35 ada korelasi yang cukup kuat diantara variabel, sehingga akan terjadi
pengelompokkan. Jika sebuah variabel atau lebih berkorelasi lemah dengan variabel lainnya, maka variabel tersebut akan dikeluarkan dari analisis faktor.
Alat seperti MSA atau Barlett’s Test dapat digunakan untuk keperluan ini.
2. Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel tersebut
sehingga menjadi satu atau beberapa faktor. 3. Faktor yang terbentuk pada banyak kasus kurang menggambarkan perbedaan
diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut akan mengganggu analisis, karena justru sebuah faktor harus berbeda secara nyata dengan faktor lain.
4. Jika isi faktor diragukan, dapat dilakukan proses rotasi untuk memperjelas apakah faktor terbentuk sudah secara signifikan berbeda dengan faktor lain.
5. Setelah faktor benar-benar sudah terbentuk, maka proses dilanjutkan dengan menamakan faktor yang ada. Kemudian mengartikannya hasil penemuannya
artinya faktor-faktor tersebut mewakili variabel yang mana saja.
2.4.11 Asumsi Analisis Faktor
Prinsip utama dalam analisis faktor adalah korelasi, artinya variabel yang memiliki korelasi erat akan membentuk suatu faktor, sedangkan variabel yang ada
dalam suatu faktor akan memiliki korelasi yang lemah dengan variabel yang terdapat pada faktor yang lain. Karena prinsip utama analisis faktor adalah korelasi, maka
asumsi dalam analiss faktor berkaitan erat dengan korelasi berikut: 1. Korelasi atau keterkaitan antarvariabel harus kuat
Hal ini dapat diidentifikasi dari nilai determinannya yang mendekati nol. Nilai determinan dari matriks korelasi yang elemen-elemennya menyerupai matriks
Universitas Sumatera Utara
36 identitas akan memiliki nilai determinan sebesar satu. Artinya, jika nilai
determinan mendekati satu, maka matriks korelasi menyerupai matriks identitas, dimana antar itemvariabel tidak saling terkait karena matriks identitas memiliki
elemen pada diagonal bernilai satu, sedangkan lainnya bernilai nol. 2. Indeks perbandingan jarak antara koefisien korelasi dengan koefisien korelasi
parsialnya secara keseluruhan harus kecil Hal ini dapat diidentifikasi dengan nilai Kiser Meyer Olkin measure of sampling
adequency KMO. KMO merupakan sebuah indeks perbandingan jarak antara koefisien korelasi dengan koefisien parsialnya secara keseluruhan. Jika jumlah
kuadrat koefisien korelasi parsial di antara seluruh pasangan variabel bernilai kecil dibandingkan dengan jumlah kuadrat koefisien korelasi, maka akan
menghasilkan nilai KMO yang mendekati satu. Nilai KMO yang kecil menunjukkan bahwa analis faktor bukan merupakan pilihan yang tepat. Untuk
dapat dilakukan analisis faktor, nilai KMO diangggap cukup apabila nilai KMO ≥ 0,5.
3. Indeks perbandingan jarak antara koefisien korelasi dengan koefisien korelasi parsialnya secara keseluruhan harus kecil
Hal ini dapat diidentifikasi dengan nilai Measure of Sampling Adequency MSA. MSA adalah sebuah indeks perbandingan jarak antara koefisien korelasi dengan
koefisien korelasi parsialnya secara parsial setiap itemvariabel. Untuk dapat dilakukan analisis faktor, nilai MSA dianggap cukup apabila nilai MSA
≥ 0,5. Apabila ada itemvariabel yang tidak memiliki nilai MSA
≥ 0,5, variabel tersebut harus dikeluarkan dari analisis faktor secara bertahap satu persatu.
Universitas Sumatera Utara
37 4.
Dalam beberapa kasus, setiap variabel yang akan dianalisis dengan menggunakan analisis faktor harus menyebar secara normal.
2.5 Kerangka Konsep