ilmu klasik dan kontemporer. Akhirnya dapat di simpulkan bahwa hampir keseluruhan mengartikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional
dan kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai- nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dengan melalui aturan-aturan yang telah ditentukan konstitusional guna melaksanakan programnya. Kemudian dalam konteks
Indonesia, UU Republik Indonesia tentang partai politik telah diperbaharui sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat yaitu kedalam UU No. 2
Tahun 2008 sebagaimana dalam bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 menyatakan: “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
27
B. Sejarah Ideologi Partai Politik dan Perkembangan Ideologi Agama dalam
Partai Politik
Kata ideologi telah mengalami pasang surut dalam suatu zaman. Kata ini merupakan kata kunci di mana semua aspek kehidupan manusia di analisis
berdasarkan kata ini. Kata ini tidak hanya bergerak mengikuti waktu.
27
Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Penggunaannya pun begitu meluas.
28
Masing-masing disiplin ilmu menerjemah- kan secara berbeda tentang arti kata ‘ideologi’. Namun, dalam kajian ini
memfokuskan diri pada ideologi politik. Dalam berbagai kajian, ideologi politik didefinisikan sebagai suatu paham dan nilai tertentu yang digunakan untuk
mencakupi semua usaha mencapai suatu kondisi ideal tertentu. Kata ‘ideologi’ memiliki arti yang sangat individual, menekankan bahwa masing-masing
kelompok dan sistem sosial akan membentuk ideologi
29
. Aron 1965 membedakan ideologi menjadi dua konsep. Pertama,
memposisikan ideologi sebagai suatu sistem global tentang penafsiran dan tindakan. Ideologi memerankan peran dan fungsi yang mengarahkan bagaimana
aktor atau individu memahami dan memberikan arti pada setiap peristiwa yang terjadi. Ideologi sangat membantu aktor politik untuk menyederhanakan fenomena
yang bersifat kompleks dan multi dimensi. Kedua, diasosiasikan dengan agama sekuler. Kekuatan ideologi tidak berbeda dengan agama dalam memotivasi para
aktor politik untuk bertindak dan bersikap. Yang membedakan, ideologi adalah hasil konstruksi manusia dan bukan institusi kewahyuan.
30
Gramsci 1971 dan Rude 1980 mencoba membangun konsep ideologi yang lebih bersifat politik. Mereka membedakan konsep ideologi menjadi dua,
antara ideologi ‘organik’ dan ‘inheren’ dengan ideologi ‘tradisional’ atau
28
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di Era Demokrasi, h. 82-83
29
Ibid.
30
Ibid.
‘turunan’. Konsep ideologi organik muncul sebagai hasil dari interaksi sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Sementara itu, ideologi tradisional merupakan hasil
dari kejadian besar dalam sejarah suatu masyarakat tertentu. Menurut Finbow 1993, ideologi organik dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: Ideologi populer
populaire ideology, ideologi utama central ideology, dan ideologi publik public ideology. Ideologi populer mencerminkan pengalaman suatu kelompok
populer seperti petani, buruh, dan gerakan-gerakan sosial baru. Ideologi utama dibangun berdasarkan kepentingan pribadi self interest dan kesadaran umum,
seringkali ditemukan dalam kelompok profesional pengusaha. Sementara itu, ideologi publik dikembangkan oleh aktor-aktor publik seperti politisi dan birokrat.,
juga oleh aktor-aktor antara seperti media, pers, dan wartawan. Pembentukan ideologi publik ini tidak terlepas dari faktor sejarah, tekanan publik dan agenda
serta kepentingan individu-individu domina
31
Karena memberikan pengesahan kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo.
Ideologi juga bisa digunakan oleh para pembaharu atau pemberontak untuk menyerang status-quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negara dengan
menggunakan dalih “hak ketuhanan raja” atau “kehendak sejarah”, tapi para pemberontak bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar
pada prinsip “hak-hak dasar” atau “kehendak yang kuasa”. Ideologi yang dianggap sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk
31
Ibid., h. 83-84.
menentang kekuasaan negara borjuis, selain juga untuk memisahkan kekuasaan diktator terhadap kelas pekerja.
32
Dengan memberikan dasar etika pada pelaksanaan kekuasaan politik, ideologi juga bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau pengikut suatu gerakan
yang berusaha mengubah negara. Ideologi yang memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dan yang dipimpin, untuk berjuang bahu
membahu demi prinsip bukan pribadi juga merupakan suatu pedoman untuk memilih kebijakan dan prilaku politik. Bahkan, ideologi juga memberikan cara
kepada mereka yang menginginkan akan arti keberadaannya dan tujuan tindakannya. Karena itu keberhasilan suatu ideologi tertentu, sedikit banyaknya
merupakan masalah kepercayaan yang lahir keyakinan yang rasional. Ini berlaku sama baik untuk ideologi yang bersifat demokratis dan otoriter.
33
Ideologi juga dapat diartikan sebagai sistem kepercayaan dan norma. Sistem kepercayaan dalam hal ini melihat bahwa ideologi memberikan basis
legitimasi bagi para penganutnya untuk berfikir, bersikap dan bertindak atas suatu permasalahan tertentu. Ideologi memberikan gambaran tentang alasan, kekuatan
dan motivasi tindakan individu. Untuk dapat menjadi sistem kepercayaan, ideologi harus mampu meyakinkan para penganutnya mengenai kebenaran truthfulness
pemikiran dan ajarannya. Mereka harus bisa dibuat percaya bahwa ideologi tersebut merupakan suatu keniscayaan yang menjadi bekal utama untuk
32
Carlton Clymer Roodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, cet.V Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, h. 105.
33
Ibid.
mengembangkan sistem kepercayaan. Misalnya, dalam ideologi yang berlandaskan pada suatu agama tertentu Partai Islam, Kristen, atau Katolik ajaran-ajaran agama
dipercaya akan mampu menyelesaikan permasalahan sosial masyarakat. Mereka tidak dapat menggunakan ajaran agama sebagai basis ideologi politik kalau tidak
mempercayai bahwa ajaran agama mereka memiliki kekuatan, kebenaran dan petunjuk untuk membawa kehidupan yang lebih baik dimasa depan. Sehingga,
ajaran agama mereka perlu diperjuangkan secara politis.
34
Partai politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan
serta diikut sertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan
pemerintah di pihak lain. Pada awal perkembangannya, pada akhir dekade 18-an di negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada
kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula-mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan-
tuntutan raja.
35
Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur
pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum caucus party. Karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan
34
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideology Politik di Era Demokrasi, h. 100-101.
35
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 397-398
masyarakat, kelompok-kelompok politik di parlemen secara perlahan juga berusaha mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke-19 lahirlah partai
politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung link antara rakyat disatu pihak dan pemerintah dipihak lain.
36
Partai semacam ini dalam praktiknya hanya mengutamakan kemenangan dalam pemilihan umum, sedangkan pada masa antara dua pemilihan umum
biasanya kurang aktif. Lagi pula partai sering tidak memiliki disiplin partai yang ketat, dan pemungutan iuran tidak terlalu dipentingkan. Partai ini dinamakan
patronage party, yaitu partai lindungan yang dapat dilihat dalam rangka patron- client relationship yang juga bertindak sebagai broker. Partai mengutamakan
kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, maka dari itu sering dinamakan partai massa. Biasanya terdiri atas pendukung dari berbagai aliran politik dalam
masyarakat sepakat untuk bernaung dibawahnya untuk memperjuangkan suatu program tertentu. Program ini biasanya luas dan agak kabur karena harus
memperjuangkan terlalu banyak kepentingan yang berbeda-beda, misalnya Partai Republik dan Partai Demokrat di Amerika Serikat.
37
Perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai yang lahir di luar Parlemen. Partai-partai ini kebanyakan bersandar pada suatu asas atau ideologi
atau Weltanschaung tertentu seperti sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih ketat.
36
Ibid.
37
Ibid.
Pimpinan partai yang sangat sentralistis menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat
anggota yang menyimpang dari garis partai yang telah ditetapkan. Maka dari itu partai semacam itu sering dinamakan Partai Kader, Partai Ideologi, atau Partai
Asas sosialisme, fasisme, komunisme, sosial demokrat. Ia mempunyai Pandangan hidup juga digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin
partai secara sangat ketat dan mengikat, pendidikan kader sangat diutamakan. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota
pimpinan disyaratkan lulus melalui beberapa tahap seleksi. Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi, maka dipungut iuran secara teratur dan
disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan- keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan. Sehingga, partai kader biasanya lebih
kecil dari partai massa.
38
Akan tetapi pembagian tersebut sering dianggap kurang memuaskan karena dalam setiap partai ada unsur lindungan patronage serta
perantara brokerage di samping pandangan ideologi, asas, serta pandangan hidup, sekalipun dalam takaran yang berbeda.
39
Sesudah pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789, ketika raja dengan parlemennya memperebutkan supremasi, para wakil yang duduk dalam Majelis
Nasional Perancis mengelompokkan diri dalam badan tersebut sesuai dengan pandangannya yang extrem. Para wakil yang sangat anti-kerajaan duduk di ujung
38
Ibid., h. 398-399
39
Ibid.
kiri, sedang penduduk setia raja duduk di ujung kanan, dan kelompok-kelompok dengan pandangan yang lebih moderat duduk di antara mereka. Bahkan sekarang
ini diparlemen Perancis dan dalam badan-badan parlemen lain di dunia, partai yang memerintah dan pejabat-pejabat kabinetnya duduk di sisi kanan ketua parlemen,
sedangkan partai-partai oposisi duduk di sisi kirinya. Dewan perwakilan rakyat yang menganut sistem banyak partai, tempat duduk disusun dengan setengah
lingkaran mengelilingi kursi ketua dewan, dan pengunjung yang ada di balkon majelis akan bisa mengenali delegasi partai Komunis yang biasanya duduk di
ujung paling kiri ketua dewan. Dari tempat yang tidak jauh dari ketua, tampak kelompok sosialis duduk di sebelah kanan kelompok komunis. Di Perancis, yang
tradisi partai kirinya amat mewarnai konflik politik negeri itu, para delegasi parlemen kerap melakukan debatan yang sengit mengenai siapa yang harus
didudukan didalam suatu posisi tertentu. Dalam politik, seperti halnya agama, simbol-simbol dan upacara ritual seringkali mengalahkan hakikat kebijakan dan
keyakinan.
40
Jika dewasa ini pengertian ‘kiri’ atau ‘kanan’ digambar dalam suatu spektrum linier, maka terdapat di satu ujung sikap ”extrem kiri” yaitu campur
tangan negara dalam kehidupan sosial dan ekonomi secara total. Sedangkan diujung yang lain sikap “extrem kanan” adalah pendukung pasar bebas secara total.
40
Carlton Clymer Roodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, h. 106.
Dibawah diperlihatkan secara sederhana perbedaan antara ideologi “Kiri” dan “Kanan”.
41
Tabel. 1 Pembedaan ideologi ”Kiri” dan “Kanan”
“KIRI” “KANAN”
• Perubahan, kemajuan • Kesetaraan equality untuk
lapisan bawah • Campur tangan negara dalam
kehidupan sosialekonomi • Hak
• Status quo, konservatif • Privilege untuk lapisan atas
• Pasar bebas • Kewajiban
1. Sejarah dan praktik Ideologi Agama dalam Partai Politik di Indonesia Partai politik pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi
bangkitnya kesadaran nasional. Suasana itu semua organisasi, apakah ia bertujuan sosial Budi Utomo dan Muhammadiyah atau terang-terangan menganut asas
politik-agama Sarekat Islam dan Partai Katolik atau asas politik sekuler PNI dan PKI memainkan peran penting dalam berkembangannya pergerakan nasional.
42
Pada umumnya, baik kalangan Islam maupun kalangan di luar Islam mengakui bahwa ajaran Islam mengandung ideologi. Hal ini dikemukakan antara lain oleh
Soekarno ketika ia memperkenalkan Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Ia anjurkan agar kalangan Islam bekerja keras untuk mengisi melalui pemilihan umum kursi-
kursi dewan perwakilan rakyat sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Soekarno sendiri, walau secara pribadi tidak
41
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 400.
42
Ibid., h. 423
memperjuangkan ini, tidak menafikan pendapat yang mengatakan bahwa ajaran Islam mengandung ideologi.
43
Umumnya partai-partai Islam Masyumi, PSII, NU, Perti dan PPTI berpegang pada pendapat ini. Perumusan bisa berbeda-beda seperti yang telah kita
perhatikan dari Anggaran Dasar tiap-tiap partai, baik dalam pasal yang mengenai asas, maupun maksud dan tujuan. Juga pengambilan paham atau sumber rujukan
bisa berbeda: dari Al-Quran dan Sunnah ataupun dari kitab atau ajaran mazhab tidak berarti mengesampingkan Al-Quran dan Sunnah, karena mereka berpendapat
bahwa 1 ajaran mazhab juga berpangkal pada Al-Quran dan Sunnah. 2 tidak semua orang mampu merujuk langsung pada Al-Quran dan Sunnah.
44
Masalah mazhab dan tidak bermazhab ini sebenarnya telah selesai dalam lingkungan ummat
Islam di Indonesai pada masa sebelum perang. Berbicara dalam rangka partai, masalah ini pun tidak perlu muncul. NU, Perti, dan PPTI berpegang pada
mazhab. Dalam lingkungan partai seperti Masyumi itu soal mazhab tidak merupakan masalah, maka antara berbagai partai Islam itu pun -dipandang dari
ajaran agama Islam- seharusnya tidak ada masalah mazhab. Tetapi kenyataan memperlihatkan sebaliknya, sekurang-kurangnya dalam mencari pengikut secara
politik. Para juru kampanye partai kecuali agaknya PSII dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955 di berbagai tempat tidak bisa melepaskan diri untuk
mendiskreditkan partai Islam lain karena soal mazhab ini. Ini terutama berlaku bagi
43
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, h. 460
44
Ibid., h. 460
Masyumi dalam berhadapan dengan NU, dan Masyumi berhadapan dengan Perti ataupun sebaliknya.
45
2. Sejarah Perkembangan Partai-Partai Politik Islam di Indonesia Pada awal abad 20 sudah ada papol yang diawali oleh organisasi yang
mencantumkan asas dan tujuan dalam kartu anggotannya. Pada mulanya Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta belum mengutamakan
dibidang politik. Anjuran Dokter Wahidin Sudirohusodo tersebut masih menekankan pada bidang pendidikan dan pengajaran. Sebagai “perintis” organisasi
modern. Artinya sudah mencantumkan asas dan tujuan organisasi dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ADART. Oleh karena itu usaha Dokter
Wahidin adalah mengadakan studiefonds. Usaha ini merupakan suatu rintisan untuk mengadakan organisasi yang lebih luas dari soal pengajaran saja. Ini
merupakan ciri khas perjuangan melawan penjajah dan merupakan perubahan dari wujud perlawanan bersenjata menjadi perlawanan yang lebih menekankan pada
bentuk organisasi yang lebih maju, yaitu menggu-nakan perlawanan seperti yang terdapat dinegeri Barat juga. Perkembangan menjadi lebih pesat tatkala Indische
Partij IP memperjuangkan kemerdekaan “Kemerdekaan Indonesia” berdasarkan kebangsaan Indierschap, IP didirikan oleh Dr. E.F.E Douwes Dekker dibandung
pada tanggal 25 Desember 1912.
46
45
Ibid., h. 460-461.
46
P.K. Poerwantana, Partai Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, Cet. Pertama h. 6-7.
Partai politik di Indonesia yang telah berdiri sejak masa kolonial telah menjalani beberapa fase perkembangan sesuai dengan rezim yang membentuknya.
Pada masa kolonial, partai politik lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional.
47
Masa-masa sebelumnya, seperti di era Orde Lama, kekuatan politik Islam juga mengalami keterbelahan, seperti dalam partai Nahdatul Ulama NU,
Majelis Syuro Muslimin Indonesia Masyumi dan kekuatan lain yang lebih kecil, misalnya Persatuan Tarbiyah Islamiyah Kemerdekaan Perti dan Partai Sarekat
Islam Indonesia PSII. Bahkan diera kemerdekaan, fragmentasi sempat terjadi ditengah upaya kaum nasionalis Islam bekerjasama melawan penjajah. Sarekat
Islam SI misalnya, yang oleh Kover dan Deliar Noer, disebut sebagai partai politik pertama di Indonesia.
48
Lantaran kesadaran yang mendalam akan pentingnya memperbaiki komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang
berasaskan Islam, maka K.H. Mas Mansur Muhammadiyah, K.H.A Wahab Chasbullah NU, dan pemimpin-pemimpin Islam lainnya dari SI, Al-Irsyad, Al-
Islam organisasi Islam lokal di Solo, Persyarikatan Ulama Majalengka, Jawa Barat dan lain-lain, telah berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI Majelis
Islam A’la Indonesia di Surabaya pada tanggal 21 September 1937. Inisiatif kearah persatuan dan saling pengertian.
49
Rezim pemerintahan Jepang yang sangat represif bertahan sampai tiga setengah tahun. Semua sumber daya, baik kekayaan
47
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 448.
48
Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2008, Cet. Pertama h. 2.
49
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dan Konstituante Edisi Revisi, Jakarta: LP3ES, 2006, Cet. Pertama, h. 97
alam maupun tenaga manusia, dikerahkan untuk menunjang perang Asia Timur Raya. Dalam rangka itu pula, semua partai dibubarkan dan setiap kegiatan politik
dilarang. Hanya golongan Islam diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan Masyumi, disamping beberapa organisasi baru yang diprakarsai
penguasa.
50
Masyumi yang merupakan satu-satunya organisasi yang dalam masa rezim ini telah memamfaatkan kesempatan tersebut untuk berorganisasi secara
efektif. Hal ini menyebabkan Masyumi muncul sebagai partai yang paling besar pada awal revolusi. Beberapa organisasi dari zaman kolonial yang bergabung
misalnya Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama.
51
Setelah mengalami penerunan peran pada masa pendudukan Jepang, peranan partai politik mengalami masa kejayaan pada masa demokrasi
parlementer. Usaha kearah pembentukan pemerintahan yang demokratis dengan partai politik sebagai pilar utamanya mengalami kegagalan karena demokrasi
berkembang menjadi demokrasi yang tidak terkendali unbridled democracy. Pada saat itu mulailah rezim otoriter yaitu Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi
Pancasila. Pada dua priode ini beberapa pasal dari UUD 1945 diberi tafsiran khusus sehingga dibuka peluang untuk berkembangnya sistem non-demokrasi.
Dalam kedua rezim otoriter ini, partai politik tidak banyak memainkan peran bahkan dapat dikatakan perannya dikooptasi oleh Presiden Soekarno pada masa
50
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 424
51
Ibid., h. 428
Demokrasi Terpimpin dan oleh Presiden Soeharto pada masa Demokrasi Pancasila. Keadaan non-demokratis ini berlangsung selama hampir 40 tahun.
Dalam kaitannya dengan peran partai politik, baik rezim Soekarno maupun Soeharto melihat partai politik sebagai sumber kekacauan dari sistem politik yang
mereka bangun.
52
Jika dilihat dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada zaman demokrasi parlementer, mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan pembangunan antara Jawa dan Luar Jawa. Sejak tahun 1953, ketidakpuasan itu semakin meluas. Kalangan militer - yang juga mengalami
keretakan karena persaingan antara pimpinannya- turut mendorong pergolakan di daerah-daerah yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat. Setelah
pemilu 1955, mulai terlihat tanda-tanda disintegrasi nasional dengan semakin meningkatkannya semangat regionalisme.
53
Setelah meletusnya Gerakan 30 September 1965, pemerintahan Demokrasi Terpimpin runtuh. Kalangan militer yang tampil pada masa awal Orde Baru
berusaha dan berhasil membangun format politik baru di Indonesia. Secara perlahan mulai ditiupkan opini bahwa partai-partai politik adalah “biang keladi”
ketidakstabilan politik dalam negeri dengan segala implikasi- nya. Semangat kurang menyukai partai terlihat dengan jelas dalam kampanye Golkar pada tahun
52
Ibid., h.448
53
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia: Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, Cet.
Pertama, h. 185
1971. Ini pula yang menyebabkan Golkar enggan menyebut dirinya sebagai partai politik, walaupun memenuhi syarat untuk disebut demikian.
54
Fragmentasi dalam politik Islam pasca Orde Baru ternyata tidak lagi berpola klasik antara sub kultur Tradisional versus Modernis. Tapi telah
berkembang lebih kompleks dimana masing-masing sub kultur mengalami keterbelahan pula, seperti antara kubu Substansial versus Formalis. Kaum
Formalis, sebagaimana labelnya, merupakan kelompok yang mengingkan Islam tetap dijadikan ideologi dan partai. Sedangkan, kaum Substansialis menginginkan
Islam tak perlu lagi diformalkan seperti diera Orde Lama, tetapi cukup menjiwai misi dan program partai. Di lingkungan NU, kaum Formalis bersama-sama
membentuk PKU dan PNU, sedangkan, kaum Substansialis bergabung dalam PKB, kendati baru sebatas retorika politik. Pengkotakan dalam dua kubu berhadapan tadi
tidak saja terjadi dalam lingkungan tradisionalis, tetapi juga melanda lingkungan modernis, dimana kaum Formalis ramai-ramai membentuk PK yang sekarang
berubah menjadi PKS. Partai Bulan Bintang PBB, dan lain-lain. Di sisi lain, kaum Substansialis membentuk partai inklusif model Partai Amanat Nasional
PAN, dan sebagainya menjadi pendukung Golkar.
55
Periode reformasi bermula ketika presiden Soeharto turun dari kekuasaan 21 Mei 1998. Sejak itu hari demi hari ada tekanan atau desakan agar diadakan
pembaharuan kehidupan politik kearah yang lebih demokratis. Diharapkan bahwa
54
Ibid., h. 187
55
Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 17
dalam usaha ini kita dapat memamfaatkan pengalaman kolektif selama tiga priode 1945 sampai 1998. Dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat
mendapat kesempatan untuk mendirikan partai. Atas dasar itu pemerintah yang dipimpin oleh B.J. Habibie dan parlemen mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik. Perubahan yang didambakan ialah mendirikan suatu sistem dimana partai-partai politik tidak mendominasi kehidupan politik secara
berlebihan, akan tetapi yang juga tidak memberi peluang kepada eksekutif untuk menjadi terlalu kuat executive heavy sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif
diharapkan menjadi setara atau nevengeschikt sebagaimana diamanatkan dalam UU 1945.
56
Partai politik yang mendaftarkan diri di Dapartemen Kehakiman berjumlah 141 partai. Tetapi setelah diseleksi tidak semuanya dapat mengikuti pemilihan
umum1999. partai politik yang memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum hanya 48 saja. Hasil pemilihan umum 1999 lihat Tabel. 2 menunjukkan
bahwa tidak ada partai yang secara tunggal mendominasi pemerintahan dan tidak ada partai yang memegang posisi mayoritas mutlak yang dapat mengendalikan
pemerintahan. PDIP yang memperoleh suara dan kursi paling banyak 35.689.073 suara dan 153 kursi ternyata tidak dapat menjadikan Megawati Soekarnoputri
ketua umum Presiden RI yang ke-4. dengan adanya koalisi partai-partai Islam dan beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal dengan
poros tengah, posisi PDIP menjadi kalah kuat. Sebagai akibat yang dipilih oleh
56
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 449-450
MPR menjadi presiden adalah pendiri PKB, partai di DPR yang hanya memperoleh 51 kursi, yaitu KH. Abdurrahman Wahid.
57
Tabel. 2 Perolehan suara dan kursi enam besar dalam pemilihan umum 1999
Partai Perolehan suara
Persentase Perolehan
Kursi Persentase
PDIP 35,689.073
33,74 153
33,11
Golkar
23.741.749 22,44
120 25,97
PPP 11.329.905
10,71 58
12,55 PKB
13.336.982 12,61
51 11,03
PAN 7.528.956
7,12 34
7,35 PBB
2.049.708 1,93
13 2,81
Sumber: Komisi Pemilihan Umum RI.
Menjelang pemilihan umum 2004 partai-partai yang perolehan suaranya dalam pemilihan umum 1999 tidak memadai dan yang karena itu tidak dapat
mengikuti pemilihan umum, berbenah lagi untuk dapat ikut. Ada yang bergabung, ada pula yang bermetamorfose menjadi partai baru. Pendek kata, mereka harus
menyesuaikan diri dengan ketentuan UU No. 31 Tahun 2002 tentang partai politik dan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Keenam partai yang disebutkan diatas dengan sendirinya dapat mengikuti pemilihan umum 2004, tanpa di verifikasi lagi. Selain itu, partai yang sudah ada
sejak pemilihan umum 1999, menjelang pemilihan umum 2004 juga bermunculan lagi partai-partai baru. Pada awal 2003, akibatnya jumlah partai politik bertambah
lagi; sampai 237 partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
57
Ibid
.
Manusia. Kemudahan mendirikan partai seperti yang terjadi menjelang pemilihan umum 1999 masih berlangsung saat ini.
58
Dalam usaha untuk mengurangi jumlah partai, ditentukan juga persyaratan yang dinamakan Electoral Threshold. Electoral Threshold ini adalah keadaan yang
harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik yang boleh mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Electoral threshold untuk
pemilihan legislatif 3 dari jumlah kursi di DPR atau 5 dari perolehan suara sah suara nasional.
59
Akan tetapi, pada pemilihan umum 2004 ada dua tahap seleksi yang harus mereka lalui untuk dapat menjadi peserta pemilu. pertama, seleksi yang dilakukan
oleh Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia. Kedua, seleksi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Mereka yang tidak lolos pada seleksi
pertama tidak diperbolehkan mengikuti seleksi tahap kedua. Dari jumlah tersebut yang dapat mengikuti seleksi di KPU hanya 50 partai, sedangkan yang lolos seleksi
tahap kedua sehingga dapat mengikuti pemilihan umum 2004 hanya 24 partai. Dengan demikian pada akhirnya jumlah partai yang mengikuti pemilihan umum
2004 adalah separo dari peserta pemilihan umum 1999.
60
Selain kuantitas, ada hal lain yang patut dicatat dari kehidupan kepartaian di Indonesia pada masa ini hal pertama berkenaan dengan konsilidasi internasional.
58
Ibid., h. 451
59
Ibid.
60
Ibid.
Seperti telah menjadi gejalah umum bahwa kalangan elit partai-partai besar tidak solid setelah pemilihan umum berlalu, dengan berbagai sebab yang melatar
belakangi. Tidak jarang friksi itu kemudian menjadi perpecahan yang berujung pada munculnya pengurus tandingan atau kepengurus ganda, dan ada pula yang
memisahkan diri untuk mendirikan partai baru.
61
Gejala seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Pada masa demokrasi parlementer 1950-an fenomena serupa sudah terjadi. Pada
masa itu elit partai yang meresa tidak terakomodasi didalam kabinet, misalnya, dapat dengan mudah memisahkan diri untuk kemudian mendirikan partai baru.
Untuk masa yang akan datang kemungkinan mendirikan partai baru oleh elit yang kecewa dapat diperkecil karena beratnya persyaratan yang telah ditetapkan dalam
UU. Pengalaman seleksi partai menjelang pemilihan umum 2004 menunjukkan dengan jelas betapa beratnya persyaratan bagi sebuah partai untuk dapat menjadi
peserta pemilihan umum. Akan sia-sia saja mendirikan partai jika tidak memenuhi standar sehingga tidak dapat mengikuti pemilihan umum.
Hal kedua berkenaan dengan adanya kebebasan dalam hal asas. sebelumnya, dalam UU No. 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan
Karya ditegaskan bahwa Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua partai dan Golkar, tanpa embel-embel lain. Sebaliknya UU No. 2 Tahun 1999, 31
Tahun 2002, dan UU yang terbaru sekarang yaitu No. 2 Tahun 2008 memberikan kebebasan kepada partai politik untuk menggunakan asas lain selain Pancasila.
61
Ibid.
Oleh karena itu bermunculanlah partai-partai politik yang berasas lain seperti nasionalisme ataupun keagamaan. Hal ketiga berkenaan dengan hubungan sipil-
militer. Salah satu hal yang membedakan priode reformasi dengan sebelumnya adalah semangat untuk menghapuskan peran militer dalam politik. Hal ini
mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan kepartaian. Jika masa Orde Baru militer dan Pegawai Negeri Sipil tidak dibenarkan menjadi anggota partai
politik namun secara diam-diam merupakan pendukung setia Golkar sesuai dengan prinsip mono-loyalitas, pada masa pasca Orde Baru banyak tokoh
purnawirawan militer yang menjadi fungsionaris atau pemimpin partai.
62
Hal keempat berkenaan dengan masuknya orang-orang yang berlatar belakang politik menjadi elit partai politik. Diantara mereka ada yang berasal dari
kalangan pengusaha, akademisi, ulama, ataupun seniman. Gejalah ini sebenarnya sudah terjadi menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru, tetapi pada masa
reformasi terjadi percepatan secara signifikan. Namun sejauh ini masih terlalu dini untuk memberikan penilaian mengenai apa dan bagaimana warna yang diberikan
oleh para politisi baru itu.
63
Pemilihan yang dilaksanakan 7 Juni 1999 itu juga memunculkan hasil yang polanya mirip dengan pemilihan umum 1955, yaitu hanya ada sejumlah kecil partai
politik yang memperoleh dukungan besar. Hanya 5 partai yang memperoleh dukungan seperti itu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP, Partai
62
Ibid.
63
Ibid., h. 452-453
Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan PPP, dan Partai Amat Nasional PAN. Ada beberapa partai yang cukup berpengaruh
tetapi tidak cukup besar perolehan suara atau kursinya, seperti Partai Keadilan PK dan Partai Bulan Bintang PBB. lihat, Tabel. 3. Sedangkan sebagian besar
yang lain hanya memperoleh jumlah kursi yang tidak signifikan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR. Dengan menentukan syarat-
syarat untuk menjadi peserta ditambah dengan ketentuan Electoral Threshord jumlah partai yang duduk dalam DPR dapat dikurangi secara alamiah.
64
Seperti pemilihan umum 1999, hasil pemilihan umum 2004 juga mengeliminasi sejumlah partai dan memunculkan beberapa partai besar. Ada tujuh
partai yang sama sekali tidak memiliki kursi,
65
yaitu; PBS, Partai Merdeka, PPIB, PPNUI, Partai Patriot Pancasila, PSI, PPD. Tujuh partai yang memenuhi Electoral
Thershord karena memperoleh sekurang-kurangnya untuk memilih legislatif 3 dari jumlah kursi di DPR dan untuk memilih presiden dan wakil presiden 3 dari
jumlah kursi di DPR 5 dari perolehan suara sah suara nasional, dan 10 partai lainnya memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi Electoral Thershold. Tujuh partai
yang tidak memperoleh kursi dan 10 partai lainnya memperoleh kursi tetapi tidak memenuhi Electoral Thershold tersebut jelas tidak dapat mengikuti pemilihan
umum 2009 kecuali harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan UU. Dengan demikian pemilihan umum telah menjadi sarana pengurangan jumlah
64
Ibid.
65
Ibid.
partai secara alamiah.
66
Pada pemilihan umum 2004 jumlah kursi di DPR yang diperebutkan adalah 550 kursi, jumlah pemilih terdaftar 148.000.369, jumlah suara
sah 133.487.617. Tabel. 3 Perolehan Suara dan Kursi Tujuh Besar dalam Pemilihan Umum
Legislatif 2004.
67
Nama Partai Suara
Persentase Kursi
Persentase Golkar
24.480.757 21,58
128 23,27
PDIP 21.026.629
18,53 109
19,81 PKB
11.989.564 10,57
52 9,45
PPP 9.248.764
8,15 58
10,54
P Demokrat 8.455.225
7,45 57
10,36 PKS
8.325.020 7,34
45 8,18
PAN 7.303.324
6,44 25
4,54
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Sejarah perkembangan partai politik Indonesia 1908-2006 secara ringkas dituangkan dalam tabel berikut:
68
Tabel. 4 Sejarah Perkembangan Partai Politik Indonesia 1908-2006
Periode Pemerintahan
Sistem Pemerintahan Sistem Partai
1908-1942 Zaman Kolonial
Sistem Multi Partai 1942-1945
Zaman Pendudukan Jepang Partai politik dilarang
1945-1959 Zaman Demokrasi Parlementer
A. Masa Perjuangan 17Ags-14 Nop 1945
1. Sistem Presidensil; UUD 1945 Satu partai PNI
14 Nop 1945- 1949 2. Sistem Parlementer; UUD 1945 Sistem multi-partai
66
Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 268
67
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, h. 454
68
Ibid.
1949-1950 3. Sistem Parlementer; UUD RIS
Sistem multi-partai B.
Masa Pembangunan
Building Nation 1950-1955
4. Sistem Parlementer; UUD 1950 Sistem multi-partai.
Pemilihan umum 1955 menghasilkan
27 partai dan 1 perorangan yang
memperoleh kursi di DPR
1955-1959 5. Sistem Parlementer
Sistem multi-partai Periode Pemerintahan
Sistem Pemerintahan Sistem Partai
1959-1965 Demokrasi Terpimpin; UUD 1945
1. 1959 Maklumat Pemerinta-
han 3 Nopember 1945 Dicabut.
Diadakan Penyederhanaan Partai
Sehingga Hanya Ada 10 Partai Yang Diakui:
PKI, PNI, NU, Partai Katolik,
Partindo, Par- kindo, Partai Murba,
PSSI Arujdi, IPKI dan Perti. Masyumi dan
PSI dibubarkan pada tahun 1960.
2. 1960 Dibentuk Front Nasio-
nal yang
mewakili semua
kekuatan poli- tik. PKI masuk berda-
sarkan prinsip Nasa- kom. ABRI masuk
lewat IPKI.
1965-1998 Demokrasi Pancasila; UUD 1945
1. 1966 PKI
dan Partindo
dibubarkan 2. 27 Juli 1967
Konsensus Nasional
a.l. 100 anggota DPR diangkat.
3. 1967-1969 Eksperimen dwi-partai
dan dwi-group dilaku- kan di beberapa kabu-
paten di Jawa Barat, namun
dihentikan pada awal 1969.
Periode Pemerintahan Sistem Pemerintahan
Sistem Partai 4. 1971
Pemilihan umum
dengan 10 Partai 5. 1973
Penggabungan partai menjadi 3 partai yaitu
Golkar, PDI, dan PPP. 6. 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997 Pemilihan
umum hanya diikuti oleh tiga
orsospol Sistem
multi-partai terbatas PPP, Golkar, dan PDI.
7. 1982 Pancasila satu-satunya
asas. 8. 1984
NU Khittah. 9. 1996
PDI pecah 1998 21 Mei ...
Reformasi; UUD 1945 yang diamandemen
1. 1999 Juni 2. 2004 April
Kembali Ke Sistem Multi-Partai.
Pemilu Dengan 48 Partai; 7
Partai Masuk DPR Yaitu Partai Golkar,
PDIP, PKB,
PPP, Partai Demokrat, PKS,
dan PAN
C. Fungsi Partai Politik dalam Organisasi Negara