BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pada dasarnya setiap perempuan dan laki-laki adalah sama mereka mempunyai derajat yang tinggi dan mereka patut untuk di hormati sebagai
mana mestinya, tidak ada yang membedakan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan punya hak untuk berekspresi dan prempuan juga mampu untuk
berkarya seperti para lelaki. Seperti apa yang telah Nabi sabdakan melalui hadisnya:
“Sebaik-baiknya perempuan ialah perempuan yang apabila engkau memandangnya ia menyenangkanmu, dan apabila engkau menyuruhnya maka
dituruti perintahmu dan jika engkau bepergian maka dipeliharanya hartamu dan dijaganya kehormatannya.” Al-Hadist.
1
Namun sayang kian waktu semua itu hilang tergerus dengan seiring berjalannya waktu, banyak orang yang beranggapan wanita adalah barang
dagangan yang dapat dibeli dengan beberapa lembar uang dan perempuan adalah pemenuh nafsu birahi semata bagi kaum adam. Sungguh sangat
menyedihkan bila budaya ini terus berlanjut hingga masa yang akan datang maka akan percuma semua pengorbanan Ibu Kartini sebagai Pahlawan
pembela perempuan di Negri ini. Hampir setiap hari kita melihat berita tentang prostitusi menghiasi layar
kaca dan menjadi pemenuh pada lembaran surat kabar di pagi hari, para petugas melakukan razia tempat-tempat mesum dan berapa banyak dalam
razia tersebut yang tertangkap belasan bahkan puluhan wanita penghibur
1
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2001, h. 378.
1
hampir setiap malam hal ini dilakukan para petugas namun tetap saja tidak pernah habis bahkan semakin bertambah banyak seperti jamur yang tumbuh di
musim penghujan. Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit
masyarakat yang harus diberhentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pelacuran berasal dari kata pro-stituere atau
pro-stauree, yang berarti membiarkan diri membuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. Sedangkan prostitue adalah
pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tuna susila.
2
Sejak jaman dahulu para pelacur selalu dikecam atau dikutuk oleh masyarakat, karena tingkah lakunya yang tidak susila dan diangap mengotori
sakralitas hubungan seks. Mereka disebut sebagai orang-orang yang melanggar norma moral, adat dan agama, bahkan kadang-kadang juga
melanggar norma negara, apabila negara tersebut melarangnya dengan undang-undang atau peraturan.
Wanita-wanita pelacur kebanyakan ada di kota-kota, daerah-daerah lalulintas para turis dan tempat-tempat plesir, dimana banyak didatangi orang-
orang yang hendak berlibur, beristirahat atau berwisata. Pada umumnya, di tempat-tempat tersebut diterapkan prinsip 4S dari turisme, yaitu sea laut dan
adanya air, sun ada matahari, service pelayanan dan seks. Maka untuk menyelegarakan pelayanan seks guna pemuaskan kebutuhan baik dari kaum
pria maupun wanita, diselenggarakan praktik-praktik pelacuran secara resmi di
2
Dr. kartini Kartono, Patologi Sosial-Jilid I, Jakrta: PT. Graja Grafindo Persada, 2005, h. 207.
bordil-bordil dan lokasi tertentu ataupun secara tidak resmi merembes ke hotel-hotel, penginapan-penginapan dan tempat-tempat hiburan.
3
Namun, ada masyarakat-masyarakat tertentu yang memperkenankan hubungan seks diluar perkawinan. Pada masyarakat Eskimo, kelahiran bayi di
luar pernikahan ditoleransi oleh masyarakat. Bahkan untuk menghormati tamu-tamu yang terpandang istri sendiri disuruhnya tidur dengan tamunya dan
memberikan pelayanan seks seperlunya. Juga pada beberapa kelompok suku di pulau Kei, Plores, Mentawai, sistem perkawinannya mengijinkan anak-anak
gadis melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki sebelum menikah. Bahakn gadis-gadis yang trampil dan pandai memberikan pelayanan seks akan
lebih laku terlebih dahulu Bukan hanya para perempuan yang cukup umur yang menjajakan dirinya
sebagai wanita penghibur tetapi banyak gadis belia belasan tahun yang telah terenggut keperawanannya demi uang, hal ini tidak hanya di Indonesia saja
tetapi hampir setiap belahan dunia kegiatan prostitusi ini ada bahkan sudah menjadi perdagangan perempuan tingkat Internasional dan Indonesia adalah
salah satu pemasok terbesar, diantaranya melalui jasa Tenaga Kerja Wanita TKW yang di kirim keberbagai Negara dengan alasan sebagai pekerja rumah
tangga. Allah telah jelas melarang dalam Al-Qur’an:
⌧ ⌧
3
Ibid., h. 230.
Artinya : “Dan Janganlah Kamu Mendekati Zina, Sesungguhnya Zina Itu Adalah Perbuatan Yang Sangat Keji Dan Merupakan Suatu
Jalan Yang Buruk ’’ QS. Al-Isra’:32 Hingga pada akhirnya timbulah citra buruk di masyarakat bagi para
wanita ini sebagai WTS Wanita Tuna Susila pada dasarnya mereka tidak mau melakukan hal tersebut mereka mau seperti kebanyakan para wanita baik-
baik dan mendapatkan perlakuan yang baik di masyrakat. Tapi kenyataan telah menuntun mereka seperti itu, penyebabnya antara lain: faktor ekonomi,
kerusakan rumah tangga, salah pergaulan dan yang sedihnya adalah dijual oleh orang tua.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dampaknya mulai terasa sejak awal tahun 1998 selain langsung pada kehidupan ekonomi bangsa, juga
berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi mengakibatkan turunnya pendapatan nyata penduduk akibat hilangnya
kesempatan kerja. Dampak lanjutan adalah kerawanan yang menyangkut berbagai hal, salah satu di antaranya adalah bidang ekonomi dan sosial. Krisis
ekonomi dapat meningkatkan jumlah penjaja seks komersial PSK. Pekerja seks yang beroperasi di Jakarta datang dari berbagai daerah. Suatu survey
menunjukkan bahwa mereka datang dari Jawa Timur 4, dari Jambi 2, dari Sumatera Barat 6, dari Jawa Tengah 17, dari Jawa Barat 18 dan D.K.I
sendiri 50 Suara Pembaruan, Maret 1999.
4
Sesuai surat keputusan Menteri Sosial RI Nomor 59HUK2003, Panti Sosial Karya Wanita PSKW “Mulya Jaya” Jakarta adalah salah satu Panti
Rehabilitasi Sosial yang menangani penyandang masalah tuna susila, dengan kedudukan sebagai salah satu Pelaksana Tekhnis di lingkungan Departmen
4
Riyan Maulana, Data Prostitusi 2008, artikel ini diakses pada tanggal 1 Oktober 2009 dari
http:www.pikiran rakyat.4a.SeP,H contenttask=viewid=254Itemid=33.,
Sosial RI yang berada di bawah dan langsung bertanggung jawab langsung kepada Direktorat Jendral Pelayaanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari
secara fungsional dibina oleh direktur Pelayanan Rehabilitasi Tuna Sosial. Tugas Panti Sosial Karya Wanita PSKW “Mulya Jaya” adalah
memberikan pelayanan, perawatan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk pembinaan bimbingan
fisik, mental, sosial, merubah sikap dan tingkah laku serta pelatihan keterampilan, resosialisasi dan pembinaan lanjut bagi para tuna susila agar
mampu melaksanakan kembali fungsi sosialnya. Untuk itu Panti Sosial Karya Wanita PSKW “Mulya Jaya” yang
bergerak dalam rehabilitasi Wanita Tuna Susila sejak tahun 1959 yang berada di bawah naungan Departmen Sosial RI memberikan pelatihan keterampilan
High Speed bagi para siswa tuna susila, di harapkan dengan pemberian keterampilan ini akan mengembalikan keberfungsian sosial mereka
dimasyarakat dan mereka dapat bekerja dengan cara yang baik. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka penulis
tertarik untuk meneliti mengenai Pemberdayaan Pekerja Seks Komersial Pada Program Keterampilan Menjahit High Speed di Panti Sosial Karya
Wanita PSKW Mulya Jaya Pasar Rebo-Jakarta Timur.
B. Pembatasan dan perumusan Masalah 1.