21 Data spektrum etanol dengan mencermati puncak serapan gelombang yang
diperlihatkan dapat dianalisis bahwa pada serapan 3336,46 cm
-1
terdapat serapan yang kuat dan melebar, Serapan yang melebar menunjukkan adanya interaksi
antara molekul elektronegatif O dengan positif H yang membentuk ikatan hidrogen [60]. Hal ini menunjukkan adanya gugus
–OH dalam sampel. Serapan kecil pada 2978,00 cm
-1
menunjukkan adanya ikatan alkana C-H yang kuat. Pada serapan 1043,99 cm
-1
terdapat ikatan C-OH. Maka dari hasil analisis FTIR dapat disimpulkan bahwa sampel uji yang merupakan produk dari penelitian ini
adalah etanol. Namun dari hasil analisis FTIR bioetanol masih terdapat beberapa gugus
fungsi yang lain diantaranya adanya serapan pada 1642,24 cm
-1
menunjukkan adanya ikatan antara nitrogen dan hidrogen N-H. Serta pada 877,92 cm
-1
menunjukkan adanya ikatan aromatik. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan senyawa lain selain gula seperti abu, protein dan lemak pada nira [13]
yang terurai pada saat pemanasaan saat distilasi kemudian ikut menguap bersama etanol sehingga terdapat beberapa gugus lain pada kandungan bioetanol yang
diperoleh.
4.3 HASIL ANALISIS ETANOL DENGAN REAKSI OKSIDASI KALIUM DIKROMAT K
2
Cr
2
O
7
Analisis reaksi oksidasi dengan kalium dikromat K
2
Cr
2
O
7
dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan etanol yang terdapat pada distilat yang diperoleh dari
proses fermentasi nira aren. Dari hasil analisis diperoleh perubahan warna larutan
dari jingga menjadi hijau kebiruan sesuai dengan gambar di bawah ini.
Gambar 4.2 Perubahan Warna Pada Oksidasi Etanol Dengan K
2
Cr
2
O
7
Adanya etanol dalam suatu larutan diuji secara oksidasi dengan menggunakan larutan K
2
Cr
2
O
7
. Prinsip yang digunakan adalah reaksi redoks
Universitas Sumatera Utara
22 antara etanol dengan kalium dikromat dalam suasana asam [61]. Persamaan reaksi
di bawah ini [62] : Cr
2
O
7 2-
+ 14H
+
+ 6e 2Cr
3+
+ 7H
2
O 3C
2
H
5
OH 3CH
3
CHO + 6H
+
+ 6e +
3C
2
H
5
OH + Cr
2
O
7 2-
+ 8H
+
2Cr
3+
+ 3CH
3
CHO + 7H
2
O Reaksi ini ditandai berubahnya warna kalium dikromat yang mula-mula
berwarna jingga menjadi hijau kebiruan [61]. Hal ini dikarenakan alkohol mengalami oksidasi sedangkan Cr
6+
di dalam K
2
Cr
2
O
7
tereduksi menjadi Cr
3+
. Maka dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa distilat mengandung
etanol yang diharapkan.
4.4 PENGARUH SUHU DAN VOLUME STARTER TERHADAP KADAR ETANOL
Hubungan antara volume starter dan suhu terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 4.1. Kadar etanol yang dihasilkan dianalisis
berdasarkan tabel konversi berat jenis-kadar etanol [63]. Profil kadar etanol yang dihasilkan dilihat setelah 24 jam proses fermentasi dan telah melalui tahap
distilasi.
Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Suhu dan Volume Starter Terhadap Kadar Etanol Gambar 4.3 menunjukkan bahwa perolehan kadar bioetanol mengalami
peningkatan di awal kemudian mengalami penurunan selama proses fermentasi, sehingga grafik membentuk parabola. Hal ini menyatakan bahwa suhu dan
volume starter sangat mempengaruhi proses fermentasi untuk membentuk etanol [64].
10 20
30 40
50
15 25
35 45
55
K ad
ar E
tanol
Volume Starter
Suhu 32 Suhu 35
Suhu 39
o
C
o
C
o
C
Universitas Sumatera Utara
23 Dalam penelitian ini diperoleh kadar etanol tertinggi sebesar 43,3165
pada perlakuan suhu 32
o
C dengan penambahan volume stater sebesar 35 . Sedangkan kadar etanol terendah diperoleh pada perlakuan suhu 32
o
C dengan penambahan volume starter 15 sebesar 28,5568 . Hal ini telah sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa volume inokulum merupakan variabel yang paling berpengaruh dalam menghasilkan alkohol, semakin besar volume inokulum,
semakin besar pula konsentrasi alkohol yang didapat. Hal ini dikarenakan fase lag dipengaruhi oleh volume inokulum. Semakin besar volume inokulum maka
semakin pendek fase lag yang terjadi, sehingga cepat mencapai fase log atau fase eksponensial [65]. Selain itu Agbobo et al [66] menyatakan bahwa penambahan
inokulum dengan konsentrasi rendah menyebabkan laju fermentasi menjadi lambat, tetapi dapat menghasilkan etanol yang lebih tinggi karena setelah sel
memperbanyak diri, sel akan mengkonversi gula menjadi etanol secara perlahan. Namun Mukhtar [67] menjelaskan bahwa inokulasi yeast yang telalu tinggi
menyebabkan proses melemah lebih cepat dan menurunkan viabilitas sel setelah fase pertumbuhan. Kondisi pertumbuhan dan metabolisme pada populasi sel yang
tinggi tidak diharapkan karena mengganggu akses nutrisi, keterbatasan ruang dan interaksi antar sel. Hal ini terlihat dari grafik yang terus meningkat kemudian
menurun dengan jumlah starter semakin tinggi. Selain volume starter, suhu juga sangat mempengaruhi kadar bioetanol yang
dihasikan. Gambar 4.3 menunjukkan kadar bioetanol yang dihasilkan pada suhu 32
o
C lebih tinggi dibandingkan 35
o
C dan 39
o
C. mikroba memiliki kriteria pertumbuhan berbeda-beda. Menurut Stewart [68] pembentukan etanol akan
meningkat di atas suhu 30
o
C. Sedangkan Saccharomyces cerevisiae akan tumbuh antara suhu 5
o
C dan 40
o
C namun pertumbuhannya maksimum pada temperatur optimum yang umumnya berkisar 25- 35
o
C. Khak et al [69] menyatakan Saccharomyces cerevisiae
akan tumbuh optimal pada kisaran suhu 30-35
o
C dan puncak produksi alkohol dicapai pada suhu 33
o
C. Jika suhu fermentasi terlalu rendah maka fermentasi akan berlangsung secara lambat dan sebaliknya jika suhu
terlalu tinggi maka Saccharomyces cerevisiae akan mati sehingga proses fermentasi tidak akan berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
24
4.5 PENGARUH SUHU DAN VOLUME STARTER TERHADAP YIELD ETANOL