Universitas Sumatera Utara
bulu mata palsu, dan beliau tidak sungkan untuk mengubah tatanan dan warna rambut yang semula lurus sebahu dan berwarna coklat gelap, kini menjadi sebahu
bergelombang dengan warna rambut merah maroon.
5. Jenny Riany Lucia Berutu, SH
Informan kelima dalam penelitian ini adalah Ibu Jenny Riany Brutu. Perempuan berambut hitam ini lahir di Laras pada tanggal 3 Februari tahun 1958.
Beliau bertempat tinggal di jalan Mongonsidi No. 45Q, Medan. Menikah dengan bapak Romeo Bangun, seorang pensiunan PT Perkebunan Nusantara PTPN, dan
memiliki tiga orang anak laki-laki. Sama seperti informan III, perempuan yang memiliki mimik wajah serius dan tegas ini merupakan pendatang baru di DPRD
Provinsi Sumatera Utara. Beliau memilih partai Demokrat sebagai fraksinya dan beliau ditempatkan di Komisi B yang bertugas di bidang perekonomian dengan
daerah pemilihan SUMUT 11 Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, dan Kabupaten Pakpak Barat.
Setelah menamatkan spesialis notaris dari Universitas Sumatera Utara, beliau berprofesi sebagai notaris yang bertempat di Kabupaten Dairi. Profesi
tersebut beliau tekuni sejak tahun 1998 sampai tahun 2014, hingga akhirnya beliau mencalonkan sebagai anggota legislatif dan terpilih menjadi anggota
DPRD Provinsi Sumatera Utara periode 2014 sampai 2019. Ibu Jenni Berutu memiliki ciri-ciri wajah berbentuk persegi, rambut hitam, kulit kuning langsat
serta memiliki tinggi 160 cm dan berat 68 kg.
4.1.3 Hasil Pengamatan dan Wawancara
Seperti yang telah disebutkan dalam tujuan penelitian ini, untuk mengetahui bagaimana gaya komunikasi verbal dan nonverbal anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Perempuan di Provinsi Sumatera Utara, peneliti melakukan pengamatan langsung dan wawancara secara mendalam kepada lima
orang anggota perempuan DPRD Provinsi Sumatera Utara. Berikut hasil wawancara dengan masing-masing informan :
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara Informan I
Hj. Meilizar Latief, MM
Ibu Meilizar Latief adalah informan pertama dalam penelitian ini. Wawancara dimulai dengan menanyakan biodata beliau, dan dilanjutkan dengan
pertanyaan lainnya yang telah disiapkan oleh peneliti. Ibu Meilizar Latief mengaku bahwa beliau bukanlah pendatang baru di dunia perpolitikan, beliau
sudah memasuki periode kedua dalam menjabat sebagai wakil rakyat. Beliau menggeluti dunia politik sejak terpilihnya sebagai anggota dewan di tahun 2009
sampai tahun 2014. Tidak berhenti sampai disitu, beliau kembali terpilih sebagai wakil rakyat pada periode 2014 sampai 2019.
“Saya sudah dua periode disini, periode 2009 sampai 2014 dan terpilih lagi untuk periode 2014 sampai 2019.
” Dalam kesehariannya berkomunikasi di kantor, apabila sedang berada di
situasi yang formal beliau akan menggunakan bahasa Indonesia formal. Namun beliau mengakui bahwa bahasa daerah juga kerap muncul, dikarenakan
lingkungan tempat beliau bekerja terdapat berbagai etnis dan suku sehingga saat mereka berinteraksi secara tidak sengaja mereka akan menggunakan bahasa
daerah. Seperti beliau yang berasal dari Padang, terkadang jika bertemu dengan orang Padang beliau menggunakan bahasa daerah.
“Bahasa yang sering digunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, jadi kita disinikan berbagai etnis suku yang mayoritas disini Tapanuli
Selatan banyak juga, batak banyak juga. Di dalam komunikasi formal kami menggunakan bahasa Indonesia, tapi seperti saya Padang ada juga
kadang-kadang beberapa disini menggunakan bahasa tradisional. Jadi kadang-kadang sering juga muncul bahasa tradisional. Jadi kita di
Sumatera Utara ini memang tidak seperti di Barat sana selalu menggunakan bahasa yang sifatnya internasional. Jadi kalau kita disini
lebih ke bahasa Indonesia formal
.” Saat pertama sekali menjabat sebagai anggota dewan, beliau mengakui
adanya kesulitan saat berinteraksi ataupun berkomunikasi, menurut beliau hal ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda-beda
setiap orang. Terlebih pada diri beliau, yang memiliki latar belakang pengalaman kerja yang berbeda dengan dunia politik. Dulunya beliau bekerja di sebuah bank,
berkutat dengan angka dan memiliki hasil akhir pada hari itu juga. Bagi beliau hal itu berbeda jauh dengan dunia politik yang memiliki tenggang waktu, tidak dapat
terukur jangka waktunya karena menyangkut aspirasi rakyat serta kepentingan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
politik. Meskipun awalnya beliau merasa terhambat, namun saat itulah beliau mempelajari apa sesungguhnya pekerjaan anggota dewan, dengan beradpatasi,
memahami, dan menghayati sesungguhnya pekerjaan yang beliau tekuni adalah pekerjaan yang indah.
”Sebetulnya dalam berkomunikasi ataupun interaksi karena background kita pada saat masuk ke DPRD ini artinya masing-masing dari dunia yang
berbeda-beda, dari background pendidikan, pengalaman berbeda-beda. Jadi namanya kita terbiasa kadang-kadang bekerja sebelumnya dengan
suatu yang setiap hari terukur, misalnya kita kerja di kantor, di bank atau di PT itu satu harinya itukan ada terukur. Kalau di dewan ini, pekerjaan
kita adalah rata-rata yang menyangkut aspirasi masyarakat. Jadi artinya tidak ada setiap hari dihitung angka, seperti kami bekerja itu dengan
mitra provinsi Sumatera Utara. Jadi komunikasi disitu, bagi saya pribadi awalnya memang ada masalah, karena saya datangnya dari pekerjaan
yang profesional yang kalau empat ditambah empat itu enambelas, itu siap hari itu. Tapi dalam dunia politik ada tenggang waktu, ada aspirasi
ada kepentingan politik jaditerhambatnyadisitu awal-awalnya, sambil kita mempelajari apa sesungguhnya pekerjaan di dewan ini. Kita harus
adaptasi, kita harus memahami, kita harus menghayati bahwa
sesungguhnya pekerjaan politik ini indah.” Dalam lingkungan organisasinya, Ibu Meilizar mengakui ketimpangan
sering terjadi antara laki-laki dan perempuan. Sebelumnya pada periode pertama, beliau memang ditempatkan di komisi yang sesuai dengan background
pendidikannya yaitu komisi B bagian perekonomian. Tetapi setelah memasuki periode kedua, beliau ditempatkan di komisi E bagian kemasyarakatan, yang
menurut beliau tidak sesuai dengan background pendidikannya. Beliau beranggapan, hal itu kerap memicu perbedaan persepsi dan sulit untuk
menyatukannya karena perbedaan cara pandang dari background yang berbeda. Beliau menjelaskan bahwa politik ini merupakan sarat kepentingan yang suka
tidak suka harus siap dan tetap professional. “Ketimpangan kerap sekali terjadi antara laki-laki dan perempuan, itu
salah satu faktornya adalah kami yang ada sekarang ini dengan background yang berbeda-beda jadi susah untuk menyatukan dan
menyamakan persepsinya susah. Dan kita selalu ditempatkan di komisi yang sebetulnya itu tidak sesuai dengan backgrund kita, dulu pada
periode 2009 sampai 2014, saya memang ditempatkan di komisi yang sesuai dengan background pendidikan ekonomi saya yakni Komisi B.
Tetapi yang namanya politik ini kan sarat kepentingan. Jadi seperti saya, katakanlah saya ini fraksi di partai Demokrat, background saya ekonomi,
sebetulnya komisi Ekonomi itu kalau gak komisi B atau komisi C. Tapi saya ditempatkan di komisi E bagian kemasyarakatan. Kenapa begini?
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Ada 2 faktor. Faktor pertama memang kondisi anggota fraksinya tidak mengijinkan yang tidak membenarkan kita untuk memilih. Faktor yang
kedua like-dislike, itu tetap ada namanya politik sarat kepentingan, sehingga background selalu tidak sama dengan apa yang kita kerjakan.
Tapi, dimana pun kita ditempatkan kita harus tetap professional, tetap belajar hal-hal baru yang mungkin belum kita ketahui. Sebab kita sudah
diberi tugas dan tanggungjawab, yang harus bagaimanapun kita harus melakukan yang terbaik, tetap professional dengan tanggungjawab dan
tugas itu.” Saat disinggung mengenai konstituen yang pro maupun yang tidak, Ibu
Meilizar mengaku tetap bersikap adil sekalipun beliau tahu ada konstituen yang tidak pro terhadap beliau. Sebagai wakil rakyat, beliau tetap bersikap adil dan
seimbang terhadap konstituen yang ada di daerah pemilihannya baik itu yang pro maupun yang kontra terhadap beliau, karena bagi beliau rakyat itu sama di mata
hukum. “Tidak, tidak ada yang berbeda. Kita ini kan sudah terpilih menjadi wakil
rakyat semua rakyat itu sama di mata hukum, sekalipun saya tahu bahwa si X tidak pro terhadap saya, bukan berarti saya tidak memperdulikannya
dan jarang menemui mereka. Siapapun konstituen yang berada di daerah pemilihan saya, saya akan selalu berlaku adil dan tidak ada pilih-pilih
kasih. Bukan wakil rakyat lah namanya kalau tidak melakukan pemerataan terhadap konstituennya. Jadi untuk siapa yang sering
didatangi, keduanya sama-sama balance, baik yang pro maupun yang tidak pro terhadap saya. Tidak ada itu namanya konstituen yang jarang di
datangi dan sering didatangi.” Untuk gaya berpakaian, Ibu Meilizar mengaku bukanlah tipe orang yang
modis yang selalu mengikuti perubahan trend dalam berbusana. Dari waktu ke waktu baik sebelum dan sesudah menjadi anggota dewan, beliau lebih memilih
menggunakan busana muslim dengan baju lengan panjang dan celana panjang serta sesekali menggunakan rok. Hanya saja memiliki sedikit perbedaan saat dulu
beliau bekerja di sebuah bank yang memang memiliki uniform tersendiri. Tidak pernah memakai kaos maupun celana jeans, beliau mengaku dalam kesehariannya
nyaman dengan style formal yang beliau kenakan. ”Tipekal saya memang yang tidak terlalu berubah mode jadi kalau di
kantor begini, nanti kalau di pesta tinggal celananya diganti dengan rok, kalau saya pribadi ya, hanya kadang-kadang mau juga saya pakai rok ke
kantor.Tapi kalau model baju sama, karena saya lebih familiar dengan gaya baju seperti ini. Saya orangnya tidak modis, tidak mengikuti trend
sekarang kan baju muslim itu kan banyak tapi saya orangnya gak bisa. Inilah standart baju saya ahahha. Saya kalau keluar tidak pernah pakai
baju kaos, gakpernah pakai jeans. Saya sudah beginilah style nya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
formal. Tapi mungkin adek-adek bisa lihat bahwa kami juga disini
disediakan uniform, tapi kesehariannya kami menggunakan baju bebas. Tapi kalau tentunya memang etika berbusana kantor dengan busana pesta
itu mesti dibedain. Sebelum menjadi anggota DPR memang begini gaya berbusana saya, kecuali dulu masih bekerja di bank ada peraturan
berbusananya disesua
ikan dengan uniform kantor itu.” Sementara saat terjun ke masyarakat, gaya berpakaian maupun gaya
berbahasa yang beliau gunakan lebih menyesuaikan dan berbaur kepada masyarakat. Seperti saat berkunjung ke pedalaman, beliau mengaku akan lebih
nyaman jika mengganti sepatu dengan sandal. Sama hal nya saat berkomunikasi, beliau akan memakai bahasa yang sangat sederhana yang dapat dimengerti oleh
masyarakat, beliau bahkan mengaku kerap mencuri gaya bahasa masyarakat yang dikunjunginya dan menghindari istilah-istilah yang tidak biasa disebut oleh
masyarakat. ”Saya justru lebih minim lagi misalnya kesini kantor pakai gelang uda
terbiasa pakai gelang, jadi ke masyarakat itu kita enaknya berpakain seperti mereka biar membaur, seperti pakai sendal, karena kita itu ke
pedalaman. Saya kan dapil Medan, 11 kecamatan2014, pada saat 2009, 21 kecamatan wilayah saya. Yah bayangilah kalau kita pakaisepatu ke
belawan turun ke pelabuhan ke tembung sana. Jadi sebenarnya lebih enaknyake masyarakat ini kita pun berbahasa pada saat kita menerima
aspirasi, kita harus berkomunikasi dengan bahasa yang sangat sederhana. Kalau bisa pun bahasa mereka itulah yang kita curi. Kita gak bisa
berbahasa yang aneh-aneh gitu, kita menyampaikan program pemerintah tidak gak bisa bila budgeting, kita cuma bisa bilang anggaran biaya
misalnya. Kita enggak bisa bergaya bahasa yang tidak biasa mereka sebutkan, jadi
komunikasi kita mengikuti komunikasi mereka.” Dalam penggunaan bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal, beliau
mengaku lebih sering menggunakannya di lingkungan kerja terutama saat rapat di kantor. Menurut beliau gaya komunikasi nonverbal seperti gerakan tangan dapat
memperlihatkan sikap tegas terhadap lawan bicara baik saat berbicara maupun saat mengeluarkan pendapat.
“Di kantor, kita berbicara di kantor apalagi saat rapat lebih cenderung menggunakan gerakan tangan untuk gaya nonverbalnya, karena bagi
saya dalam mengemukakan pendapat apabila kita menggunakan gerakan tangan, hal itu lebih memperlihatkan sikap tegas.
” Setiap kali memiliki masalah di kantor, beliau mengaku akan berpengaruh
pada ekspresi wajahnya. Tidak ingin masalah yang ada terbawa sampai ke rumah, beliau memiliki cara sendiri dalam mengatasinya yaitu sepulang dari kantor beliau
tidak akan langsung pulang ke rumah melainkan pergi belanja atau jalan-jalan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Hal ini beliau lakukan untuk meredakan pikiran beliau dari masalah yang ada, sehingga saat kembali ke rumah beliau tidak mencampur adukkan urusan
pekerjaan dengan urusan keluarga. “Sedikit, kita memang bisa membedakan apalagi namanya manusia ini
kadang mau sampai terbawa. Jadi kadang memang mau terbawa dalam keluarga, karena mood itu cukup berpengaruh ya dan gak bisa dibohongi
oleh ekspresi wajah kita. Cara mengatasinya kalau saya ada masalah di kantor, terkadang saya kasih jeda waktu sebelum pulang ke rumah
misalnya pergi belanja, jalan-jalan untuk meredakan. Setelah saya rasa sudah mendingan, baru saya pulang ke rumah. Jadi kan tidak terbawa
sampai ke rumah, masalah yang di kantor cukuplah untuk di kantor, jangan dicampur baurkan
dengan keluarga.” Selain memberikan waktu sejenak untuk diri sendiri melupakan masalah,
beliau mengakui tempat untuk beliau dapat mencurahkan isi hati maupun kekesalannya adalah suaminya sendiri. Sementara untuk teman sesama anggota
dewan baik sesama fraksi maupun komisi, beliau mengaku lebih terbuka mengenai masalah pekerjaan dan masyarakat dibandingkan dengan urusan
pribadi. ”Seperti yang saya bilang tadi, kalaupun ada masalah untuk melepaskan
emosi saya lebih memilih memberikan waktu sejenak untuk saya sendiri atau biasa orang-orang bilang
„me time‟, jadi kalaupun saya ingin cerita masalah atau kekesalan saya, suami saya tempat curhat saya. Kalau
untuk teman-teman sesama anggota dewan baik itu teman satu komisi ataupun teman satu fraksi, kami lebih terbuka dalam masalah pekerjaan,
masalah masyarakat lah, tapi kalau untuk urusan pribadi sih tidak begitu
ya.” Untuk penggunaan nada, intonasi maupun volume suara, Ibu Meilizar
Latief mengaku akan mengkondisikan sesuai tempat, situasi dan lawan bicaranya. Seperti saat di keluarga, beliau menggunakan intonasi yang bersifat keibuan
bagaimana layaknya istri terhadap suami, dan ibu terhadap anaknya. Sementara saat berada di lingkungan organisasinya khususnya saat berada di kantor beliau
mengaku ada saat dimana intonasi yang dikeluarkan akan berubah-ubah, terlebih saat suasana rapat, naik-turunnya intonasi ataupun volume suara sangat
berpengaruh disaat mengeluarkan pendapat ataupun menegaskan suatu hal. Berbeda saat berada di tengah masyarakat, beliau mengaku lebih memperhatikan
intonasi, nada maupun volume yang dikeluarkan agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda pada masyarakat sehingga masyarakat akan tetap merasa nyaman
dengan kehadiran beliau.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
“Pasti ada, kalau dengan anak-anak dan suami itu lebih ke intonasi bagaimana seorang ibu dengan anak bagaimana istri dengan suami, lebih
ke bahasa sayang atau bahasa keluarga. Kalau dalam ruang lingkup pekerjaan khususnya saat di kantor, pasti ada saat-saat dimana intonasi
kita itu berubah-ubah, naik-turunnya intonasi suara pasti ada. Terlebih saat kita melakukan agenda rapat, untuk mengeluarkan pendapat maupun
menegaskan suatu hal intonasi suara kita bisa naik-turun. Tetapi untuk masyarakat sedikit berbeda ya, karena kan untuk menghadapi mereka itu
harus bertahap, kita juga harus memperhatikan dari mulai kata, intonasi, nada dan volume suara kita agar mereka tetap nyaman berada dengan
kita, dan mereka tidak salah persepsi dengan kita. Karena terakadangkan dari intonasi suara yang berbeda bisa membuat persepsi yang berbeda-
beda juga dari lawan bicara
kita.”
Informan II Siti Aminah Perangin-angin, SE, MSP
Setelah selesai melakukan wawancara dengan Ibu Meilizar Latief, beliau langsung menunjuk Ibu Siti Aminah untuk dijadikan informan selanjutnya, yang
kebetulan Ibu Siti Aminah juga berada di ruangan yang sama. Dalam wawancara peneliti dengan Ibu Siti Aminah, beliau menyatakan sudah 15 tahun terjun ke
dunia politik dan menjabat sebagai anggota dewan di tanah Karo, bukan hanya sebagai anggota beliau juga pernah menjabat sebagai ketua DPR di Kabupaten
Karo. Tidak hanya menjadi wakil rakyat di tanah Karo, enam bulan belakangan ini beliau sudah menjadi bagian dari anggota dewan Provinsi Sumatera Utara
dengan menggantikan Sudarto Sitepu yang kala itu mengundurkan diri sebagai anggota dewan dikarenakan mengikuti Pilkada Kabupaten Karo, akhirnya beliau
diangkat dan dilantik sebagai anggota DPRD Sumut dengan masa jabatan 2015 sampai 2019.
“Sudah 15 tahun atau tiga periode ya saya menjadi anggota dewan di tanah Karo, pernah juga menjabat sebagai ketua DPR di Karo. Setelah
itu, dulu anggota dewan Pak Sudarto Sitepu mengundurkan diri karena beliau ikutdalam Pilkada Kabupaten Karo, nah untuk menggantikan posisi
beliau saya kemudian dilantik menjadi anggota DPR SUMUT menggantikan posisi beliau dari tahun 2015
sampai 2019.” Sehari-hari saat berkomunikasi di lingkungan kantor dalam penggunaan
bahasa beliau mengaku tidak hanya memakai bahasa Indonesia, namun tergantung siapa lawan bicaranya. Apabila beliau bertemu rekan dengan suku yang sama,
beliau juga akan menggunakan bahasa daerah. Sama seperti saat beliau mengunjungi masyarakat di daerah pemilihannya di tanah Karo, saat berinteraksi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
beliau memakai bahasa Indonesia yang juga diselingi dengan bahasa daerah. Namun hal itu berbeda saat beliau berada di lingkungan keluarga, beliau
cenderung menggunakan bahasa daerah batak karo termasuk saat berinteraksi dengan anak-anaknya.
“Semuanya dipakai, bahasa Indonesia dan juga bahasa daerahmelihat orangnya, siapa teman berbicara. Kalau di rumah lebih sering pakai
bahasa Karo sama anak-anak juga, sama seperti di masyarakat bahasa Indone
sia juga sesekali di selingi bahasa daerah lah.” Saat pertama kali terjun ke dunia politik beliau mengaku mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi, terlebih dikala itu hanya beliau yang merupakan anggota dewan perempuan di tanah Karo. Sehingga saat terjun ke lapangan,
anggota dewan laki-laki kerap merasa tidak nyaman dan marah apabila beliau ikut bersama mereka. Namun hal itu tidak menjadi halangan baginya untuk
menjalankan tugasnya sebagai anggota dewan, justru di kesempatan itu beliau mengaku banyak mencuri ilmu dari anggota dewan yang lainnya.
”Ada, sulit pertama sekali dengan sesama anggota DPR, karena pada masa itu hanya saya sendiri perempuan anggota DPR di Karo. Jadi ya
ilmunya saya curi pada saat saya pergi-pergi ke lapangan dengan anggota DPR yanglain. Hanya saja kadang merekamarah jika saya ikut
dengan mereka, karena hanya saya sendiri yang perempuan, mereka merasa tidak nyaman dan menganggap saya seperti mata-mata.
” Namun hal itu tidak berangsur lama, seiring berjalannya waktu anggota
dewan laki-laki sudah mulai terbiasa dengan kehadiran beliau. Beliau tidak lagi merasa canggung dan mulai merasa nyaman saat berkomunikasi maupun terjun ke
lapangan bersama anggota dewan laki-laki, dan sebaliknya anggota dewan laki- laki mulai terbiasa akan kehadiran dan keikutsertaan beliau. Terlebih lagi beliau
sudah menjabat selama tiga periode sebagai wakil rakyat sehingga tidak ada lagi ketidaknyamanan satu dengan yang lainnya.
“Tapi seiring berjalannya waktu ketidaknyamanan itu sudah mulai hilang, anggota dewan laki-laki juga sudah terbiasa akan kehadiran saya saat
ikut ke lapangan terlebih sudah tiga periode menjabat kan, jadi yah sudah nyaman saja, saya pun tidak canggung lagi meskipun hanya saya
perempuan
.” Saat disinggung mengenai konstituen yang pro dan tidak, beliau mengaku
lebih mengutamakan konstituen yang pro, namun tetap berusaha memberikan pengertian terhadap konstituen yang tidak pro agar dapat lebih mengerti akan
kedudukan dan tugas yang beliau kerjakan. Beliau mengaku tetap menyayangi
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
konstituen yang pro maupun yang tidak, namun dalam hal ini beliau tidak menutupi bahwa tetap ada yang tersayang karena konstituen yang pro itulah yang
telah mempercayakannya sebagai wakil mereka. Namun saat kunjungan beliau tetap adil terhadap yang pro maupun yang tidak, selagi beliau menjalankan tugas
dan tanggiungjawabnya ia tidak memperdulikan apakah konstituen yang kontra itu mau mendengarkannya atau tidak.
“Ya utamanya apapun ceritanya konstituen yang memilih kita itu, itu yang kita utamakan, tapi yang tidak juga kita berusaha bagaimana caranya
supaya dia juga mengerti apa yang menjadi tugas-tugas kita dan apa yang dia bisa peroleh dengan kedudukan kita, gitu. Karena rakyat ini banyak
yang memilih karena uang, kita ingin merinso otak-otaknya yang tidak bagus itu, gitu kalau saya. Semua saya sayang sama rakyat ini, tapi ada
yang tersayang karena dia yang mendudukkan kita, begitu. Ya semua, semua didatangi, kita kan ke satu desa, satu desa itu ya kalau kita reses
kan kita undang semuanya, ya kalau tidak mau dengarkan ya itu terserah dia, tapi tugas kita sebagai wakil rakyat harus kita jalankan, gituu.
” Dalam segi penampilan, dulunya saat berprofesi sebagai pengusaha kedai
kopi beliau mengaku tidak begitu memperhatikan penampilan, namun berbeda saat beliau mulai terjun ke dunia politik dan menjadi wakil rakyat. Saat sudah
menjabat sebagai anggota dewan, beliau mengaku lebih memperhatikan penampilannya, lebih rapi dari sebelumnya. Menurut beliau dalam hal
penampilan, sesuatu yang mewah bukanlah merupakan kunci utamanya, terlihat rapi saja sudah cukup baginya. Begitu juga dalam penggunaan aksesoris, beliau
mengaku lebih menyesuaikan tempat, kondisi serta mood beliau, dalam artian aksesoris tersebut tidak setiap hari ia kenakan atau menempel ditubuhnya.
“Jauh beda lah, dulu kan saya latar belakang pengusaha kedai kopi bergabung dengan bapak-bapak dan siapa saja, jadi tidak begitu
memperhatikan penampilan. Setelah menjadi anggota DPR kan harus lebih rapi, tidak perlu terlalu mewah cukup rapi saja menurut saya. Saya
juga hanya sesekali memakai aksesoris, itupun menyesuaikan tempat dan situasi ya. Kalau misalnya ke pesta, ya kadang saya pakai, ke kantor
kalau saya lagi pengen ya saya pakai, tapi kalau lagi enggak pengen, ya
tidak saya pakai.” Sementara untuk gaya berpakaian saat ke lapangan atau berkunjung ke
masyarakat, beliau lebih nyaman berpakaian seperti masyarakat biasanya. Beliau lebih memilih atasan yang nyaman seperti kemeja, dan memakai celana panjang.
Untuk melengkapi rasa nyaman saat ke lapangan, beliau mengaku sangat jarang memakai sepatu yang memiliki heels yang tinggi, karena menurutnya hal itu dapat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
mengganggu ruang geraknya dan menyebabkan beliau tidak nyaman dan leluasa saat berjalan di tengah-tengah masyarakat.
“Sudah tiga periode di tanah Karo, jadi saat saya terjun ke masyarakat saya lebih nyaman memakai pakaian yang seperti masyarakat juga. Pakai
atasan yang nyaman, kadang juga kemeja, pakai celana panjang, saya jarang memakai sepatu yang ber hak tinggi saat ke lapangan karena
dapat mengganggu kenyamanan
saat berjalan tidak leluasa begitu.” Dalam penggunaan komunikasi nonverbal, Ibu Siti Aminah mengaku lebih
banyak menggunakannya saat berada di lingkungan kantor dan saat terjun ke masyarakat. Menurut beliau, gerakan-gerakan tangan yang ditimbulkannya sangat
menunjang ketika ia berbicara, karena baginya gerakan-gerakan tangan tersebut mampu membantu beliau untuk memaparkan isi pikiran yang ingin disampaikan
pada lawan bicaranya. “Di kantor dan di masyarakat, karena saat kita berbicara atau
menjelaskan sesuatu, gerakan-gerakan tangan kita cukup menunjang dalam artian gerakan tangan membantu kita untuk lebih bisa memaparkan
apa yang ada dalam isi pikiran kita untuk disampaikan pada lawan
bicara, gitu.” Sekalipun memiliki masalah beliau memilih untuk tetap professional
dengan tidak memperlihatkannya melalui ekspresi wajahnya, terlebih saat terjun ke masyarakat beliau berusaha untuk menutupinya karena menurutnya pekerjaan
tetaplah pekerjaan yang lebih diprioritaskan. Tidak hanya di lingkungan kerja ataupun di masyarakat, saat di keluarga pun beliau mengaku semaksimal mungkin
untuk tidak memperlihatkannya, karena baginya setiap masalah pasti memiliki jalan keluarnya sendiri dan bukan berarti ia akan melupakan begitu saja masalah
yang ada, namun tetap memikirkan cara mengatasinya tanpa harus memperlihatkan kepada orang-orang bahwa ia sedang memiliki masalah.
“Pasti ada, tapikan kalau kita ke masyarakat kita harus tahu menempatkan diri, pintar-pintar bagaimana supaya dapat menutupinya.
Harus professional saat kita bekerja, membedakan mana yang menjadi prioritas saat bekerja. Begitu juga saat kita di keluarga, jangan terlalu
memperlihatkan masalah yang ada, semaksimal mungkin raut wajah itu dijaga agar tidak terlalu kelihatan. Setiap masalah kan, pasti ada jalan
keluarnya, ya saya selalu berusaha untuk santai saja, bukan berarti melupakan masalah itu santai tapi tetap memikirkan bagaimana cara
memecahkannya, bila perlu minta solusi dengan orang yang kira-kira bisa membantu, jadi tidak perlu semua orang harus tahu kalau kita sedang
memiliki masalah, pintar-pintar lah menutupinya.
”
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Dalam penggunaan intonasi, nada maupun volume suara beliau mengakui tidak menempatkan secara khusus saat kapan perubahan atau naik turunnya
intonasi suaranya. Menurutnya intonasi maupun volume suara yang ia keluarkan mengalir begitu saja tanpa harus diatur-atur baik saat berinteraksi di kantor, di
masyarakat maupun di keluarga. Hanya saja sesekali saat beliau menyatakan pendapat terdapat penekanan-penekan dalam intonasi yang beliau keluarkan.
“Kalau saya sama saja, mengalir begitu saja baik di keluarga, di kantor maupun di masyarakat saya berbicara sama saja tidak ada bedanya,
hanya sekali-sekali disaat saya menyatakan pendapat terkadang ada penekanan-penekanan dalam intonasi yang saya keluarkan, ya mengalir
begitu saja tanpa harus kita atur-atur.
”
Informan III Novitasari, SH
Selain menunjuk Ibu Siti Aminah untuk dijadikan informan, Ibu Novitasari yang juga saat itu berada di ruangan yang sama , ditunjuk langsung
oleh Ibu Meilizar Latief agar mau dijadikan informan peneliti selanjutnya. Meskipun awalnya peneliti sudah diperkenalkan oleh Ibu Meilizar, namun
sebelum memasuki tahap wawancara peneliti kembali memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan peneliti, dan kemudian melanjutkan dengan
bertanya mengenai biodata serta pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ibu Novitasari merupakan pendatang baru di lingkungan DPRD Provinsi Sumatera Utara, beliau
baru menjabat dua tahun belakangan ini sejak terpilih sebagai wakil rakyat pada periode 2014 sampai 2019.
“Masih pendatang barulah, terpilih baru periode ini tahun 2014 sampai 2019.
” Anggota dewan yang lebih senang dipanggil dengan sebutan kakak ini,
dalam kesehariannya berbicara menggunakan bahasa Indonesia, terlebih saat mengahadiri rapat beliau mengaku lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia
yang formal. Tidak dipungkiri oleh beliau, di luar dari suasana rapat saat sedang berkumpul dengan anggota dewan yang lain terkadang beliau juga menggunakan
bahasa daerah. Sementara saat terjun ke masyarakat maupun saat bersama
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
keluarga, beliau mengaku lebih memilih memakai bahasa Indonesia dalam kesehariannya berkomunikasi.
“Kalau di kantor sih lebih ke bahasa Indonesia ya apalagi kalau sedang rapat, bahasa Indonesia yang formal ya. Tapi kalau sedang kumpul-
kumpul begini di luar jam rapat bersama anggota dewan yang lain, ya kadang ada juga muncul bahasa daerah. Kalau saat ke masyarakat sih
lebih ke bahasa Indonesia ya, sama saat di keluarga juga.” Saat pertama kali masuk ke dunia politik beliau memang merasakan
suasana yang berbeda, terlebih lagi dulunya beliau berprofesi sebagai pengusaha. Namun menurutnya, berasal dari ruang lingkup yang berbeda tidak menjadi
masalah asal beliau mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan cara dan gaya masing-masing individu tempat ia bekerja.
“Kalau pertama kali masuk itu tentu beda ya karena diluar dari ruang lingkup saya yang dulunya sebagai pengusaha. Disini kan kita harus
menyesuaikan dengan cara dan gaya masing-masing dari individu. Hanya menyesuaikan saja tidak terlalu bermasalah kalau menurut saya.
” Meskipun berasal dari latar pendidikan hukum dan ditempatkan di komisi
C bidang keuangan beliau tetap merasa nyaman dan tidak begitu mempermasalahkannya. Karena menurutnya apa yang beliau pelajari mampu ia
implementasikan dan ia paham betul mengenai aturan-aturan, Peraturan Pemerintah dan semua itu dasarnya adalah hukum.
“Sebenarnya dengan basically hukum, cocok. Karena dia mengetahui aturan-aturan, bisa di implementasikan juga. Sejauh ini saya nyaman,
karean saya juga mengerti aturan-aturannya , Peraturan Pemerintah, dan semua itu dasarnya juga dari hukum.
” Menurut Ibu Novitasari, beliau tidak mempermasalahkan konstituen yang
pro maupun yang tidak terhadapnya. Beliau mengaku tetap melakukan yang terbaik dalam menjalankan tugas dan hal itu merupakan kewajibannya sekalipun
ada yang suka dan tidak suka. Saat terjun ke lapangan beliau tidak melakukan perbedaan-perbedaan terhadap yang pro maupun yang tidak, justru sebaliknya
beliau melakukan pendekatan-pendekatan terhadap konstituen yang kontra karena baginya tidak menutup kemungkinan kedepannya konstituen tersebut dapat
berpihak dan memilih beliau jika nanti kembali mencalonkan. “Oh kalau saya enggak ada masalah, mau mereka pro ataupun tidak pro
sama saya. Sepanjang saya menjalankan tugas saya, saya akan memberikan yang terbaik walaupun sekalipun dia tidak memilih saya,
namanya saya sudah tugas, itu sudah menjadi kewajiban saya untuk menjelaskan ke mereka, tentunya kan akan ada juga suka dan tidak suka.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Saya tidak ada perbedaan untuk mendatangi mereka, namanya saya sudah menjadi wakil rakyat, misalnya gini adek milih saya yang satunya lagi
tidak milih saya, ya tetap ada pendekatan, tidak masalah kan? Manatau ke depannya yang tadinya dia tidak memilih saya ke depannya bisa milih
saya, kita kan tidak tau. Yang jelas kita mesti melakukan pendekatan- pendekatan secara emosional dan tetap seimbang terhadap mereka.
” Sebelum dan sesudah menjadi anggota dewan, beliau mengakui tidak ada
perubahan yang drastis dalam segi berpakaian. Beliau hanya perlu menyesuaikan dengan situasi, seperti saat menghadiri acara formal, beliau cenderung memakai
blazer untuk atasannya, dan celana panjang atau rok untuk bawahannya. Sementara saat menghadiri acara yang tidak begitu formal, beliau akan memakai
pakaian yang terlihat lebih santai. Namun diatas itu semua, berpakaian rapi dan sopan merupakan kunci utama dalam penampilan beliau.
“Kalau kakak sebelum menjadi anggota DPR maupun sesudah menjadi anggota DPR yah beginilah gaya berpakaian kakak, tapi setidaknya
menyesuaikan diri lah. Ketika kita menghadiri acara yang formal yah kita memakai pakaian yang formal, pakai blazer pakai rok atau celana
panjang tergantung di situasi. Kalau acaranya agak santai, ya pakai pakaian yang santai juga,
kata kuncinya harus rapi dan sopan sih.” Sementara saat terjun ke masyarakat beliau mengatakan gaya
berpakaiannya tidak jauh berbeda dari gaya berpakaiannya setiap harinya, beliau juga mengaku terkadang memakai kemeja untuk atasannya saat ke masyarakat.
Menurutnya tetap tampil rapi dan sopan serta menyesuaikan dengan situasi yang ada merupakan pokok utama baginya dalam hal berpakaian.
“Kalau di lapangan juga ya tidak beda ya dengan gaya berpakaian saya, ya kita menyesuaiakan saja, terkadang mau juga kita pakai kemeja tapi
ya itu intinya tetap harus sopan dan rapi sih. ”
Dalam penggunaan komunikasi nonverbal, beliau mengakui komunikasi nonverbal yang beliau gunakan saat berinteraksi dengan lawan bicara baik itu
gerakan-gerakan tangan, menggelengkan kepala atau gerakan lainnya merupakan gerakan refleks yang tidak bisa diatur atau ditentukan saat kapan dan dimana
gerakan-gerakan tersebut harusbeliau gunakan baik itu saat terjun masyarakat, saat di keluarga ataupun saat berada di kantor.
“
Menurut saya, dalam penggunaan komunikasi nonverbal seperti gerakan tangan, menggelengkan kepala, ekspresi wajah itu tidak bisa kita atur ya
karena itu refleks dimana saja dan kapan saja bisa kita gunakan baik itu saat ke masyarakat, saa
t di kantor maupun di keluarga.” Jika sedang memiliki masalah, Ibu Novitasari mengaku akan sedikit
berpengaruh pada perubahan ekspresi wajahnya, namun beliau tidak
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
membiarkannya berlarut-larut dan memikirkan solusi dari masalahnya. Saat memiliki masalah beliau lebih memilih untuk mengatasinya dengan bercerita
kepada kedua orangtuanya dan meminta solusi jika memang diperlukan. “Sedikit pastilah ada pengaruh, namun saya tidak menjadikannya
berlarut-larut. Karena kan kita juga harus cari bagaimana solusinya. Kalau mengatasinya ya, saya lebih senang menceritakannya kepada
kedua orangtua saya, jika membutuhkan solusi ya saya minta jika tidak
ya hanya saya curahkan saja.” Dalam penggunaan nada, intonasi, maupun volume suara beliau mengaku
akan lebih hati-hati saat terjun ke masyarakat, karena menurut beliau tingkat kecerdasan setiap orang berbeda-beda sehingga beliau tidak dapat sembarangan
menaikkan volume maupun intonasi suaranya. Sementara saat berada di kantor dan di keluarga beliau berbicara selayaknya bagaimana keseharian beliau
berbicara. “Ada, misalnya saat kita di masyarakat kita harus menggunakan
komunikasi dengan nada, intonasi yang baik, kita harus lebih hati-hati lagi dalam memilih dan menggunakan nada maupun intonasi, karena
tingkat kecerdasan masyarakat itu juga kan berbeda-beda, jadi tidak sembarangan dalam menaikkan volume suara, intonasi. Tapi kalau di
dalam keluarga dan di kantor ya nada, dan intonasi dalam berbicara selayaknya saja seperti biasanya saja.
”
Informan IV Rinawati Sinaturi, SH
Berbeda dengan informan sebelumnya yang langsung ditunjuk oleh Ibu Meilizar Latief, saat sedang mengikuti rapat di komisi E, peneliti merasa tertarik
dengan kehadiran seorang perempuan yang juga merupakan anggota dewan, masih terlihat muda dan cukup modis yang saat itu ketepatan beliau duduk di
depan peneliti, hingga akhirnya peneliti menjadikan beliau informan IV dalam penelitian ini. Awalnya peneliti berpikir bahwa beliau masih pendatang baru di
lingkungan DPR, namun ternyata beliau sudah memasuki tahun ke delapan menjabat sebagai wakil rakyat.
“Sudah delapan tahun menjabat sebagai anggota dewan sejak 2009 sampai sekarang
” Dalam penggunaan bahasa, sehari-harinya beliau menggunakan bahasa
Indonesia, namun saat berinteraksi dengan temannya yang berasal dari suku yang sama, beliau akan menggunakan bahasa daerah seperti bahasa batak, dan kadang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
juga memakai bahasa jawa walaupun tidak begitu dikuasai. Menurut beliau, hal tersebut merupakan bentuk komunikasi yang tidak kaku. Sementara saat di
lingkungan pemerintahan, beliau mengaku menggunakan bahasa Indonesia yang formal yang sesuai dengan instruksi. Lain halnya saat berada di tengah-tengah
keluarga beliau mengaku bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba menjadi bahasa yang kerap digunakan olehnya terlebih saat berinteraksi dengan suami,
tidak jauh beda saat ke masyarakat, terkadang beliau juga menggunakan bahasa daerah konstituen yang ia kunjungi selama bahasa itu beliau pahami.
“Bahasa Indonesia, tapi kalau dengan teman orang batak saya menggunakan bahasa batak, kadang juga menggunakan bahasa jawa
dengan teman yang suku jawa walaupun hanya bisa sedikit-sedikit. Itu kan bentuk komunikasi kita yang tidak kaku. Beberapa bahasa yang saya
kuasai, bahasa Indonesia, bahasa batak, bahasa jawa sedikit dan bahasa inggris. Bahasa formal yang kerap sekali digunakan, hanyakan bahasa
formal di pemerintahan itu banyak yang kita pakai misalnya, anggaran fungsinya apa, pokok kegiatannya apa karena fungsi kita kan
pengamatan jadi ya itu bahasa yang digunakan ya bahasa formal yang sesuai dengan instruksi mereka. Di rumah saya sama suami pakai bahasa
batak dan bahasa Indonesia ya, kalau di masyarakat bahasa Indonesia yang dipakai namun terkadang kalau ada bahasa daerah konstituen yang
saya tahu dan saya bisa dalam penyampaiannya, ya saya mau pakai bahasa daerah itu walaupun sikit-
sikit seperti bahasa jawa.” Saat pertama sekali menjabat sebagai anggota dewan, beliau tidak begitu
merasakan kesulitan selama beliau mengerti akan posisi dan tugas beliau. Sama halnya saat berkomunikasi, beliau mengaku tidak merasakan kesulitan yang
berarti hanya saja beliau menegaskan saat komunikasi antara laki-laki dan perempuan harus tetap mengedepankan etika, baik itu saat bercanda sekalipun.
“Kalau kesulitan sih engga, itukan semua tergantung kita. Kita di lembaga ini mau ngapai dulu, karena posisi kita kan jadi perpanjangan
partai, yah kita komunikasi sah-sah aja tidak ada kesulitan. Kesulitan itu hanya sebatas perempuan dan laki-laki harus dijaga etikanya. Misalnya
dalam bercanda, bercanda kita itu jangan sampai melecehkan.
” Meskipun ditempatkan di posisi yang tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikannya, beliau tetap merasa nyaman hingga saat ini dan tidak begitu mempersoalkannya, karena baginya semua lingkungan adalah tempat belajar dan
beliau menyarankan apabila tidak nyaman dengan pekerjaan tersebut sebaiknya menjadi ibu rumah tangga saja tanpa harus bekerja.
“Sesuai sesuai aja sih. Jadi semua lingkungan itu tempat belajar, belajar membaca, belajar mencerna jadi disini kita ditempatkan disinilah kita
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
belajar. Sejauh ini sih nyaman-nyaman aja ya, kalau enggak nyaman dengan pekerjaan itu yah mending di rumah saja jadi ibu rumah tangga
.” Bagi Ibu Rinawati, tidak masalah apabila ada konstituen yang tidak pro
terhadapnya, disukai maupun tidak sudah menjadi resikonya sebagai wakil rakyat, dan baginya hal itu adalah bagian dari demokrasi. Menurutnya, setiap orang
memiliki hak dalam menyuarakan pendapatnya, asal masyarakat itu masih dalam batas kesopanan. Meskipun terdapat konstituen yang tidak pro terhadapnya tidak
membatasi beliau dalam mengunjungi konstituennya. “Ya pasti sah-sah saja jika memang ada konstituen yang tidak pro
terhadap kita, itu uda bagiannya itu. Itulah demokrasi ada yang suka ada yang tidak, jadi resiko. Hak dia mengatakan ini-itu asal sebatas dia sopan,
“kamu begini- begini, anggota dewan begini-begini” itu hak dia yang penting kita kasih penjelasan kita. Hal itu tidak membatasi saya untuk
tetap mendatangi mereka, engga ada yang membatasi, tetap saya datangi
” Sebelum dan sesudah menjabat sebagai wakil rakyat, beliau mengaku
dalam berpenampilan lebih menerapkan kesan rapi dan sopan dalam berpakaian. Seperti saat berada di lingkungan kantor, sangat tidak mungkin baginya untuk
memakai kaos terlebih kaos yang ketat. Tidak jauh beda saat ke masyarakat, beliau tetap menonjolkan kesan rapi, sopan dan tidak sembarangan memakai
pakaian. Lain hal nya saat berada di rumah, beliau tidak mempersalahkan pakaian yang beliau kenakan baik itu daster atau kaos sekalipun.
“Pasti ada, pasti lebih rapilah. Namanya kita di lingkungan masyarakat pasti akan dilihat cara kita berpakaian harus lebih sopan lebih rapi, dan
tidak sembarangan. Kalau untuk di lingkungan kantor, harus rapi dan sopan, gak mungkin lah kita pakai kaos disini, atau pakai kaos ketat yah
namanya kita disini kan. Beda kalau di rumah, bisa berpakaian yang lebih santai lagi, mau pakai kaos pun bisa pakai daster terserah.
” Mengenai gaya komunikasi nonverbal, beliau berpendapat tidak dapat
menentukan atau merencanakan saat kapan dan dimana lebih banyak memakai komunikasi nonverbal. Baginya gerakan-gerakan itu akan timbul tergantung
situasi dan emosinya, seperti saat menjelaskan pada masyarakat baik itu gerakan- gerakan tangan ataupun tatapan mata, dan yang lainnya akan secara spontan
beliau gunakan. “Dimana-mana aja sih dek, refleks. Kita engga bisa buat-buat
komunikasi nonverbal, semua itu tergantung situasi dan emosi. Saat kapan nonverbal kita itu keluar, kita engga bisa rencanakan, misalnya
saja saat menjelaskan di masyarakat kadang spontan saja begitu, ada gerakan-gerakan tangan, tatapan kita. Kita engga bisa memilih saat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
dimana kita lebih banyak menggunakan komunikasi nonverbal kita. Begitu.
” Sekalipun dalam kondisi marah atau ada masalah, sebagai anggota dewan
beliau harus mampu menjaga ekspresinya, dengan tidak langsung menunjukkan perubahan pada raut wajah. Baginya seorang politikus tidak boleh cepat
terpancing, ataupun langsung down kecuali saat mereka ditempatkan di situasi yang memberikan mereka wadah untuk menjelaskan atau mengeluarkan pendapat,
namun tetap dalam konteks tenang dan tidak boleh marah. “Enggak boleh, kita itu kalau lagi marah engga boleh kita
menunjukkannya. Itulah tugas kita sebagai anggota DPR, harus bisa menjaga ekpresinya. Kayak tadi waktu rapat ada orang yang kurang
respon terhadap kita ya kita biasa aja, oh mungkin itulah yang dia tahu. Itulah seorang politikus itu seperti itu, ga boleh langsung marah gak
boleh langsung down, ga boleh langsung terpancing kecuali kalau dia didebatkan dalam situasi seperti tadi, kalau itukan wadah kita untuk
menyatakan pendapat yah boleh kita mengeluarkan tapi ya sebatas itu saja, tapi kita gak boleh marah tapi menerangkan boleh.
” Dalam penggunaan intonasi, nada maupun volume suara saat
menggunakannya di masyarakat beliau mengaku akan lebih ramah, halus dan tidak memakai intonasi yang terkesan tinggi karena menurut beliau masih ada
masyarakat yang salah penegrtian, karena mereka hanya akan beranggapan kalau sudah terpilih menjadi wakil rakyat siap tidak siap mereka harus dibantu.
Sementara saat berinterkasi di lingkungan kantor, beliau tetap menekankan untuk tidak boleh marah dan mampu membedakan mana intonasi yang marah dan mana
intonasi yang untuk menegaskan suatu hal. “Ada, kalau di masyarakat kan banyak masyarakat yang tidak mengerti
mereka hanya beranggapan kalau kita sudah dipilih yah siap gak siap kita akan membantu mereka. Jadi kalau ke masyarakat itu harus lebih
halus, lebih ramah, engga boleh pakai intonasi yang kesannya tinggi. Kalau di kantor, ya seperti yang saya katakana tadi tidak boleh marah
hanya boleh menerangkan saja, bedakan mana intonasi yang tegas mana yang marah.
”
Informan V Jenny Riany Lucia Berutu, SH
Ibu Jenni merupakan informan terakhir dalam penelitian ini. Sebelum menjadi anggota dewan, Ibu Jenny Berutu yang kini berusia 58 tahun dulunya
berprofesi sebagai notaris sejak tahun 1998, hingga di tahun 2014 beliau terpilih
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
menjadi anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan masa periode 2014 sampai 2019.
“saya dulunya notaris, kerja di Kabupaten Deli Serdang dari tahun 98 sampai 2014, dan menjadi anggo
ta dewan periode 2014 sampai 2019.” Dalam kesehariannya di lingkungan organisasi, beliau mengaku memakai
bahasa Indonesia saat berinterkasi dengan lawan bicaranya. Tidak seperti empat informan sebelumnya yang masih mau memakai bahasa daerah jika berinteraksi
dengan rekannya yang berasal dari suku yang sama, Ibu Jenny Berutu mengaku tidak pernah menggunakan bahasa daerah khususnya di lingkungan organisasinya.
“Lebih ke bahasa Indonesia yang formal yaa, kalau bahasa daerah udah enggalagi.Apalagi kita kan sering bertemu di ruang rapat jadi lebih ke
bahasa Indonesia sih.” Saat pertama kali terjun ke dunia politik dengan lingkungan organisasi
yang baru, beliau mengaku awalnya masih merasa canggung, tetapi setelah beberapa bulan beliau lalui, kecanggungan itu mulai pudar dan beliau mulai
terbiasa dan tidak ada lagi perasaan kaku-kaku seperti awal beliau masuk. “Berjalan baik, awal-awal memang masih merasa canggung, tetapi
beberapa bulan berjalan biasa saja, engga kaku-kaku lagi, jadi ya uda biasa aja.
” Beliau merasa nyaman dengan pekerjaan yang sekarang beliau tekuni.
Bahkan beliau mengakui banyak orang yang memuji penampilannya yang semakin terlihat cantik dan cerah. Hal ini beliau jadikan tolak ukur bahwa beliau
bahagia dengan pekerjaannya serta merasa nyaman dapat membantu dan bertemu segala lapisan masyarakat. Meskipun tidak dapat membantu secara materil, beliau
mengaku senang dapat membantu mereka secara moril dengan mendengarkan keluhan masyarakat. Beliau merasa ia ditempatkan di dunianya yang membuat ia
nyaman dan menikmati pekerjaannya. Sekarang saya sudah lebih banyak bertemu dengan segala lapisan
masyarakat, mungkin keahlian saya memang disitu tempatnya dan saya merasa cukup nyaman, karena banyak yang bilang kamu kelihatan cerah,
kamu kelihatan yah bahasanya cantik katanya, terus saya bilang saya makin tua kok makin cantik tapi saya berpikir juga mungkin pekerjaan ini
sesuai dengan jiwa saya berhadapan dengan masyarakat, saya bisa membantu masyarakat mungkin secara materi tidak bisa, tapi secara
moril mereka itu bisa menceritakan segala keluh kesah walaupun sampai hari ini belum banyak yang bisa dilakukan karena kondisi provinsi kita.
Jadi saya merasa nyaman, bertemu dengan masyarakat apalagi kalau kita reses saya bertemu dengan masyarakat itu ya mungkin dunia saya
sebenarnya disitu.
”
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Saat disinggung mengenai konstituen yang pro maupun yang tidak, beliau mengaku tidak mempermasalahkan dan tidak mengalami kesulitan saat
berhadapan dengan para konstituen tersebut. Bahkan beliau mengaku saat terakhir berkunjung ke suatu desa di Dairi, yang terdapat 300 pemilih dan sementara saat
pemilihan beliau hanya mendapat 83 suara di desa tersebut dan ketika kini beliau datang berkunjung dan dihadiri oleh 200an lebih konstituen.Beliau menyadari
bahwa sebagian besar yang hadir pada saat itu adalah konstituen yang tidak pro terhadapnya, namun beliau tetap berlaku adil dan bersikap seimbang terhadap
siapapun konstituen yang hadir. “Eeum kalau di DPR untuk menjadi anggota dewan biasanya engga ada
ya, saya engga pernah kesulitan terhadap konstituen baik yang waktu itu yang milih saya maupun engga. Seperti kemaren terakhir saya pergi ke
suatu desa di Dairi, saat itu saya buat pertemuan, pemilih disitu ada 300, yang memilih saya sekitar 80 orang, yang hadir di pertemuan itu 200
lebih berarti banyak juga yang engga memilih saya hadir, ya kita gak tahu apa motivasi dia entah dia cuma pengen melihat, apa pengen makan
iyakan, tapi saya juga baru ingat gitu waktu itu suara saya 83 pemilih ada 300an dan saya biasa aja dalam artian tetap berlaku adil, engga ada yang
langsung gimana. Tetap seimbanglah
.” Sebelum dan sesudah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ibu
Jenny Berutu mengakui terdapat perubahan dalam berpakaian. Beliau lebih menekankan perubahan dalam memakai bawahan rok. Dulu saat berprofesi
sebagai notaris beliau mengaku memakai rok yang agak pendek namun tidak terlalu mini di atas lutut. Namun setelah menjabat sebagai anggota dewan, beliau
lebih memilih menggunakan rok di bawah lutut, hal ini beliau akui karena mulai merasa risih terlebih sebagai wakil rakyat tak jarang beliau harus menerima demo
dari masyarakat, dan beliau juga merasa tidak nyaman di usianya yang tidak lagi muda saat bertemu dengan masyarakat memakai rok yang terlalu pendek.
“Mungkin ada. Saya dulu berpakaian notaris, nah notaris kan kantor- kantor sendiri kan, saya kalau berhubungan dengan orang pun saya di
meja saya, rok saya agak pendek tapi gak termasuk mini di atas lutut. Sekarang saya selalu memakai rok di bawah lutut, kenapa... karena kami
kadang juga harus menerima demo jadi rasanya saya agak risih kalau pakai rok mini itu kalau saya. Tapi ada juga sih temen saya yang pakai
rok mini yang masih gadis ada beberapa, ya mereka pakai yah engga apa- apa. Cuma ya kalau saya sudah tua, begitu banyak berhubungan dengan
orang engga nyaman juga
saya kalau terlalu pendek gitu.” Dalam hal penggunaan komunikasi nonverbal, beliau mengaku lebih
banyak menggunakan kontak mata kepada siapapun lawan bicaranya, baik saat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
beliau di lingkungan keluarga, organisasi maupun masyarakat. Setiap kali berinteraksi dengan lawan bicaranya sekalipun itu pimpinannya beliau tetap
menjaga kontak mata, bahkan beliau mengaku tidak pernah mau menundukkan kepala saat berinteraksi dengan lawan bicaranya.
“Setiap saat, setiap saya berbicara saya selalu memakai nonverbal saya, jadi setiap saya ngomong ya saya kontak mata dengan keluarga dengan
siapapun. Baik juga dengan masyarakat maupun dengan pimpinan saya begitu, saya memang kalau berbicara saya selalu kontak mata, saya
enggak pern
ah mau tunduk, jadi tetap fokus”. Menurut beliau ekspresi wajahnya harus tetap dijaga, dan jarang untuk
memperlihatkan suasana hati. Namun beliau mengaku pernah suatu ketika saat menghadapi demo mahasiswa, saat itu beliau merasa bahwa mahasiswa tersebut
berlaku kurang sopan terhadapnya. Beliau merasa mahasiswa tersebut tidak melihat dia sebagai seorang ibu-ibu yang setidaknya berlaku sopan maupun saat
bertanya sekalipun. Dalam situasi seperti ini, beliau mengaku marah dan akan menunjukkan bahwa ia marah dan tidak lagi menutupi pada ekspresi wajahnya
meskipun ia tahu bahwa hal ini tidaklah dibenarkan. “Harusnya tidak boleh ada, tetapi saya pernah mengalami dimana saya
pernah menerima demo mahasiswa dan saya melihat mahasiswanya tidak sopan, itu saya marah memang ya mungkin harusnya tidak boleh marah
memang tapi saya marah memang karena saya merasa mereka harusnya sebagai mahasiswa datang dan itu dan yang menghadapi itu seorang ibu-
ibu dan bukan anak-anak dan melihat caranya bertanya kurang sopan disitu saya marah memang, karena saya bilang saya dulunya juga aktivis,
saya juga dulu sering demo. Kalau begitu saya marah, tapi kalau yang untuk biasa-
biasa saya engga”. Dalam penggunaan intonasi, beliau mengaku akan mengalami perubahan
terlebih saat beliau sedang marah, namun tetap dalam konteks marah yang sewajarnya tidak sampai mengeluarkan kata-kata makian hanya saja beliau tidak
akan sungkan untuk menunjukkannya serta akan menjelaskan apa penyebab beliau marah. Sedangkan untuk penggunaan nada dan volume suara, dalam
kesehariannya beliau memperhatikan penggunaan nada dan volume saat kapan datar dan saat kapan intonasinya akan dinaikkan, terlebih saat berliau berhadapan
dengan audiens beliau akan menaikkan dan memperkuat volume suara jika beliau berhadapan dengan audiens apatis.
“Ada. Karena saya marah memang. Tapi kalaupun kita marah yah engga la maki-maki kayak ibu Risma yang marah-marah. Yah kalau saya engga
lah sampai begitu, engga juga lah. Kalau saya marah ya saya harus
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
bilang pada mereka kalau saya marah, menurut saya kalian tidak sopan. Terus untuk penggunaan nada dan volume itu selalu ada, kalau kita
berbicara harus ada perbedaan, harus ada intonasi tidak bisa datar jadi harus ada dimana penekanan kita harus berbicara dengan volume lebih
kuat atau volume yang datar. Kita harus lihat audiens bagaimana tanggapan mereka, ketika mereka apatis kita bisa naikkan intonasi dan
volume suara jadi harus menguasai memang. Saya ini dalam konteks
audiens”. Saat disinggung mengenai alasan mengapa anggota dewan perempuan
sedikit berbicara atau mengeluarkan pendapat saat rapat berlangsung, beliau mengatakan bahwa perempuan cenderung masih malu-malu dan beliau
menjelaskan jika sebelum dan sesudah rapat mereka sudah melakukan pertemuan dengan para konterpart dan membahas masalah yang akan dibahas saat rapat.
Sehingga saat rapat berlangsung, mereka akan memilih diam karena apa yang ingin disampaikan atau mengenai pendapat mereka sudah disampaikan
sebelumnya. Selagi misinya tersampaikan beliau akan tetap memilih melakukan pendekatan secara tatap muka dan lebih nyaman tanpa harus diperlihatkan di
depan khalayak. Beda halnya, jika sebelumnya terdapat masalah yang belum beliau ketahui atau sebelumnya belum dibahas, disaat seperti itu beliau akan
mengeluarkan pendapat. “Sebenarnya begini, perempuan ini masih lebih malu-malu. Kita itu masih
lebih malu-malu memang jadi sebelum rapat atau sesudah rapat biasanya kami bertemu dengan mereka dengan konterpart itu, ya disitu kami sudah
kasitahu ini begini-begini, jadi di formal itu yaudalah tadi uda di omongin gitu karena biasanya sebelum ini kita uda ngomong. Kayak saya lah ya ini
ngapai saya harus kasih lihat di depan orang gitu, tetapi misiku udah sampai. Seringannya seperti itu, kecuali ada kala-kala tertentu yang
memang belum dibicarakan nah disitu kita baru. Tapi kalau saya itu yang paling ini di saya itu adalah masalah pertanian yang saya lebih ini. Tapi
kalau kayak gas gitu di kita di pakpak barat tidak terlalu maksudnya kuotanya kecil. Saya pikir apa yang disampaikan biro perekonomian tadi
itu tidak tepat harusnya kurang karena menurut data tadipun pertamina kurang cuman saya pikir lebih baik saya ngomong sendiri. Jadi lebih
nyaman ngomong tatap muka, masih malu-malu lah jadi tepatnya itu tadi tetap bekerja tapi kita lebih kepada pendekatannya yang berbeda tidak
harus didepan khalayak”.
Informan Tambahan I ibu Meilizar Latief
Nama : Ade Indriani
Tanggal Wawancara : 25 Februari 2016 Pukul
: 10.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Tempat : Ruang Sekretaris Dewan
Kak Ade Indriani sudah mengenal ibu Meilizar sejak tahun 2012, saat memasuki periode kedua kak Ade mulai mengikuti kampanye-kampanye yang
dilakukan oleh ibu Meilizar, sampai pada akhirnya ibu Meilizar mengajukan permohonan untuk menjadikan kak Ade sebagai asistennya. Baginya, ibu Meilizar
adalah orang yang pintar, tegas, dan konsisten. Dalam hal berpakaian menurutnya ibu Meilizar bukanlah tipe yang berubah-ubah dalam model pakaiannya, beliau
cenderung monoton dalam berpakaian. “Style nya begitu seperti yang kalian lihat sendirilah, gitu juga saat ke
masyarakat. Lagian dia bukan yang hebring-hebring gimana kali, selo aja ya kan. Kadang pakai rok, kadang pakai celana tapi bajunya tetap yang
panjang-panjang gitu, enggak berubah lah dia mau penampilannya reses atau ke kantor, dia gak berubah-ubah model, modelnya monoton gitu aja
terus. Yah style dia emang gitulah, engga gimana kali biasa aja.
” Saat memiliki masalah, kak Ade mengaku bahwa ibu Meilizar tidak
menampakkan pada ekspresi wajahnya, sekalipun ketika kesal dengan orang beliau tidak pernah membawakan dan menunjukkan mood nya pada orang sekitar.
“Yah kalau dia ada masalah ya pasti kelihatan juga cuma enggak setiap hari dia nampakin, enggaklah. Kalau dia lagi kesal sama orang dia engga
bawain, dia enggak mood-moodan orangnya. Ibu itu engga mau menampakkan cuma kan kita tetap bisa menilai lagian juga walaupun
masih kelihatan muda tapi kita kan bisa menilai bagaimana perasaan ibu itu, jadi kalau pun ada urusan atau orang mau ketemu ibu itu kakak lihat
juga, nanya juga „gimana tan, ada yang mau ketemu ini sibuk gak‟ kalau misalnya ibu itu lagi banyak kerjaan ya sama kakak disuruh berurusan
apalagi kan ibu itu engga setiap hari juga ke kantor. Tapi ibu itu rajin loh, setiap hari kalau ada rapat ibu itu pasti selalu hadir, kecuali dia ada
tugas keluar ya. Tapi ibu itu kalau ke kantor engga pasti selalu datang ke partai, karena kan kerja dia di komisi karena dewan ini kan monoton
kerjanya di komisi. Paling fraksi itu rumahnya sama ruang pribadi dia sendiri
.” Untuk penggunaan intonasi ia mengaku akan ada perubahan intonasi saat
beliau marah, namun masih dalam konteks yang standart tidak terlalu tinggi. “Kalau marah ada lah, tapi engga sampai tinggi kali, masih standart lah,
dia kan lembut engga kasar ya kalaupun marah engga tinggi-tinggi kali ya palingan marah ya kayak kita biasa gimana, gitu aja.
”
Informan Tambahan II ibu Siti Aminah Nama
: Agus Tanggal Wawancara : 02 Mei 2016
Pukul : 10.15 WIB
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Tempat : Depan Ruang Komisi B
Bang Agus mengenal ibu Siti Aminah semenjak Pergantian Antar Waktu antara ibu Siti dengan pak Sudiarto, menurutnya ibu Siti sosok yang baik dan
sederhana, serta dalam hal berpakaian ia berpendapat bahwa ibu Siti selalu terlihat rapi dan jarang terkesan glamour, ia juga mengatakan ekspresi ibu Siti cenderung
datar-datar saja, tidak pernah menunjukkan sikap marah atau ekspresi kesal. “Kenalnya semenjak Pergantian Antar Waktu PAW antara ibu itu
dengan pak Sudiarto, sejak pertama kali menjabat ibu itu memang simple- simple aja berpakaian, enggak mewah-mewah kali lah, dari awal sampai
sekarang ibu itu selalu rapi sih. Kalau dari modelnya menurutkan dia itu bukan orang yang suka menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi sih,
professional lah untuk urusan pekerjaan aja, menyesuaikan dengan proporsinyalah.
”
Informan Tambahan III ibu Novitasari Nama
: Muhammad Mihardja Tanggal Wawancara : 02 Mei 2016
Pukul : 10.45 WIB
Tempat : Ruang Komisi C
Menurutnya, ibu Novitasari jarang melakukan interaksi dengan staff yang berada di komisi C. Beliau juga tidak pernah marah atau menunjukkannya pada
ekspresi wajahnya. “Kalau disini dia engga pernah marah, jarang juga kelihatan ekspresi
marah atau kesalnya. Soalnya ibu itu juga jarang berinteraksi dengan kami staff di komisi C ini.
”
Informan Tambahan IV ibu Rinawati Nama
: Sisca Tanggal Wawancara : 25 Februari 2016
Pukul : 11.00 WIB
Tempat : Ruang Fraksi Hanura
Mengaku sudah mengenal ibu Rinawati selama tujuh tahun, menurutnya beliau merupakan orang yang asik, supel, simple gak ribet orangnya, pintar,
lumayan agak vocal, aktif di DPR, di partai juga. Untuk gaya berpakaian beliau termasuk rapi dan suka dandan, dan sampai sejauh ini ia tidak pernah melihat ibu
Rinawati marah perubahan ekspresi wajahnya, sama halnya dengan penggunaan intonasi karena menurutnya beliau adalah orang yang santai dan tidak ribet.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
“Ibu itu gaya sih ya, suka dandan juga selalu rapi lah setiap saat. Engga ada perubahan gaya berpakaiannya, dari dulu sampai sekarang ya tetap
seperti itu rapi, wangi, sopan. Sejauh ini aku lihat ibu itu fine-fine aja belum pernah marah, engga pernah merengut juga, asik-asik aja sih ibu
itu. Engga pernah nampak kalau ibu itu lagi badmood. Engga pernah dengar juga, soalnya ibu itu engga pernah marah sih, soalnya ibu itu
simple-simple aja,ini gimana itu gimana apalagi masalahnya, yaudah bereskan. Ibu itu gak pernah ini gimana apa sebabnya, engga pernah
ribetlah.”
Informan Tambahan V ibu Jenny Nama
: Eky Tanggal Wawancara : 02 Mei 2016
Pukul : 11.15 WIB
Tempat : Ruang Fraksi Demokrat
Baginya ibu Jenny adalah orang yang baik, disiplin, dan bekerja keras. Dalam hal berpenampilan baik saat paripurna ataupun hari biasa, ia mengaku
bahwa ibu Jenny selalu menggunakan pakaian resmi yang rapi dan sopan. Tidak pernah marah, namun saat kinerja para staff dirasanya kurang, beliau akan
mengatakannya langsung. “Orangnya baik, bekerja keras, disiplin. Ibu itu kalau marah engga
nampak perubahan ekspresi wajahnya cuma kalau dirasanya kinerja kami kurang, cuma ya dibilanginya kalau kerja itu harus begini, orangnya
displinlah. Enggak ada perubahan intonasi suara, cuma komunikasi nonverbalnya paling kontak mata beliau lah, selalu focus.
”
4.1.4 Penyajian Data 4.1.4.1 Hambatan saat pertama kali menjabat sebagai anggota Dewan