita jumpai di media massa atau melalui media elektronik seperti di Televisi. Dan yang menjadi korbannya pada umumnya adalah kaum perempuan. Berbagai kekerasan berbasis gender yang merusak, menghalangi, atau meniadakan penikmatan oleh perempuan atas hak asasinya dan ini adalah merupakan suatu pelanggaran hak asasi serta juga sebuah diskriminasi. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi diluar saja, tetapi juga sering terjadi di lingkungan terdekatnya. Ada tiga wilayah atau lingkungan terjadinya kekerasan terhadap perempuan yaitu di dalam keluarga domestik violence, di lingkungan komunitas, dan dilingkungan tempat kerja. Kekerasan berbasis gender ini sangat sering terjadi khususnya dilingkungan keluarga. Di Inggris kekerasan suami terhadap istri berawal dari common law Inggris 1896 yang memberikan kekuasaan kepada suami untuk mendidik atau memberi disiplin terhadap istrinya dengan cara memberi tongkat yang disebut dengan “rule of thumb” yaitu suami boleh memukul istri dengan tongkat yang tidak lebih besar dari ibu jari. Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 Masalah kekerasan dalam rumah tangga ini awalnya dianggap sebagai masalah intern dalam rumah tangga. Namun dalam perkembangannya masalah ini tidak dapat dianggap lagi sebagai masalah privat, dan ini menjadi masalah umum yang dapat dibicarakan oleh siapa saja. Hal ini disebabkan karena masyarakat sekarang telah peka terhadap tindak kekerasan, ini terbukti dengan munculnya gerakan perempuan yang ingin mengungkap tabir kekerasan dalam rumah tangga dan juga untuk menyampaikan permasalahan wanita yang teraniaya secara terbuka. Kebisuan ini terjadi semata karena rasa takut tidak terlindungi oleh hukum. Apalagi bila masalah sampai ke persidangan hakim yang mengacu pada Kitab Undang–Undang Hukum Pidana KUHP memberi ancaman hukuman dan denda yang ringan, sehingga tidak membuat jerah pelaku kekerasan tersebut. Jika hanya mengacu pada KUHP, akibatnya ada beberapa hal yang menyebabkan sulit menyeret palaku kekerasan dalam rumah tangga, ke meja hijau. Hal ini tentu saja akan mendatangkan kekecewaan dan kerugian kepada pihak wanita yang dirugikan baik secara fisik maupun mental. Lahirnya Undang–Undang tentang penghapusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah jalan panjang yang merupakan gagasan para aktivis perempuan selama ini mendampingi korban tersebut. Keberadaan Undang–Undang tersebut juga menjadi suatu acuan bagi para penegak hukum dalam menangani masalah tersebut. Dalam Undang –Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT sebagai penghormatan hak azasi manusia yang meliputi : Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 a. Kekerasan fisik, b. Kekerasan psikis, c. Kekerasan seksual,dan d. Penelantaran rumah tangga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, 2002 adalah : a. Perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. b. Paksaan Menurut penjelasan ini, kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang menyebabkan luka, cacat, sakit, atau penderitaan kepada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka seperti perkelahian atau tertutup seperti perilaku mengancam, serta yang bersifat menyerang yaitu kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan tapi untuk mendapatkan sesuatu dan yang bersifat bertahan yaitu kekerasan yang dilakukan untuk mempertahankan diri, yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Di mana perilaku mengancam lebih menonjol dari kekerasan terbuka, dan kekerasan tersebut dilakukan biasanya bukan untuk perlindungan. Sama halnya dengan masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat adat Batak Toba menganggap bahwa melaporkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga adalah sama saja membuka aib dalam rumah tangga atau keluarga. Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 Dalam masyarakat adat Batak Toba ini disebut dengan istilah “Pasiak-siakkon dinamar saripe”. Pasiak-siakkon menganiaya, rumah tangga namarsaripe. Seperti pada umumnya ini biasanya dialami oleh istri atau anak–anak. Jika istri disiksa atau dianiaya oleh suaminya maka apabila ini diketahui oleh pihak hula–hula atau keluarga si istri ini ibarat penghinaan yang dilakukan oleh pihak boru terhadap hula-hulanya dan pada umumnya pihak hula-hulalah yang sangat keberatan dan mengutuk tindakan ini maka dia akan menegur pihak boru dongan tubu atau teman semarganya suami dan supaya masalah ini jagan sampai kepada pihak berwajib dan diselesaikan secara hukum adat atau kekeluargaan. Begitu pula dengan si suami tadi yang didampingi oleh teman semarganya akan datang berlutut dan mohon ampun kepada hula-hula atau keluarga si istri dengan bantuan marga lain yang memperistri saudara perempuan dari si suami yang menganiaya istrinya tadi. Setelah hal tersebut terjadi diadakan suatu persidangan yang dihadiri oleh penatua adat serta didampingi oleh pihak hula-hula, dongan tubu, dan boru. Dalam hal berlangsungnya persidangan pihak hula-hula berada pada pihak yang menginginkan supaya si suami tersebut dihukum sesuai dengan perbuatannya tapi atas bujuk rayu dari saudara semarganya si suami, pihak hula-hula akan menerima permintaan maaf tersebut dengan jaminan bahwa merekalah yang akan menjamin si istri tidak lagi disiksa oleh suami dan apabila si suami mengingkari janjinya maka pihak atau teman semarganya harus bersedia mengeluarkan atau mengusir si suami walaupun dia saudara atau teman semarga mereka. Hukuman tersebut juga berlaku kepada suami yang menyiksa anaknya walaupun hal ini jarang terjadi dan Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 pada umumnya hanya diselesaikan dengan keikutsertaan dongan tubu atau semarga saja. 3.Penghinaan Lisan, Pencemaran nama baik,memfitnahParoa-roahon Dalam masyarakat adat Batak Toba ini adalah berupa memaki-maki orang yang melampaui batas hata namarsalpu dengan buka mulut dan omong dengan hinaan dan amarah, menyapa seseorang dengan cara merendahkan dan menghina disebut paroahon atau paleahon, roa buruk, lea hina. Sebagaimana halnya dengan marhata salpu menggunakan kata-kata kasar. Nama sanksi adat dari semua bentuk penghinaan lisan ini adalah gatif gansif yaitu menutup bibir dengan jepitan. Hal ini dilaksanakan dengan menjatuhkan kewajiban kepada pihak yang bersalah untuk membayar denda yang bisa berkisar antara uang atau sejumlah ternak tetapi jumlahnya sesuai dengan kesepakatan antara penatua adat dan masyarakat yang tujuannya adalah untuk memulihkan keamanan kampung dan nama baik yang dihina. 38 Penghinaan lisan ini juga termasuk pada melanggar kekuasaan terutama dari penghinaan sahala pemangku kekuasaan yang sepatutnya adalah harus dimuliakan. Menghina raja lebih parah daripada menghina orang biasa, sebagaiman juga halnya berkelahi dengan seorang kepala atau menganiayanya. Jika orang lalai mengundang seorang kepala menghadiri pesta yang seharusnya dihadirinya orang demikian disebut “tois tu raja“ tidak tau adat terhadap kepala. Begitu juga terhadap orang yang tidak menyampaikan jambar jatah atas hewan disembelih yang menjadi hak seorang kepala. Pelanggaran seperti berkelahi 38 J. C Vergouwen Op. cit hal. 414. Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 memaki-maki dan berlaku tidak pantas di hadapan kepala kampung atau raja adalah biadab. Kelakuan seperti ini dianggap sebagai serangan terhadap hasangapon kehormatan dan martabat seorang kepala. Sekali perselisihan atau percekcokan sudah dibawah kedepan kepala, orang-orang yang bersangkutan tidak berkelahi atau bertengkar jika masih dilanggar maka akan disebut sebagai penghinaan terhadap pengadilan. Maka oleh masyarakat melalui raja para pelaku pelanggaran ini biasa ditindak dengan hukuman membayar denda, dipasung bahkan pada jaman dahulu raja bisa menggunakan kekerasan. Bahkan mungkin lebih buruk lagi diusir dari masyarakat dan sampai kapan pun tidak akan diperkenankan kembali kelingkunagan masyarakat. 39 Dulu membakar kampung dengan sengaja yang akibatnya membuat seluruh huta atau kampung hangus, akan dituntut dengan mengusir orang tersebut dari lingkungan adat atau bahkan dia sampai mati. Orang yang karena kesembronoannya menimbulkan kebakaran wajib mengganti kerugian yang diderita dan mungkin juga diperintahkan mempersembahkan makanan kepada pihak yang dirugikan atau yang dikejutkan agar korban tenang dan tentram kembali. Adapula kemungkinan, pelaku akan dijauhi masyarakat. Tidak mau bekerjasama melakukan peraturan yang berlaku di kampung atau di wilayah, begitu pula menolak memberi bantuan jika ada bahaya mengancam, seperti kebakaran dan jika tanggul saluran bobol merupakan kejahatan. Bermain curang dengan barang dagangan mangalancum, digolongkan di masa silam sebagai 4.Gangguan tehadap kesejahteraan umumPanggunturi 39 Ibid, hal. 416. Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 pelanggaran berat. Peraturan ini diberlakukan di pekan, para pelanggar hukum oleh kepala yang langsung menangani pekan. Mencemari sumur, mata air, kolam, sampai air tidak layak dikonsumsi baik oleh masyarakat bahkan hewan. Pelanggaran lain yang menyangkut kesejahteraan umum adalah berupa menimbulkan perselisihan diantara warga seperti menyebarkan berita bohong mengawinkan seorang perempuan untuk kedua kalinya padahal dia tau perempuan itu belum sepenuhnya lepas dari ikatan perkawinan pertama. 5.Pencurian Panangkoon Masyarakat Batak Toba, termasuk masyarakat di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir, sangat sering dihadapkan pada masalah terjadinya pencurian. Sesuai dengan bunyi pasal 362 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian , dengan hukuman penjara selama- lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.900”. Elemen-elemen pencurian biasa tersebut adalah: a. Perbuatan mengambil, b. Yang diambil harus sesuatu barang, c. Barang itu harus seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain d. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hak. Dalam Masyarakat Batak Toba, mengenai pencurian itu dibagi dua yaitu : a.Tangko Raja tangko= mencuri Artinya adalah kalau seseorang sedang mempunyai tamu, tetapi kita tidak mempunyai ternak untuk jamuan makan mereka, Maka dia dapat mengambil Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 ternak orang lain atau tetangga seperti: ayam, babi, lembu , kerbau walaupan tanpa izin atau tanpa sepengetahuan orang itu. Tetapi begitu bertemu dengan pemilik ternak tesebut, maka harus langsung memberitahukan kepada pemilik tersebut. Yang kemudian langsung membayar sejumlah uang seperti pada saat sekarang ini, sebagai pengganti ternak tersebut. Jadi dalam hal ini sipemilik tidak boleh menolak dan harus menerimanya, meskipun itu merupakan ternak kesayangannya dan harus menerima uang tersebut, tanpa boleh melakukan tuntutan dalam bentuk apapun. Maka dalam hal ini si pencuri ternak tadi tidak dapat dihukum, dengan syarat: 1. Kalau itu ayam, maka pencuri tidak boleh mengambil yang sedang bertelur, 2. Kalau ternak yang lain tidak boleh mengambil yang sedang hamil, 3. Kalau tanaman, dia harus mengganti tanaman itu dengan langsung menanami yang baru. 40 b.Tangko hatoban tangko=mencuri, hatoban=babu Ini adalah di luar dari ketentuan tangko raja. Artinya, seperti sipelaku berbohong tidak mau mengakui perbuatannya, maka dalam hal ini sipelaku dapat dikenai hukuman’ begitu juga dengan orang yang menemukan sesuatu barang, sedang diketahuinya siapa pemilik barang itu, tetapi dia tidak memberitahukannya, bahkan berusaha menyembunyikannya, dengan maksud memilikinya, maka dalam hal ini ia juga akan dikenakan hukuman, seperti membayar denda. Sama halnya juga membeli barang, sedang diketahuinya barang iu adalah hasil curian. 41 40 Patik dohot Uhum Ni Halak Batak, Pusat dokumentasi dan Kebudayaan Batak: Universitas HKBP Nommensen; Medan, 1987, hal, 89. 41 Ibid. hal.89 Tota Pasaribu : Kewenangan Dalihan Natolu Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Secara Hukum Adat Batak Toba Studi Di Kec. Borbor,Kab. Toba Samosir, 2008. USU Repository © 2009 Selain hal-hal tersebut yang sudah dijelaskan sebelumnya, masih banyak lagi tindak pidana yang terdapat dalam masyarakat adat Batak Toba, dan penyelesaiannya dapat dilakukan secara hukum adat Batak Toba. Tetapi mengingat jumlah tindak pidana yang terjadi tidak dapat dihitung jumlahnya, dan begitu juga dengan yang akan terjadi maka oleh masyarakat atas persetujuan bersama, melalui Dalihan Natolu, hal ini itu dapat diselesaikan jika semua pihak dan masyarakat menginginkan untuk diselesaikan secara kekeluargaan.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Dalam tindak pidana adat Dalihan Natolu sangat berperanan menyelesaikannya. Di mana Dalihan Natolu ini terdiri dari tiga unsur yaitu pihak hula-hula atau pemberi gadis, pihak dongan tubu atau teman semarga