Tahapan-tahapan Perkembangan Psikososial Anak

perkembangan psikososial ini juga meliputi pemahaman seorang anak atas peraturan-peraturan yang ada disekitarnya.

C. Tahapan-tahapan Perkembangan Psikososial Anak

Menurut Erik Erikson perkembangan psiososial terbagi menjadi beberapa tahap. Masing-masing tahap psikososial memiliki do ’a komponen, yaitu komponen yang baik yang diharapkan dan yang tidak baik yang tidak diharapkan. Pada fase selanjutnya tergantung pada pemecahan masalah pada tahap masa sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan perkembangan pada psikososial anak adalah sebagai berikut: 1. Percaya Vs Tidak Percaya 0-1 tahun Komponen awal yang sangat penting untuk berkembang adalah rasa percaya. Membangun rasa percaya ini mendasari tahun pertama kehidupan. Begitu bayi lahir dan kontak dengan luar maka ia mutlak tergantung dengan orang lain. Rasa aman dan rasa percaya pada lingkungan merupakan kebutuhan. Alat yang digunakan bayi untuk berhubungan dengan dunia luar adalah mulut dan panca indra, sedangkan perantara yang tepat antara bayi dengan lingkungan adalah ibu. Hubungan ibu dan anak yang harmonis yaitu melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial, merupakan pengalaman dasar rasa percaya bagi anak. Apabila pada umur ini tidak tercapai rasa percaya dengan lingkungan maka akan timbul berbagai masalah. Rasa tidak percaya ini timbul bila pengalaman untuk meningkatkan rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara dekat, yaitu kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial yang kurang misalnya: anak tidak mendapatkan minuman atau air susu yang dekat ketika ia lapar, tidak mendapatkan respon ketika ia menggigit dot botol dan sebagainya. 2. Otonomi Vs Rasa Malu dan Ragu 1-3 tahun Pada masa ini alat gerak dan rasa telah matang dan ada rasa percaya terhadap ibu dan lingkungan. Perkembangan Otonomi selama periode balita berfokus pada peningkatan kemampuan anak untuk mengotrol tubuhnya, dirinya dan lingkungannya. Anak menyadari ia dapat menggunakan kekuatan untuk bergerak dan berbuat sesuai dengan kemauannya misalnya: kepuasan untuk berjalan atau memanjat. Selain itu anak menggunakan kemampuan mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa Otonomi diri ini perlu dikembangkan karena penting untuk terbentuknya rasa percaya diri dan harga diri di kemudian hari. Hubungannya dengan orang lain bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri. Peran lingkungan pada usia ini adalah memberikan dukungan dan memberi keyakinan yang jelas. Perasaan negatif yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak merasa tidak mampu mengatasi tindakan yang dipilihnya serta kekurangan dukungan dari orangtua dan lingkungannya, misalnya orangtua terlalu mengontrol anak. 9 9 Jossi.”Perkembangan Psikososial Anak” dari http:jossie08.blog.friendster.com pada tanggal 21Maret 2011 3. Inisiatif Vs Rasa Bersalah 3-6 tahun Pada tahapan ini anak belajar mengendalikan diri dan mamanipulasi lingkungan. Rasa inisiatif mulai menguasai anak. Anak mulai menuntut untuk melakukan tugas tertentu. Anak mulai diikut sertakan sebagai individu misalnya, turut serta dalam merapihkan tempat tidur atau membantu orangtua di dapur. Anak mulai memperluas ruang lingkup pergaulannya misalnya, menjadi aktif di luar rumah, kemampuan berbahasa semakin meningkat. Hubungan dengan teman sebaya dan saudara kandung adalah untuk menang sendiri. Peran ayah sudah mulai berjalan pada fase ini dan hubungan segitiga antara ayah-ibu-anak sangat penting untuk membina kemantapan identitas diri. Orangtua dapat melatih anak untuk mengintergrasikan peran-peran sosial dan tanggungjawab sosial. Pada tahapan ini kadang-kadang anak tidak dapat mencapai tujuannya atau kegiatannya karena keterbatasannya, tetapi bila tuntutan lingkungan misalnya, dari orangtua atau orang lain terlalu tinggi atau berlebihan maka dapat mangakibatkan anak merasa aktivitasnya atau imajinasinya buruk, akhirnya timbul rasa kecewa dan rasa bersalah. 4. Industri Vs Inferioritas 6-12 tahun Pada tahap ini anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas. Melalui proses pendidikan ini anak belajar untuk bersaing sifat kompetitif, juga sifat kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, serta belajar peraturan-peraturan yang berlaku. Kunci proses sosialisasi pada tahapan ini adalah guru dan teman sebaya. Dalam hal ini peranan guru sangat netral. Identifikasi bukan terjadi pada orangtua atau pada orang lain, misalnya sangat menyukai gurunya dan patuh sekali pada gurunya dibandingkan pada orangtuanya. Apabila anak tidak dapat memenuhi keinginan sesuai standar dan terlalu banyak yang diharapkan dari mereka dapat timbul masalah atau gangguan. 5. Identitas Vs Difusi Peran 12-18 tahun Pada tahapan ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa. Sehingga nampak adanya kontradiksi bahwa di lain pihak ia dianggap dewasa tetapi disisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orangtua sebagai sumber perlindungan dan sumber nilai utama mulai menurun. Sedangkan peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Teman sebaya dipandang sebagai teman senasib, teman kerjasama dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini remaja bereksperimen dengan peranan dan dapat menyalurkan diri. Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis. 10 10 Ibid Menurut Sigmund Freud dalam dalam Yupi Supartini, dalam perkembangan psikososial anak dibagi mejadi: a. Disebut Fase Oral Pada tahapan ini anak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dari berbagai pengalaman di sekitarnya. Fase ini berlangsung dari masa bayi sampai umur 1 tahun. Bila ibu berhasil memuaskan kebutuhan dasar bayi dalam fase ini maka anak tersebut akan merasa aman dan melangkah dengan mantap ke fase berikutnya. Bila fase oral tidak terselesaikan dengan baik maka akan terbawa ke fase berikutnya. Ketidaksiapan tersebut tampak pada prilaku anak yang tetap ingin bergantung, dan menolak untuk mandiri. b. Fase Anal Fase ini berlangsun pada masa 1-3 tahun. Pada masa ini anak mulai memperhatikan rasa ke AKU-annya. Sikapnya sangat egoistik, ia pun mulai mengenal tubuhnya sendiri dan mendapatkan kepuasan dari pengalaman autoerotiknya dalam dirinya. Sesuai dengan namanya fase anal, salah satu tugas anak adalah latihan kebersihan atau disebut “toilet training“. Anak mengalami rasa puas saat bisa menahan maupun saat megeluarkan tinjanya. Bila orang tua tidak dapat membantu anak untuk menyelesaikan tugas latihan kebersihan dengan baik maka akan terjadi berbagai kesulitan tingkah laku. c. Fase Oedipalfalik Biasanya terjadi pada anak usia 3-6 tahun. Anak mulai bisa merasakan dorongan seksualitas yang kemudian ditujukan kepada orangtua dengan jenis kelamin yang berbeda. Perasaan ini menimbulkan dorongan untuk bersaing dengan orangtua yang lain. Dengan demikian anak dapat merasakan rasa seksual yang berkembang ini dengan bebas. Namun demikian lama kelamaan anak akan sadar diri bahwa ia tidak mungkin mengekspresikan perasaannya dengan seenaknya dan juga tidak mungkin memenangkan persaingan melawan orang tuanya, maka ia belajar untuk menahan diri. Disini tampak bahwa anak mulai belajar menyesuaikan diri. Perasaan seksual yang negatif ini kemudian menjadi anak menjauhi orangtua yang berjenis kelamin berbeda, dan ia mulai mendekat pada orangtua dengan jenis kelamin sama. Pada saat inilah dimulai proses identifikasi seksual. Ditandai dengan pergaulan yang lebih suka bermain dengan teman yang jenis kelamin sama. d. Fase Laten Biasanya terjadi pada anak usia 7-12 tahun. Periode ini merupakan periode integrasi yang bercirikan anak harus berhadapan dengan berbagai macam tuntutan sosial seperti hubungan kelompok, pelajaran sekolah, konsep moral dan etik, dan hubungan dengan dunia dewasa. e. Fase Genital Dengan selesainya fase laten, maka sampailah anak pada fase terakhir dalam perkembangan, yaitu fase genital. Dalam fase ini anak dihadapkan dengan masalah yang kompleks, dan ia diharapkan mampu bereaksi sebagai orang dewasa. Kesulitan yang sering timbul pada fase ini seringkali disebabkan oleh karena si anak belum dapat menyelesaikan tahap perkembangannya dengan tuntas.

D. Definisi Anak