PENDAHULUAN Pemodelan Spasial Arah Penyebaran Kebakaran Hutan Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur Bulan Oktober Tahun 2014.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (menurut Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Puspitasari 2011).

Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, dimana kebakaran hutan sendiri terjadi akibat dari faktor disengaja maupun tidak disengaja. Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan sebagian besar diakibatkan oleh kelalaian manusia seperti kegiatan buka lahan untuk berladang, berkebun, penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya dengan cara membakar hutan. Faktor kebakaran hutan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini (BNPB 2014). Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang disebabkan oleh faktor alami ataupun karena kelalaian manusia. Contoh kebakaran hutan karena ketidak sengajaan seperti akibat membuang puntung rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-sisa perkemahan dan pembakaran dari pembukaan lahan yang tidak terkendali. Sedangkan secara alami kebakaran hutan diakibatkan oleh gesekan ranting yang kering akibat dari rendahnya curah hujan yang menyebabkan kemarau berkepanjangan.

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Mengingat dampak kebakaran hutan tersebut, maka upaya perlindungan terhadap kawasan


(2)

hutan dan tanah sangatlah penting. Hal tersebutlah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan-pendekatan atau parameter untuk penentuan daerah rawan kebakaran hutan. Hasil dari pendekatan paarameter tersebut selanjutnya dilakukan analisis arah penyebaran kebakaran hutan yang akan terjadi. Output dari penelitian ini yang berupa model penyebaran arah kebakaran hutan diharapkan nantinya dapat membantu dalam pengupayaan pencegahan terhadap terjadinya kebakaran hutan. Dipilihnya lokasi penelitian di Kawasan Taman Nasional Baluran dikarenakan kawasan hutan ini merupakan salah satu kawasan hutan konservasi di Pulau Jawa yang disetiap tahunnya dapat dipastikan terjadi kebakaran hutan (TN Baluran 2012). Hal tersebut diakibatkan dari kerentanan kondisi hutannya dimana jenis penggunaan lahan yang sebagian besar merupakan padang savana serta curah hujan yang rendah di kawasan hutan konservasi ini. Selain itu, rendahnya pencegahan kebakaran hutan yang dapat dilihat dari kemudahan akses menuju hutan oleh warga setempat yang dikawatirkan menimbulkan kelalaian yang berdampak pada munculnya titik api. Mengingat penyebab kebakaran hutan yang terjadi di TN Baluran hingga saat ini murni dari dampak aktivitas manusia di dalam hutan baik yang bersifat disengaja hingga tidak disengaja. Di kawasan ini juga terdapat berbagai jenis satwa langka yang dikawatirkan apabila terjadi kebakaran hutan dapat mengganggu kelangsungan hidup dari satwa-satwa tersebut khususnya banteng jawa yang menjadi maskot atau ciri khas dari TN Baluran. Alasan inilah yang menjadikan peneliti mengambil lokasi penelitian ini di TN Baluran.

Kebakaran hutan yang terjadi di TN Baluran merupakan kejadian bencana tahunan yang mampu merusak dan mempengaruhi ekosistem di kawasan hutan tersebut serta sangat mengganggu kesehatan dari masyarakat setempat dan aktivitas transportasi di jalur pantura. Sehingga pencegahan sejak awal perlu dilakukan dalam penangan kebakaran hutan di TN Baluran. Dimana dalam aplikasinya dapat menggunakan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan teknologi ini kebakaran hutan dapat dicegah dengan pembuatan Peta Rawan Kebakara Hutan. Dimana untuk teknologi penginderaan jauh dapat dimanfaatkan dalam pemantauan perubahan penutup


(3)

lahan di kawasan hutan yang menjadi sumber dari terbentuknya bahan bakar. Selain itu, dengan teknologi tersebut juga dapat membantu untuk pemantauan suhu permukaan yang menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan. Pemanfaatan teknologi SIG dalam pembuatan peta rawan kebakaran hutan merupakan hasil dari proses analisis spasial yang tersusun dari peta bahaya kebakaran hutan dan peta pemicu kebakaran hutan. Peta bahaya kebakaran didasarkan pada data cuaca, kondisi geografis, dan jenis vegetasi, sehingga lebih berhubungan dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran. Sedangkan peta pemicu kebakaran merupakan peta interaksi sosial dari budaya manusia terhadap alam (lingkungannya) yang berkemungkinan dapat menimbulkan api akibat dari interaksi manusia tersebut. Hasil dari pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan tersebutlah yang menjadi acuan sebagai analisis arah kebakaran hutan di TN Baluran. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul Pemodelan Spasial Arah Penyebaran Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur Bulan Oktober Tahun 2014.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana agihan potensi rawan kebakaran hutan di Kawasan Taman Nasional Baluran?

2. Bagaimanakah model spasial arah penyebaran kebakaran hutan di Kawasan Taman Nasional Baluran bulan Oktober tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui agihan potensi kebakaran hutan di Kawasan Taman Nasional Baluran.

2. Memodelkan secara spasial arah penyebaran kebakaran hutan di Kawasan Taman Nasional Baluran bulan Oktober tahun 2014.


(4)

1.4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan wujud implementasi dari ilmu yang telah dipelajari selama proses belajar serta apabila dikaji lebih jauh dapat digunakan untuk mengetahui prediksi luasan dari kebakaran hutan dan luasan area yang terancam terkena kabut asap di Indonesia.

2. Bagi Masyarakat

Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat agar mengetahui daerah yang berpotensi terjadi kebakaran hutan sehingga dapat lebih berhati-hati ketika berada di kawasan hutan tersebut.

3. Bagi Pemerintah

Penelitian ini khususnya pada bab kajian analisis arah penyebaran kebakaran hutan apabila dimonitoring setiap saat perubahan suhu permukaan tanah di Kawasan Taman Nasional Baluran dapat dijadikan prediksi arah kebakaran hutan yang terjadi.

1.5 Telaah Pustaka Dan Penelitian Sebelumnya 1.5.1 Curah Hujan

Curah hujan pada suatu wilayah berpengaruh pada tingkat kekeringan di suatu wilayah tersebut. Sehingga akan meningkatkan tingkat dari bahaya kebakaran hutan di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan oleh peningkatan dari bahan bakar atau bahan yang mudah terbakar seperti dedaunan yang telah kering serta penurunan dari kadar air yang berdampak pada penurunan dari kelembaban hutan. Minimnya kandungan kadar air di wilayah hutan baik pada bahan bakar ataupun pada tegakannya membuat hutan sangat berisiko terbakar / mudah terbakar. Dalam tingkatan susunan faktor pengaruh terjadinya kebakaran hutan curah hujan berada pada tingkatan paling tinggi. Hal tersebut berarti curah hujan sangatlah berpengaruh pada potensi kebakaran hutan serta dapat diartikan juga terjadinya kebakaran hutan sangat tergantung kondisi curah hujan diwilayah


(5)

tersebut (Puspitasari 2011). Wilayah yang mempunyai kondisi rawan kebakaran tinggi yang ditinjau dari segala faktor penyebab kebakaran hutan apabila wilayah tersebut memiliki kondisi curah hujan yang tinggi maka dapat dipastikan kebakaran hutan tidak akan terjadi semasa itu. Besarnya pengaruh dari kondisi curah hujan di suatu wilayah terhadap kebakaran hutan menjadikan faktor tersebut sebagai tinjauan penting yang harus selalu di pantau. Mengingat curah hujan yang cenderung tidak konstan setiap tahunnya di zaman sekarang akibat adanya anomali iklim dari berbagai dampak seperti pemanasan global membuat curah hujan tidak lagi bisa dihitung dengan menggunakan sistem kalender melainkan pemantauan dan pengukuran tiap minggu, bulan, hingga tahun. Di Indonesia anomali iklim merupakan imbas dari fenomena El Lino dan La Lina yang membuat musim penghujan menjadi semakin lama atau musim kemarau menjadi semakin panjang. Perubahan musim inilah yang berdampak pada kondisi curah hujan di wilayah Indonesia yang selalu berubah-ubah (Handajani 2005). Mengingat hal tersebut maka pemantauan atau monitoring harus selalu dilakukan untuk mendapatkan gambaran kondisi curah hujan untuk mengetahui kondisi tingkat bahaya kebakaran hutan di wilayah tersebut.

1.5.2 Suhu Permukaan Tanah

Tinggi rendahnya suhu temperatur di permukaan bumi sangat mempengaruhi tingkat dari bahaya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan dengan meningkatnya suhu dipermukaan bumi yang didukung dengan kondisi curah hujan yang rendah pada suatu wilayah, maka bahan bakar akan mudah untuk terbakar. Tinggi rendahnya suhu permukaan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui kadar air pada penutup lahan (Puspitasari 2011). Suhu tinggi dapat memberikan informasi bahwa pada penutup lahan tersebut memiliki kadar air yang rendah sehingga memiliki potensi rawan kebakaran yang tinggi. Sedangkan untuk suhu yang rendah kadar air pada penutup lahan memiliki kadar yang lebih tinggi sehingga potensi rawan kebakarannya juga lebih rendah. Suhu sendiri dalam penelitian ini diperoleh dari pengolahan Citra Landsat 8 saluran 10 dan 11 yang merupakan saluran untuk sensor TIR (Thermal Infra Red). Citra


(6)

tersebut selanjutnya akan diolah menggunakan software Envi 4.5 dengan menggunakan metode single band (Arifin dan Muljo 2012). Dalam proses pengolahannya untuk dapat memperoleh informasi suhu di perlukan perhitungan secara matematis dengan menggunakan rumus algoritma untuk jenis Citra Landsat 8. Dimana untuk rumus dari algoritma tersebut seperti berikut ini :

Rumus Konversi Nilai Pixel ke TOA ( Top of Atmosphere ) Radian Lλ = MLQcal + AL

Dimana :

= TOA spectral radiance ( watts/( m2 × srad × µm ) ML = Band-specific multiplicative rescaling factor ( from the

metadata )

Qcal = Digital Number ( DN )

AL = Band-specific additive rescaling factor ( from the metadata ) Sumber: United States Geological Survey (2015)

Rumus Konversi Nilai Radian ke Brightness Temperature

Dimana :

T = Brightness Temperature ( oK )

Lλ = TOA spectral radiance ( watts/( m2 × srad × µm )

K1 =Band-specific thermal conversion constant ( from the metadata ) K2 =Band-specific thermal conversion constant ( from the metadata ) Sumber: United States Geological Survey (2015)

1.5.3 Jenis Penutup Lahan

Komponen utama atau bahan dari kebakaran hutan ialah jenis penutup lahan. Hal ini dikarenakan tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar tersebut berasal dari penutup lahan seperti contoh: Pohon Jati yang sedang meranggas


(7)

karena pengaruh suhu dan curah hujan akan menggugurkan daunnya, daun tersebut akan mengering dan menjadi bahan bakar yang akan mudah terbakar bila tersulut api (Puspitasari 2011). Berbeda dengan penutup lahan yang hanya sebatas tanah terbuka yang tidak menghasilkan bahan bakar maka sangat rendah akan potensi bahaya kebakaran. Jenis pohon atau tanaman di hutan juga memiliki karakteristik tersendiri akan rentannya terbakar oleh api. Kerentanan tersebut merupakan kondisi pohon atau tanaman yang memiliki tingkat kemampuan dalam menjaga kandungan air dalam dirinya. Dapat diambil contoh seperti semak belukar yang merupakan tanaman lantai pada hutan karena tumbuhnya menutupi permukaan tanah hutan. Semak belukar sendiri merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki kemampuan rendah dalam menyimpan air. Ketika musim kemarau telah tiba dengan kondisi curah hujan yang rendah semak belukar akan cenderung kering. Hal tersebut membuat hutan menjadi lebih rentan terjadi kebakaran karena kebakaran hutan sebagian besar bermula dari terbakarnya semak belukar atau lantai hutan yang selanjutnya merambat pada batang pohon hingga terjadinya kebakaran kanopi (Sari Hasibuan 2011). Mengingat hal tersebutlah maka dalam mengkaji tentang kawasan rawan kebakaran hutan perlu mengetahui jenis tanaman hutan yang rentan terbakar yang terangkum pada jenis penutup lahan.

1.5.4 Jarak Jalan

Jarak jalan terhadap hutan dalam penelitian ini merupakan parameter penyusun dalam peta pemicu kebakaran hutan. Arianti (2006) menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Mengingat hal tersebut maka dengan adanya parameter ini berfungsi untuk menunjukan keterkaitan antara interaksi manusia dengan hutan yang mampu menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Hal ini dikarenakan dengan dekatnya jarak jalan terhadap hutan akses menuju hutan disekitar jalan pun juga akan bertambah mudah dan aktivitas di dalam hutan dapat menjadi sering (Puspitasari 2011). Sehingga tindakan ceroboh ketika sedang berkendara seperti membuang puntung rokok diluar area jalan (hutan di sekitar


(8)

jalan) akan memicu timbulnya api yang berakhir dengan kebakaran hutan. Selain itu, dengan adanya akses jalan tersebut dapat mempermudah masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan hutan. Interaksi tersebut dapat berdampak buruk akibat dari kelalaian masyarakat yang menyebabkan timbulnya api sebagai pemicu kebakaran hutan. Adanya akses jalan menuju hutan akan menambah keluwesan para perusak hutan yang tidak bertanggungjawab akan ulahnya yang membuat kerawanan kebakaran hutan diwilayah tersebut menjadi semakin rawan.

1.5.5 Peta Bahaya Kebakaran Hutan

Merupakan peta yang menunjukan wilayah dari kawasan hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran. Pengertian bahaya sendiri adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan (Bappenas 2012). Dapat dikatakan dalam pengertian tersebut bahaya merupakan suatu kejadian yang diakibatkan oleh alam maupun manusia yang berpotensi menimbulkan ancaman bagi kehidupan manusia dan merusak lingkungan. Bahaya dalam penelitian ini merujuk pada kejadian yang diakibatkan oleh faktor alam yang mempunyai potensi terjadinya kebakaran hutan.

Peta bahaya kebakaran hutan ini lebih mendasarkan pada tingkat bahaya kebakaran hutan secara alami yang terjadi akibat dari kondisi iklim, suhu, dan jenis dari penutup lahannya. Dalam penelitian ini parameter penyusun peta bahaya kebakaran hutan meliputi curah hujan, hotspot dalam bentuk area, dan jenis penggunaan lahan.

1.5.6 Peta Pemicu Kebakaran Hutan

Merupakan peta yang menyajikan informasi mengenai faktor pemicu kebakaran hutan yang disebabkan oleh interaksi kegiatan manusia dengan alam. Atau dengan kata lain kebakaran hutan yang di akibatkan oleh kelalaian manusia baik yang di sengaja maupun yang tidak. Maksud dari pemicu dalam kebencanaan sendiri ialah segala aktivitas alam ataupun sosial yang mampu membuat daerah bahaya bencana menjadi rawan bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu


(9)

(Puspitasari 2011). Pada penelitian ini pemicu kebakaaran hutan adalah aktivitas sosial dari interaksi manusia terhadap hutan. Hal tersebut dikarenakan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia hampir sebagian besar terjadi murni dari kesalahan manusia baik yang disengaja mapun tidak. Adanya fakta tersebutlah dalam penentuan faktor pemicu kebakaran hutan diambilah mengenai aktivitas manusia. Dalam menggambarkan aktivitas manusia terhadap hutan untuk bisa ditampilkan dalam bentuk peta maka aktivitas manusia tersebut dikaji dengan melakukan pendekatan tentang aksesibilitas menuju hutan. Aksesibilitas menuju hutan tersebut dapat dikaji dengan akses jalan yang dapat digunakan untuk memasuki hutan. Akses tersebut dapat dipetakan dengan menggunakan analisis spasial untuk didapat gambaran jarak jalan terhadap hutan yang mampu memicu terjadinya kebakaran hutan.

1.5.7 Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan

Merupakan peta dalam bentuk area yang menyajikan lokasi dari kawasan hutan pada suatu daerah yang rawan akan kebakaran hutan. Rawan bencana sendiri dapat diartikan kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menghadapi dampak buruk bahaya tertentu (Bappenas 2012). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa rawan bencana terdiri dari beberapa aspek baik alam maupun sosial yang mampu mengurangi kemampuan untuk mencegah dan menghadapi dampak buruk dari bahaya atau bencana tertentu. Peta rawan kebakaran hutan disajikan dalam tingkatan kerawanan berdasarkan gradasi warna yang menyampaikan informasi kerawanan akan kebakaran hutan. Peta tersebut tersusun dalam 2 (dua) informasi peta atau hasil dari overlay (gabungan) peta bahaya kebakaran dan peta pemicu kebakaran. Peta bahaya kebakaran sendiri berfungsi untuk menunjukkan rawannya kawasan hutan untuk terjadi kebakaran hutan secara alami. Dan hal tersebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan


(10)

akibat interaksi manusia dengan hutan yang di informasikan pada peta pemicu kebakaran (Puspitasari 2011).

1.5.8 Analisis Arah Kebakaran Hutan

Arah kebakaran hutan pada dasarnya dipengaruhi oleh arah dari hembusan angin. Arah angin sendiri agar dapat dianalisis secara spasial maka perlu dilakukan pendekatan dengan suhu permukaan di wilayah rawan kebakaran hutan. Hal tersebut dapat dilakukan karena angin bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Daerah bertekanan tinggi memiliki suhu permukaan yang rendah sedangkan daerah yang bertekanan rendah memiliki suhu yang jauh lebih tinggi. Konsep tersebut dapat dirumuskan bahwa angin bergerak dari daerah bersuhu rendah menuju daerah bersuhu lebih tinggi. Konsep analisis tersebutlah yang dijadikan sebagai acuan serta pendekatan dalam menganalisis arah kebakaran hutan. Secara singkatnya analisis arah kebakaran hutan dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama merupakan analisis pergerakan arah angin yang ditentukan dari data suhu permukaan tanah. Analisis arah angin dengan konsep pendekatan yang ada selanjutnya akan digambarkan dalam bentuk line dengan tipe keluaran petanya berjenis flow map. Hasil dari pemetaan arah angin tersebut akan digunakan sebagai bahan dalam menganalisis arah kebakaran hutan dengan menggabungkan data hasil pemetaan kerawanan kebakaran hutan yang menjadi tahapan kedua. Agar diketahui model penyebaran apinya di hutan tersebut maka dilakukan sampling titik api secara random dan dilakukan modeling penyebaran kebakaran hutan tersebut.

1.5.9 Pemodelan Analisis Spasial

Pemodelan pada dasarnya merupakan rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik seperti bentuk prototipe atau model citra seperti gambar rancangan dan lainnya. Sedangkan untuk pemodelan analisis spasial merupakan representasi dari keadaan nyata dilapangan yang digambarkan melalui hasil dari analisis spasial. Sehingga


(11)

hasil dari suatu model analisis spasial memiliki nilai fakta yang dapat dipertanggungjawabkan karena data spasial sendiri adalah data keadaannyata di lapangan. Pembuatan model analisis spasial tidaklah lepas dengan adanya Sistem Informasi Geografis (SIG). Hal tersebut dikarenakan pemodelan analisis spasial merupakan salah satu hasil dari pemanfaatan teknologi SIG itu sendiri. Terdapat beberapa model spasial analisis baru yang sudah mulai dikembangkan namun beberapa model analisis spasial seperti overlay, buffer, dan interpolasi adalah beberapa model yang sudah umum digunakan. Dimana model overlay analysist merupakan proses penyatuan data dari lapisan layer yang berbeda menjadi satu layer yang baru. Secara sederhana overlay disebut sebagai operasi visual yang membutuhkan lebih dari satu layer untuk digabungkan menjadi satu. Sedangkan untuk model buffer analysist memiliki fungsi untuk menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau area dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Berbeda dengan Buffer analysist yang mengaju pada pemodelan jarak Interpolation analyst mengaju pada observasi disuatu tempat atau titik. Dimana Interpolasi sendiri adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga nilai pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang dan atribut ini saling berhubungan secara spasial (Anderson 2001 dalam Dewi 2012). Secara keseluruhan tiap model analisis spasial memiliki fungsi yang berbeda-beda sehingga dengan memanfaatkan teknologi SIG dalam melakukan pemodelan analisis spasial dapat membantu dalam berbagai proses kajian spasial tematik. 1.5.10 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh ialah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang telah diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Sutanto 1986 dalam Wahyu Wibowo 2013). Alat yang dimaksud ialah alat pengindera atau sensor. Pada umumnya sensor dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lainnya. Hasil dari perekaman sensor tersebut berupa data


(12)

penginderaan jauh. Data harus diterjemahkan menjadi informasi tentang obyek, daerah atau gejala yang diindera. Proses dari penenrjemahan data menjadi informasi tersebut disebut dengan analisis atau interpretasi data.

Komponen atau parameter yang terdapat dalam penginderaan jauh meliputi beberapa hal di bawah ini :

a. Sumber Tenaga

Terdapat dua macam sumber tenaga yang digunakan dalam penginderaan jauh.Kedua sumber tenaga tersebut meliputi sumber tenaga aktif dan sumber tenaga pasif. Sumber tenaga pasif diperoleh secara alami oleh sensor, sebagai contoh tenaga yang berasal dari sinar matahari, emisi/pancaran suhu benda-benda permukaan bumi.Sumber tenaga dari matahari mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu (jam, musim), lokasi dan kondisi cuaca.Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan perubahan musim. Pada musim di saat matahari berada tegak lurus di atas suatu tempat, jumlah tenaga yang diterima lebih besar diterima dibandingkan dengan pada musim lain di saat kedudukanya condong terhadap tempat itu. Tempat-tempat di ekuator menerima tenaga lebih banyak di bandingkan dengan tempat-tempat di lintang tinggi. Untuk waktu dan letak yang sama, jumlah sinar yang mencapai bumi dapat berbeda bila kondisi cuaca berbeda. Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap dan awan, maka akan semakin sedikit tenaga yang dapat mencapai bumi. Sedangkan sumber tenaga aktif ialah sensor secara aktif menyediakan energi sendiri dengan mengeluarkan sinyal terhadap obyek.Tenaga yang datang diterima oleh sensor dapat berupa tenaga pantulan maupun tenaga pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi.

b. Atmosfer

Amosfer membatasi bagian spektrum elektromagnetik yang dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Pengaruh tersebut merupakan fungsi panjang gelombang yang bersifat selektif.

c. Interaksi antara Tenaga dan Obyek

Tiap obyek memiliki karakteristik tertentu dalam memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek dilakukan dengan


(13)

mengamati karakteristik spektral obyek terhadap masing-masing panjang gelombang yang digunakan yang tergambar pada citra.

d. Sensor

Tenaga yang datang dari obyek di permukaan bumi diterima dan direkam oleh sensor. Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kemampuan sensor untuk menyajikan gambaran obyek terkecil disebut resolusi spasial yang menunjukkan kualitas sensor.

e. Perolehan Data

Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yaitu dengan interpretasi visual, dan dapat pula secara digital yaitu dengan menggunakan komputer. f. Pengguna Data

Pengguna data merupakan komponen penting dalam penginderaan jauh. Kerincian dan kesesuaiannya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan diterima tidaknya data penginderaan jauh oleh para penggunanya.

Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan citra Landsat 8 serta dalam pengolahannya menggunakan salah satu software atau piranti lunak untuk pengolahan citra yaitu Envi 4.5. Dimana citra satelit serta software pengolahan citra tersebut mempunyai spesifikasi sebagai berikut:

1.5.10.1 Citra Landsat 8

Satelit Landsat-8 diluncurkan oleh NASA pada tanggal 11 Februari 2013 bertempat di Vandenberg Air Force Base, California. Satelit dengan resolusi radiometrik 16 bit ini terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi yang mampu mengorbit bumi setiap 99 menit dan merekam daerah yang sama setiap 16 hari (resolusi temporal). Landsat 8 memiliki area scan seluas 170 km x 183 km. Dibandingkan dengan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khususnya terkait spesifikasi band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Dengan makin banyaknya band sebagai


(14)

penyusun RGB komposit, maka warna-warna obyek menjadi lebih bervariasi. Hal ini di karenakan Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya ( band 10 dan 11 ) pada TIRS (United States Geological Survey 2015). Tabel 1.1 Spesifikasi Band pada Citra Landsat 8

Bands Wavelength

(micrometers)

Resolution (meters)

Band 1 – Coastal aerosol 0,43 – 0,45 30

Band 2 – Blue 0,45 – 0,51 30

Band 3 – Green 0,53 – 0,59 30

Band 4 – Red 0,64 – 0,67 30

Band 5 – Near Infrared (NIR) 0,85 – 0,88 30

Band 6 – SWIR 1 1,57 – 1,65 30

Band 7 – SWIR 2 2,11 – 2,29 30

Band 8 – Panchromatic 0,50 – 0,68 15

Band 9 – Cirrus 1,36 – 1,38 30

Band 10 – Thermal Infrared (TIRS) 1 10,60 – 11,19 100

Band 11 – Thermal Infrared (TIRS) 2 11,50 – 12,51 100

1.5.10.2 Piranti Lunak Envi 4.5

ENVI (The Environment For Visualizing Images) merupakan suatu image processing system yang revolusioner yang dibuat oleh Research System Inc (RSI). Dari permulaannya ENVI dirancang untuk kebutuhan yang banyak dan spesifik untuk mereka yang secara teratur menggunakan data penginderaan jauh dari satelit dan pesawat terbang. ENVI menyediakan data visualisasi yang menyuluruh dan analisis untuk citra dalam berbagai ukuran dan tipe, semuanya


(15)

dalam suatu lingkungan yang mudah dioperasikan dan inovatif untuk digunakan. ENVI menggunakan Graphical User Interface (GUI). ENVI menggunakan format data raster dan Ascii (text) sebagai header file. Data raster disimpan sebagai 'binary stream of bytes' berupa format Band Sequential (BSQ), Band Interleaved by Pixel (BIP) dan Band Interleaved by Line (BIL). ENVI juga mendukung berbagai tipe format lainnya seperti : byte, integer, long integer, floating-point, double-precision, complex dan double-precision complex. ENVI memiliki tiga jendela utama yaitu The Main Display Window yaitu untuk menampilkan semua tampilan citra dalarn full resolution yang dibatasi oleh kotak pada scroll, The Scroll Window yaitu untuk menampilkan seluruh citra pada file, dan The Zoom Window yaitu untuk menampilkan perbesaran dari main display window yang dibatasi oleh kotak pada window (Fauzi 2005).

1.5.11 Sistem Informasi Geografis

SIG ialah suatu sistem yang tersusun dari tahapan input, proses, dan output dimana dalam pengoprasiaannya menggunakan komputer serta seluruh datanya memiliki koordinat agar sesuai posisi realita di lapangan. Input dalam SIG merupakan data yang menjadi bahan untuk tahap pemrosesan. Dimana data dalam SIG berupa data vektor yang terbagi menjadi tiga macam yaitu: point, line, dan polygon. Data point berfungsi untuk menunjukkan lokasi atau objek dalam bentuk titik seperti objek pasar, sekolah, tempat wisata dan lain-lain. Selanjutnya untuk data line berfungsi untuk menggambarkan objek dalam bentuk garis seperti contoh: sungai, jalan, kontur, dan lain-lain. Sedangkan untuk data polygon berfungsi untuk menggambarkan objek dalam bentuk area yang memiliki informasi luasan dan keliling seperti contoh: permukiman, kawasan hutan, persawahan, dan lain-lain. Tahap pemrosesan pada SIG merupakan tahap pengolahan data untuk mencapai tujuan dari aplikasi SIG itu sendiri (Hery Purwanto 2012).

Dalam tahap ini data diolah menggunakan berbagai macam tool seperti: overlay, buffer, merge, dissolve, dan lainnya. Tahap terakhir dalam SIG ialah output yang merupakan tahap dalam penyajian peta. Dimana seluruh hasil pada


(16)

tahap pemrosesan disajikan semenarik mungkin sesuai dengan ilmu kartografi untuk di jadikan sebuah peta yang memiliki informasi agar dapat mempermudah pembaca peta dalam mencari informasi. Dalam penelitian ini menggunakan salah satu software SIG dari ESRI yaitu Arcgis 10.1 untuk pengolahan data spasial agar menjadi sebuah peta. Dimana spesifikasi dari software atau piranti lunak tersebut tertera sebagai berikut:

1.5.11.1 Piranti Lunak Arcgis Dekstop

ArcGIS 10.1 mulai dirilis oleh Esri pada awal tahun 2012 dengan bertemakan Sharing and Collaboration, dimana pengguna akan menemukan bahwa versi ini akan lebih memudahkan untuk analisis geospasial dan pemetaan pada lebih banyak pengguna tanpa pengguna tersebut harus ahli dalam GIS. ArcGIS merupakan Software pengolah data spasial yang mampu mendukung berbagai format data gabungan dari tiga software yaitu ArcInfo, ArcView dan ArcEdit yang mempunyai kemampuan komplet dalam geoprocessing, modelling dan scripting serta mudah diaplikasikan dalam berbagai type data. Dekstop ArcGis terdiri dari 4 modul yaitu Arc Map, Arc Catalog, Arc Globe, dan Arc Toolbox dan model bolder (Hery Purwanto 2012).

a. Arc Map mempunyai fungsi untuk menampilkan peta untuk proses, analisis peta, proses editing peta, dan juga dapat digunakan untuk mendesain secara kartografis.

b. Arc Catalog digunakan untuk management data atau mengatur managemen file – file, jika dalam Windows fungsinya sama dengan explor.

c. Arc Globe dapat digunakan untuk data yang terkait dengan data yang universal, untuk tampilan 3D, dan juga dapat digunkan untuk menampilkan geogle earth. d. Model Boolder digunakan untuk membuat model boolder / diagram alur. e. Arc Toolbox digunakan untuk menampilkan tools – tools tambahan.


(17)

1.5.12 Penelitian Sebelumnya Tabel 1.2 Daftar Penelitian Sebelumnya

Peneliti (Tahun)

Iin Arianti (2006) TESIS

Rina Puspitasari (2011) MAKALAH

Dydik Setyawan (2013) TUGAS AKHIR

Judul

Pemodelan Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan SIG di Sub Das Kapuas Tengah Provinsi Kalimantan Barat

Pemetaan Potensi Kebakaran Hutan pada Kawasan Hutan di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011

Pemetaan Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Di Kawasan Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur Tahun 2013

Tujuan

Mengetahui pola kebakaran hutan dan lahan di Sub Das Kapuas dengan

menggunakan SIG

Sebagai bahan pertimbangan dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Banyuwangi

Mengetahui sebaran potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur tahun 2013 Lokasi Sub Das Kapuas Tengah

Provinsi Kalimantan Barat

Kabupaten Banyuwangi Taman Nasional Baluran, Kabupaten Situbondo

Metode

Penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode berjenjang dimana parameter penyusun memiliki skor sesui dengan klasifikasinya yang berfungsi untuk mengkaji tingkat dan zona kerawanan kebakaran hutan dan lahan

Penelitian ini menggunakan metode berjenjang dalam analisis spasialnya dimana tiap parameter penyusun diberikan skor sesuai dengan kerentanannya yang mampu menyebabkan kebakaran hutan

Penelitian ini

menggunakan metode berjenjang tertimbang dimana dalam proses analisisnya dilakukan perpaduan antara teknologi PJ dan SIG untuk mendapatkan zonasi tingkat kerawanan kebakaran hutan

Hasil

Model Tingkat dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Sub Das Kapuas Tengah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2006

Peta Sebaran Rawan Kebakaran Kawasan Hutan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2011

Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Kawasan Taman Nasional Baluran Di Kabupaten Situbondo Tahun 2013


(18)

1.6 Kerangka Penelitian

Model arah penyebaran kebakaran hutan dapat dianalisis dengan melakukan beberapa tahapan pemrosesan yang menggunakan teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Pada tahapan pemrosesan pertama dilakukan pembuatan peta rawan kebakaran hutan dimana konsep dari pembuatan peta tersebut yaitu penggabungan dari peta bahaya kebakaran hutan dengan peta pemicu kebakaran hutan. Peta bahaya kebakaran hutan sendiri tersusun dari parameter curah hujan, suhu permukaan tanah, dan penggunaan lahan. Dimana peta tersebut dapat memberikan informasi mengenai wilayah kawasan hutan yang mempunyai bakat secara alami untuk terjadi kebakaran hutan (kebakaran hutan yang terjadi akibat dari gesekan ranting). Peta bahaya kebakaran tersebut pada tahap pemrosesan diberikan skor pada tiap parameter penyusunnya. Dimana tiap parameter tersebut diberikan bobot yang menunjukan tinggi rendahnya pengaruh parameter tersebut terhadap terjadinya kebakaran hutan. Peta penyusun selanjutnya untuk membuat peta rawan kebakaran hutan yaitu peta pemicu kebakaran hutan. Peta pemicu rawan kebakaran hutan dapat dikatakan peta yang menunjukan hubungan antara interaksi manusia (sosial) dengan hutan yang berdampak pada kebakaran hutan. Peta tersebut tersusun dari data jalan atau aksesibilitas menuju hutan yang diproses terlebih dahulu menggunakan buffer analysist. Data tersebut selanjutnya diberikan skoring serta bobot selanjutnya barulah dilakukan overlay antara peta bahaya kebakaran hutan dengan peta pemicu kebakaran hutan. Hasil overlay tersebutlah yang menjadi peta rawan kebakaran hutan.

Analisis arah kebakaran hutan pada dasarnya dapat diketahui dengan melihat arah pergerakan angin di kawasan hutan tersebut. Agar arah pergerakan angin dapat dipetakan dengan baik maka dilakukan pendekatan melalui suhu permukaan tanah. Dimana konsep pemikirannya dapat melihat dari sifat angin yang bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Daerah bertekanan rendah cenderung memiliki suhu permukaan yang lebih panas dari daerah sekitarnya sedangkan daerah bertekanan tinggi cenderung memiliki suhu


(19)

lebih dingin dari daerah disekitar. Adanya konsep tersebut maka dapat disimpulkan bahwa angin bergerak dari suhu rendah menuju kedarah yang memiliki suhu yang lebih tinggi. Suhu permukaan tanah di kawasan hutan dapat diperoleh menggunakan Citra Landsat 8 dengan memanfaatkan band 10 thermal-nya. Hasil pengolahan suhu tersebut dilakukan untuk mendapatkan peta suhu permukaan tanah. Peta tersebut selanjutnya barulah dilakukan pembuatan pola pergerakan angin dalam bentuk line untuk membuat peta arah pergerakan angin dalam bentuk flow map.

Pada pemrosesan akhir untuk peta arah pergerakan angin akan digabungkan dengan peta rawan kebakaran hutan. Dimana pada tahapan ini akan ditentukan beberapa titik api di sekitar area jarak jalan yang telah dilakukan buffer analysist. Titik api tersebut selanjutnya dianalisis arah penyebaran apinya dengan mempertimbangkan antara peta rawan kebakaran hutan dengan arah pergerakan angin. Hasil akhir dari analisis tersebutlah yang menjadi model dari arah penyebaran kebakaran hutan. Agar lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut:

Gambar 1.1 Kerangka Penelitian

Peta Bahaya Kebakaran Hutan

Peta Pemicu Kebakaran Hutan

Peta Suhu Permukaan Tanah

Peta Rawan Kebakaran Hutan

Peta Arah Pergerakan Angin

Analisis Arah Penyebaran Kebakaran Hutan Penentuan Titik

Api

Modeling Arah Penyebaran


(20)

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode analisis data sekunder. Dimana metode analisis data sekunder sendiri merupakan analisis data survei yang telah tersedia. Analisis ini mencakup interpretasi, kesimpulan atau tambahan pengetahuan dalam bentuk lain. Hal ini ditunjukkan melalui hasil penelitian pertama secara menyeluruh. Analisis bentuk ini merupakan analisis ulang atau re-analyst dalam bentuk atau sudut pandang berbeda dari laporan pertama (Thomas 1996, hal 42 dalam A Safril 2012). Pemilihan metode analisis data sekunder dalam penelitian ini didasarkan pada tema kajian yang membahas tentang kejadian yang telah berlalu. Hal tersebut dimaksudkan mengenai waktu kajian dalam penelitian ini merupakan waktu kajian yang telah berlalu yaitu di bulan Oktober tahun 2014. Sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan survei lapangan atau pengambilan sensus dalam metode penelitian ini karena hasil dari penelitian ini berkaitan dengan waktu penelitian tersebut. Oleh sebab itulah dalam penelitian ini pengambilan jenis metode penelitian tersebut dirasa tepat sebagai dasar analisis dalam penelitian ini mengingat kondisi waktu tema kajian penelitian tersebut. Alur dari metode penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut: 1.7.1 Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Kawasan Hutan Taman Nasional Baluran dimana pemilihan lokasi tersebut berdasarkan record kebakaran hutan yang sering terjadi disetiap tahun. Adanya fakta tersebut memberikan dorongan bagi peneliti untuk mengkaji arah kebakaran hutan yang mungkin terjadi di daerah tersebut dengan menggunakan teknologi Penginderaan Jauh dan SIG. TN Baluran sendiri merupakan kawasan hutan yang memiliki luasan kurang lebih 26.159 ha yang didominasi oleh penutup lahan seperti semak belukar dan savana (TN Baluran 2007). Mengingat hal tersebut tidaklah mustahil sering terjadi kebakaran hutan di kawasan konservasi ini. Selain itu, dengan jenis penutup lahan di kawasan hutan tersebut yang mudah terbakar serta diperparah dengan tidak adanya dukungan untuk pemantauan atau pengawasan yang memadai menyebabkan pencegahan kebakaran hutan tidak dapat dilakukan


(21)

dengan maksimal. Kondisi yang demikian turut didukung dengan kondisi sosial masyarakatnya yang belum memiliki rasa kepedulian dengan lingkungan hutan disekitar tempat tinggalnya. Kondisi inilah yang mampu memicu terjadinya kebakaran hutan akibat dari interaksi manusia dengan hutan baik disengaja maupun tidak disengaja. Pemilihan lokasi penelitian di daerah ini juga berdasarkan kondisi angin yang cukup kencang mengingat letak TN Baluran yang berada di pantai utara Pulau Jawa yang mampu mempengaruhi arah penyebaran kebakaran hutan di daerah tersebut. Luasan hutan yang cukup luas di TN Baluran dapat dipantau secara efektik dengan teknologi Penginderaan Jauh dan dianalisis bagaimana kebakaran hutan terjadi dengan teknologi SIG. Adanya hal tersebut diharapkan mampu menekan terjadinya kebakaran hutan di TN Baluran dengan melakukan usaha pencegahan yang efektif sejak awal.

1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dengan menggunakan beberapa metode seperti: download, interpretasi, dan permohonan data ke instansi terkait. Metode download sendiri merupakan salah satu cara untuk mendapatkan data sekunder yang meliputi data citra satelit landsat 8 dan data curah hujan. Citra satelit landsat 8 didapatkan dari website milik pemerintah Amerika dari badan Geological Survey dengan link alamat http://earthexplorer.usgs.gov/. Selain citra landsat 8 yang didapatkan dengan cara download data curah hujan juga diperoleh dengan cara yang sama. Dimana data curah hujan didapat dari website milik IRI atau International Research Institute yang merupakan badan studi milik Universitas Columbia dengan link alamat http://iri.columbia.edu/maproom/fire. Metode lain yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu metode permohonan data ke instansi terkait. Dimana teknis pelaksanaannya dilakukan dengan bantuan surat resmi dari fakultas yang ditujukan untuk instansi terkait sebagai syarat dalam permohonan data. Instansi tersebut ialah Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Data sekunder yang dikumpulkan dari metode tersebut meliputi data penggunaan lahan dan peta dasar digital wilayah TN Baluran. Metode selanjutnya yaitu metode interpretasi


(22)

dimana metode tersebut digunakan untuk mendapatkan data penggunaan lahan yang up to date sesuai waktu penelitian dengan memanfaatkan citra landsat 8 serta mengacu pada data penggunaan lahan dari instansi terkait. Dimana secara teknisnya interpretasi digunakan untuk validasi data serta untuk memberikan up date dari data penggunaan lahan yang ada. Hal tersebut dilakukan agar data penggunaan lahan dalam penelitian ini menjadi data yang terbaru dan berkualitas. 1.7.3 Metode Analisis Data

Metode analisis dalam penelitia ini merupakan metode analisis kuantitatif dimana analisis berjenjang tertimbanglah yang dipilih sebagai metode kajian dalam analisis data. Metode berjenjang tertimbang digunakan untuk menyusun seluruh parameter dalam pembuatan peta rawan kebakaran hutan. Metode tersebut pada dasarnya berfungsi untuk mengurutkan parameter berdasarkan tingkat tinggi rendahnya yang mampu mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan. Pengurutan tersebut dikenal dengan istilah pembobotan dimana setiap parameter akan diberi bobot dan nilai skor sesuai dengan tingkat pengaruhnya. Pemberian skor dan bobot pada metode berjenjang tertimbang tersebut selanjutnya akan diteruskan dalam analisis spasial.

Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis overlay, buffer, interpolasi, dan interpretasi. Analisis data dengan cara overlay dilakukan untuk mendapatkan hasil gabungan dari seluruh informasi yang terdapat pada parameter penyusun peta utama. Informasi gabungan yang dijadikan satu dengan analisis overlay tersebut berfungsi sebagai informasi acuan dalam membuat peta utama. Secara teknisnya analisis overlay yang dipakai dalam menggabungkan data seluruh parameter dalam penelitian ini menggunakan intersect analysist. Dimana jenis analisis overlay tersebut menggabungkan seluruh data parameter dengan mengacu pada luasan area terkecil pada parameter tersebut. Selain analisis tersebut dalam penelitian ini juga menggunakan buffer analysist yang digunakan untuk memberikan jarak jalan terhadap hutan. Dimana buffer sendiri merupakan analisis spasial yang berfungsi untuk analisis jarak atau distance dengan output hasil analisis berbentuk polygon. Hasil analisis yang


(23)

berbentuk polygon tersebutlah yang memiliki informasi jarak dari data utama yang dapat digunakan untuk analisis lanjutan.

Analisis interpolasi dalam penelitian ini berfungsi untuk menentukan arah angin dan arah penyebaran kebakaran hutan. Analisis ini prinsipnya menghubungkan antara daerah yang memiliki nilai yang sama. Namun, pada penelitian ini prinsip tersebut hanya diambil pada cara interpolasinya saja. Dimana interpolasi dilakukan untuk menghungkan daerah yang bernilai rendah ke tinggi. Dapat dikatakan metode interpolasi tersebut merupakan hasil modifikasi namun tidak meninggalkan prinsip teknis dalam proses pengerjaannya. Dalam penelitian ini metode interpolasi dilakukan untuk menentukan arah pergerakan angin dan arah penyebaran kebakaran hutan. Penentuan arah pergerakan angin dengan metode interpolasi konsepnya yaitu menghubungkan daerah yang bersuhu rendah menuju daerah bersuhu tinggi seperti prinsip dari sifat angin sendiri. Arah penyebaran kebakaran hutan proses penentuannya berkonsep sama denga penentuan arah angin. Perbedaan dalam menentukan arah pergerakan angin dan arah penyebaran kebakaran hutan terletak pada acuan interpolasinya. Dimana arah angin ditentukan dengan acuan suhu sedangkan arah penyebaran kebakaran hutan ditentukan dengan hasil dari peta rawan kebakaran hutan yang sudah digabungkan dengan arah angin.

Analisis data terakhir yang digunakan dalam penelitian ini yaitu interpretasi citra. Interpretasi ini digunakan untuk mengenali objek yang tersadap atau terekam oleh citra satelit dengan memperhatikan analisisnya dengan unsur-unsur interpretasi. Dimana informasi objek dari hasil interpretasi tersebut mengacu pada klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini. Secara teknisnya interpretasi dalam penelitian ini memanfaatkan citra landsat 8 melalui hasil komposit bandnya yang akan memudahkan dalam proses interpretasi. Selain itu, dalam proses interpretasi tersebut objek dapat dikenali dengan beberapa unsur interpretasi yang meliputi warna, bentuk, dan pola.


(24)

1.7.4 Teknik Penelitian 1.7.4.1 Tahap Persiapan 1. Studi Pustaka

Mempelajari penelitian sebelumnya mengenai kebakaran hutan dengan mengetahui faktor penyebab dan cara analisis secara spasial serta pola pikir geografinya melalui literatur yang ada.

2. Persiapan Alat dan Bahan

Menyiapkan perangkat keras dan perangkat lunak sebagai alat dalam pemrosesan data serta data-data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai bahan yang akan di proses.

1.7.4.2 Tahap Pengumpulan Data

Data sekunder dalam penelitian ini meliputi suhu permukaan tanah, curah hujan, penutup lahan, dan peta dasar digital daerah kawasan TN Baluran. Dimana suhu permukaan tanah didapat dari hasil pemrosesan citra landsat 8 pada band thermal citra tersebut. Citra landsat 8 didapat dengan cara men-download di web USGS atau United States Geological Survey pada bagian laman Earth Explorer dengan link http: //earthexplorer.usgs.gov/. Sedangkan curah hujan sendiri didapat dari website milik IRI atau International Research Institute yang merupakan badan studi milik Universitas Columbia dengan link alamat http://iri.columbia.edu/maproom/fire. Data sekunder lainnya yang meliputi peta dasar digital, dan penggunaan lahan didapat dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan XI Jawa-Madura. Walaupun lingkup kerja dari instansi tersebut di wilayah Jawa dan Madura namun data yang dimiliki oleh instansi ini mencakup data kehutanan skala nasional. Dimana data penggunaan lahan sendiri sebelum langsung digunakan dalam proses analisis perlu dilakukan data update. Hal ini bertujuan agar informasi perubahan penggunaan lahan merupakan informasi yang terbaru sesuai dengan waktu kajian penelitian. Proses update tersebut dilakukan dengan cara interpretasi citra lansdat 8 dengan waktu perekaman citra yang


(25)

terbaru. Dimana acuan dari interpretasi tersebut ialah data penggunaan lahan yang lama.

1.7.4.3 Tahap Pengolahan Data

1.7.4.3.1 Pengolahan Data Suhu Permukaan Tanah

Nilai suhu didapatkan dari hasil pengelohan Citra Landsat 8 band TIR (Thermal Infra Red) dengan algoritma sebagai formula perhitungannya. Metode yang digunakan dalam pengolahan citra tersebut menggunakan metode single band dimana satu band pada band TIR saja yang digunakan dalam pengolahan suhu tersebut. Pada dasarnya seluruh citra tersusun dari piksel-piksel yang memiliki nilai warna masing-masing dimana jumlah dari piksel tersebut tergantung dari nilai bit pada citra tersebut. Citra landsat 8 sendiri memiliki nilai bit sebesar 16 sehingga jumlah dari nilai piksel pada citra tersebut sebanyak 65.536 atau dapat dikatakan terdapat jumlah warna yang berbeda sebanyak nilai tersebut. Nilai piksel ini belum dapat digunakan langsung untuk diolah menjadi data suhu permukaan. Hal ini dikarenakan nilai piksel bukanlah angka yang metematis atau angka logic yang dapat dirumuskan untuk mendapatkan suatu informasi dari hasil pengolahan citra. Agar dapat digunakan untuk pengolahan citra nilai piksel tersebut haruslah dirubah terlebih dahulu menjadi nilai radian agar memiliki nilai matematisnya.

Rumus Konversi Nilai Pixel ke TOA ( Top of Atmosphere ) Radian Lλ = MLQcal + AL

Dimana :

= TOA spectral radiance ( watts/( m2 × srad × µm ) ML = Band-specific multiplicative rescaling factor ( from the

metadata )

Qcal = Digital Number ( DN )

AL = Band-specific additive rescaling factor ( from the metadata )

Sumber: United States Geological Survey (2015)

Hasil pengolahan nilai piksel menjadi nilai radian pada citra landsat 8 tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menampilkan nilai suhu permukaan


(26)

tanah. Namun, hal tersebut diperlukan pengolahan kembali dengan formula brightness temperature yang bertujuan untuk mengubah nilai radian menjadi nilai temperature. Formula tersebut pada dasarnya berfungsi untuk mengubah nilai radian pada citra berdasarkan tingkat kecerahan secara visualnya menjadi nilai derajat suhu.

Rumus Konversi Nilai Radian ke Brightness Temperature

Dimana :

T = Brightness Temperature ( oK )

= TOA spectral radiance ( watts/( m2 × srad × µm )

K1 =Band-specific thermal conversion constant ( from the metadata ) K2 =Band-specific thermal conversion constant ( from the metadata )

Sumber: United States Geological Survey (2015)

Nilai radian yang telah dirubah menjadi nilai suhu selanjutnya perlu dilakukan konversi satuan menjadi oC (Celcius) karena hasil dari pengolahan Brightness Temperature dalam satuan oK (Kelvin). Dimana dalam konversi tersebut nilai suhu oK – 273 untuk menjadikannya nilai suhu dalam satuan oC. Hasil dari pengolahan citra tersebut selanjutnya dirubah menjadi data vektor agar dapat dilakukan pembobotan dan skoring. Dalam pemberian bobot dan skoring untuk data suhu permukaan tanah dapat disesuaikan dengan klasifikasi berikut: Tabel 1.3 Pengharkatan Suhu dalam Celcius

No Suhu ( oC ) Klasifikasi Skor Bobot

1 < 25 Rendah 1

40

2 25 – 30 Sedang 2

3 > 30 Tinggi 3

Sumber : Lembaga Penerbangan dan Antariksa ( LAPAN ) dalam Arifin dan Muljo 2012

1.7.4.3.2 Pengolahan Data Curah Hujan

Pada penelitian ini data curah hujan pada suatu wilayah akan diklasifikasikan berdasarkan curah hujan bulanan serta diberikan nilai skoring


(27)

pada tiap kelasnya. Dimana untuk parameter curah hujan sendiri diberikan bobot sebesar 30. Pemberian bobot tersebut didasarkan pada analisis parameter curah hujan yang mempengaruhi pada tingkat kelembaban hutan. Sehingga tinggi rendahnya dari curah hujan tersebut akan berpengaruh pada kondisi kandungan air pada penutup lahan atau bahan bakar. Pemberian bobot untuk parameter curah hujan ini masuk pada tingkat besarnya bobot pada urutan yang pertama dari seluruh parameter penyusun peta rawan kebakaran hutan. Hal tersebut dikarenakan curah hujan memegang peranan penting untuk ketersediaanya kandungan air pada penutup lahan yang menjadi faktor penghambat dalam terjadinya kebakaran hutan. Klasifikasi untuk curah hujan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.4 Pengharkatan Curah Hujan Bulanan

No Curah Hujan Klasifikasi Skor Bobot

1 100 - 200 mm/bulan Sangat Rendah 5

50

2 200 - 300 mm/ bulan Rendah 4

3 300 - 400 mm/ bulan Sedang 3

4 400 - 500 mm/ bulan Tinggi 2

5 >500 mm/ bulan Sangat Tinggi 1

Sumber: Kriteria dan Standar Teknik Kementrian Pekerjaan Umum

1.7.4.3.3 Pengolahan Data Jenis Penutup Lahan

Komponen utama dari bahaya kebakaran hutan ialah jenis penutup lahan. Hal ini dikarenakan tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar tersebut berasal dari penutup lahan seperti contoh: Pohon Jati yang sedang meranggas karena pengaruh suhu dan curah hujan akan menggugurkan daunnya, daun tersebut akan mengering dan menjadi bahan bakar yang akan mudah terbakar bila tersulut api. Berbeda dengan penutup lahan yang hanya sebatas tanah terbuka yang tidak menghasilkan bahan bakar maka sangat rendah akan potensi bahaya kebakaran. Oleh sebab itulah pada tiap jenis penutup lahan diberikan nilai atau skor sesuai dengan bahayanya terhadap kebakaran hutan. Hal tersebut dikarenakan tiap jenis penutup lahan memiliki karakteristik yang berbeda-berbeda dalam kemampuannya mempertahankan kandungan air sehingga dapat


(28)

mempengaruhi tinggi rendahnya kerawanan kebakaran hutan. Pemberian skor tersebut selanjutnya diberikan pembobotan sebesar 25. Hal ini dikarenakan penutup lahan akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan kerawanan kebakaran hutan yang didukung oleh curah hujan yang rendah. Klasifikasi untuk jenis penutup lahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.5 Pengharkatan Jenis Penutup Lahan

No Tipe Vegetasi atau Penutupan Lahan Skor Bobot

1 Belukar 7

10

2 Savanna 7

3 Hutan Tanaman 7

4 Permukiman/Transmigrasi 7

5 Belukar rawa 6

6 Hutan lahan kering sekunder 6

7 Pertanian Kering campur semak 6

8 Hutan Rawa Sekunder 5

9 Perkebunan 5

10 Hutan Lahan Kering Primer 4

10 Hutan Rawa Primer 4

11 Pertanian Lahan Kering 3

12 Hutan Mangrove Sekunder 3

13 Hutan Mangrove Primer 2

14 Pertambangan 2

15 Tanah Terbuka 1

16 Tambak 0

Sumber: Ruecker (2002), Barus dan Gandasasmita (1996), dan Hoffman (2000) dengan Perubahan dalam Puspitasari (2011)


(29)

1.7.4.3.4 Pengolahan Data Jarak Jalan

Aktivitas manusia yang terjadi didalam hutan merupakan hasil dari interaksi manusia terhadap alam yang pada dasarnya dapat berdampak baik atau berdampak buruk terhadap alam tersebut. Dimana seiring berkembangnya waktu interaksi tersebut lebih menonjolkan pada dampak buruk terhadap alam khususnya pada kawasan hutan. Dahulu kebakaran hutan merupakan suatu bencana alam akibat munculnya titik api hasil dari gesekan ranting yang membakar bahan bakar pada hutan tersebut. Namun, fenomena tersebut sudah sangat jarang terjadi di hutan Indonesia karena kebakaran hutan yang terjadi sekarang murni dari dampak interaksi manusia dengan hutan. Adanya aktivitas sosial ini yang berpengaruh terhadap hutan perlu adanya kajian yang lebih mendalam akan karakteristik sosial dari tiap daerah. Sehingga untuk mempermudah dalam mendekati pengaruh sosial tersebut terhadap kebakaran hutan maka dalam penelitian ini aktivitas sosial tersebut didekati dengan kemampuan akses menuju hutan. Dimana semakin mudah akses menuju hutan maka aktivitas manusia menuju hutan akan semakin sering. Sehingga dalam penelitian ini aktivitas manusia didalam hutan dapat dianalisis dari besarnya jarak jalan terhadap hutan.

Dalam penelitian ini jarak jalan terhadap hutan dipilih untuk menjadi parameter pemicu kebakaran hutan. Hal ini dikarenakan aktivitas manusia terhadap hutan dinilai sebagai sumber api yang mampu memicu terjadinya kebakaran hutan. Dalam pengolahan datanya jarak jalan diperoleh dari hasil analisis Buffer. Data jarak jalan tersebut selanjutnya diberikan skor sesuai dengan klasifikasinya serta diikuti dengan pemberian bobot sebesar 30. Dimana klasifikasi untuk jarak jalan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.6 Pengharkatan Jarak Jalan

No Buffer Jarak Jalan ( m ) Klasifikasi Skor Bobot

1 0 – 500 Tinggi 3

20

2 500 – 1000 Sedang 2

3 > 1000 Rendah 1


(30)

1.7.4.4 Tahap Analisis Data

Pada tahap analisis data proses analisis dibagi menjadi tiga tahapan yaitu analisis untuk mendapatkan peta rawan kebakaran hutan, analisis untuk mengetahui arah angin, dan analisis untuk mengetahui arah penyebaran kebakaran hutan. Peta rawan kebakaran hutan sendiri didapat dari hasil analisis seluruh data dari data bahaya kebakaran hutan dan data pemicu kebakaran hutan. Dimana seluruh data tersebut yang terdiri dari data curah hujan, suhu permukaan tanah, jenis penutup lahan, dan jarak jalan terhadap hutan yang telah diberikan skor dan pembobotan. Pada tahap selanjutnya dilakukan analisis spasial untuk mendapatkan peta rawan kebakaran hutan yang disebut dengan overlay analysist. Analisis tersebut pada dasarnya menggabungkan seluruh informasi dari tiap data dalam satu output yang menjadi hasil dari analisis tersebut. Hasil analisis itulah yang nantinya digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peta rawan kebakaran hutan. Secara teknisnya analisis overlay yang digunakan dalam penelitian ini yaitu intersect analysist. Dari analisis tersebut didapat satu output yang berisi seluruh informsi dari tiap data yang selanjutnya dilakukan penjumlahan total dari nilai perkalian antara nilai skor dengan bobot. Perhitungan matematis ini dilakukan agar tiap informasi data yang menyusun peta rawan kebakaran hutan memiliki nilai logic yang dapat menggambarkan tinggi rendah terhadap pengaruhnya dengan kebakaran hutan. Hasil dari penjumlahan tersebut selanjutnya dilakukan pengkelasan sesuai dengan range dari nilai terbesar dan terkecil yang akan dibagi menjadi beberapa kelas. Sehingga dari hasil range tersebut didapat klasifikasi kerawan kebakaran hutan dari tingkatan kerawanan kebakaran tinggi hingga rendah.

Arah angin dalam penelitian ini menjadi point penting untuk menganalisis arah dari penyebaran kebakaran hutan. Dimana arah angin dapat dispasialkan dengan menggunakan pendekatan dari suhu permukaan tanah. Secara konsep dari sifat angin itu sendiri angin bertiup dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Apabila dikaji lebih dalam derah yang bertekanan tinggi memiliki suhu lebih rendah dari daerah yang bertekanan rendah. Dengan kata lain angin bergerak dari daerah bersuhu rendah menuju ke daerah bersuhu tinggi.


(31)

Konsep inilah yang menjadi dasar dalam menganalisis arah dari pergerakan angin. Teknisnya arah angin dapat dianalisis dengan menggunakan metode interpolasi dimana dalam prosesnya daerah yang bersuhu rendah dihubungkan dengan daerah yang bersuhu tinggi dengan menggunakan data suhu permukaan tanah. Hasil dari interpolasi yang berbentuk garis atau line selanjutnya diberikan arah pergerakan angin. Dari hasil itulah yang nantinya dapat mendukung dalam melakukan analisis arah penyebaran kebakaran hutan.

Analisis tahap akhir untuk menentukan arah dari penyebaran kebakaran hutan secara teknisnya hampir sama seperti langkah menentukan arah angin yaitu menggunakan metode interposi. Dimana dalam tahap ini peta rawan kebakaran hutan akan digabungkan dengan arah dari pergerakan angin. Dari hasil penggabungan tersebut barulah dapat dilakukan interpolasi mengenai arah dari penyebaran kebakaran hutan tersebut. Sebelum dilakukan analisis tersebut agar hasil dari analisis ini menjadi sebuah permodelan arah penyebaran kebakaran hutan maka perlu dilakukan penentuan titik api dikawasan hutan tersebut. Titik api di tentukan pada area jarak jalan yang telah dilakukan buffer analysist setelah itu barulah dilakukan analisis arah penyebaran kebakaran hutannya. Dimana arah penyebaran kebakaran hutan dapat diketahui dari arah angin yang meniup titik api mengarah ke daerah yang memiliki kerawanan kebakaran yang tinggi. Dengan kata lain yang mengarahkan penyebaran kebakaran hutan ialah angin dimana api akan membakar kawasan hutan yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran hutan yang lebih tinggi. Hasil dari analisis tersebut berupa model arah penyebaran kebakaran hutan pada tiap titik api yang telah ditentukan.

1.7.4.5 Tahap Penyelesaian

Pada tahap penyelesaian ini hasil dari analisis terakhir yaitu model arah penyebaran kebakaran hutan selanjutnya dibuat peta dengan menggunakan layout sesuai dengan kaidah kartografi. Pembuatan layout tersebut merupakan hasil dari penelitian ini. Dalam pembuatan peta tersebut dilakukan juga pada tiap parameter penyusun model penyebaran arah kebakaran hutan. Model arah penyebaran kebakaran hutan tersebut terdapat informasi titik-titik api yang dimodelkan arah


(32)

penyebarannya berdasarkan dari arah angin serta potensi kawasan yang rawan kebakaran hutan. Model dari beberapa titik api tersebut diharapkan dapat digunakan untuk membandingkan arah penyebaran kebakaran hutan antara penyebaran kebakaran hutan dari titik satu dengan titik yang lain. Konsep penyebaran kebakaran hutan yang telah teranalisis serta contoh dari beberapa arah penyebaran kebakaran hutan dari titik api tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai arah penyebaran kebakaran hutan yang mungkin terjadi di TN Baluran pada waktu itu. Sehingga diharapkan dapat menjadi informasi untuk peningkatan kewaspadaan mengenai kebakaran hutan di TN Baluran.


(33)

Skoring dan Pembobotan

Overlay (Intersect)

Peta Rawan Kebakaran Hutan

Penentuan Titik Api Interpolasi Arah Penyebaran Kebakaran Hutan

Suhu Permukaan Tanah

Jalan Citra Landsat 8

Band TIR

Penggunaan Lahan Curah Hujan

Konversi ke Radian

Brightness Temperature Buffer

Konversi ke Suhu Celcius Peta Jarak Jalan

Peta Suhu Permukaan Tanah

Korelasi Data Dengan Hasil Interpretasi dari

Citra Landsat 8

Peta Penggunaan Lahan Terbaru

Interpolasi Berdasarkan sifat

angin

Peta Arah Angin

Overlay

Model Arah Penyebaran Kebakaran Hutan

Suhu Permukaan Tanah dari Hasil Pengolahan Citra Landsat 8 Band TIR Peta Curah Hujan


(34)

1.7.4.3.5 Batasan Oprasional

a. Bahan Bakar adalah bagian pada tumbuhan yang telah mengering menjadi bahan organik yang mudah terbakar apabila tersulut api (Puspitasari 2011) b. Brightness Temperature adalah perhitungan dari intensitas radiasi thermal yang

diemisikan oleh obyek dimana satuan yang digunakan adalah satuan suhu (Shofiyati dan Kuncoro 2007).

c. Buffer adalah analisis spasial yang akan menghasilkan unsur-unsur spasial yang bertipe polygon dimana unsur tersebut merupakan area yang berjarak dan ditentukan dari inputan unsur spasial (Wasis 2012).

d. Kerawanan adalah suatu keadaan rawan yang pasti memiliki ancaman atau gangguan baik yang berasal dari faktor alam, faktor non alam, dan faktor sosial sehingga mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis (Bappenas 2012).

e. Kerentanan adalah suatu kondisi atau kharakteristik geologis, biologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya (Bappenas 2012).

f. Radian adalah nilai matematis dari hasil pengubahan nilai pixel pada data raster (Arifin dan Muljo 2012).

g. Overlay adalah analisis spasial esensial yang mengombinasikan dua layer atau tematik yang menjadi masukannya (Wasis 2012).

h. Peta Bahaya Kebakaran Hutan adalah peta yang menunjukan wilayah dari kawasan hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran yang terjadi akibat dari pengaruh faktor alam (Puspitasari 2011)

i. Pergerakan Angin adalah fenomena perbedaan tekanan udara dengan arah aliran angin dari tempat yang memiliki tekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah atau dari daerah yang memiliki suhu atau temperatur rendah ke wilayah bersuhu tinggi (Godam 2015)


(35)

j. Suhu Permukaan Tanah adalah suhu bagian terluar dari suatu objek pada permukaan tanah dan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit thermal (Fatimah 2012)


(1)

1.7.4.4 Tahap Analisis Data

Pada tahap analisis data proses analisis dibagi menjadi tiga tahapan yaitu analisis untuk mendapatkan peta rawan kebakaran hutan, analisis untuk mengetahui arah angin, dan analisis untuk mengetahui arah penyebaran kebakaran hutan. Peta rawan kebakaran hutan sendiri didapat dari hasil analisis seluruh data dari data bahaya kebakaran hutan dan data pemicu kebakaran hutan. Dimana seluruh data tersebut yang terdiri dari data curah hujan, suhu permukaan tanah, jenis penutup lahan, dan jarak jalan terhadap hutan yang telah diberikan skor dan pembobotan. Pada tahap selanjutnya dilakukan analisis spasial untuk mendapatkan peta rawan kebakaran hutan yang disebut dengan overlay analysist. Analisis tersebut pada dasarnya menggabungkan seluruh informasi dari tiap data dalam satu output yang menjadi hasil dari analisis tersebut. Hasil analisis itulah yang nantinya digunakan sebagai acuan dalam pembuatan peta rawan kebakaran hutan. Secara teknisnya analisis overlay yang digunakan dalam penelitian ini yaitu intersect analysist. Dari analisis tersebut didapat satu output yang berisi seluruh informsi dari tiap data yang selanjutnya dilakukan penjumlahan total dari nilai perkalian antara nilai skor dengan bobot. Perhitungan matematis ini dilakukan agar tiap informasi data yang menyusun peta rawan kebakaran hutan memiliki nilai logic yang dapat menggambarkan tinggi rendah terhadap pengaruhnya dengan kebakaran hutan. Hasil dari penjumlahan tersebut selanjutnya dilakukan pengkelasan sesuai dengan range dari nilai terbesar dan terkecil yang akan dibagi menjadi beberapa kelas. Sehingga dari hasil range tersebut didapat klasifikasi kerawan kebakaran hutan dari tingkatan kerawanan kebakaran tinggi hingga rendah.

Arah angin dalam penelitian ini menjadi point penting untuk menganalisis arah dari penyebaran kebakaran hutan. Dimana arah angin dapat dispasialkan dengan menggunakan pendekatan dari suhu permukaan tanah. Secara konsep dari sifat angin itu sendiri angin bertiup dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Apabila dikaji lebih dalam derah yang bertekanan tinggi memiliki suhu lebih rendah dari daerah yang bertekanan rendah. Dengan kata lain angin bergerak dari daerah bersuhu rendah menuju ke daerah bersuhu tinggi.


(2)

Konsep inilah yang menjadi dasar dalam menganalisis arah dari pergerakan angin. Teknisnya arah angin dapat dianalisis dengan menggunakan metode interpolasi dimana dalam prosesnya daerah yang bersuhu rendah dihubungkan dengan daerah yang bersuhu tinggi dengan menggunakan data suhu permukaan tanah. Hasil dari interpolasi yang berbentuk garis atau line selanjutnya diberikan arah pergerakan angin. Dari hasil itulah yang nantinya dapat mendukung dalam melakukan analisis arah penyebaran kebakaran hutan.

Analisis tahap akhir untuk menentukan arah dari penyebaran kebakaran hutan secara teknisnya hampir sama seperti langkah menentukan arah angin yaitu menggunakan metode interposi. Dimana dalam tahap ini peta rawan kebakaran hutan akan digabungkan dengan arah dari pergerakan angin. Dari hasil penggabungan tersebut barulah dapat dilakukan interpolasi mengenai arah dari penyebaran kebakaran hutan tersebut. Sebelum dilakukan analisis tersebut agar hasil dari analisis ini menjadi sebuah permodelan arah penyebaran kebakaran hutan maka perlu dilakukan penentuan titik api dikawasan hutan tersebut. Titik api di tentukan pada area jarak jalan yang telah dilakukan buffer analysist setelah itu barulah dilakukan analisis arah penyebaran kebakaran hutannya. Dimana arah penyebaran kebakaran hutan dapat diketahui dari arah angin yang meniup titik api mengarah ke daerah yang memiliki kerawanan kebakaran yang tinggi. Dengan kata lain yang mengarahkan penyebaran kebakaran hutan ialah angin dimana api akan membakar kawasan hutan yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran hutan yang lebih tinggi. Hasil dari analisis tersebut berupa model arah penyebaran kebakaran hutan pada tiap titik api yang telah ditentukan.

1.7.4.5 Tahap Penyelesaian

Pada tahap penyelesaian ini hasil dari analisis terakhir yaitu model arah penyebaran kebakaran hutan selanjutnya dibuat peta dengan menggunakan layout sesuai dengan kaidah kartografi. Pembuatan layout tersebut merupakan hasil dari penelitian ini. Dalam pembuatan peta tersebut dilakukan juga pada tiap parameter penyusun model penyebaran arah kebakaran hutan. Model arah penyebaran kebakaran hutan tersebut terdapat informasi titik-titik api yang dimodelkan arah


(3)

penyebarannya berdasarkan dari arah angin serta potensi kawasan yang rawan kebakaran hutan. Model dari beberapa titik api tersebut diharapkan dapat digunakan untuk membandingkan arah penyebaran kebakaran hutan antara penyebaran kebakaran hutan dari titik satu dengan titik yang lain. Konsep penyebaran kebakaran hutan yang telah teranalisis serta contoh dari beberapa arah penyebaran kebakaran hutan dari titik api tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai arah penyebaran kebakaran hutan yang mungkin terjadi di TN Baluran pada waktu itu. Sehingga diharapkan dapat menjadi informasi untuk peningkatan kewaspadaan mengenai kebakaran hutan di TN Baluran.


(4)

Skoring dan Pembobotan

Overlay (Intersect)

Peta Rawan Kebakaran Hutan

Penentuan Titik Api Interpolasi Arah Penyebaran Kebakaran Hutan

Suhu Permukaan Tanah

Jalan Citra Landsat 8

Band TIR

Penggunaan Lahan Curah Hujan

Konversi ke Radian

Brightness Temperature Buffer

Konversi ke Suhu Celcius Peta Jarak Jalan

Peta Suhu Permukaan Tanah

Korelasi Data Dengan Hasil Interpretasi dari

Citra Landsat 8

Peta Penggunaan Lahan Terbaru

Interpolasi Berdasarkan sifat

angin

Peta Arah Angin

Overlay

Model Arah Penyebaran Kebakaran Hutan

Suhu Permukaan Tanah dari Hasil Pengolahan Citra Landsat 8 Band TIR Peta Curah Hujan


(5)

1.7.4.3.5 Batasan Oprasional

a. Bahan Bakar adalah bagian pada tumbuhan yang telah mengering menjadi bahan organik yang mudah terbakar apabila tersulut api (Puspitasari 2011) b. Brightness Temperature adalah perhitungan dari intensitas radiasi thermal yang

diemisikan oleh obyek dimana satuan yang digunakan adalah satuan suhu (Shofiyati dan Kuncoro 2007).

c. Buffer adalah analisis spasial yang akan menghasilkan unsur-unsur spasial yang bertipe polygon dimana unsur tersebut merupakan area yang berjarak dan ditentukan dari inputan unsur spasial (Wasis 2012).

d. Kerawanan adalah suatu keadaan rawan yang pasti memiliki ancaman atau gangguan baik yang berasal dari faktor alam, faktor non alam, dan faktor sosial sehingga mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis (Bappenas 2012).

e. Kerentanan adalah suatu kondisi atau kharakteristik geologis, biologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya (Bappenas 2012).

f. Radian adalah nilai matematis dari hasil pengubahan nilai pixel pada data raster (Arifin dan Muljo 2012).

g. Overlay adalah analisis spasial esensial yang mengombinasikan dua layer atau tematik yang menjadi masukannya (Wasis 2012).

h. Peta Bahaya Kebakaran Hutan adalah peta yang menunjukan wilayah dari kawasan hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran yang terjadi akibat dari pengaruh faktor alam (Puspitasari 2011)

i. Pergerakan Angin adalah fenomena perbedaan tekanan udara dengan arah aliran angin dari tempat yang memiliki tekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah atau dari daerah yang memiliki suhu atau temperatur rendah ke wilayah bersuhu tinggi (Godam 2015)


(6)

j. Suhu Permukaan Tanah adalah suhu bagian terluar dari suatu objek pada permukaan tanah dan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit thermal (Fatimah 2012)


Dokumen yang terkait

ANALISIS SPASIAL POPULASI Acacia nilotica (L.) Delile Di SAVANA ALAS MALANG, KARANGTEKOK, TAMAN NASIONAL BALURAN, SITUBONDO, JAWA TIMUR

0 4 13

INVENTARISASI ORTHOPTERA DI SAVANA BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO JAWA TIMUR

4 19 53

Pemantauan Perubahan Penutupan Lahan Akibat Kebakaran Hutan Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh Satelit dan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di wilayah Taman NasionalBerbak-Jambi dan Sekitarnya)

0 7 49

Kajian Daerah Penangkapan Ikan dan Budidaya Laut Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Wilayah Kabupaten Situbondo

0 9 163

PENDAHULUAN Analisis Spasial Penentuan Lokasi Jalan Tol Di Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis.

12 33 38

PEMODELAN SPASIAL ARAH PENYEBARAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM Pemodelan Spasial Arah Penyebaran Kebakaran Hutan Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Baluran Kabupaten Si

1 13 15

PEMODELAN SPASIAL ARAH PENYEBARAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM Pemodelan Spasial Arah Penyebaran Kebakaran Hutan Dengan Menggunakan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Baluran Kabupaten Si

0 2 11

TINGKAT KERENTANAN BANJIR DENGAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Tingkat Kerentanan Banjir Dengan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Daerah Aliran Sungai Juwana Di Kabupaten Pati Jawa Tengah.

0 1 13

ESTIMASI DISTRIBUSI SPASIAL KEKERINGAN LAHAN DI KABUPATEN TUBAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

0 0 6

PEMODELAN SPASIAL BANJIR LUAPAN SUNGAI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH DI DAS BODRI PROVINSI JAWA TENGAH Nugraha Saputro nggonzales9gmail.com Taufik Heri Purwanto taufik_hpyahoo.com Abstract - PEMODELAN SPASIAL BANJIR LUAPAN S

0 0 9