dalam konteks ini adalah padanan dari kelompok manusia; keduanya merupakan kekuatan dinamis yang membentuk lanskap. Pada beberapa kawasan di dunia,
lanskap budaya merupakan model interaksi antara manusia, sistem sosialnya dan cara mereka mengorganisasikan ruang.
Lanskap budaya adalah refleksi adaptasi manusia dan penggunaan sumber daya alam. Lanskap budaya sering diekpresikan dari cara
pengorganisasian dan penggunaan lahan, pola pemukiman, tata guna lahan, sistem sirkulasi dan tipe struktur yang dibangun. Lanskap budaya meliputi
sumber daya alam dan budaya yang memberikan suatu sense of place serta merupakan bagian dari warisan nasional dan bagian dari kehidupan kita. Jenis
lanskap ini menunjukkan aspek asal-usul dan perkembangan suatu bangsa melalui bentuk, penampakan dan sejarah penggunaannya. Intinya lanskap
budaya mengandung informasi tak ternilai mengenai sejarah bangsa kita dan hubungan kita dengan lanskap sekitar Cosgrove dalam Azlan, 2001.
Pendapat lain dikemukakan oleh Nurisjah dan Pramukanto 2001 yang secara spesifik mendefinisikan lanskap budaya cultural landscape sebagai satu
model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya
alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang
merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat
dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut dalam bentuk pola pemukiman dan perkampungan, pola
penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lainnya.
2.2 Pemukiman Tradisional
Menurut Unterman dan Small 1986 pemukiman digambarkan sebagai suatu perumahan yang saling berhubungan sehingga unit-unit individu tersebut
membagi bersama baik dinding, lantai maupun langit-langitnya. Unit-unit tersebut membagi bersama pemakaian rumah tangga dan fasilitas-fasilitas yang ada.
Sedangkan menurut Van der Zu 1986 pemukiman merupakan suatu sumber informasi tentang manusia dan aktifitasnya dalam suatu habitat. Pemukiman
memiliki dua arti yaitu suatu proses dim ana manusia menetap pada suatu area dan hasil dari proses tersebut. Pemukiman tidak hanya sekedar sebagai tempat
tinggal dan tempat kerja manusia melainkan juga tempat untuk memenuhi fasilitas jasa, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 1992 mendefinisikan pemukiman sebagai bagian dari lingkungan hidup, di luar kawasan lindung, baik
berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Perikehidupan di desa-desa asli berfungsi lengkap sebagai satu unit pemukiman juga telah ditata dengan sarana fungsional dalam skala yang sederhana. Ada
barisan perumahan, rumah upacara, lumbung, pemondokan pemuda, tempat berburu, tempat mengambil air minum dan mandi, tempat beternak, ladang,
kuburan, dan jalan setapak Marbun, 1994. Definisi pemukiman tradisional sendiri menurut Parker dan King 1988
adalah suatu pemukiman yang bentukannya dipengaruhi oleh doktrin, pengetahuan, kebiasaan, adat istiadat dari masa lalu yang diturunkan dari
generasi ke generasi berikutnya, yang terdiri dari elemen budaya tradisional. Elemen budaya tradisional dapat berupa bangunan tradisional, kelompok
bangunan, struktur, kelompok struktur, distrik bersejarah maupun obyek yang berdiri sendiri, begitu juga dengan tradisi, keyakinan, kebiasaan cara hidup, seni,
kerajinan tangan, dan lembaga sosial.
2.3 Pelestarian Lanskap Budaya
Keberadaan lanskap budaya sangat penting, karena hal tersebut mengandung maksud jika kita kehilangan lanskap yang mengandung budaya
dan tradisi masyarakat, maka kita akan kehilangan apa yang menjadi bagian penting dari diri kita dan akar kita pada masa lampau. Sebagai arsitek lanskap,
merupakan tanggung jawab profesional untuk menentukan lingkungan khusus ini, setelah diidentifikasi, apakah akan dilindungi atau digunakan sebijaksana
mungkin untuk dapat mempertahankan kelangsungan suatu lambang atau simbol warisan sejarah manusia dan dunia Tishler, 1982.
Pelestarian lanskap sejarah dan budaya dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa
budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya dan nilai yang dimilikinya. Pelestarian
suatu benda dan juga suatu kawasan yang bernilai budaya dan sejarah ini, pada hakekatnya bukan hanya untuk melestarikannya, tetapi terutama untuk menjadi
alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut. Upaya ini bertujuan pula untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih
baik berdasar kekuatan aset-aset budaya lama dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta merencanakan
program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi Nurisjah dan Pramukanto, 2001.
Secara lebih spesifik, Nurisjah dan Pramukanto 2001 menyatakan bahwa kepentingan dari pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya
dan sejarah, adalah untuk : 1. Mempertahankan warisan budayasejarah yang memiliki karakter spesifik
suatu kawasan, seperti Jalan Braga di Bandung, Jalan Malioboro di Yogyakarta, atau kawasan-kawasan peninggalan budayasejarah jaman
terdahulu Colonial Towns, Kampung Naga. 2. Menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu areal
atau kawasan. Adanya areal sejarah atau yang bernilai budaya tinggi di suatu kawasan tertentu yang relatif modern akan memiliki kesan visual
dan sosial yang berbeda. 3. Kebutuhan psikis manusia, untuk melihat dan merasakan eksistensi
dalam alur kesinambungan masa lampau-masa kini-masa depan yang tercermin dalam obyekkarya tamanlanskap untuk selanjutnya dikaitkan
dengan harga diri, percaya diri dan sebagai identitas diri suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu contohnya Kawasan Kota Surabaya
yang dipenuhi oleh simbol-simbol perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan.
4. Motivasi ekonomi, peninggalan budaya dan sejarah memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara baik, terutama dapat mendukung perekonomian
kotadaerah bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata cultural and historical type of tourism.
5. Menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu contohnya Kawasan Pecinan, Kampung
Bugis. Lebih lanjut Nurisjah dan Pramukanto 2001 mengemukakan bahwa
dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap budaya atau sejarah, terdapat beberapa bentuk tindakan teknis yang umumnya dilakukan, antara lain :
1. Adaptative Use penggunaan adaptif, yaitu mempertahankan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasikan berbagai penggunaan,
kebutuhan dan kondisi masa kini. 2. Rekonstruksi, yaitu pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik
secara keseluruhan atau sebagian dari tapak asli. 3. Rehabilitasi, yaitu tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki utilitas,
fungsi atau penampilan suatu lanskap sejarah. Dalam kasus ini maka keutuhan lanskap dan strukturnya secara fisik maupun visual serta nilai
yang terkandung harus dipertahankan. 4. Restorasi, yaitu suatu model pendekatan tindakan pelestarian yang paling
konservatif yaitu pengembalian penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya mengembalikan penampilan sejarah dari lanskap ini
sehingga apresiasi terhadap lanskap tersebut tetap ada. 5. Stabilisasi, yaitu suatu tindakan atau strategi dalam melestarikan karya
atau obyek lanskap yang ada melalui upaya memperkecil pengaruh negatif seperti gangguan iklim, deterioration, dan suksesi alami terhadap
tapak. 6. Konservasi, yaitu tindakan pasif dalam upaya pelestarian untuk
melindungi suatu lanskap sejarah dari kehilangan atau pelanggaran serta pengaruh yang tidak tepat. Tindakan yang bertujuan hanya untuk
melestarikan apa yang ada saat ini, mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan
kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan dimasa depan.
7. Interpretasi, yaitu usaha pelestarian yang mendasar untuk mempertahankan lanskap aslialami secara terpadu dengan usaha-usaha
yang juga dapat menampung kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan baru serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa ini dan yang akan
datang. Menurut Sidharta dan Budihardjo 1989, yang menjadi payung dari
semua kegiatan pelestarian adalah kegiatan konservasi. Konservasi diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang
dikandungnya terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sedangkan
Harvey dan Buggey 1988 menyatakan bahwa seluruh kegiatan pelestarian
bertujuan untuk mempertahankan dan melindungi susunan bersejarah. Mereka hanya berbeda dalam hal tingkat campur tangan dan perhatiannya terhadap
gambaran yang akurat sejarah masa lalu. Konservasi arsitektur bukan berarti mengawetkan bangunan seperti
keadaan aslinya, tetapi bisa juga mewadahi kegiatan dan bahkan membangun baru asal tidak bertentangan frontal dengan bangunan lama. Upaya konservasi
yang sekedar dilandasi pertimbangan budaya semata-mata, atau atas landasan estetis-arsitekturis belaka, telah seringkali terbukti kurang berhasil. Konsep
konservasi yang lebih sesuai yang dianjurkan adalah dengan menyuntikkan fungsi-fungsi baru yang menguntungkan ditilik dari segi ekonomi-finansial,
misalnya dengan mengembangkan aktifitas ekonomi seperti pertokoan cinderamata, pasar seni, pusat kerajinan, pusat hiburan, dan lain-lain, yang akan
menghasilkan keuntungan yang sebagian bisa disisihkan untuk biaya pemeliharaan Budihardjo, 1997.
2.4 Wisata Budaya