menerbitkan sahamnya. Sertifikat saham diterbitkan atas unjuk, sehingga dapat diperjualbelikan dengan mudah.
46
C. Sumber Hukum Surat Berharga
Penerbitan surat berharga juga menjadi kegiatan usaha perbankan melalui pasar uang. Jenis-jenis produk surat berharga yang dapat diterbitkan oleh perbankan yang
merupakan kegiatan usaha perbankan disebutkan dalam ketentuan Pasal 6 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Adapun usaha bank umum bila dikaitkan dengan penerbitan surat berharga antara lain sebagai berikut:
47
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, danatau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu.
2. Menerbitkan surat pengakuan hutang.
3. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan
atas perintah nasabahnya:
a. Surat-surat wesel, termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat yang dimaksud.
b. Surat-surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat yang dimaksud. c.
Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
46
Ibid., hlm. 269.
47
Merupakan ketentuan dari pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Universitas Sumatera Utara
d. Sertifikat Bank Indonesia SBI.
e. Obligasi.
f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 satu tahun.
g. Instrument surat berharga lain yang berjangka waktu sampai 1 satu tahun;
4. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada
bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.
Dari sebagian ketentuan dalam Pasal 6 UU Perbankan di atas, dapat diketahui bahwa surat-surat berharga yang diperdagangkan dalam pasar uang terbatas kepada
surat-surat berharga yang berjangka waktu sampai dengan 1 satu tahun, dan surat-surat berharga tersebut memang lazim diterbitkan oleh bank, untuk selanjutnya
diperjualbelikan dan ditukarkan dengan uang tunai. Secara fisik surat berharga hanyalah merupakan sepucuk surat, tetapi mengapakah dia begitu kuatnya secara hukum. Adapun
yang merupakan alasan yuridis, sehingga surat berharga mempunyai kekuatan mengikat sebagai dasar penerbitan surat berharga, maka ada 4 empat teori yang terkenal yang
membahas masalah tersebut yaitu: a.
Teori kreasi atau penciptaan creatietheorie Teori ini mula-mula dikemukakan oleh Einert seorang sarjana hukum Jerman
tahun 1839, kemudian diteruskan oleh Kuntze dalam bukunya “Die Lehre von den Inhaberpapieren” 1857. Menurut teori ini adalah yang menjadi dasar hukum
mengikatnya suatu surat berharga antara penerbit dan pemegang ialah perbuatan menandatangani surat berharga itu. Artinya dengan membubuhkan tanda tangan di atas
Universitas Sumatera Utara
surat berharga itu akan menimbulkan suatu perikatan bagi orang yang menandatangani terhadap orang lain yang memperoleh surat berharga tersebut.
48
Keberatan terhadap teori ini ialah bahwa pernyataan sepihak dengan tanda tangan saja tidak mungkin menimbulkan perikatan. Supaya timbul perikatan, harus ada
dua pihak yang mengadakan persetujuan toestemming, meeting of minds sebab tanpa persetujuan tidak mungkin ada kewajiban. Demikian juga jika surat berharga itu jatuh
ke tangan orang yang tidak berhak atau tidak jujur misalnya dicuri, penerbit yang menandatangani tetap terikat untuk membayar. Padahal menurut Pasal 1977 ayat 2
KUHPerdata seorang yang kehilangan surat itu karena dicuri masih berhak menuntut kembali surat itu dari si pencuri atau penemunya selama tenggang waktu 3 tiga tahun,
kecuali pemegang memperolehnya dari pasar umum pelelangan di muka umum. Karena ada beberapa keberatan, lalu teori ini ditinggalkan.
49
b. Teori kepantasan redelijkheidstheorie
Sebagai pelopor grondlegger teori ini adalah Grunhut seorang sarjana hukum Jerman. Di Jerman teori ini disebut Redlichkeitstheorie. Teori ini masih berdasarkan
pada teori kreasi atau penciptaan, hanya dengan dengan pembatasan. Jika teori kreasi atau penciptaan menyatakan bahwa penerbit yang menandatangani surat itu tetap terikat
untuk membayar kepada pemegang, meskipun pemegang yang tidak jujur, teori kepantasan tidak menerima akibat yang demikian itu. Pembatasannya ialah penerbit
penandatangan hanya bertanggung jawab atau terikat pada pemegang yang memperoleh surat berharga secara pantas redelijk, reasonable. Pantas artinya menurut
cara yang lazim, yang diakui oleh masyarakat dan dilindungi oleh hukum. Pemegang
48
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat-Surat BerhargaYogyakarta: Penerbit Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1993, Hlm. 24.
49
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang demikian ini disebut pemegang yang jujur te goeder trouw, in good faith. Pemegang yang jujur menurut sistem Anglo Saxon disebut holder in due course.
50
Keberatan kepada teori ini ialah karena masih berdasarkan pada teori penciptaan, bahwa penandatanganan surat berharga itu menimbulkan perikatan. Padahal pernyataan
sepihak tidak mungkin menimbulkan perikatan, jika tidak ada persetujuan dari pihak lainnya.
51
c. Teori perjanjian Overeenkomsttheorie
Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang ialah suatu perjanjian yang merupakan perbuatan dua pihak
yaitu penerbit yang menandatangani dan pemegang pertama yang menerima surat berharga itu. Dalam perjanjian disetujui bahwa jika pemegang pertama memperalihkan
surat itu kepada pemegang berikutnya penerbit tetap terikat untuk membayar atau bertanggung jawab untuk membayar. Dalam keadaan normal teori ini bisa diterima,
karena masih tetap didasarkan pada isi perjanjian. Pelopor dari teori ini adalah Thol.
52
Keberatan pada teori ini ialah tidak memberikan penyelesaian yang memuaskan jika surat berharga itu beredar secara tidak normal, misalnya karena hilang ataupun
dicuri. Dalam hal ini penerbit masih bertanggung jawab terhadap pemegang atau pembawa surat berharga itu yang memperolehnya secara tidak normal. Menghadapi
persoalan demikian ini lalu timbul pertanyaan yakni apa dasar hukumnya penerbit masih bertanggung jawab terhadap pemegang yang memperoleh surat berharga secara
tidak normal itu? Oleh karena itu teori ini akhirnya secara murni tidak dapat dipakai dikarenakan teori ini tidak mampu menerangkan mengapa penerbit masih tetap
50
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit. hlm. 17.
51
Ibid.
52
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab kepada pemegang, walaupun jatuhnya surat berharga tersebut ke tangan pemegang di luar kehendak si penerbit atau secara tidak normal. Dengan kata
lain teori ternyata mengalami jalan buntu.
53
Namun demikian masih ada sarjana yang berusaha memecahkan persoalan iu dengan mengemukakan teori lagi yang disebut teori perjanjian dengan tambahan.
Sarjana itu adalah Molengraaff dan Scheltema. Menurut pendapat kedua sarjana ini, tanggung jawab penerbit terhadap pemegang pemegang itu tetap didasarkan pada
perjanjian antara penerbit dan pemegang pertama. Jika surat berharga itu jatuh ke tangan pemegang berikutnya, penerbit mempunyai kewajiban baru terhadap pemegang
yang baru itu berdasarkan pada hukum positif, yaitu Pasal-Pasal yang terdapat dalam KUHD dan KUHPerdata.
54
Jika sudah menunjuk kepada hukum positif, tidak perlu lagi mencari teori untuk memecahkan suatu masalah, karena semua orang harus tunduk kepada hukum positif
atau undang-undang yang sudah ada. Wirjono Prodjodikoro tidak menyetujui jalan pikiran kedua sarjana ini, malahan dikatakan bahwa jalan keluar yang ditempuh oleh
Molengraaff dan Scheltema itu adalah usaha orang-orang berputus asa dalam mencari teori-teori lain.
55
d. Teori penunjukan vertoningstheorie
Teori ini dikemukakan oleh sarjana hukum yang terkenal yaitu Land dalam bukunya Beginselen van het hedendaagsche wisselrecht 1881, dan Wittenwaall dalam
bukunya Het toonderpapier 1893, dan di Jerman oleh Rieser. Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum mengikatnya surat berharga antara penerbit dan pemegang ialah
53
Ibid. Hlm. 18
54
Ibid.
55
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan penunjukan surat itu kepada debitur. Debitur yang pertama adalah penerbit, oleh siapa surat berharga itu disuruh dipertunjukkan pada hari bayar. Sejak itulah timbul
perikatan, dan penerbit selaku debitur wajib membayarnya. Teori ini tidak sesuai dengan fakta dan terlalu jauh bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
56
Dikatakan tidak sesuai dengan fakta , karena pembayaran itu adalah pelaksanaan dari suatu perjanjian perikatan, dengan demikian perikatannya harus sudah ada
terlebih dahulu sebelum pelaksanaannya. Bagaimana pemegang memperoleh pembayaran kalau tidak ada dasar hukumnya yaitu perikatan yang terjadi sebelumnya
antara penerbit dan pemegang itu. Persoalan yang timbul lagi, bagaimana seandainya penerbit menolak pembayaran terhadap pemegang, dengan alasan belum ada perikatan?
Kepada siapa pemegang itu memperoleh pembayaran? Persoalan ini tidak dapat dipecahkan oleh teori ini.
57
Dikatakan terlalu jauh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, karena undang-undang KUHD sendiri menentukan bahwa perikatan itu sudah ada sebelum
hari bayar dan sebelum penunjukan surat berharga itu. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 142 KUHD yang menyatakan “ Pemegang surat wesel bisa
melaksanakan hak regresnya kepada para endosan, kepada penerbit, dan kepada para debitur wesel lainnya pada hari bayarnya apabila terjadi non pembayaran. Bahkan
sebelum hari bayarnya dari kata-kata “bahkan sebelum hari bayarnya” dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatannya sudah ada terlebih dahulu, bukan pada saat penunjukan.
Demikian juga dari kata-kata “akseptasi sebagian atau seluruhnya ditolak” dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatannya sudah ada sebelum penunjukan, bahkan pada saat
56
Ibid. Hlm. 18-19
57
Ibid. Hlm. 19
Universitas Sumatera Utara
penunjukan. Maksud akseptasi pada surat wesel itu ialah untuk memastikan pelaksanaan perjanjian yaitu pembayaran pada hari bayar, bukan untuk menemukan adanya
perikatan : a.
Apabila akseptasi seluruhnya atau sebagian ditolak. b.
Dalam hal pailitnya tersangkut, baik tersangkut akseptan, maupun bukan akseptan, dan mulai saat berlakunya penundaan pembayaran yang diberikan
kepadanya. c.
Dalam hal pailitnya penerbit surat wesel yang tidak bisa diperoleh akseptasinya.
58
Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan di atas, menurut Abdulkadir Muhammad, teori perjanjian lebih banyak pengaruhnya dalam hukum surat-surat
berharga. Hal ini disebabkan karena perjanjian antara penerbit dan pemegang pertama merupakan sumber hukum dari perikatan yang timbul pada surat berharga. Terbitnya
surat berharga tidak lain dari pemenuhan isi perjanjian, karenanya penerbit dan pemegang surat berharga itu telah sepakat untuk menanggung segala akibatnya jika
surat berharga itu dipindahtangankan kepada pemegang berikutnya.
59
Pemindahtanganan surat berharga itupun didasarkan juga pada isi perjanjian yang tersurat dalam teks surat berharga itu misalnya dengan klausula atas tunjuk dan
atas pengganti. Klausula ini menunjukkan bahwa surat berharga itu telah disetujui oleh penerbitnya, apabila pemegang pertama memindahtangankan surat itu kepada
pemegang berikutnya. Pemegang berikutnya juga mau menerima peralihan tersebut
58
Ibid.
59
Ibid. Hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
karena percaya, bahwa perjanjian antara penerbit dan pemegang pertama itu memang ada seperti terbaca pada teks surat berharga itu.
60
Apabila penerbit tidak menyeujui surat berharga itu dipindahtangankan kepada pemegang berikutnya, sudah tentu dalam surat berharga itu akan dimuat suatu klausula
yang menunjukkan maksud penerbit tidak menyetujui jika surat berharga itu dipindatangakankan kepada pemegang berikutnya. Hal ini dapat dilihat pada surat
wesel. Jika penerbit tidak menghendaki surat wesel itu dipindahtangankan menurut hukum wesel, ia akan mencantumkan klausula rekta yang berbunyi “tidak atas
pengganti” niet aan order. Hal ini juga terdapat pada surat cek Pasal 110 ayat 2 KUHD untuk surat wesel dan Pasal 191 ayat 2 KUHD untuk surat cek.
61
Ini berarti pemegang pertama tidak dibolehkan memperalihkan surat wesel atau cek itu kepada pemegang berikutnya menurut hukum surat berharga, yaitu dengan
endosemen. Jika pemegang pertama memperalihkan juga kepada pihak lainnya, akibat hukumnya penerbit tidak bertanggung jawab menurut hukum surat berharga, kepada
pemegang yang baru itu.
62
Apabila surat berharga itu jatuh ke tangan orang lain yang tidak berhak, maka sepantasnya pula orang tidak berhak itu tidak mendapat perlindungan. Yang perlu
dilindungi itu hanyalah orang yang sebenarnya berhak atau orang yang jujur. Adalah tidak masuk akal dan bertentangan dengan norma hukum dan norma kepatutan yang
berlaku dalam masyarakat jika seorang pencuri surat berharga atau yang memperoleh tanpa hak mendapat perlindungan hukum.
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Ibid. Hlm. 21
Universitas Sumatera Utara
D. Pihak-Pihak dalam Penerbitan Surat Berharga