Perencanaan lanskap wisata pada kawasan cagar budaya Kotagede, Yogyakarta

(1)

PERENCANAAN LANSKAP WISATA PADA KAWASAN

CAGAR BUDAYA KOTAGEDE, YOGYAKARTA

YUMI NURSYAMSIATI RAHMI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi Perencanaan Lanskap Wisata pada Kawasan Cagar Budaya Kotagede, Yogyakarta adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Yumi Nursyamsiati Rahmi


(3)

RINGKASAN

YUMI NURSYAMSIATI RAHMI. Perencanaan Lanskap Wisata pada Kawasan Cagar Budaya Kotagede, Yogyakarta. Dibimbing oleh INDUNG SITTI FATIMAH dan NURHAYATI H.S. ARIFIN.

Kotagede terletak sekitar 10 kilometer di sebelah tenggara jantung kota Yogyakarta. Wilayah itu sekarang terkenal dengan nama Kawasan Cagar Budaya (KCB) Kotagede yang merupakan sentra kerajinan perak di Yogyakarta.

Sebagai kota tua bekas ibukota kerajaan, Kota Kotagede merupakan kota warisan (heritage) yang di dalamnya terdapat makam raja-raja Mataram antara lain makam Panembahan Senopati (pendiri Mataram). Selain itu, Kotagede juga menyimpan sekitar 170 bangunan kuno yang didirikan pada tahun 1700 hingga 1930.

Berdasarkan keberadaan lanskap sejarah tersebut maka KCB Kotagede ini penting untuk dilestarikan dan dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata sejarah. Tujuan studi ini adalah menyusun lanskap wisata pada KCB Kotagede untuk mendukung interpretasi sejarah awal Kerajaan Mataram Islam, kenyamanan wisata dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode perencanaan lanskap menurut Gold (1980) dengan pendekatan potensi dari lanskap sejarah dan budaya untuk menjadi kawasan wisata. Data yang diinventarisasi meliputi data aspek sejarah, aspek biofisik, aspek sosial, budaya dan ekonomi, aspek wisata serta aspek pengelolaan dari lanskap KCB Kotagede. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif dan spasial. Tahap selanjutnya adalah melakukan sintesis dari hasil analisis untuk menentukan konsep pengembangan wisata yang kemudian dihasilkan rencana lanskap wisata.

Saat ini KCB Kotagede lebih terkenal dengan pusat penghasil kerajinan peraknya daripada sejarah dari kawasannya. Selain pengunjung yang melakukan wisata belanja di pusat pertokoan perak, terdapat sebagian kecil pengunjung yang melakukan ziarah di Komplek Makam Raja-Raja Mataram. Jika dilihat dari peninggalan-peninggalan sejarahnya, kawasan ini berpotensi untuk dijadikan sebuah kawasan wisata sejarah dan budaya.

Permasalahan yang terdapat pada KCB Kotagede ini adalah belum terlihatnya penentuan zonasi yang sesuai dengan ketentuan UU pemerintah terhadap peninggalan sejarah yang ada. Penyebab lainnya adalah kurangnya sosialisasi tentang nilai penting dari lanskap sejarahnya, dimana kawasan ini dahulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Maka diperlukanlah penentuan zonasi pada kawasan yang mengacu pada Perda Provinsi DI Yogyakarta No 11 tahun 2005 tentang pengelolaan KCB dan BCB bab IX pasal 28 ayat (2) mengatakan bahwa pengembangan KCB dapat berupa penataan zona inti, zona penyangga, dan pentaan zona penunjang. Kemudian untuk kebutuhan ruang wisata yang diperlukan dalam pengembangan kawasan ini mencakup ruang objek wisata, ruang transisi, ruang pelayanan dan ruang penerimaan.

Dilihat dari hasil integrasi dua kebutuhan ruang dalam pengembangan kawasan sebagai lanskap wisata, yaitu kebutuhan ruang pelestarian dan kebutuhan ruang wisata, maka pembagian ruang yang diterapkan meliputi mintakat inti yang


(4)

di dalamnya termasuk ruang objek wisata utama. Kemudian dalam mintakat penyangga, ruang wisata yang termasuk di dalamnya adalah ruang transisi dan ruang objek wisata pendukung. Untuk mintakat pengembangan, di dalamnya terdapat ruang transisi, ruang objek wisata pendukung, ruang pelayanan dan ruang penerimaan. Dengan konsep ruang tersebut diharapkan pada kawasan dapat dilakukan kegiatan wisata yang nyaman bagi pengunjungnya serta tindakan pelestarian lanskap sejarah yang dapat melindungi keberadaan peninggalan sejarah.

Konsep dasar pengembangan yang akan diterapkan pada KCB Kotagede ini adalah menciptakan lanskap wisata sejarah yang mendukung interpretasi pengetahuan tentang perkembangan KCB Kotagede sejak jaman Kerajaan Mataram Islam sampai terbentuknya KCB Kotagede sebagai pusat penghasil kerajinan perak, serta menciptakan suatu kawasan wisata yang memberikan kenyamanan kepada wisatawannya.

Secara spasial, konsep pengembangan yang diterapkan diterjemahkan dalam rencana ruang wisata, rencana sirkulasi, rencana fasilitas, rencana jalur interpretasi dan rencana tata hijau. Ruang objek wisata utama/inti yang meliputi Komplek Makam Raja-Raja Mataram, Masjid Besar Mataram, komplek pemandian (sendang), Situs Watu Gilang dan Watu Gatheng serta Cepuri merupakan elemen utama dari bukti sejarah tentang keberadaan Kerjaan Mataram Islam. Ruang penyangga pada kawasan ini berupa pemukiman penduduk setempat juga lokasi terdapatnya objek wisata pendukung. Ruang transisi merupakan ruang yang mengarahkan ke objek wisata berada. Ruang ini berada antara ruang inti dengan ruang penerimaan. Ruang penerimaan (welcome area) yang berada sebelah barat dari kawasan merupakan pintu masuk utama ke dalam kawasan. Selain itu juga terdapat ruang penerimaan pendukung yang berada sebelah utara dan timur dari kawasan.

Jalur sirkulasi yang direncanakan berbentuk pola loop dan terdiri dari tiga jenis, yaitu jalur primer, jalus sekunder dan jalur tersier. Rencana fasilitas penempatannya dilakukan pada titik-titik yang diperkirakan wisatawan membutuhkan fasilitas tersebut, sehingga wisatawan nyaman selama melakukan aktivitasnya. Rencana interpretasi yang dibuat dalam bentuk jalur dan sarana interpretasi yang dapat membantu wisatawan untuk mengetahui mengenai perkembangan KCB Kotagede dari jaman Kerajaan Mataram Islam hingga terbentuknya KCB Kotagede sebagai pusat penghasil kerajinan perak. Rencana tata hijau yang utama adalah sebagai penguat identitas yang akan menggunakan tanaman khas kraton jawa. Untuk tamanan lain yang digunakan adalah tanaman lokal yang akan difungsikan sebagai pembatas, peneduh, estetika, dan penyerap polusi. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa perencanaan lanskap wisata pada KCB Kotagede yang merupakan gabungan dari semua rencana yang telah dipaparkan.

Kata Kunci: Perencanaan Lanskap Wisata, Kawasan Cagar Budaya Kotagede, Kerajaan Mataram Islam


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(6)

PERENCANAAN LANSKAP WISATA PADA KAWASAN

CAGAR BUDAYA KOTAGEDE, YOGYAKARTA

YUMI NURSYAMSIATI RAHMI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Departemen Arsitektur Lanskap

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(7)

Judul Penelitian : PERENCANAAN LANSKAP WISATA PADA KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTAGEDE, YOGYAKARTA

Nama : Yumi Nursyamsiati Rahmi NRP : A44063086

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MSc NIP. 19611111 198903 2 002 NIP. 19620121 198601 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya tanggal 10 September 1988, sebagai anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak (Alm) Abdul Matin Rozaq dan Ibu (Alm) Siti Asyiah.

Pendidikan penulis diawali pada tahun 1993 dan menyelesaikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Aisyiah 2 Benda. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Sukamanah 3 pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTP Negeri 2 Tasikmalaya, kemudian pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan dari SMA Negeri 2 Tasikmalaya.

Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan selama satu tahun menjalankan program Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi sebagai mahasiswa di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian.

Pada tahun ajaran 2010-2011 penulis dipercaya sebagai Asisten Mata Kuliah Teknik Studio (semester ganjil). Penulis juga mengikuti kegiatan di luar akademik, seperti menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP), anggota Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (Himalaya) dan pengurus Eco-Agrifarma divisi pemeliharaan periode 2008/2009. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Tasikmalaya pada tahun 2008. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang mendukung kegiatan akademis.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah mengajarkan dan mengajak umatnya ke jalan yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini berjudul “Perencanaan Lanskap Wisata pada Kawasan Cagar Budaya Kotagede, Yogyakarta”.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi dan Dr. Ir. Nurhayati H. S. Arifin, MSc selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi ini. Selain itu, terima kasih juga ditujukan kepada pihak-pihak yang telah memberikan motivasi, saran, dan nasehat yang membantu penulis, Dr. Ir. Afra D.N. Makalew, MS selaku dosen pembimbing akademik, masyarakat Kotagede terutama Bapak Natsir yang telah membantu penulis selama penelitian, dan teman ARL 43 juga teman-teman penghuni Greenberry atas bantuan dan motivasinya. Terakhir yang tidak mungkin terlupakan adalah ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga besar Abdul Matin Rozaq yang terus memberikan semangat, dukungan, dan do’a kepada penulis.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Bogor, Januari 2011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang ... . 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah ... 5

2.2. Benda Cagar Budaya ... 6

2.3. Pelestarian Lanskap Sejarah ... 8

2.4. Lanskap Sejarah Sebagai Obyek Wisata Sejarah ... ... 13

2.5. Wisata Sejarah ... 13

2.6. Perencanaan Kawasan Wisata ... 15

III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... ... .... 17

3.2. Metode Penelitian ... .... 18

IV. DATA DAN ANALISIS 4.1. Aspek Sejarah... . 24

4.1.1. Sejarah Kawasan Cagar Budaya Kotagede……….. .. 24

4.1.2. Lanskap Sejarah……….... . 28

4.1.3. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Pelestarian ... 36

4.2. Aspek Fisik... . 40

4.2.1. Letak Geografis... . 40

4.2.2. Aksesibilitas... . 42

4.2.3. Topografi dan Jenis Tanah... . 42

4.2.4. Hidrologi... . 43

4.2.5. Iklim... . 44

4.2.6. Vegetasi dan Satwa... .. 45

4.2.7. Penggunaan Lahan ... 45

4.2.8. Fasilitas dan Utilitas... . 47

4.3. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya... . 49

4.3.1. Keadaan Sosial Ekonomi... . 49

4.3.2. Keadaan Sosial Budaya... .. 50

4.4. Aspek Wisata... . 57

4.4.1. Objek Wisata... . 57

4.4.2. Atraksi Wisata Kesenian dan Budaya... . 64


(11)

4.4.4. Fasilitas Pendukung Wisata... 68

4.4.5. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Wisata ... 70

4.5. Aspek Pengelolaan dan Kebijakan... . 76

4.5.1. Pengelolaan KCB Kotagede... .. 76

4.5.2. Rencana dan Kebijakan Pengembangan... . 78

V. KONSEP PENGEMBANGAN 5.1. Pengembangan Wisata... 85

5.2. Kebutuhan Ruang Pelestarian dan Wisata... . 86

5.2.1. Kebutuhan Ruang Pelestarian... 86

5.2.2. Kebutuhan Ruang Wisata... . 88

5.3. Upaya Pelestarian Kawasan... 89

5.4. Konsep Pengembangan Lanskap... 94

5.4.1. Konsep Ruang Wisata... 94

5.4.2. Konsep Sirkulasi... 96

5.4.3. Konsep Jalur Interpretasi... 97

5.4.4. Konsep Fasilitas... 98

5.4.5. Konsep Tata Hijau... . 99

VI. PERENCANAAN LANSKAP 6.1. Rencana Ruang Wisata... . 100

6.2. Rencana Sirkulasi... .. 104

6.3. Rencana Jalur Interpretasi... .. 107

6.4. Rencana Fasilitas... .. 113

6.5. Rencana Tata Hijau... . 117

6.6. Rencana Lanskap Wisata Kawasan Cagar Budaya Kotagede….. .. 120

VII.KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan... . 127

7.2. Saran... .. 128

DAFTAR PUSTAKA ... ... 129


(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir ... 4

2 Peta Lokasi Studi ... 17

3 Tahapan Penelitian ... 23

4 Peta Wilayah Kerajaan Mataram ... 28

5 Masjid Besar Mataram ... 29

6 Denah Komplek Makam ... 30

7 Wisatawan yang akan melakukan ziarah ... 31

8 Gerbang masuk makam Raja-Raja Mataram ... 31

9 Komplek pemandian (sendang)... 31

10 Suasana Kampung Dalem ... 32

11 Watu Gilang ... 33

12 Watu Gatheng ... 33

13 Sisa-sisa benteng keraton ... 33

14 Sisa-sisa benteng kota (baluwarti) ... 34

15 Jagang yang telah direnovasi menjadi saluran drainase ... 35

16 Suasana Pasar Gede... 35

17 Analisis dan Sintesis untuk Pelestarian ... 37

18 Kesesuian lahan untuk pelestarian ... 39

19 Peta sekitar kawasan lokasi penelitian ... 41

20 Gerbang masuk melalui Jalan Kemasan ... 42

21 Gerbang masuk melalui Jalan Tegalgendu ... 42

22 Lapang Karang ... 47

23 RS PKU Muhammadiyah ... 47

24 Gardu listrik kuno ... 48

25 Tiang listrik kayu ... 48

26 Peta penggunaan lahan pada KCB Kotagede ... 52

27 Persebaran kerajinan KCB Kotagede ... 53

28 Persebaran kesenian KCB Kotagede ... 54

29 Persebaran pengolahan makanan tradisional KCB Kotagede ... 55

30 Persebaran fasilitas umum KCB Kotagede ... 56


(13)

31 Kondisi rumah Kalang ... 58

32 Langgar Tua ... 59

33 Reruntuhan Rumah Prof. Kahar Muzakkir ... 59

34 Salah satu Toko Kerajinan Perak yang cukup terkenal ... 60

35 Grafik jumlah pengunjung pada tahun 2008 ... 66

36 Grafik jumlah pengunjung pada tahun 2009 ... 67

37 Presentase keinginan masyarakat dalam pengembangan kawasan ... 70

38 Analisis dan Sintesis untuk Wisata ... 72

39 Kesesuaian lahan untuk wisata... 74

40 Lokasi potensi objek wisata ... 75

41 Kebutuhan ruang pelestarian ... 87

42 Ruang kebutuhan wisata ... 89

43 Zonasi Pelestarian ... 92

44 Zonasi Wisata ... 93

45 Konsep Ruang Wisata ... 94

46 Konsep Sirkulasi pada kawasan ... 97

47 Rencana Ruang KCB Kotagede ... 103

48 Rencana Sirkulasi KCB Kotagede ... 106

49 Ilustrasi tugu batas alun-alun ... 108

50 Rencana Interpretasi KCB Kotagede ... 112

51 Ilustrasi gerbang masuk kawasan ... 113

52 Ilustrasi area parkir ... 114

53 Ilustrasi Papan Informasi... 114

54 Ilustrasi panggung kesenian ... 115

55 Ilustrasi restaurant ... 115

56 Ilustrasi site furniture ... 116

57 Ilustrasi terminal becak dan andong ... 117

58 Block Plan perencanaan lanskap KCB Kotagede ... 121

59 Site Plan ... 123

60 Detail Spot ... 124

61 Ilustrasi pada objek wisata cepuri ... 125

62 Ilustrasi pada objek wisata pemandian (sendang) ... 125

63 Ilustrasi pada Jalan Kemasan ... 126


(14)

DAFTAR TABEL

1 Jenis, bentuk dan sumber data yang diperlukan ... 19

2 Skoring dan pembobotan terhadap kriteria yang dimiliki dari lanskap sejarah ... 20

3 Ringkasan perkembangan KCB Kotagede pada setiap periode ... 26

4 Penilaian terhadap Objek Sejarah untuk potensi pelestarian ... 38

5 Sifat fisik dan kimia tanah Kotagede ... 43

6 Nilai rata-rata unsur iklim Kota Yogyakarta tahun 2000-2008 ... 44

7 Daftar vegetasi pada KCB Kotagede ... 46

8 Luas wilayah dan jumlah penduduk KCB Kotagede ... 50

9 Jenis mata pencaharian masyarakat KCB Kotagede ... 51

10 Tingkat pendidikan masyarakat KCB Kotagede ... 51

11 Objek dan Atraksi Wisata dalam Kawasan ... 61

12 Atraksi Seni Budaya pada KCB Kotagede ... 65

13 Penilaian kawasan untuk potensi wisata berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana ... 73

14 Penilaian kawasan untuk potensi wisata berdasarkan kondisi fisik dan lingkungan ... 73

15 Hasil Analisis Tapak ... 82

16 Rencana Daya Dukung pada KCB Kotagede... 91

17 Matriks Hubungan Ruang Pelestarian dan Ruang Wisata... 95

18 Hubungan Fungsi Tanaman dan Ruang ... 99

19 Rencana Ruang, Aktivitas, dan Fasilitas Wisata ... 102

20 Rencana Interpretasi KCB Kotagede ... 109

21 Paket Perjalanan Wisata ... 111

22 Fungsi dan Alternatif Tanaman ... 119


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Persepsi Masyarakat Lokal terhadap KCB Kotagede ... 132 2 Kuesioner Persepsi Pengunjung terhadap KCB Kotagede ... 137


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perkembangan sejarah, kawasan Indonesia memiliki beberapa peninggalan kerajaan-kerajaan dahulu yang pernah berkuasa pada sebagian wilayah nusantara, seperti Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan masih banyak lagi kerajaan yang ikut berkembang sampai terbentuknya negara Indonesia.

Khususnya pada kawasan Yogyakarta dahulu pernah berdiri sebuah kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Islam Mataram yang beribukota di Kotagede. Selanjutnya kerajaan itu terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Kotagede terletak sekitar 10 kilometer di sebelah tenggara jantung kota Yogyakarta. Wilayah itu sekarang terkenal dengan nama Kawasan Cagar Budaya Kotagede yang diatur sesuai dengan Perda Prov DIY No. 11 tahun 2005 pasal 1 ayat 6, yaitu sebagai kota tua bekas Ibukota kerajaan Mataram Islam yang memiliki benda atau bangunan cagar budaya dan mempunyai karakteristik serta kesamaan latar belakang dalam batas geografis yang ditentukan dengan deliniasi fisik dan non fisik. KCB Kotagede juga merupakan kota warisan (heritage) yang amat berpotensi bagi kemakmuran masyarakatnya.

Suasana tradisional masih sangat terasa di kota ini, misalnya terlihat di Komplek Mesjid Agung Kotagede yang terasa masih seperti di lingkungan Kraton, dimana lengkap dengan pagar batu berelief mengelilingi mesjid, pelataran yang luas dimana terdapat beberapa pohon sawo kecik, serta sebuah Bedug berukuran besar yang umurnya sudah sangat tua, setua Mesjid Agung Kotagede sendiri. Selain itu di Kotagede juga terdapat Makam Raja-Raja terdahulu Mataram antara lain makam Panembahan Senopati (pendiri Mataram). Namun kemudian makam Raja-Raja Mataram selanjutnya dipindahkan ke daerah Imogiri oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raja Mataram yang menyerang Batavia). Selain itu, Kotagede juga menyimpan sekitar 170 bangunan kuno yang dibangun pada tahun 1700 hingga 1930.

Keberadaan KCB Kotagede ini memiliki arti penting bagi penduduk sekitar. Selain sebagai sumber mata pencaharian yaitu melakukan aktivitas


(17)

ekonomi juga sebagai identitas wilayah tersebut bahwa dahulu kawasan tersebut merupakan sebuah kerajaan. Identitas ini memberikan rasa bangga tersendiri bagi penduduk sekitar.

Peninggalan budaya dan sejarah akan memiliki nilai yang tinggi jika dipelihara dengan baik, terutama dapat mendukung perekonomian kota/daerah jika dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Sedangkan kegiatan wisata yang paling diminati oleh wisatawan pada KCB Kotagede saat ini adalah wisata belanja, yaitu pembelian berbagai kerajinan yang terbuat dari logam terutama perak. Dengan hanya melakukan kegiatan wisata belanja saja wisatawan tidak akan mengetahui nilai maupun kisah sejarah dari KCB Kotagede ini. Maka jika nilai sejarah dan budaya pada KCB Kotagede ini lebih dipelihara maupun dilestarikan lagi maka akan lebih menarik minat wisatawan untuk berkunjung.

Dilihat dari elemen–elemen sejarah dan budaya yang dimiliki KCB Kotagede ini maka keutuhan dan kelestariannya sebagai suatu lanskap sejarah yang memiliki nilai historis yang tinggi bagi keberlanjutan suatu sejarah perlu dijaga. Tindakan awal yang dapat diambil adalah melalui tindakan identifikasi dan inventarisasi obyek sejarah yang ada, sehingga dapat diketahui kondisi dan potensinya yang selanjutnya dapat ditentukan tindakan pelestarian dan pengembangan yang diperlukan.

Kegiatan pelestarian yang dilakukan pada KCB Kotagede ini akan berorientasi pada UU Cagar Budaya dan Perda Prov DI Yogyakarta dimana didalamnya dikatakan bahwa salah satu cara pelestarian dapat berupa pengembangan sebagai kawasan wisata. Maka pada penelitian ini akan dilakukan analisis potensi KCB Kotagede sebagai kawasan wisata yang kemudian akan disintesis sehingga menghasilkan sebuah perencanaan lanskap wisata.


(18)

1.2. Tujuan

Tujuan dari studi ini adalah :

1. Mengindentifikasi tatanan lanskap sejarah Kerajaan Islam Mataram pada Kawasan Cagar Budaya Kotagede, Yogyakarta

2. Menganalisis potensi lanskap untuk diberdayakan sebagai kawasan wisata sejarah

3. Mengusulkan konsep pelestarian dan pemberdayaan lanskap sejarah Kawasan Cagar Budaya Kotagede sebagai kawasan wisata dengan tetap menjaga karakter lanskap sejarahnya

4. Merencanakan Kawasan Cagar Budaya Kotagede sebagai kawasan wisata dengan memanfaatkan potensi yang ada dan turut ikut mensejahterakan masyarakat sekitar kawasan.

1.3. Manfaat

Manfaat dari studi ini adalah :

1. Memberikan informasi tentang tatanan lanskap, sejarah Kerajaan Mataram Islam, nilai-nilai penting dari Kawasan Cagar Budaya Kotagede, serta tindakan pelestarian yang diperlukan.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemda setempat dalam upaya pelestarian lanskap sejarah yang memiliki nilai penting bagi penduduk sekitar dan potensi pengembangan sebagai kawasan wisata. 3. Meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitar kawasan dengan

mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan wisata Kawasan Cagar Budaya Kotagede

1.4. Kerangka Pikir

KCB Kotagede sebagai kota tua bekas ibukota Kerajaan Mataram Islam meninggalkan lanskap sejarah yang memiliki beberapa bangunan sejarah maupun kebudayaan yang khas dan terdapat aktifitas yang dapat mendukung kegiatan wisata. Kedua faktor tersebut dapat dijadikan potensi dalam kegiatan pelestarian lanskap sejarah juga dalam pengembangan kawasan menjadi lanskap wisata (Gambar 1).


(19)

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lanskap Sejarah

Lanskap merupakan bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter lanskap tersebut menyatu secara harmoni dan alami yang dapat memperkuat karakter lanskapnya (Simonds 1983). Eckbo (1964) menyatakan bahwa lanskap adalah ruang di sekeliling manusia yang mencakup segala sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan dan merupakan pengalaman yang berkelanjutan sepanjang waktu dan dalam seluruh kehidupan manusia.

Pada konteks lanskap sejarah, Nurisjah dan Pramukanto (2001) mengemukakan bahwa lanskap sejarah adalah bagian dari suatu lanskap yang memiliki dimensi waktu di dalamnya. Lanskap sejarah ini dapat mempunyai bukti fisik dari keberadaan manusia di atas bumi ini. Waktu yang tertera dalam suatu lanskap sejarah yang membedakan dengan desain lanskap lainnya adalah keterkaitan pembentukan essential character dari lanskap ini pada waktu periode yang lalu yang didasarkan pada sistem periodikal yang khusus (seperti system politik, ekonomi, dan social). Oleh karena itu, lanskap sejarah akan memainkan peranan penting dalam mendasari dan membentuk berbagai tradisi budaya, ideological, dan etnikal dalam satu kelompok masyarakat. Sedangkan menurut Harris dan Dines (1988) lanskap sejarah merupakan lanskap yang berasal dari masa lampau dimana di dalamnya terdapat bukti-bukti fisik yang menunjukkan keberadaan manusia pada lanskap tersebut.

Goodchild (1990) mengatakan bahwa suatu lanskap dinyatakan memiliki nilai historis jika mengandung satu atau beberapa kondisi lanskap berikut ini:

a. Merupakan contoh yang menarik dari tipe lanskap sejarah

b. Memiliki bukti penting dan menarik untuk dipelajari yang terkait dengan tata guna lahan, lanskap dan taman, atau sikap budaya terhadap lanskap dan taman

c. Terkait dengan sikap seseorang, masyarakat, atau peristiwa penting dalam sejarah

d. Memiliki nilai sejarah yang berkaitan dengan bangunan, monument, atau tapak yang bersejarah.


(21)

2.2. Benda Cagar Budaya

Lanskap sejarah termasuk ke dalam konteks cultural heritage. Di Indoneia lanskap dan benda-benda bersejarah yang dilindungi diartikan sebagai benda cagar budaya. Berdasarkan Undang-Undang N0. 5 tahun 1992, benda cagar budaya (BCB) adalah suatu benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya, berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Wujud BCB menurut Undang-Undang N0. 5 tahun 1992 pasal 1 (a) terbagi dua, yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak yaitu benda yang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain, contohnya patung, alat-alat upacara dan lain sebagainya. Benda tidak bergerak, yaitu benda yang tidak dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain dan mempunyai kesatuan dengan situsnya, contoh masjid, rumah, dan lain sebagainya.

Peraturan pelaksanaan dari UU tersebut dijelaskan dalam peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1993 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang BCB. Dalam peraturan tersebut meliputi peraturan tentang kepemilikan, perlindungan, dam pemeliharaan, serta pembinaan dan pengawasan BCB. Kepemilikan BCB diantaranya dijelaskan dalam Bab 2 Pasal 2 sebagai berikut :

1. Perlindungan dan/atau pelestarian BCB, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya baik bergerak maupun tidak bergerak, dan situs yang berada di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh negara. 2. Penguasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pengaturan

terhadap pemilikan, pendaftaran, pengalihan, perlindungan, pemeliharaan, penemuan, pencarian, pemanfaatan, pengelolaan, perizinan, dan pengawasan.

3. Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diselenggarakan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya diantaranya dijelaskan dalam Bab 4 Pasal 23 sebagai berikut :


(22)

1. Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran.

2. Kepentingan perlindungan cagar budaya dan situs diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan.

3. Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan sistem pemintakatan (zoning) yang terdiri dari mintakat inti, penyangga, dan pengembang.

Sistem pemintakatan (zoning) yang dimaksud adalah penentuan wilayah mintakat situs dengan batas mintakat yang penentuannya disesuaikan dengan kebutuhan benda cagar budaya yang bersangkutan untuk tujuan perlindungan. Sistem pemintakatan dapat terdiri dari mintakat inti atau mintakat cagar budaya yakni lahan situs, mintakat penyangga yakni lahan di sekitar situs yang berfungsi sebagai penyangga bagi kelestarian situs, dan mintakat pengembangan yakni lahan di sekitar mintakat penyangga atau mintakat inti yang dapat dikembangkan untuk difungsikan sebagai sarana sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian benda cagar budaya dan situsnya.

Hal mengenai pembinaan dan pengawasan diantaranya dijelaskan dalam Bab 6 Pasal 41 sebagai berikut :

1. Menteri bertanggung jawab atas pembinanaan terhadap pengelolaan BCB 2. Pembinaan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a) Pembinaan terhadap pemilik atau yang mengasai BCB berkenaan dengan tata cara perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya b) Pembinaan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian

3. Pembinaan dapat dilakukan melalui : a) Bimbingan dan penyuluhan

b) Pemberian bantuan tenaga ahli atau bentuk lainnya c) Peningkatan peran serta masyarakat

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pengelolaan BCB diatur oleh Menteri.

2.3. Pelestarian Lanskap Sejarah

Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001) Pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari


(23)

berbagai perubahan negatif atau merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Upaya ini bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik berdasarkan kekuatan aspek-aspek budaya lama, dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, serta juga merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi.

Goodchild (1990) mengatakan bahwa lanskap sejarah perlu dilestarikan karena memiliki arti penting sebagai berikut :

1. Menjadi bagian penting dan bagian integral dari warisan budaya (cultural heritage)

2. Menjadi bukti fisik dan arkeologis dari sejarah warisan budaya tersebut 3. Memberi konstribusi bagi keberlanjutan pembangunan kehidupan

berbudaya

4. Memberi konstribusi bagi keanekaragaman pengalaman yang ada 5. Memberikan suatu kenyaman publik (public amenity)

6. Memiliki nilai ekonomis dan dapat mendukung pariwisata

Pelestarian lanskap sangat penting, menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001) tujuan pelestarian lanskap terkait dengan aspek budaya dan sejarah secara lebih spesifik adalah untuk :

1. Mempertahankan warisan budaya/sejarah yang memiliki karakter spesifik suatu kawasan

2. Menjamin terwujudnya ragam kontras yang menarik dari suatu areal atau kawasan tertentu yang relatif modern akan memiliki kesan visual dan sosial yang berbeda

3. Memenuhi kebutuhan psikis manusia, untuk melihat dan merasakan eksistensi dalam alur kesinambungan masa lampau, masa kini, masa depan yang tercermin dalam obyek/karya taman/lanskap untuk selanjutnya dikaitkan dengan harga diri, percaya diri, dan sebagai identitas diri suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu

4. Menjadikan motivasi ekonomi, peninggalan budaya dan sejarah memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara dengan baik, terutama dapat mendukung perekonomian kota/daerah bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata (cultural and historical type of tourism)


(24)

5. Menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dan identitas dari suatu kelompok masyarakat tertentu

Secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan lanskap, Harris dan Dines (1988) mengajukan empat hal utama tujuan tindakan preservasi untuk pelestarian lanskap sejarah ini, yaitu :

1. Menyelamatkan karakter estetik dari suatu areal, wilayah, atau property 2. Mengkonservasi sumberdaya

3. Memfasilitasi pendidikan lingkungan

4. Mengakomodasi perubahan-perubahan keutuhan akan hunian, baik yang terdapat dalam kawasan perkotaan, di tepi kota, maupun di kawasan pedesaan.

Selanjutnya Nurisjah dan Pramukanto (2001) juga mengemukakan beberapa pilihan bentuk tindakan teknis yang umumnya dilakukan dalam upaya pengelolaan lanskap bersejarah, yaitu sebagai berikut :

1. Adaptive use (penggunaan adaptif)

Mempertahankan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasi berbagai penggunaan, kebutuhan, dan kondisi masa kini. Kegiatan model ini memerlukan pengakjian yang cermat dan teliti terhadap sejarah, penggunaan, pengelolaan dan faktor lain yang turut berperan dalam pembentukan lanskap tersebut. Pendekatan ini akan memperkuat arti sejarah dan mempertahankan warisan sejarah yang terdapat pada lanskap itu dan mengintegrasikannya dengan kepentingan, penggunaan, dan kondisi sekarang yang relevan.

2. Rekonstruksi

Pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik secara keseluruhan atau sebagian dari tapak asli, yang dilakukan pada kondisi :

• Tapak tidak dapat bertahan lama pada kondisi yang asli atau mulai hancur karena faktor alam

• Suatu babakan sejarah tertentu yang perlu untuk ditampilkan

• Lanskap yang hancur sama sekali sehingga tidak terlihat seperti kondisi awalnya

• Alasan kesejarahan yang harus ditampilkan Pendekatan ini dapat diterapkan bila memenuhi syarat :


(25)

• Tidak terdapat lagi peninggalan bersejarah, baik yang disebabkan karena hilang, hancur, rusak, atau berubah

• Data sejarah, arkeologi, etnografis, dan lanskap memungkinkan pelestarian dapat dilakukan secara akurat dengan persyaratan minimal

• Rekonstruksi dilakukan pada lokasi tapak asli (original site)

• Tindakan yang dilakukan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya lain

• Alternatif kebijakan dan studi kelayakan sudah dipertimbangkan dan pilihan alternatif dilakukan sejauh hanya untuk kepentingan tertentu, yaitu agar dapat memperlihatkan kepada masyarakat akan suatu makna sejarah dan meningkatkan apresiasi terhadap nilai tersebut.

3. Rehabilitasi

Merupakan tindakan untuk memperbaiki utilitas, fungsi, atau penampilan suatu lanskap bersejarah. Pada kasus ini, keutuhan lanskap dan struktur/susunannya secara fisik dan visual serta nilai yang terkandung harus dipertahankan. Tindakan ini dilakukan dengan pertimbangan terhadap kenyamanan, lingkungan, sumber daya alam, dan segi administratif.

4. Restorasi

Merupakan model pelestarian yang paling konservatif, yaitu pengembalian penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya mengembalikan penampilan sejarah dari lanskap ini sehingga apresiasi terhadap karya lanskap ini tetap ada. Tindakan ini dilakukan melalui penggantian atau pengadaan elemen yang hilang atau yang tidak ada, atau menghilangkan elemen tambahan yang mengganggu. Tindakan ini dapat dilakukan secara keseluruhan (murni) atau hanya sebagian.

5. Stabilisasi

Merupakan tindakan dalam melestarikan lanskap atau objek yang ada dengan memperkecil pengaruh negatif terhadap tapak.


(26)

6. Konservasi

Merupakan tindakan yang pasif dalam upaya pelestarian untuk melindungi suatu lanskap bersejarah dari kehilangan atau pelanggaran atau pengaruh yang tidak tepat. Tindakan ini bertujuan untuk melestarikan apa yang ada saat ini, mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan di masa depan, tindakan ini juga bertujuan untuk memperkuat karakter spesifik yang menjiwai lingkungan/tapak dan menjaga keselarasan antara lingkungan lama dan pembangunan baru mendekati perkembangan aspirasi masyarakat. Dasar tindakan yang dilakukan, umumnya adalah hanya untuk tindakan pemeliharaan.

7. Interpretasi

Merupakan usaha pelestarian mendasar untuk mempertahankan lanskap asli/alami secara terpadu dengan usaha yang dapat menampung kebutuhan dan kepentingan baru serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa ini dan yang akan datang. Pendekatan pelestarian dengan tindakan interpretasi ini mecakup pengkajian terhadap tujuan desain dan juga penggunaan lanskap sebelumnya. Desain yang baru haruslah mampu untuk memperkuat integritas nilai historis lanskap ini dan pada saat yang bersamaan juga mengintegrasikannya dengan program kegiatan tapak yang diintroduksikan.

8. Period setting, replikasi dan imitasi

Merupakan tindakan penciptaan suatau tipe lanskap pada tapak tertentu yang non original site. Tindakan ini memerlukan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak serta berbagai pengkajian akan sejarah tapaknya sehingga pembangunan lanskap tersebut akan sesuai dengan suatu periode yang telah ditentukan sebelumnya (rencana baru). Penerapannya, umumnya tidak secara luas tetapi hanya untuk situasi atau kasus tertentu.

9. Release

Merupakan tindakan pengelolaan yang memperbolehkan adanya suksesi alam yang asli. Misalnya adalah diperbolehkannya vegetasi menghasilkan suatu produk tertentu secara alami pada suatu lanskap sejauh tidak


(27)

merusak keutuhan atau merusak nilai historisnya. Tetapi tindakan ini memiliki kekurangan karena dapat memberikan andil terhadap kemungkinan hilang atau terhapusnya arti dan nilai sejarah dari lanskap dalm sistem budaya tersebut.

10.Replacement

Merupakan tindakan subtitusi atas suatu komuniti biotik dengan lainnya. Misalnya adalah penggunaan jenis tanaman penutup tanah (ground cover) yang dapat menampilkan bentukan lahan, contoh yang lain adalah subtitusi spesies dengan spesies yang berkarakter sama pada taman-taman barat. Hal yang sama tidak dapat dilakuan pada taman timur karena taman timur memiliki nilai spiritual sehingga tidak dapat disubtitusikan atau digantikan dengan spesies lain.

Sedangkan menurut Harvey dan Buggey (1988), beberapa tindakan yang perlu dilakukan terhadap lankap bersejarah adalah :

1. Preservasi, yaitu mempertahankan tapak sebagaimana adanya tanpa memperkenankan adanya tindakan perbaikan dan perusakan pada obyek. Campur tangan rendah.

2. Konservasi, yaitu tindakan pelestarian untuk mencegah kerusakan lebih jauh dengan campur tangan secara aktif

3. Rehabilitasi, yaitu memperbaiki lanskap ke arah standar-standar modern dengan tetap menghargai dan mempertahankan karakter-karakter sejarah 4. Restorasi, yaitu meletakkan kembali seakurat mungkin apa yang semula

terdapat pada tapak

5. Rekonstruksi, yaitu menciptakan kembali apa yang dulunya ada tetapi sudah tidak ada lagi pada tapak

6. Meletakkan apa yang sesuai pada suatu periode, skala, penggunaan, dan seterusnya.

2.4. Lanskap Sejarah Sebagai Obyek Wisata Sejarah

Upaya pelestarian lanskap/obyek sejarah dapat dilakukan dengan memanfaatkan lanskap sejarah tersebut untuk kesejahteraan masyarakat namun tetap menjaga karakter sejarahnya. Menurut Goodchild (1990), lanskap sejarah penting untuk dilestarikan karena keberadaan lanskap sejarah dapat dikunjungi, dipelajari, diteliti, dan didiskusikan serta dapat dimanfaatkan sebagai obyek


(28)

wisata sejarah. Keberadaannya dapat memberikan kesenangan bagi banyak orang. Lanskap sejarah dapat dijadikan tempat untuk bersantai, rileks, rekreasi dan membangkitkan semangat dan dalam kepentingan ekonomi dapat mendorong peningkatan kepariwisataan.

Yoeti (1997) menyatakan bahwa obyek wisata berupa monument dan bangunan bersejarah serta tempat-tempat bersejarah dapat menjadi daya tarik bagi seseorang untuk berkunjung ke suatu tempat. Selanjutnya Yoeti juga menyatakan bahwa biaya yang besar untuk perbaikan, pemeliharaan, restorasi, dan pengembangn obyek serta atraksi wisata, dapat diperoleh dari kegiatan wisata. 2.5. Wisata Sejarah

Wisata sejarah adalah suatu kegiatan wisata di kawasan bersejarah terutama menelusuri benda-benda hasil karya manusia pada masa lalu, baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Obyek peninggalan sejarah tidak hanya terbatas pada bentuk fisik tetapi juga termasuk di dalamnya aspek sosial masyarakat yang bersangkutan (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tk. I Bali dan Univ. Udayana, 1989, dalam Maryanti 2001).

Dalam Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1990 Bab I Pasal 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata sedangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata, serta usaha-usaha yang terkait disebut kepariwisataan dan yang dimaksud obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.

Pada Bab 3 Pasal 4 UU RI No. 9 Tahun 1990 dijelaskan bahwa obyek dan daya tarik wisata yang berkaitan dengan pengembangan wisata sejarah adalah hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, dan peninggalan sejarah.

Sedangkan menurut Wiwoho, Pudjiwati, dan Himawati (1990), wisata adalah suatu proses berpergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Motivasi dari kepergiannya adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, maupun kepentingan lain yang bersifat sekedar ingin tahu, menambah pengalaman,


(29)

maupun untuk belajar.

MacKinnon et al (1986) dalam Wulandari (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung, yaitu :

1. Letak/jarak kawaan terhadap kota

2. Aksesbilitas ke kawasan tersebut mudah dan nyaman 3. Keaslian, keistimewaan/kekhasan kawasan

4. Atraksi yang menonjol di kawasan tersebut, misalnya atraksi yang berkaitan dengan kegiatan religi dan budaya

5. Daya tarik dan keunikan serta penampilan kawasan

6. Fasilitas, sarana, dan prasarana di lokasi yang mendukung bagi wisatawan. Suatu daerah tujuan wisata yang berkembang baik akan memberikan dampak positif bagi daerah yang bersangkutan, hal ini terkait dengan penyediaan lapangan pekerjaan yang cukup luas bagi penduduk di sekitarnya (Yoeti, 1997). 2.6 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata

Menurut Nurisjah (2009) perencanaan merupakan proses pemikiran dari suatu ide ke arah suatu bentuk nyata. Perencanaan dapat diartikan pula sebagai suatu tindakan mengatur dan menyatukan berbagai tata guna lahan dalam suatu proses berdasarkan pengetahuan teknis lahan dan kualitas estetiknya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa perencanaan adalah pemilihan, pembuatan, atau penggunaan dari fakta-fakta tersedia dan anggapan-anggapan yang berkenaan dengan pandangan ke masa depan serta perumusan aktivitas yang dianggap perlu untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Menurut Gold (1980), proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis, saling terkait, dan saling menunjang. Untuk itu, dibutuhkan berbagai pendekatan dalam proses perencanaan untuk menghasilkan hal tersebut. Proses perencanaan dan perancangan terdiri atas enam tahap, yaitu persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan, dan perancangan. Proses perencanaan lanskap tersebut dapat didekati melalui empat cara yaitu :

1. Pendekatan sumberdaya, yaitu penentuan tipe-tipe serta alternatif aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya.


(30)

2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe-tipe serta alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang. 3. Pendekatan ekonomi, yaitu penentuan jumlah, tipe, dan lokasi

kemungkinan-kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi. 4. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan kemungkinan-kemungkinan aktivitas

berdasarkan pertimbangan perilaku manusia.

Perencanaan kawasan wisata adalah upaya untuk menata dan mengembangkan suatu areal dan jalur pergerakan pendukung kegiatan wisata sehingga kerusakan lingkungan akibat pembangunannya dapat diminimumkan tetapi pada saat yang bersamaan kepuasan wisatawan dapat terwujudkan (Nurisjah, 2009).

Nurisjah dan Pramukanto (2001) mengatakan bahwa perencanaan daerah kawasan bersejarah dan bangunan arsitektural harus dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan bagian-bagian lain dari kota atau lokasi dimana obyek tersebut berada, dan juga permasalahan fisik, ekonomi, dan sosial dari daerah tersebut. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan kawasan bersejarah, yaitu :

1. Mempelajari hubungan antara daerah bersejarah ini dengan daerah dan lingkungan sekitarnya.

2. Memperhatikan keharmonisan antar daerah dengan tapak yang direncanakan.

3. Menjadi obyek yang menarik.

4. Merencanakan obyek sehingga menghasilkan suatu tapak yang dapat menampilkan masa lalunya.

Pengembangan pemanfaatan potensi alam dan budaya serta lokasi wisata akan mempengaruhi kepuasan wisatawan serta pada aspek fisik alami dan visual/estetika lingkungan, dan jika dalam jangka panjang akan dapat mempengaruhi pula aspek ekonomi dan sosial di wilayah tersebut (Nurisjah, 2009).


(31)

III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan pada Kawasan Cagar Budaya Kotagede, (Kelurahan Purbayan dan Kelurahan Prenggan) Kota Yogyakarta dan (Desa Jagalan) Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 2). Penelitian mencakup survei kondisi tapak, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan hasil studi yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2010. Gambar 2 menunjukkan lokasi penelitian.

Peta Prov. DI Yogyakarta

Peta KCB Kotagede Gambar 2 Peta Lokasi Studi


(32)

3.2. Metode Penelitian

Tahap kegiatan pada penelitian ini mengacu pada pendekatan sumberdaya (lanskap sejarah) menurut Gold (1980), yaitu mulai dari inventarisasi tapak, analisis data yang dihasilkan, sintesis dari analisis data, dan yang terakhir adalah merencanakan KCB Kotagede sebagai kawasan wisata (Gambar 3).

Berikut penjelasan dari masing-masing tahap penelitian: 1. Inventarisasi Tapak

Pada tahap inventarisasi tapak dilakukan kegiatan survei yang meliputi observasi lapang, wawancara, dan pengambilan data sekunder (studi pustaka). Kegiatan survei dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan kawasan lanskap sejarah dan dibutuhkan dalam proses penelitian (Tabel 1) mencakup:

a. Observasi lapang, survei secara langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data tentang kondisi fisik kawasan lanskap sejarah, karakter lanskap yang ada pada kawasan beserta lingkungan sekitarnya, aksesbilitas kawasan lanskap sejarah, dan aspek wisata, yaitu fasilitas yang tersedia pada kawasan sebagai tempat wisata.

b. Wawancara, dilakukan kepada masyarakat sekitar kawasan, pengelola, pedagang lokal pada kawasan wisata, dan pihak terkait lainnya bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai persepsi dan dukungan masyarakat terhadap kawasan serta tentang kebijakan pengelolaan kawasan. Selain dengan wawancara secara langsung informasi dapat dihasilkan melalui kuisioner yang diberikan kepada masyarakat lokal ataupun pengunjung. c. Studi pustaka, mempelajari tentang data sejarah dari tapak, aspek-aspek

penting yang ada pada kawasan, dan proses pengembangan yang telah dilakukan pada kawasan lanskap sejarah. Hal ini dilakukan untuk menunjang data dari hasil observasi lapang juga untuk melengkapi data yang belum didapatkan dari observasi lapang dan wawancara.


(33)

Table 1 Jenis, bentuk dan sumber data yang diperlukan

NO JENIS DATA BENTUK DATA SUMBER DATA

1 FISIK ALAMI

• Kualitas visual luar

• Iklim

• Topografi dan Hidrologi

• Vegetasi dan Satwa FISIK NON ALAMI

• Batasan kawasan

• Land use

Good View, Bad View Curah hujan, arah dan kecepatan anginm suhu udara rata-rata dan kelembaban udara Peta topografi

Jenis dan pola penyebaran Deliniasi kawasan studi

Peta tata guna lahan

Survey lapang

BMG dan studi pustaka

BPN, instansi terkait Litbang, survey lapang, studi pustaka

Survey lapang, wawancara ahli, studi pustaka

Survey lapang, Pemda, Bappeda, instansi terkait 2 LANSKAP SEJARAH • Sejarah perkembangan KCB Kotagede

• Inventarisasi BCB dan lanskap sejarah

aktivitas utama pada masa lalu

Peta tata guna lahan pada masa lalu, fungsi BCB pada masa lalu dan kondisi lanskap sejarah saat ini

Survey lapang, Pemda, Bappeda, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, instansi terkait, narasumber (ahli)

Survey lapang, Pemda, Bappeda, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, instansi terkait, narasumber (ahli)

3 ASPEK WISATA

• Obyek wisata

• Sirkulasi, aksesbilitas, dan transportasi

• Fasilitas penunjang

• Aktivitas

• Wisatawan

Keragaman objek saat ini Aksesbilitas, sarana transportasi, konsep sirkulasi

Eksisting fasilitas penunjang wisata Kegiatan wisata yang terdapat pada kawasan Jumlah dan karakter pengunjung

Survey

lapang,wawancara Survey lapang, Pemda, Bappeda, instansi terkait

Survey lapang, Pemda, Bappeda, instansi terkait Survey lapang,wawancara Survey lapang,wawancara


(34)

2. Analisis

Tahap berikutnya adalah melakukan analisis terhadap data hasil dari inventarisasi. Analisis dilakukan untuk dapat mengetahui kendala dan potensi dari kawasan lanskap sejarah dalam upaya pelestarian. Kegiatan analisis dilakukan metode analisis deskriptif (kuantitatif dan kulitatif) dan metode analisis spasial.

a. Metode deskriptif kuantitatif, adalah metode analisis dengan pemberian skor nilai terhadap elemen-elemen sejarah yang ada. Prosedur dari metode ini yaitu penilaian masyarakat mengenai kondisi kawasan lanskap sejarah yang dilihat dari beberapa faktor yang terkait dengan tujuan dari penelitian (Tabel 2). Adapun faktor-faktor yang harus dinilai dari suatu lanskap sejarah adalah sebagai berikut :

• Keaslian lanskap atau objek yang ada • Keunikan dari lanskap sejarah

• Nilai sejarah dari lanskap sejarah • Keutuhan lanskap atau objek yang ada

JENIS DATA BENTUK DATA SUMBER DATA

4 PERSEPSI DAN

DUKUNGAN MASYARAKAT

• Masyarakat sekitar kawasan

• Pengunjung kawasan

persepsi pengguna

terhadap kawasan tersebut persepsi pegunjung terhadap kawasan tersebut

wawancara wawancara 5 KEBIJAKAN

PENGELOLAAN

• Pengelolaan BCB dan lanskap sejarah

• Kebijakan pemerintah terkait pelestarian BCB dan lanskap sejarah

• Kebijakan pemerintah terkait pengembangan kawasan wisata

Peraturan dan

perundangan yang terkait dengan pengelolaan BCB dan lanskap sejarah Peraturan dan perundangan yang mengatur dan berhubungan dengan pelestarian BCB dan lanskap sejarah Peraturan dan perundangan yang mengatur dan berhubungan dengan pengembangan kawasan bersejarah.

Pemda, bappeda, studi pustaka, instansi terkait

Pemda, bappeda, studi pustaka, instansi terkait

Pemda, bappeda, studi pustaka, instansi terkait


(35)

• Estetika atau arsitekturnya

• Kejamakan lanskap atau objek yang ada • Keistimewaan lanskap atau objek yang ada

Tabel 2 Skoring dan pembobotan terhadap kriteria yang dimiliki dari lanskap sejarah

Penilaian Kriteria

Rendah Sedang Tinggi

5-15 15-25 25-35

Keaslian tiruan Pemugaran tidak

serasi atau rekonstruksi

Murni atau pemugaran serasi

Keunikan Skala lokal Skala regional Skala nasional

dan

internasional

Nilai sejarah Skala lokal Skala regional Skala nasional

dan

internasional

Keutuhan 20% 20-60% 60-100%

Estetika Tidah indah Indah Sangat indah

Kejamakan Tidak mewakili

suatu periode sejarah

Mewakili beberapa periode sejarah

Mewakili satu periode sejarah

Keistimewaan Tidak istimewa Istimewa Sangat istimewa

(Skoring berdasarkan standar pada buku Pedoman Obyek dan Daya Tarik Wisata Andalan 2001) b. Metode deskriptif kualitatif, merupakan metode yang bertujuan untuk

mendeskripsikan potensi kawasan lanskap sejarah untuk mendapatkan hasil analisis data yang dapat menggambarkan upaya apa saja yang perlu diajukan dalam rangka melestarikan kawasan lanskap sejarah tersebut. Pada metode ini juga dapat menghasilkan cara atau upaya untuk memperbaiki kendala-kendala yang ada. Selain itu, ada beberapa faktor yang harus dianalisis pada metode deskriptif ini, diantaranya:

• Keberlanjutan lanskap sejarah

• Upaya pelestarian yang telah dilakukan • Potensi dan kendala aspek penunjang wisata • Potensi aspek penunjang wisata

c. Metode analisis spasial, merupakan metode yang didalamnya terdapat kegiatan menganalisis tapak dengan memanfaatkan data-data spasial dari beberapa aspek. Setelah dianalaisis, data-data spasial tersebut kemudian dioverlay sehingga dihasilkan analisis spasial yang dapat diolah lagi pada tahap sintesis.


(36)

3. Sintesis

Tahapan sintesis merupakan proses pencarian alternatif untuk penentuan satuan lanskap sejarah untuk pertimbangan pengembangan menjadi kawasan wisata serta interpretasi sejarah kawasan. Selain itu juga dihasilkan bentuk pengembangan lanskap wisata yang dapat diterapkan pada kawasan tersebut. Bentuk pengembangan tersebut disesuaikan dengan upaya pelestarian dan pengembangan kawasan sebagai lanskap wisata sejarah.

4. Konsep Pengembangan

Hasil dari sintesis ditentukan konsep dasar yang mencakup pengembangan lanskap sebagai wisata sejarah. Penentuan konsep dasar dilakukan berdasarkan hasil analisis dan sintesis potensi keberlanjutannya yang meliputi:

• Konsep dasar • Konsep ruang

• Pengembangan jalur interpretasi

• Peningkatan pelestarian dan kualitas lanskap sejarah sebagai obyek wisata • Peningkatan fasilitas penunjang kegiatan wisata

5. Perencanaan

Pada tahap terakhir ini, yaitu proses perencanaan yang didekati melalui pendekatan sumberdaya (penentuan tipe-tipe serta alternatif aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya). Konsep yang telah disusun sebelumnya dikembangkan dalam bentuk tata ruang, tata hijau, tata letak fasilitas dan aktivitas wisata sejarah budaya. Hasil akhir berupa gambar siteplan, gambar rencana ruang (menggambarkan aktivitas dan fasilitas yang dikembangkan), gambar rencana sirkulasi, gambar rencana jalur interpretasi, dan gambar rencana tata hijau.


(37)

Gambar 3 Tahapan Penelitian Lanskap Kawasan Cagar Budaya Kotagede

Kondisi Lanskap : •Kondisi fisik alami •Kondisi fisik non-alami Aspek Lanskap Sejarah : •Sejarah perkembangan Kawasan Cagar Budaya Kotagede •Inventarisasi benda cagar budaya dan lanskap sejarah

Aspek Wisata :

•Obyek wisata

•Kegiatan wisata •Wisatawan •Sirkulasi, aksesibilitas, dan transportasi •Fasilitas penunjang wisata Persepsi dan Dukungan Masyarakat : •Masyarakat sekitar kawasan •Pengunjung kawasan Kebijakan Pengelolaan : •Pengelolaan benda cagar budaya dan lanskap sejarah •Kebijakan pemerintah terkait dengan pelestarian benda cagar budaya dan lanskap sejarah •Kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan wisata

•Karakter lanskap sejarah yang ada

•Kondisi dan penyebaran obyek/lanskap sejarah

•Faktor-faktor keberlanjutan sebagai lanskap sejarah

•Potensi dan kendala dalam pengembangan wisata

Usulan Konsep Pelestarian dan Pengembangan Lanskap Sejarah Kawasan Cagar Budaya Kotagede :

•Konsep dasar

•Konsep ruang

•Pengembangan jalur interpretasi

•Peningkatan pelestarian dan kualitas lanskap sejarah sebagai obyek wisata

•Peningkatan fasilitas penunjang kegiatan wisata


(38)

IV. DATA DAN ANALISIS

4.1 Aspek Sejarah

4.1.1 Sejarah Kawasan Cagar Budaya Kotagede

Kotagede terletak sekitar 6 km dari pusat kota dan berada di bagian selatan Kota Yogyakarta, berdekatan dengan Ring Road Selatan dan Ring Road Timur Kota Yogyakarta. Kotagede merupakan salah satu tempat yang mempunyai nilai sejarah bagi Kota Yogyakarta, karena pada kawasan ini pernah dijadikan pusat pemerintahan ketika zaman pemerintahan Kerajaan Mataram Islam pada abad XVI M sebelum pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Diceritakan dalam Saujana Budaya Kotagede (Greenmap) tentang Kotagede dari masa ke masa (Tabel 3) yang diawali ketika Ki Ageng Pemanahan mendirikan sebuah pemukiman di wilayah hutan Mentaok, hadiah dari Sultan Hadiwijaya dari Pajang, atas jasanya dalam menumpas musuh Pajang yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Wilayah ini kemudian disebut Mataram, dengan pusat pemukiman Kotagede. Ki Ageng Pemanahan bergelar Ki Ageng Mataram hingga wafatnya pada tahun 1584.

Ketika pamor Pajang menurun, Sutawijaya, putra dan penggantinya, berkeinginan untuk memiliki kekuasaan sendiri dan menyusun kekuatan, lepas dari Pajang. Setelah Pajang dapat ditundukkan dengan bantuan Pangeran Banawa, Sutawijaya mendirikan Kerajaan Mataram Islam dengan pusat pemerintahan di Kotagede. Ia bergelar Panembahan Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama. Selain berusaha memperluas daerah kekuasaannya, Panembahan Senapati juga membangun Kotagede, antara lain benteng kota, jagang (parit keliling), masjid agung, dan makam kerajaan di sebelah masjid agung. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di kompleks tersebut, berdekatan dengan makam ayahnya.

Panembahan Senapati digantikan oleh salah satu putranya, Pangeran Anyakrawati atau Panembahan Sedang ing Krapyak. Selama masa pemerintahannya, beliau menyempurnakan pembangunan makam kerajaan, membangun Taman Danalaya di sebelah barat kraton, mendirikan lumbung Gading, menanam pohon-pohon lada, kemukus, dan kelapa, serta membuat krapyak (hutan perburuan) di Beringan.


(39)

Pangeran Anyakrawati jatuh sakit dan wafat di Krapyak pada tahun 1613. Panembahan Sedang ing Krapyak digantikan oleh salah satu putranya, Pangeran Rangsang yang bergelar Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, ibu kota kerajaan dipindahkan ke Kerta, tidak jauh dari Kotagede. Walaupun begitu, sifat kekotaan Kotagede tetap terpelihara. Profesi-profesi yang dulu menjadi bagian dari kehidupan istana seperti kerajinan, pertukangan, dan perdagangan berjalan terus. Jadi, fungsi politik Kotagede berubah menjadi fungsi pasar. Sejak saat itulah muncul sebutan Pasar Gede untuk menyebut Kotagede.

Kotagede dapat tetap bertahan karena mempunyai dua keistimewaan. Pertama, wilayah Kotagede dianggap sebagai tanah pusaka karena terdapat makam leluhur Kerajaan Mataram Islam. Sikap orang Jawa yang menghormati leluhur dan berorientasi pada lingkungan kerajaan menjadikan makam kerajaan tersebut selalu dijaga dan diziarahi, baik oleh pihak kraton maupun masyarakat umum. Kedua, Kotagede sendiri sejak menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam telah dikenal sebagai pusat industri dan perdagangan pribumi. Fungsi pasar ini tetap hidup setelah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan.

Akibat perjanjian Giyanti 1755, separuh wilayah Kotagede timur dikuasai oleh Surakarta dan separuh wilayah barat dikuasai oleh Yogyakarta. Hanya wilayah makam kerajaan, masjid agung, dan pasar yang dikelola secara bersama-sama.

Pada sekitar tahun 1910, empat kerajaan Jawa bagian selatan, yaitu Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegara, dan Pakualaman sepakat mengadakan pembaharuan terhadap sitem kepemilikan tanah dan sistem pemerintahan. Dalam sistem kepemilikan tanah, sistem kepatuhan diganti menjadi sistem kalurahan, dimana setiap penduduk desa memiliki hak atas tanah, sehingga secara bersama-sama masyarakat dapat membentuk desa. Kotagede yang semula merupakan tanah lungguh bagi abdi dalem Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta diubah menjadi enam kelurahan dan berubah masuk wilayah DI Yogyakarta pada 1950 dan pada 1990-an dibagi lagi antara Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta.

Pada tahun 1960-an, yaitu pada jaman PKI perokonomian Kotagede cukup merosot. Kehidupan masyarakat tidak lagi sebaik pada masa munculnya perindustrian, sampai Kotagede ini disebut sebagai kota miskin. Hal ini diperburuk dengan terjadinya inflasi mata uang yang semakin menurunkan tingkat


(40)

perekonomian Kotagede. Tetapi setelah pada 1990 industri perak mulai diminati kembali yang kemudian ikut meningkatkan kembali taraf kehidupan masyarakat setempat.

Sempat terjadi bencana gempa bumi pada tahun 2006. Banyak bangunan tua yang memang telah rapuh mengalami ambruk parah. Tetapi pemerintah dan masyarakat dapat kembali membenahi kerusakan yang terjadi. Terdapat beberapa bangunan tua yang tidak direhabilitasi kembali dikarenakan biaya yang dibutuhkan cukup besar, sehingga hanya dilakukan pembenahan sampai bangunan tersebut dapat ditinggali kembali, tidak sama dengan bentuk bangunan yang sebelumnya.

Sampai saat ini, Kotagede telah menjelma sebagai kawasan berkarakter urban dengan permasalahan yang umum dihadapi bersifat spasial-arsitektural, selain masalah sosial-budaya, terutama sejak akhir abad XIX M ketika mulai banyak pedagang bermodal besar menetap. Kenyataan yang muncul adalah bahwa banyak lahan yang mengandung potensi sejarah berubah fungsi menjadi pemukiman penduduk yang padat, karena kebutuhan akan ruang. Selain itu, terjadi pula penurunan kualitas bangunan yang diasumsikan mengubah wajah arsitektur tradisional Kotagede. Faktor usia dan masalah biaya perawatan juga menjadi masalah dalam pelestarian bangunan-bangunan yang menjadi karakter Kotagede (Saujana Budaya Kotagede (Greenmap), 2005).

Tabel 3 Ringkasan perkembangan KCB Kotagede pada setiap periode

Periode Tahun Keterangan

Awal Periode Mataram

Islam

Periode

1577 Mataram didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan

1584 Ki Ageng Pemanahan Mangkat, Panembahan Senapati

membangun tembok keliling kraton

1586 Kotagede dijadikan tempat kedudukan kraton

1587 Kotegede menjadi pusat Kerajaan Mataram

1592 Tembok keliling selesai dibangun

Tahun Keterangan

Awal Periode Mataram Islam

1606 Makam Kotagede selesai dibangun

1613-1645 Masa pemerintahan Sultan Agung, raja lebih banyak tinggal di Kerta, Kotagede tetap menjadi makam raja-raja 1618 Raja berkraton di Kerta, Ibusuri di Kotegede

Periode Zaman Penjajahan Belanda

1633 Diberlakukan sistem kalender baru (Hijriyah)

1755 Perjanjian Giyanti, terjadi pembagian kekuasaan, Kotagede dibagi menjadi Kotagede Surakarta (Ska) dan Kotagede Yogyakarta (Yk)


(41)

1903 Kotagede bergerak dari kota para abdi dalem karya-tukang-kraton menjadi pusat industry dan perdagangan pribumi

<1910 Golongan Kalang terbagi 2 sub-kelompok, Yogyakarta

(Yk) dan Surakarta (Ska). Kalang Ska diberi gelar mantra Kalang bertugas menyediakan dan mengawasi pelayanan pekerjaan kayu. Kalang Yk mengurusi transportasi dengan kuda. Sub Kalang Ska memperoleh lisensi dari kraton untuk membuka rumah gadai di seluruh wilayah

1910-1920 Perubahan pemilikan tata guna lahan kerajaan, menjadikan wibawa kraton merosot

>1920 Muhammadiyah lahir sebagai pembaharuan Islam dan

tradisi Kotagede

1922 Jaman batik/periode batik awal industri rakyat

1920-1930 Jaman perak, Kotagede sebagai kota saudagar/pedagang

1925 Jaman keemasan umat Islam Kotagede-ekonomi rakyat

1934 Pembangunan makan Hastana Rangga oleh Hamengku

Buwono VIII

1935-1938 Masa perak telah mencapai puncaknya-ekonomi rakyat Masa

Kemerdekaan RI

1945 Kasultanan Yogayakarta bergabung dengan RI dan secara

resmi diakui tahun 1952, Kotagede Ska masuk Bantul, Kotagede Yk masuk Kota Yogyakarta

1942-1950 Jepang berkuasa, perak bangkit lagi namun tidak sejaya masa sebelumnya

1950-1960 Jaman PKI, Kotagede sebagai kota miskin 1960-1990 Inflasi mata uang, perekonomian memburuk

1990-2010 Perak mulai diminati kembali, Kotagede mulai tumbuh sebagai daerah wisata perpaduan kawasan komersial dan historis

2006 Terjadi bencana gempa bumi, telah merobohkan beberapa

bangunan tua yang ada di Kotagede dan telah dilakukan rehabilitasi pada sebagian bangunan yang memungkinkan untuk diperbaiki


(42)

4.1.2 Lanskap Sejarah

KCB Kotagede adalah salah satu kota kuno di Propinsi DI. Yogyakarta yang tetap hidup dan semakin berkembang, baik dalam segi kehidupan masyarakat maupun keruangannya. KCB Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan meninggalkan warisan arkeologis berupa keraton atau kedhaton, alun-alun, baluwarti, jagang, cepuri, masjid, makam, dan pasar (Gambar 4). Komponen-komponen itu turut membentuk dan mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat pendukungnya.

Sumber: Jogja Heritage Society, 2007 Gambar 4 Peta Wilayah Kerajaan Mataram


(43)

Komplek Kerajaan Mataram Islam dibangun sebagaimana komplek keraton kerajaan di Jawa pada umumnya, yaitu dengan menggunakan alun-alun sebagai pusat kota (Catur Gatra Tunggal). Komplek keraton ditempatkan sebelah selatan alun-alun dan Masjid Gede di sebelah barat alun-alun. Kemudian pasar yang digunakan sebagai pusat kegiatan ekonomi ditempatkan di sebelah utara alun-alun. Berikut adalah elemen sejarah yang terdapat pada komplek Kerajaan Mataram Islam dan masih dipelihara dan dilestraikan pada KCB Kotagede:

a. Kompleks Masjid Besar Mataram

Terletak di sebelah barat alun-alun dan dikelilingi oleh tembok setinggi 2.5 m. Dalam Babad Momana disebutkan bahwa masjid kerajaan ini selesai dibangun pada tahun 1511 Jawa (1589 M) atas perintah Panembahan Senopati. Pernah dipugar beberapa kali akibat gempa tahun 1867 dan kebakaran tahun 1919. Pemugaran terakhir dilakukan pada akhir tahun 2002 di bawah koordinasi Pemda DI Yogyakarta. Masjid ini memiliki bentuk arsitektur yang khas (beratap tajug tumpang), memiliki serambi dan pawestren, serta dikelilingi kolam (Gambar 5). Pada dinding tembok keliling di sebelah selatan terdapat gapura yang menghubungkan kompleks masjid dengan kompleks makam kerajaan. Kompleks makam kerajaan ini juga dibangun bersamaan dengan pembangunan kompleks masjid.


(44)

b. Komplek makam kerajaan

Kompleks makam kerajaan berada di belakang masjid dan untuk mencapainya harus melewati beberapa halaman (Gambar 8). Di sini dimakamkan para peletak dasar Kerajaan Mataram Islam, diantaranya Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Panembahan Sedang ing Krapyak. Selain itu juga terdapat makam Sri Sultan Hamengku Buwono II, Pangeran Adipati Pakualaman I, serta sejumlah besar makam keluarga raja Mataram lainnya (Gambar 6). Terdapat pula jirat makam Ki Ageng Mangir Wanabaya yang berada separuh di dalam dan di luar kompleks makam sebagai tanda bahwa dia adalah menantu sekaligus musuh Panembahan Senapati.

Gambar 6 Denah Komplek Makam

Pada tembok kelir menuju halaman makam terdapat beberapa buah prasasti yang menjelaskan bahwa Bangsal Duda di halaman itu dibangun pada masa Sultan Agung (1644 M) dan penjelasan mengenai perbaikan makam akibat gempa bumi pada tahun 1867. Adapun kegiatan pada tempat ini adalah berziarah yang dilakukan oleh pengunjung yang harus mengikuti ritual khusus dan menggunakan pakaian khusus (Gambar 7).

Keterangan makam: 1. Nyai Ageng Nis

2. Kanjeng pangeran Jayaprana (Inggih Mijil Ing Kadilangu, Putranipun Kanjeng Sunan Kalijaga)

3. Sinuwun Datuk Palembang (Sultan Pajang, Ingkang Kala Taksih Timur Asma Jaka Tingkir)

4. Kyai Ageng Mataram, Inggih Kyai Ageng Pamanahan

5. Nyai Ageng Mataram 6. Nyai Ageng Pati

7. Kyai Ageng Jurumartani, Inggih Kyai Ageng Mandaraka

8. Kanjeng Panembahan Senapati 9. Kanjeng Pangeran Gagakbani

47. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I

76. Nyai Wirakerta, Mangir

80. Kyai Ageng Wanabaya, Mangir Anggota keluarga kerajaan lainnya


(45)

Gambar 7 Wistawan yang Gambar 8 Gerbang masuk akan melakukan ziarah makam Raja-Raja Mataram c. Kompleks pemandian (sendang)

Terdapat dua kompleks sendang di tempat ini, yaitu kompleks Sendang Saliran dan kompleks Sendang Kemuning. Sendang Saliran memiliki empat buah kolam, masing-masing dua kolam untuk pria/kakung (utara) (Gambar 9) dan wanita/putri (selatan). Air di kolam pria dipercaya berasal dari makam Panembahan Senapati. Di kolam mini dipercaya terdapat beberapa ikan lele dan kura-kura putih kekuning-kuningan bernama Kyai Duda, Kyai Joko, dan Mbok Rara Kuning. Sendang ini disebut saliran karena berasal dari makam (badan=salira) panembahan Senapati. Pada kedua kolam terdapat sengkalan berangka tahun 1867. Kompleks Sendang Kemuning berada di sebelah barat luar tembok makam. Sendang ini dipercaya dibuat oleh Sunan Kalijaga.


(46)

d. Keraton

Di sebelah selatan kompleks Masjid Agung dan Kampung Alun-alun terdapat kampung bernama Kedhaton dan Dalem yang berada di dalam lingkupan reruntuhan cepuri. Dugaan kuat, Keraton Mataram dulu berada di tempat ini. Di tengah-tengah lokasi ini terdapat sebuah bangunan kecil yang di dalamnya terdapat Watu Gilang dan Watu Gatheng yang dikeramatkan dan dipercaya berasal dari masa Panembahan Senopati (Gambar 10). Hingga awal abad XX M tidak ada yang berani menempati tanah yang dahulu dikenal dengan nama siti sangar. Pada tahun 1934, atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dibangunlah kompleks makam bernama Hastorenggo yang digunakan sebagai tempat untuk memakamkan keluarga raja yang tidak biasa dimakamkan di Imogiri.

Gambar 10 Suasana Kampung Dalem e. Watu Gilang dan Watu Gatheng

Watu Gilang adalah lempengan batu andesit yang dipercaya sebagai bekas singgasana Panembahan Senapati (Gambar 11). Pada permukaannya terdapat prasati berhuruf cetak dalam bahasa latin, Perancis, Belanda dan Italia. Pada salah satu sisinya terdapat cekungan yang dipercaya sebagai bekas benturan kepala Ki Ageng Mangir Wanabaya, musuh sekaligus menantu Panembahan Senapati. Watu Gatheng sendiri berupa tiga buah batu kalsit bulat berdiameter 31 cm, 27 cm dan 15 cm (Gambar 12). Ketiga batu tersebut dipercaya sebagai alat permainan Raden Rangga, putra Panembahan Senapati. Selain itu, masih terdapat tempayan (gentong) dari batu andesit. Seluruh benda


(47)

itu saat ini berada dalam sebuah bangunan kecil tertutup yang berada di tengah tanah lapang dengan dinaungi beberapa pohon beringin besar.

Gambar 11 Watu Gilang Gambar 12 Watu Gatheng f. Cepuri (benteng keraton)

Cepuri adalah tembok benteng yang dibuat mengelilingi kompleks kraton. Cepuri Kotagede ini dibangun oleh panembahan Senapati dan selesai pada tahun 1592/1593 M. Keseluruhan cepuri sudah tidak utuh lagi dan hanya berupa reruntuhan yang ada di beberapa tempat. Tembok yang tersusun atas bata dan batu putih ini tebalnya mencapai 120 cm dan pada beberapa tempat

(a) (b)

Gambar 13 Sisa-sisa benteng keraton (a) utara, (b) selatan.

ada yang tingginya mencapai 2 m. Cepuri ini sangat spesifik karena ternyata denahnya tidak simetris. Tembok keliling ini melengkung di sudut tenggara, sehingga masyarakat menyebutnya Bokong Semar (Gambar 13b). Daya tarik lainnya, pada sisi utara terdapat lubang selebar 1 m yang dipercaya masyarakat sebagai Bobolan Raden Rangga (Gambar 13a). Situs ini erat


(48)

kaitannya dengan legenda raden Rangga yang dihempaskan oleh ayahnya, Panembahan Senapati, hingga tubuhnya menjebol dinding cepuri.

g. Baluwarti (benteng kota)

Baluwarti adalah benteng yang mengelilingi kota, dibangun dengan mempertimbangkan kondisi alam Kotagede, antara lain tampak pada sisi barat dan timur yang masing-masing dibangun mengikuti alur Sungai Gajah Wong dan Sungai Manggisan. Saat ini, keberadaannya secara keseluruhan hanya bisa diketahui dari sumber sekunder. Sisa benteng hanya terdapat beberapa tempat dalam bentuk reruntuhan (Gambar 14). Beberapa sisa batu putih penyusun baluwarti ada yang dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai bahan bangunan rumah mereka.

Gambar 14 Sisa-sisa benteng kota (baluwarti) h. Parit keliling (jagang)

Kotagede dilengkapi pula dengan jagang (parit keliling), di sekeliling cepuri dan baluwarti yang dibangun pertama. Jagang dalam yang mengelilingi cepuri dibuat selebar 20-30 cm dengan dalam sekitar 1-3 m. Sisa jagang dalam hanya tampak di beberapa tempat, antara lain di sisi barat dan selatan. Jagang luar dibuat mengikuti alur baluwarti dengan ukuran yang hampir sama dengan jagang dalam. Khusus untuk baluwarti sisi barat dan timur tidak memiliki jagang buatan karena sudah memanfaatkan jagang alami berupa aliran Sungai Gajah Wong dan Sungai Manggisan. Sisa jagang saat ini hanya bisa dilihat di beberapa tempat dan sebagian besar telah berubah wajah menjadi persawahan dan pemukiman penduduk di sebelah timur Kompleks Masjid Agung dan mengisyaratkan bahwa di lokasi kampung itu berada dahulu merupakan sebuah alun-alun Kraton Kotagede (Gambar 15). Namun, tidak ada


(49)

tanda-tanda fisik lagi yang tersisa dan berganti dengan pemukiman penduduk yang cukup padat.

Gambar 15 Jagang yang telah direnovasi menjadi saluran drainase i. Pasar Gede

Pasar Kotagede ini sudah ada sejak wilayah ini dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan pada abad XVI M dan diduga kuat masih berada di tempatnya yang asli sejak dulu. Pasar Kotagede adalah salah satu wilayah yang diurus bersama-sama oleh pihak Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sejak Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Pasar ini telah mengalami beberapa kali renovasi, sehingga wajahnya telah berubah menjadi seperti pasar pada umumnya (Gambar 16a dan 16b). Pasar Kotagede dibuka setiap hari dan puncaknya pada hari pasaran Legi. Pada hari pasaran Legi, situasi di pasar macet total, karena banyaknya pedagang dari beberapa tempat yang berjualan hingga ke badan jalan, terutama pedagang burung.

(a) (b) Gambar 16 Suasana Pasar (a) timur, (b) barat


(50)

4.1.3. Analisis Kesesuaian Lahan untuk Pelestarian

Hasil analisis secara skoring (Tabel 4) menilai setiap elemen sejarah menurut beberapa kriteria yang dapat menunjukkan nilai kepentingan elemen tersebut untuk dilestarikan. Kriteria tersebut terdiri dari keaslian, keunikan/kelangkaan, nilai sejarah, keutuhan, estetika, kejamakan dan keistimewaan.

Hasil analisis secara spasial (Gambar 17) mencari pembagian kawasan untuk pelestarian berdasarkan hasil overlay antara peta KCB Kotagede dengan peta kawasan Kerajaan Mataram Islam.

Dari hasil kedua analisis di atas maka kesesuaian kawasan untuk kegiatan pelestarian dibagi menjadi tiga zona yaitu kawasan yang bernilai tinggi, sedang dan rendah (Gambar 18). Pembagian zona ini didasarkan pada letak keberadaan elemen sejarah. Zona yang bernilai tinggi adalah kawasan yang di dalamnya terdapat elemen utama kerajaan yang disebut Catur Gatra Tunggal, yaitu Komplek Makam Raja-Raja Mataram, Pasar Gede, Kampung Alun-Alun dan Kampung Dalem (tapak yang dahulu pernah didirikan keraton). Zona yang bernilai sedang merupakan kawasan yang dahulunya adalah kawasan kerajaan yang dikelilingi oleh baluwarti (benteng kota). Sedangkan zona yang bernilai rendah merupakan kawasan yang dahulunya bukan termasuk pada kawasan kerajaan (di luar baluwarti).


(51)

(52)

(53)

38


(54)

4.2 Aspek Fisik 4.2.1 Letak Geografis

Kotagede merupakan sebuah kecamatan yang memiliki tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Rejowinangun, Kelurahan Purbayan, dan Kelurahan Prenggan. Secara administratif batas wilayah Kecamatan Kotagede adalah sebagai berikut;

• Utara : Banguntapan Kabupaten Bantul • Timur : Banguntapan Kabupaten Bantul • Selatan : Banguntapan Kabupaten Bantul • Barat : Umbulharjo Kota Yogyakarta

Kecamatan Kotagede terletak sekitar 6 kilometer di daerah pinggir sebelah tenggara Kota Yogyakarta. Wilayah ini juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Bantul. Jarak dengan pusat kota dapat dikatakan dekat karena luas wilayah Kota Yogyakarta relatif kecil (Gambar 19).

Kawasan yang menjadi batas penelitian ini mempunyai luasan wilayah sekitar 209 ha. Kawasan Cagar Budaya Kotagede yang terdiri dari dua kelurahan pada Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta dan satu desa pada Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul, yaitu Kelurahan Prenggan, Kelurahan Purbayan, dan Desa Jagalan (Saujana Budaya Kotagede (Greenmap)). Adapun batas wilayah dari Kawasan Cagar Budaya Kotagede ini adalah:

• Utara : Kelurahan Rejowinangun/Kec. Kotegede • Timur : Kelurahan Singosaren/Kec. Banguntapan • Selatan : Kelurahan Singosaren/Kec. Banguntapan • Barat : Kelurahan Giwangan/Kec. Umbulharjo

Kawasan Cagar Budaya Kotagede sudah cukup dikenal oleh wisatawan lokal maupun mancanegara sebagai pusat kerajinan perak. Selain itu pada kawasan ini terdapat banyak bangunan kuno dan beberapa Benda Cagar Budaya.


(55)

40


(56)

4.2.2 Aksesbilitas

Kawasan Cagar Budaya Kotagede ini mempunyai tiga akses masuk utama, yaitu melalui gerbang pada Jalan Kemasan (Gambar 20), Jalan Tegalgendu (Gambar 21), dan Jalan Karanglo. Tetapi untuk intensitas pemakaian, Jalan Kemasan merupakan jalan yang memiliki intensitas pemakaian yang cukup tinggi. Karena selain digunakan oleh wisatawan, jalan ini juga digunakan sebagai jalan utama oleh masyarakat setempat.

Gambar 20 Gerbang masuk melalui Gambar 21 Gerbang masuk melalui Jalan Kemasan Jalan Tegalgendu

Jika akan masuk melalui gerbang Jalan Kemasan maka alat transportasi yang dapat digunakan adalah bis kota Jalur 9 yang memakan waktu sekitar 20 menit dari pusat kota. Untuk memasuki gerbang Jalan Tegalgendu dapat menggunakan alat tranportasi Trans Jogja Jalur 3A (sekitar 10 menit dari Terminal Giwangan). dan untuk menuju Jalan Karanglo dapat digunakan bis kota Jalur 4 yang melewati Ring Road Timur dan memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat kota. Ketiga bis tersebut dapat dinaiki di Terminal Giwangan, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kawasan KCB Kotagede ini.

4.2.3 Topografi dan Jenis Tanah

Kawasan KCB Kotagede terletak pada ketinggian 110-115 m dpl dan memiliki kemiringan lereng 0-4 % ke arah selatan dengan garis kontur melintang dari arah timur ke barat. Pada kawasan ini tidak terlalu banyak memiliki kelas kelerengan, maka dapat dikatakan sebagian besar kawasan ini memiliki topografi yang datar.


(57)

Jenis tanah yang terdapat pada kawasan KCB Kotagede ini adalah regosol kelabu dari abu intermedir dan tuff serta regosol coklat kelabu dari abu intermedir. Berikut adalah tabel sifat fisik dan kimia untuk kawasan KCB Kotagede

Tabel 5 Sifat fisik dan kimia tanah Kotagede

Uraian Sifat

Jenis Regosol kelabu sampai dengan coklat keabuan (bahan

induknya merupakan abu vulkan dan Regosol kelabu sampai dengan coklat keabuan (bahan induknya merupakan abu vulkan dan tuff vulkanik dari Gunung Merapi yang berada di sebelah utara Yogyakarta)

Warna Kelabu coklat

Tekstur Pasir Struktur Remah

Konsistensi Lemah hingga teguh

Permeabilitas Sedang sampai dengan tinggi

Porositas Kecil

Daya menahan air Kecil

Derajat erosi Peka terhadap erosi

Ketebalan solum Tipis

pH 6-7

Kandungan unsur hara Cukup akan unsur P dan K yang masih segar dan belum siap diserap tanaman, akan tetapi kekurangan unsur N, sehingga produktivitasnya sedang hingga tinggi

Sumber: Soeroso, 2000 4.2.4 Hidrologi

Pemanfaatan aliran air sungai Gajah Wong telah dilakukan sejak dulu. Aliran sungai ini oleh masyarakat digunakan untuk mengairi areal pertanian mereka. Sempat juga dibangun sebuah dam yang diberi nama dam Gajah Wong untuk mempermudah pengairan, tetapi pada tahun 2001 dam ini jebol akibat banjir dan direnovasi pada tahun 2004. Sekarang ini di tepian sungai banyak terdapat sampah akibat pencemaran lingkungan.

Pada areal pemukiman, sumber air bersih yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yaitu berasal dari sumur yang umumnya terletak di area pribadi. Sumber air bersih dari PDAM juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama yang rumahnya terletak di pinggir jalan utama.

Aliran air kotor yang berasal dari limbah dari kamar mandi, dapur, dan air cucian disalurkan ke bak control dan langsung dibuang ke sumur resapan. Untuk air kotor yang berasal dari WC disalurkan ke tangki septic tank dan selanjutnya juga dialirkan ke sumur resapan.


(1)

13.Jika ya, seperti apa pengaruhnya?

a. Meningkatkan kesejahteraan dan penghasilan

b. Meningkatkan kesejahteraan tanpa meningkatkan penghasilan

c. Menigkatkan penghasilan tanpa meningkatkan kesejahteraan

d. Lainnya,………

14.Apakah kawasan ini perlu dilestarikan?

a. Ya b. Tidak

15.Jika ya, mengapa harus dilestarikan?

... ... 16.Siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan kawasan ini?

a. Pemerintah Daerah (Pemda)

b. Masyarakat

c. Pemda dan masyarakat

d. Lainnya,………

17.Konstribusi apa yang akan Anda berikan untuk pelestarian tersebut?

a. Mendukung secara pasif

b. Mendukung dan berpartisipasi aktif dengan turut menyumbang pikiran

c. Mendukung dan berpartisipasi aktif dengan turut menyumbang tenaga

d. Mendukung dan berpartisipasi aktif dengan turut menyumbang pikiran dan

tenaga

e. Mendukung dan berpartisipasi aktif dengan turut menyumbang financial

f. Lainnya,……….

18.Apakah Anda sudah pernah berpartisipasi?

a. Ya b. Tidak

19.Jika ya, melalui :

Media :……….. Aktivitas :……….. Lainnya,………..

20.Komentar dan saran Anda terhadap Kawasan Cagar Budaya Kotagede ini :

……… ……… ……… ………


(2)

Rencana Pengembangan Kawasan Wisata

1. Setujukah Anda dengan kegiatan wisata pada kawasan ini?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah bentuk wisata yang paling anda inginkan?(pilih salah satu jawaban

dari setiap poin)

a. Wisata Budaya

b. Wisata Sejarah

c. Wisata Belanja

d. Wisata Pendidikan

e. Wisata ………

3. Bagaimana bentuk keterlibatan masyarakat yang diharapkan dalam kegiatan

wisata di kawasan ini?

a. Terlibat aktif dalam pengelolaan kawasan

b. Menjadi obyek wisata

c. Penyedia jasa wisata

d. Menjadi penjual (makanan khas, cinderamata, pakaian khas, dll)


(3)

2. Kuesioner Persepsi Pengunjung terhadap KCB Kotagede LEMBAR KUESIONER

Selamat pagi/siang/sore/malam. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penelitian saya. Perkenalkan nama saya Yumi Nursyamsiati Rahmi. Saya mahasiswi semester 8, Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saya sedang melakukan penelitian mengenai Perencanaan Lanskap Wisata pada Kawasan Cagar Budaya Kotagede, Yogyakarta. Saya mengharapkan partisipasi Saudara/Saudari untuk menjadi responden dari kuesioner penelitian saya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan sebenar-benarnya. Terima kasih.

Data Pribadi Responden

Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan

Umur : a.18-22 thn b.23-30 thn c.31-40 thn d.41-50 thn e.51-60 thn f.>60 thn

Pekerjaan :

d. Pelajar d. Karyawan swasta

e. Mahasiswa e. Wiraswasta

f. PNS f. Lainnya

Alamat

(Kecamatan/Kelurahan):……… Pendidikan terakhir :

a. Tidak sekolah d. SMA

b. SD e. Akademik

c. SMP f. Sarjana

Frekuensi mengunjungi kawasan ini dalam setahun :

a. Seminggu 1 kali d. 6 bulan sekali

b. 2 minggu sekali e. setahun sekali

c. sebulan sekali


(4)

……… ……….……….. Mengunjungi kawasan ini:

a. Sendiri b. Keluarga c. Kelompok d.

Lainnya,………...

Aktivitas yang dilakukan selama berada di kawasan :

a. Aktivitas sendiri, seperti………..

b. Mengikuti program yang ada, seperti……….

Aktivitas yang paling disukai:

……… ……… Waktu mengunjungi kawasan ini:

a. Hari libur b. Hari kerja

Berapa lama anda menghabiskan waktu di kawasan ini:

a. <2 jam/hari b. 2-5 jam/hari c. >5 jam/hari d. >1 hari Pertanyaan

Sejarah Kawasan

Apakah Anda mengetahui sejarah kawasan ini :

b. Tahu b. Sedikit c. Tidak tahu

Jika jawaban Anda tahu :

Dari mana Anda mengetahui tentang sejarah kawasan ini :

……… ………

1. Apakah kawasan ini telah berubah dibanding waktu pertama datang?

a. Tidak berubah c. Sedikit berubah

b. Banyak berubah d. Sangat banyak berubah

2. Jika berubah. apakah perubahan tersebut?

c. Menjadi sangat nyaman c. Menjadi tidak nyaman

d. Menjadi sedikit lebih nyaman d. Menjadi sangat tidak nyaman

3. Perubahan apa yang paling terasa/terlihat?


(5)

g. Aktivitas masyarakat g. Jumlah wisatawan

h. Sarana dan prasarana h. Model bangunan

i. Jumlah pohon i. Jumlah bangunan

j. Jumlah penduduk j. Lainnya,………

4. Bagaimana situasi Kawasan Cagar Budaya Kotagede ini menurut Anda? (pilih

salah satu jawaban dari setiap poin) i. Indah/Tidah indah

j. Unik/Tidak unik

k. Menarik/Tidak menarik

l. Membanggakan/Tidak membanggakan

m.Bernilai budaya tinggi/Tidak bernilai budaya n. Bernilai sejarah tinggi/Tidak bernilai sejarah o. Sesuai/Tidak sesuai untuk wisata

p. Terjaga/Tidak terjaga kelestariannya

5. Apakah Anda mengetahui bentuk kawasan ini di masa lampau (masa Kerajaan

Mataram Islam)?

b. Ya b. Tidak

6. Jika ya, apakah karakteristiknya?

d. Permukiman d. Industri

e. Pertanian e. Hutan alam

f. Perdagangan f. Lainnya,………

7. Apakah anda mengetahui karakter budaya kawasan ini di masa lampau?

b. Ya b. Tidak

8. Jika ya, apa karakteristiknya?

e. Budaya Jawa secara umum e. Campuran (Keraton dan Eropa)

f. Budaya Jawa khas Yogyakarta f. Campuran (Kalang dan Eropa)

g. Budaya Keraton g. Campuran (Kalang dan Keraton)

h. Budaya Eropa h. Lainnya,………

9. Apa yang menentukan karakter kawasan ini, dilihat dari sisi : (coret yang tidak perlu)

f. Masyarakat : tradisional/semi modern/modern/lainnya,……….

g. Bangunan : tradisional/semi modern/modern/lainnya,……….

h. Aktivitas : perdagangan/pertanian/pariwisata/lainnya,………..


(6)

j. Lainnya,……….. 10. Apa yang paling menonjol pada kawasan ini?

d. Makam d. Budaya masyarakat lokal

e. Kerajinan perak e. Bangunan sejarah

f. Kuliner f. Lainnya,………

11.Apakah kawasan ini perlu dilestarikan?

b. Ya b. Tidak

12.Jika ya, mengapa harus dilestarikan?

... ... 13.Siapa yang bertanggung jawab?

e. Pemerintah Daerah (Pemda)

f. Masyarakat

g. Pemda dan masyarakat

h. Lainnya,………..

14.Konstribusi apa yang akan Anda berikan untuk pelestarian tersebut?

g. Mendukung secara pasif

h. Mendukung dan berpartisipasi aktif dengan turut menyumbang pikiran

i. Mendukung dan berpartisipasi aktif dengan turut menyumbang tenaga

j. Mendukung dan berpartisipasi aktif dengan turut menyumbang pikiran dan

tenaga

k. Mendukung dan berpartisipasi aktif dengan turut menyumbang financial

l. Lainnya,………

15.Apakah Anda sudah pernah berpartisipasi?

b. Ya b. Tidak

16.Jika ya, melalui :

Media :……… Aktivitas :……… Lainnya, ………

17.Komentar dan saran Anda terhadap Kawasan Cagar Budaya Kotagede ini :

……… ………