BAB IV TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA
MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
A. Anak dan Kedudukannya
1. Pengertian Anak dan Hubungan antara Orang Tua dengan Anak
Anak di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mempunyai bermacam-macam batasan. Hal ini dikarenakan, hukum positif di
Indonesia melihat batasan pengelompokkan anak dari segi umur. Di dalam KUHP, seseorang tidak dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya
ketika belum berumur 16 tahun, seperti yang terdapat pada pasal 45 KUHP:
“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur minderjarig karena melakukan perbuatan sebelum berumur enam belas tahun, hakim dapat
menentukan : Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya,
walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah, tanpa pidana apa
pun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497,503, 505, 514, 517-519, 526, 531,
532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas,
dan putusannya menjadi tetap, atau menjatuhkan pidana.”
Melihat dari isi pasal di atas, KUHP menganggap bahwa seseorang yang belum berumur 16 tahun ke atas dapat disebut anak karena tidak
dapat dimintai pertanggungjawabannya atas tindak pidana yang dia lakukan.
Di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, pengertian anak terdapat pada pasal 1 nomor 2 :
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin”.
Adanya Konvensi Hak Anak telah menghasilkan kesepakatan mengenai batas umur seorang anak ditetapkan dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18
delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian ini terdapat pada pasal 1, nomor 1 sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengertian anak pada hukum positif adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada di dalam
kandungan. Artinya secara tidak langsung, hukum positif menaruh perhatian pada anak bahkan menghargai calon anak yang masih di dalam
kandungan karena sudah sangat dianggap keberadaan hidupnya. Anak berasal dari sebuah keluarga. Keluarga adalah lembaga terkecil
di dalam masyarakat dan dari sanalah seorang anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya. Pada intinya, keluarga berasal dari
adanya suami dan isteri yang akhirnya memegang peranan sebagai orang tua. Kalau dikatakan di awal bahwa keluarga sebagai lembaga dimana
seorang anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya maka orang tua adalah pihak yang paling utama dan bertanggung jawab dalam
mengemban tugas tersebut. Hubungan antara orang tua dan anak pada
dasarnya adalah hubungan yang tidak akan pernah putus. Ini merupakan hubungan seumur hidup. Oleh karena itu, kedua pihak di dalam hubungan
ini, yaitu orang tua dan anak dapat menjaga dan saling menghormati keberadaan masing-masing.
Di dalam hukum pidana islam, pengelompokkan anak selain dilihat dari faktor usia juga dari cara berpikirnya. Pengelompokkan tersebut
dimulai dengan melihat dari dua unsur dari pertanggungjawaban pidana, yaitu kemampuan berpikir idrak dan pilihan ikhtiyar. Adanya kedua
unsur inilah yang membentuk pertanggungjawaban pidana. Ketika kekuatan berpikir tidak ada pada seseorang maka tanggung jawab
pidananya pun tidak ada
26
. Kedua unsur ini juga yang menjadi dasar dari penetapan fase-fase
yang dilalui oleh manusia dari sejak lahir sampai dengan usia dewasa, yaitu :
a. Fase pertama : fase tidak adanya kemampuan berpikir idrak.
Menurut para fukaha, fase ini dimulai dari sejak lahir dan berakhir pada saat usia 7 tujuh tahun. Pada fase, seseorang dianggap tidak
mempunyai kemampuan untuk berpikir dan disebut dengan anak yang belum mumayyiz walaupun pada kenyataannya, tamyiz tidak terbatas
pada usia tetapi juga dipengaruhi dengan lingkungan, pengaruh keluarga dan lain-lain. Pembatasan dengan menggunakan usia 7 tahun
agar bisa berlaku pada semua orang.
26
Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, P.T Kharisma Ilmu, tanpa tahun, h. 255
b. Fase kedua : fase kemampuan berpikir lemah
Fase ini dimulai dari usia tujuh tahun sampai pada usia baligh. Mayoritas fukaha membatasinya pada usia lima belas tahun karena
seseorang pada usia itu telah dinggap dewasa walaupun belum mengetahui makna dewasa sesungguhnya. Pada fase ini, jika seorang
anak yang telah mumayyiz melakukan tindak pidana maka dia tidak dapat dikenai hukuman pidana, akan tetapi dikenakan tanggung jawab
ta’dibi yaitu hukuman yang bersifat mendidik. Artinya si anak tidak
dapat dianggap sebagai residivis atau pengulang kejahatan jika tindak pidana tersebut dilakukannya lagi.
c. Fase ketiga : fase kekuatan berpikir penuh sempurna
Fase ini dimulai sejak si anak menginjak usia kecerdasan atau dewasa, yaitu sejak usia lima belas tahun. Pada fase ini, seseorang dapat
dikenai hukuman pidana atas tindakan pidana apa pun yang telah dia lakukan dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain
27
. Dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam hukum
pidana islam, pengertian anak, menurut para fukaha adalah jika seseorang belum mencapai usia lima belas tahun, akan tetapi kesepakatan ini akan
berbeda ketika dihadapkan pada tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya yang akan dijelaskan pada subbab B tentang Pengertian
Pembunuhan Anak.
27
Tim Tsalisah, op.cit, h. 256
Membicarakan anak, tidak lepas dari keberadaan orang tua. Hubungan diantara keduanya adalah hubungan timbal balik dan seharusnya saling
menguntungkan. Hubungan antara orang tua dengan anaknya adalah hubungan yang alamiah dan berjalan dengan apa adanya. Tidak ada
peraturan yang dapat mengatur bagaimana jalannya hubungan tersebut. Islam sebagai agama yang paling mulia hanya mengatur bagaimana orang
tua memperlakukan anaknya begitu juga sebaliknya. Di dalam hukum positif, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,