Perumusan Masalah Kegunaan Penelitian Kerangka Penelitian

lahan di kawasan hutan yang menjadi sumber dari terbentuknya bahan bakar. Selain itu, dengan teknologi tersebut juga dapat membantu untuk pemantauan suhu permukaan yang menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan. Pemanfaatan teknologi SIG dalam pembuatan peta rawan kebakaran hutan merupakan hasil dari proses analisis spasial yang tersusun dari peta bahaya kebakaran hutan dan peta pemicu kebakaran hutan. Peta bahaya kebakaran didasarkan pada data cuaca, kondisi geografis, dan jenis vegetasi, sehingga lebih berhubungan dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran. Sedangkan peta pemicu kebakaran merupakan peta interaksi sosial dari budaya manusia terhadap alam lingkungannya yang berkemungkinan dapat menimbulkan api akibat dari interaksi manusia tersebut. Hasil dari pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan tersebutlah yang menjadi acuan sebagai analisis arah kebakaran hutan di TN Baluran. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul Pemodelan Spasial Arah Penyebaran Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur Bulan Oktober Tahun 2014.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana agihan potensi rawan kebakaran hutan di Kawasan Taman Nasional Baluran ? 2. Bagaimanakah model spasial arah penyebaran kebakaran hutan di Kawasan Taman Nasional Baluran bulan Oktober tahun 2014? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui agihan potensi kebakaran hutan di Kawasan Taman Nasional Baluran . 2. Memodelkan secara spasial arah penyebaran kebakaran hutan di Kawasan Taman Nasional Baluran bulan Oktober tahun 2014.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Bagi Peneliti Penelitian ini merupakan wujud implementasi dari ilmu yang telah dipelajari selama proses belajar serta apabila dikaji lebih jauh dapat digunakan untuk mengetahui prediksi luasan dari kebakaran hutan dan luasan area yang terancam terkena kabut asap di Indonesia. 2. Bagi Masyarakat Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat agar mengetahui daerah yang berpotensi terjadi kebakaran hutan sehingga dapat lebih berhati-hati ketika berada di kawasan hutan tersebut. 3. Bagi Pemerintah Penelitian ini khususnya pada bab kajian analisis arah penyebaran kebakaran hutan apabila dimonitoring setiap saat perubahan suhu permukaan tanah di Kawasan Taman Nasional Baluran dapat dijadikan prediksi arah kebakaran hutan yang terjadi.

1.5 Telaah Pustaka Dan Penelitian Sebelumnya

1.5.1 Curah Hujan

Curah hujan pada suatu wilayah berpengaruh pada tingkat kekeringan di suatu wilayah tersebut. Sehingga akan meningkatkan tingkat dari bahaya kebakaran hutan di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan oleh peningkatan dari bahan bakar atau bahan yang mudah terbakar seperti dedaunan yang telah kering serta penurunan dari kadar air yang berdampak pada penurunan dari kelembaban hutan. Minimnya kandungan kadar air di wilayah hutan baik pada bahan bakar ataupun pada tegakannya membuat hutan sangat berisiko terbakar mudah terbakar. Dalam tingkatan susunan faktor pengaruh terjadinya kebakaran hutan curah hujan berada pada tingkatan paling tinggi. Hal tersebut berarti curah hujan sangatlah berpengaruh pada potensi kebakaran hutan serta dapat diartikan juga terjadinya kebakaran hutan sangat tergantung kondisi curah hujan diwilayah tersebut Puspitasari 2011. Wilayah yang mempunyai kondisi rawan kebakaran tinggi yang ditinjau dari segala faktor penyebab kebakaran hutan apabila wilayah tersebut memiliki kondisi curah hujan yang tinggi maka dapat dipastikan kebakaran hutan tidak akan terjadi semasa itu. Besarnya pengaruh dari kondisi curah hujan di suatu wilayah terhadap kebakaran hutan menjadikan faktor tersebut sebagai tinjauan penting yang harus selalu di pantau. Mengingat curah hujan yang cenderung tidak konstan setiap tahunnya di zaman sekarang akibat adanya anomali iklim dari berbagai dampak seperti pemanasan global membuat curah hujan tidak lagi bisa dihitung dengan menggunakan sistem kalender melainkan pemantauan dan pengukuran tiap minggu, bulan, hingga tahun. Di Indonesia anomali iklim merupakan imbas dari fenomena El Lino dan La Lina yang membuat musim penghujan menjadi semakin lama atau musim kemarau menjadi semakin panjang. Perubahan musim inilah yang berdampak pada kondisi curah hujan di wilayah Indonesia yang selalu berubah-ubah Handajani 2005. Mengingat hal tersebut maka pemantauan atau monitoring harus selalu dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi curah hujan untuk mengetahui kondisi tingkat bahaya kebakaran hutan di wilayah tersebut.

1.5.2 Suhu Permukaan Tanah

Tinggi rendahnya suhu temperatur di permukaan bumi sangat mempengaruhi tingkat dari bahaya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan dengan meningkatnya suhu dipermukaan bumi yang didukung dengan kondisi curah hujan yang rendah pada suatu wilayah, maka bahan bakar akan mudah untuk terbakar. Tinggi rendahnya suhu permukaan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui kadar air pada penutup lahan Puspitasari 2011. Suhu tinggi dapat memberikan informasi bahwa pada penutup lahan tersebut memiliki kadar air yang rendah sehingga memiliki potensi rawan kebakaran yang tinggi. Sedangkan untuk suhu yang rendah kadar air pada penutup lahan memiliki kadar yang lebih tinggi sehingga potensi rawan kebakarannya juga lebih rendah. Suhu sendiri dalam penelitian ini diperoleh dari pengolahan Citra Landsat 8 saluran 10 dan 11 yang merupakan saluran untuk sensor TIR Thermal Infra Red . Citra tersebut selanjutnya akan diolah menggunakan software Envi 4.5 dengan menggunakan metode single band Arifin dan Muljo 2012. Dalam proses pengolahannya untuk dapat memperoleh informasi suhu di perlukan perhitungan secara matematis dengan menggunakan rumus algoritma untuk jenis Citra Landsat 8. Dimana untuk rumus dari algoritma tersebut seperti berikut ini : Rumus Konversi Nilai Pixel ke TOA Top of Atmosphere Radian L λ = M L Q cal + A L Dimana : L λ = TOA spectral radiance watts m 2 × srad × µm M L = Band-specific multiplicative rescaling factor from the metadata Q cal = Digital Number DN A L = Band-specific additive rescaling factor from the metadata Sumber: United States Geological Survey 2015 Rumus Konversi Nilai Radian ke Brightness Temperature Dimana : T = Brightness Temperature o K L λ = TOA spectral radiance watts m 2 × srad × µm K 1 = Band-specific thermal conversion constant from the metadata K 2 = Band-specific thermal conversion constant from the metadata Sumber: United States Geological Survey 2015

1.5.3 Jenis Penutup Lahan

Komponen utama atau bahan dari kebakaran hutan ialah jenis penutup lahan. Hal ini dikarenakan tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar tersebut berasal dari penutup lahan seperti contoh: Pohon Jati yang sedang meranggas karena pengaruh suhu dan curah hujan akan menggugurkan daunnya, daun tersebut akan mengering dan menjadi bahan bakar yang akan mudah terbakar bila tersulut api Puspitasari 2011. Berbeda dengan penutup lahan yang hanya sebatas tanah terbuka yang tidak menghasilkan bahan bakar maka sangat rendah akan potensi bahaya kebakaran. Jenis pohon atau tanaman di hutan juga memiliki karakteristik tersendiri akan rentannya terbakar oleh api. Kerentanan tersebut merupakan kondisi pohon atau tanaman yang memiliki tingkat kemampuan dalam menjaga kandungan air dalam dirinya. Dapat diambil contoh seperti semak belukar yang merupakan tanaman lantai pada hutan karena tumbuhnya menutupi permukaan tanah hutan. Semak belukar sendiri merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki kemampuan rendah dalam menyimpan air. Ketika musim kemarau telah tiba dengan kondisi curah hujan yang rendah semak belukar akan cenderung kering. Hal tersebut membuat hutan menjadi lebih rentan terjadi kebakaran karena kebakaran hutan sebagian besar bermula dari terbakarnya semak belukar atau lantai hutan yang selanjutnya merambat pada batang pohon hingga terjadinya kebakaran kanopi Sari Hasibuan 2011. Mengingat hal tersebutlah maka dalam mengkaji tentang kawasan rawan kebakaran hutan perlu mengetahui jenis tanaman hutan yang rentan terbakar yang terangkum pada jenis penutup lahan.

1.5.4 Jarak Jalan

Jarak jalan terhadap hutan dalam penelitian ini merupakan parameter penyusun dalam peta pemicu kebakaran hutan. Arianti 2006 menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Mengingat hal tersebut maka dengan adanya parameter ini berfungsi untuk menunjukan keterkaitan antara interaksi manusia dengan hutan yang mampu menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Hal ini dikarenakan dengan dekatnya jarak jalan terhadap hutan akses menuju hutan disekitar jalan pun juga akan bertambah mudah dan aktivitas di dalam hutan dapat menjadi sering Puspitasari 2011. Sehingga tindakan ceroboh ketika sedang berkendara seperti membuang puntung rokok diluar area jalan hutan di sekitar jalan akan memicu timbulnya api yang berakhir dengan kebakaran hutan. Selain itu, dengan adanya akses jalan tersebut dapat mempermudah masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan hutan. Interaksi tersebut dapat berdampak buruk akibat dari kelalaian masyarakat yang menyebabkan timbulnya api sebagai pemicu kebakaran hutan. Adanya akses jalan menuju hutan akan menambah keluwesan para perusak hutan yang tidak bertanggungjawab akan ulahnya yang membuat kerawanan kebakaran hutan diwilayah tersebut menjadi semakin rawan.

1.5.5 Peta Bahaya Kebakaran Hutan

Merupakan peta yang menunjukan wilayah dari kawasan hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran. Pengertian bahaya sendiri adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan Bappenas 2012. Dapat dikatakan dalam pengertian tersebut bahaya merupakan suatu kejadian yang diakibatkan oleh alam maupun manusia yang berpotensi menimbulkan ancaman bagi kehidupan manusia dan merusak lingkungan. Bahaya dalam penelitian ini merujuk pada kejadian yang diakibatkan oleh faktor alam yang mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan. Peta bahaya kebakaran hutan ini lebih mendasarkan pada tingkat bahaya kebakaran hutan secara alami yang terjadi akibat dari kondisi iklim, suhu, dan jenis dari penutup lahannya. Dalam penelitian ini parameter penyusun peta bahaya kebakaran hutan meliputi curah hujan, hotspot dalam bentuk area, dan jenis penggunaan lahan.

1.5.6 Peta Pemicu Kebakaran Hutan

Merupakan peta yang menyajikan informasi mengenai faktor pemicu kebakaran hutan yang disebabkan oleh interaksi kegiatan manusia dengan alam. Atau dengan kata lain kebakaran hutan yang di akibatkan oleh kelalaian manusia baik yang di sengaja maupun yang tidak. Maksud dari pemicu dalam kebencanaan sendiri ialah segala aktivitas alam ataupun sosial yang mampu membuat daerah bahaya bencana menjadi rawan bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu Puspitasari 2011. Pada penelitian ini pemicu kebakaaran hutan adalah aktivitas sosial dari interaksi manusia terhadap hutan. Hal tersebut dikarenakan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia hampir sebagian besar terjadi murni dari kesalahan manusia baik yang disengaja mapun tidak. Adanya fakta tersebutlah dalam penentuan faktor pemicu kebakaran hutan diambilah mengenai aktivitas manusia. Dalam menggambarkan aktivitas manusia terhadap hutan untuk bisa ditampilkan dalam bentuk peta maka aktivitas manusia tersebut dikaji dengan melakukan pendekatan tentang aksesibilitas menuju hutan. Aksesibilitas menuju hutan tersebut dapat dikaji dengan akses jalan yang dapat digunakan untuk memasuki hutan. Akses tersebut dapat dipetakan dengan menggunakan analisis spasial untuk didapat gambaran jarak jalan terhadap hutan yang mampu memicu terjadinya kebakaran hutan.

1.5.7 Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan

Merupakan peta dalam bentuk area yang menyajikan lokasi dari kawasan hutan pada suatu daerah yang rawan akan kebakaran hutan. Rawan bencana sendiri dapat diartikan kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menghadapi dampak buruk bahaya tertentu Bappenas 2012. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa rawan bencana terdiri dari beberapa aspek baik alam maupun sosial yang mampu mengurangi kemampuan untuk mencegah dan menghadapi dampak buruk dari bahaya atau bencana tertentu. Peta rawan kebakaran hutan disajikan dalam tingkatan kerawanan berdasarkan gradasi warna yang menyampaikan informasi kerawanan akan kebakaran hutan. Peta tersebut tersusun dalam 2 dua informasi peta atau hasil dari overlay gabungan peta bahaya kebakaran dan peta pemicu kebakaran. Peta bahaya kebakaran sendiri berfungsi untuk menunjukkan rawannya kawasan hutan untuk terjadi kebakaran hutan secara alami. Dan hal tersebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan akibat interaksi manusia dengan hutan yang di informasikan pada peta pemicu kebakaran Puspitasari 2011.

1.5.8 Analisis Arah Kebakaran Hutan

Arah kebakaran hutan pada dasarnya dipengaruhi oleh arah dari hembusan angin. Arah angin sendiri agar dapat dianalisis secara spasial maka perlu dilakukan pendekatan dengan suhu permukaan di wilayah rawan kebakaran hutan. Hal tersebut dapat dilakukan karena angin bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Daerah bertekanan tinggi memiliki suhu permukaan yang rendah sedangkan daerah yang bertekanan rendah memiliki suhu yang jauh lebih tinggi. Konsep tersebut dapat dirumuskan bahwa angin bergerak dari daerah bersuhu rendah menuju daerah bersuhu lebih tinggi. Konsep analisis tersebutlah yang dijadikan sebagai acuan serta pendekatan dalam menganalisis arah kebakaran hutan. Secara singkatnya analisis arah kebakaran hutan dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama merupakan analisis pergerakan arah angin yang ditentukan dari data suhu permukaan tanah. Analisis arah angin dengan konsep pendekatan yang ada selanjutnya akan digambarkan dalam bentuk line dengan tipe keluaran petanya berjenis flow map. Hasil dari pemetaan arah angin tersebut akan digunakan sebagai bahan dalam menganalisis arah kebakaran hutan dengan menggabungkan data hasil pemetaan kerawanan kebakaran hutan yang menjadi tahapan kedua. Agar diketahui model penyebaran apinya di hutan tersebut maka dilakukan sampling titik api secara random dan dilakukan modeling penyebaran kebakaran hutan tersebut.

1.5.9 Pemodelan Analisis Spasial

Pemodelan pada dasarnya merupakan rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik seperti bentuk prototipe atau model citra seperti gambar rancangan dan lainnya. Sedangkan untuk pemodelan analisis spasial merupakan representasi dari keadaan nyata dilapangan yang digambarkan melalui hasil dari analisis spasial. Sehingga hasil dari suatu model analisis spasial memiliki nilai fakta yang dapat dipertanggungjawabkan karena data spasial sendiri adalah data keadaannyata di lapangan. Pembuatan model analisis spasial tidaklah lepas dengan adanya Sistem Informasi Geografis SIG. Hal tersebut dikarenakan pemodelan analisis spasial merupakan salah satu hasil dari pemanfaatan teknologi SIG itu sendiri. Terdapat beberapa model spasial analisis baru yang sudah mulai dikembangkan namun beberapa model analisis spasial seperti overlay, buffer, dan interpolasi adalah beberapa model yang sudah umum digunakan. Dimana model overlay analysist merupakan proses penyatuan data dari lapisan layer yang berbeda menjadi satu layer yang baru. Secara sederhana overlay disebut sebagai operasi visual yang membutuhkan lebih dari satu layer untuk digabungkan menjadi satu. Sedangkan untuk model buffer analysist memiliki fungsi untuk menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau area dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Berbeda dengan Buffer analysist yang mengaju pada pemodelan jarak Interpolation analyst mengaju pada observasi disuatu tempat atau titik. Dimana Interpolasi sendiri adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang dan atribut ini saling berhubungan secara spasial Anderson 2001 dalam Dewi 2012. Secara keseluruhan tiap model analisis spasial memiliki fungsi yang berbeda-beda sehingga dengan memanfaatkan teknologi SIG dalam melakukan pemodelan analisis spasial dapat membantu dalam berbagai proses kajian spasial tematik.

1.5.10 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh ialah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang telah diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji Sutanto 1986 dalam Wahyu Wibowo 2013. Alat yang dimaksud ialah alat pengindera atau sensor. Pada umumnya sensor dipasang pada wahana platform yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lainnya. Hasil dari perekaman sensor tersebut berupa data penginderaan jauh. Data harus diterjemahkan menjadi informasi tentang obyek, daerah atau gejala yang diindera. Proses dari penenrjemahan data menjadi informasi tersebut disebut dengan analisis atau interpretasi data. Komponen atau parameter yang terdapat dalam penginderaan jauh meliputi beberapa hal di bawah ini : a. Sumber Tenaga Terdapat dua macam sumber tenaga yang digunakan dalam penginderaan jauh.Kedua sumber tenaga tersebut meliputi sumber tenaga aktif dan sumber tenaga pasif. Sumber tenaga pasif diperoleh secara alami oleh sensor, sebagai contoh tenaga yang berasal dari sinar matahari, emisipancaran suhu benda- benda permukaan bumi.Sumber tenaga dari matahari mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu jam, musim, lokasi dan kondisi cuaca.Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan perubahan musim. Pada musim di saat matahari berada tegak lurus di atas suatu tempat, jumlah tenaga yang diterima lebih besar diterima dibandingkan dengan pada musim lain di saat kedudukanya condong terhadap tempat itu. Tempat-tempat di ekuator menerima tenaga lebih banyak di bandingkan dengan tempat-tempat di lintang tinggi. Untuk waktu dan letak yang sama, jumlah sinar yang mencapai bumi dapat berbeda bila kondisi cuaca berbeda. Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap dan awan, maka akan semakin sedikit tenaga yang dapat mencapai bumi. Sedangkan sumber tenaga aktif ialah sensor secara aktif menyediakan energi sendiri dengan mengeluarkan sinyal terhadap obyek.Tenaga yang datang diterima oleh sensor dapat berupa tenaga pantulan maupun tenaga pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi. b. Atmosfer Amosfer membatasi bagian spektrum elektromagnetik yang dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Pengaruh tersebut merupakan fungsi panjang gelombang yang bersifat selektif. c. Interaksi antara Tenaga dan Obyek Tiap obyek memiliki karakteristik tertentu dalam memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek dilakukan dengan mengamati karakteristik spektral obyek terhadap masing-masing panjang gelombang yang digunakan yang tergambar pada citra. d. Sensor Tenaga yang datang dari obyek di permukaan bumi diterima dan direkam oleh sensor. Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kemampuan sensor untuk menyajikan gambaran obyek terkecil disebut resolusi spasial yang menunjukkan kualitas sensor. e. Perolehan Data Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yaitu dengan interpretasi visual, dan dapat pula secara digital yaitu dengan menggunakan komputer. f. Pengguna Data Pengguna data merupakan komponen penting dalam penginderaan jauh. Kerincian dan kesesuaiannya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan diterima tidaknya data penginderaan jauh oleh para penggunanya. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan citra Landsat 8 serta dalam pengolahannya menggunakan salah satu software atau piranti lunak untuk pengolahan citra yaitu Envi 4.5. Dimana citra satelit serta software pengolahan citra tersebut mempunyai spesifikasi sebagai berikut:

1.5.10.1 Citra Landsat 8

Satelit Landsat-8 diluncurkan oleh NASA pada tanggal 11 Februari 2013 bertempat di Vandenberg Air Force Base, California. Satelit dengan resolusi radiometrik 16 bit ini terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi yang mampu mengorbit bumi setiap 99 menit dan merekam daerah yang sama setiap 16 hari resolusi temporal. Landsat 8 memiliki area scan seluas 170 km x 183 km. Dibandingkan dengan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khususnya terkait spesifikasi band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue RGB. Dengan makin banyaknya band sebagai penyusun RGB komposit, maka warna-warna obyek menjadi lebih bervariasi. Hal ini di karenakan Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager OLI dan Thermal Infrared Sensor TIRS dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal band 1-9 berada pada OLI dan 2 lainnya band 10 dan 11 pada TIRS United States Geological Survey 2015. Tabel 1.1 Spesifikasi Band pada Citra Landsat 8 Bands Wavelength micrometers Resolution meters Band 1 – Coastal aerosol 0,43 – 0,45 30 Band 2 – Blue 0,45 – 0,51 30 Band 3 – Green 0,53 – 0,59 30 Band 4 – Red 0,64 – 0,67 30 Band 5 – Near Infrared NIR 0,85 – 0,88 30 Band 6 – SWIR 1 1,57 – 1,65 30 Band 7 – SWIR 2 2,11 – 2,29 30 Band 8 – Panchromatic 0,50 – 0,68 15 Band 9 – Cirrus 1,36 – 1,38 30 Band 10 – Thermal Infrared TIRS 1 10,60 – 11,19 100 Band 11 – Thermal Infrared TIRS 2 11,50 – 12,51 100

1.5.10.2 Piranti Lunak Envi 4.5

ENVI The Environment For Visualizing Images merupakan suatu image processing system yang revolusioner yang dibuat oleh Research System Inc RSI. Dari permulaannya ENVI dirancang untuk kebutuhan yang banyak dan spesifik untuk mereka yang secara teratur menggunakan data penginderaan jauh dari satelit dan pesawat terbang. ENVI menyediakan data visualisasi yang menyuluruh dan analisis untuk citra dalam berbagai ukuran dan tipe, semuanya Sumber: United States Geological Survey 2015 dalam suatu lingkungan yang mudah dioperasikan dan inovatif untuk digunakan. ENVI menggunakan Graphical User Interface GUI. ENVI menggunakan format data raster dan Ascii text sebagai header file. Data raster disimpan sebagai binary stream of bytes berupa format Band Sequential BSQ, Band Interleaved by Pixel BIP dan Band Interleaved by Line BIL. ENVI juga mendukung berbagai tipe format lainnya seperti : byte, integer, long integer, floating-point, double-precision, complex dan double-precision complex. ENVI memiliki tiga jendela utama yaitu The Main Display Window yaitu untuk menampilkan semua tampilan citra dalarn full resolution yang dibatasi oleh kotak pada scroll, The Scroll Window yaitu untuk menampilkan seluruh citra pada file, dan The Zoom Window yaitu untuk menampilkan perbesaran dari main display window yang dibatasi oleh kotak pada window Fauzi 2005. 1.5.11 Sistem Informasi Geografis SIG ialah suatu sistem yang tersusun dari tahapan input, proses, dan output dimana dalam pengoprasiaannya menggunakan komputer serta seluruh datanya memiliki koordinat agar sesuai posisi realita di lapangan. Input dalam SIG merupakan data yang menjadi bahan untuk tahap pemrosesan. Dimana data dalam SIG berupa data vektor yang terbagi menjadi tiga macam yaitu: point, line, dan polygon. Data point berfungsi untuk menunjukkan lokasi atau objek dalam bentuk titik seperti objek pasar, sekolah, tempat wisata dan lain-lain. Selanjutnya untuk data line berfungsi untuk menggambarkan objek dalam bentuk garis seperti contoh: sungai, jalan, kontur, dan lain-lain. Sedangkan untuk data polygon berfungsi untuk menggambarkan objek dalam bentuk area yang memiliki informasi luasan dan keliling seperti contoh: permukiman, kawasan hutan, persawahan, dan lain-lain. Tahap pemrosesan pada SIG merupakan tahap pengolahan data untuk mencapai tujuan dari aplikasi SIG itu sendiri Hery Purwanto 2012. Dalam tahap ini data diolah menggunakan berbagai macam tool seperti: overlay, buffer, merge, dissolve, dan lainnya. Tahap terakhir dalam SIG ialah output yang merupakan tahap dalam penyajian peta. Dimana seluruh hasil pada tahap pemrosesan disajikan semenarik mungkin sesuai dengan ilmu kartografi untuk di jadikan sebuah peta yang memiliki informasi agar dapat mempermudah pembaca peta dalam mencari informasi. Dalam penelitian ini menggunakan salah satu software SIG dari ESRI yaitu Arcgis 10.1 untuk pengolahan data spasial agar menjadi sebuah peta. Dimana spesifikasi dari software atau piranti lunak tersebut tertera sebagai berikut:

1.5.11.1 Piranti Lunak Arcgis Dekstop

ArcGIS 10.1 mulai dirilis oleh Esri pada awal tahun 2012 dengan bertemakan Sharing and Collaboration, dimana pengguna akan menemukan bahwa versi ini akan lebih memudahkan untuk analisis geospasial dan pemetaan pada lebih banyak pengguna tanpa pengguna tersebut harus ahli dalam GIS. ArcGIS merupakan Software pengolah data spasial yang mampu mendukung berbagai format data gabungan dari tiga software yaitu ArcInfo, ArcView dan ArcEdit yang mempunyai kemampuan komplet dalam geoprocessing, modelling dan scripting serta mudah diaplikasikan dalam berbagai type data. Dekstop ArcGis terdiri dari 4 modul yaitu Arc Map, Arc Catalog, Arc Globe, dan Arc Toolbox dan model bolder Hery Purwanto 2012. a. Arc Map mempunyai fungsi untuk menampilkan peta untuk proses, analisis peta, proses editing peta, dan juga dapat digunakan untuk mendesain secara kartografis. b. Arc Catalog digunakan untuk management data atau mengatur managemen file – file, jika dalam Windows fungsinya sama dengan explor. c. Arc Globe dapat digunakan untuk data yang terkait dengan data yang universal, untuk tampilan 3D, dan juga dapat digunkan untuk menampilkan geogle earth. d. Model Boolder digunakan untuk membuat model boolder diagram alur. e. Arc Toolbox digunakan untuk menampilkan tools – tools tambahan.

1.5.12 Penelitian Sebelumnya

Tabel 1.2 Daftar Penelitian Sebelumnya Peneliti Tahun Iin Arianti 2006 TESIS Rina Puspitasari 2011 MAKALAH Dydik Setyawan 2013 TUGAS AKHIR Judul Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan SIG di Sub Das Kapuas Tengah Provinsi Kalimantan Barat Pemetaan Potensi Kebakaran Hutan pada Kawasan Hutan di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011 Pemetaan Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Di Kawasan Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur Tahun 2013 Tujuan Mengetahui pola kebakaran hutan dan lahan di Sub Das Kapuas dengan menggunakan SIG Sebagai bahan pertimbangan dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Banyuwangi Mengetahui sebaran potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur tahun 2013 Lokasi Sub Das Kapuas Tengah Provinsi Kalimantan Barat Kabupaten Banyuwangi Taman Nasional Baluran, Kabupaten Situbondo Metode Penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode berjenjang dimana parameter penyusun memiliki skor sesui dengan klasifikasinya yang berfungsi untuk mengkaji tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan Penelitian ini menggunakan metode berjenjang dalam analisis spasialnya dimana tiap parameter penyusun diberikan skor sesuai dengan kerentanannya yang mampu menyebabkan kebakaran hutan Penelitian ini menggunakan metode berjenjang tertimbang dimana dalam proses analisisnya dilakukan perpaduan antara teknologi PJ dan SIG untuk mendapatkan zonasi tingkat kerawanan kebakaran hutan Hasil Model Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Sub Das Kapuas Tengah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2006 Peta Sebaran Rawan Kebakaran Kawasan Hutan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011 Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Kawasan Taman Nasional Baluran Di Kabupaten Situbondo Tahun 2013

1.6 Kerangka Penelitian

Model arah penyebaran kebakaran hutan dapat dianalisis dengan melakukan beberapa tahapan pemrosesan yang menggunakan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Pada tahapan pemrosesan pertama dilakukan pembuatan peta rawan kebakaran hutan dimana konsep dari pembuatan peta tersebut yaitu penggabungan dari peta bahaya kebakaran hutan dengan peta pemicu kebakaran hutan. Peta bahaya kebakaran hutan sendiri tersusun dari parameter curah hujan, suhu permukaan tanah, dan penggunaan lahan. Dimana peta tersebut dapat memberikan informasi mengenai wilayah kawasan hutan yang mempunyai bakat secara alami untuk terjadi kebakaran hutan kebakaran hutan yang terjadi akibat dari gesekan ranting. Peta bahaya kebakaran tersebut pada tahap pemrosesan diberikan skor pada tiap parameter penyusunnya. Dimana tiap parameter tersebut diberikan bobot yang menunjukan tinggi rendahnya pengaruh parameter tersebut terhadap terjadinya kebakaran hutan. Peta penyusun selanjutnya untuk membuat peta rawan kebakaran hutan yaitu peta pemicu kebakaran hutan. Peta pemicu rawan kebakaran hutan dapat dikatakan peta yang menunjukan hubungan antara interaksi manusia sosial dengan hutan yang berdampak pada kebakaran hutan. Peta tersebut tersusun dari data jalan atau aksesibilitas menuju hutan yang diproses terlebih dahulu menggunakan buffer analysist. Data tersebut selanjutnya diberikan skoring serta bobot selanjutnya barulah dilakukan overlay antara peta bahaya kebakaran hutan dengan peta pemicu kebakaran hutan. Hasil overlay tersebutlah yang menjadi peta rawan kebakaran hutan. Analisis arah kebakaran hutan pada dasarnya dapat diketahui dengan melihat arah pergerakan angin di kawasan hutan tersebut. Agar arah pergerakan angin dapat dipetakan dengan baik maka dilakukan pendekatan melalui suhu permukaan tanah. Dimana konsep pemikirannya dapat melihat dari sifat angin yang bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Daerah bertekanan rendah cenderung memiliki suhu permukaan yang lebih panas dari daerah sekitarnya sedangkan daerah bertekanan tinggi cenderung memiliki suhu lebih dingin dari daerah disekitar. Adanya konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa angin bergerak dari suhu rendah menuju kedarah yang memiliki suhu yang lebih tinggi. Suhu permukaan tanah di kawasan hutan dapat diperoleh menggunakan Citra Landsat 8 dengan memanfaatkan band 10 thermal- nya. Hasil pengolahan suhu tersebut dilakukan untuk mendapatkan peta suhu permukaan tanah. Peta tersebut selanjutnya barulah dilakukan pembuatan pola pergerakan angin dalam bentuk line untuk membuat peta arah pergerakan angin dalam bentuk flow map. Pada pemrosesan akhir untuk peta arah pergerakan angin akan digabungkan dengan peta rawan kebakaran hutan. Dimana pada tahapan ini akan ditentukan beberapa titik api di sekitar area jarak jalan yang telah dilakukan buffer analysist. Titik api tersebut selanjutnya dianalisis arah penyebaran apinya dengan mempertimbangkan antara peta rawan kebakaran hutan dengan arah pergerakan angin. Hasil akhir dari analisis tersebutlah yang menjadi model dari arah penyebaran kebakaran hutan. Agar lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut: Gambar 1.1 Kerangka Penelitian Peta Bahaya Kebakaran Hutan Peta Pemicu Kebakaran Hutan Peta Suhu Permukaan Tanah Peta Rawan Kebakaran Hutan Peta Arah Pergerakan Angin Analisis Arah Penyebaran Kebakaran Hutan Penentuan Titik Api Modeling Arah Penyebaran Kebakaran Hutan

1.7 Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

ANALISIS SPASIAL POPULASI Acacia nilotica (L.) Delile Di SAVANA ALAS MALANG, KARANGTEKOK, TAMAN NASIONAL BALURAN, SITUBONDO, JAWA TIMUR

0 4 13

INVENTARISASI ORTHOPTERA DI SAVANA BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO JAWA TIMUR

4 19 53

Pemantauan Perubahan Penutupan Lahan Akibat Kebakaran Hutan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Satelit dan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di wilayah Taman NasionalBerbak-Jambi dan Sekitarnya)

0 7 49

Kajian Daerah Penangkapan Ikan dan Budidaya Laut Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Wilayah Kabupaten Situbondo

0 9 163

PENDAHULUAN Analisis Spasial Penentuan Lokasi Jalan Tol Di Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis.

12 33 38

PEMODELAN SPASIAL ARAH PENYEBARAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM Pemodelan Spasial Arah Penyebaran Kebakaran Hutan Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Baluran Kabupaten Si

1 13 15

PEMODELAN SPASIAL ARAH PENYEBARAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM Pemodelan Spasial Arah Penyebaran Kebakaran Hutan Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Baluran Kabupaten Si

0 2 11

TINGKAT KERENTANAN BANJIR DENGAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Tingkat Kerentanan Banjir Dengan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Daerah Aliran Sungai Juwana Di Kabupaten Pati Jawa Tengah.

0 1 13

ESTIMASI DISTRIBUSI SPASIAL KEKERINGAN LAHAN DI KABUPATEN TUBAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

0 0 6

PEMODELAN SPASIAL BANJIR LUAPAN SUNGAI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH DI DAS BODRI PROVINSI JAWA TENGAH Nugraha Saputro nggonzales9gmail.com Taufik Heri Purwanto taufik_hpyahoo.com Abstract - PEMODELAN SPASIAL BANJIR LUAPAN S

0 0 9