Perbandingan Kombinasi Ketorolak 30 Mg Dan Fentanyl Patch 12,5 µg/ Jam , Ketorolak 30 Mg Dan Fentanyl Patch 25 µg/Jam, Ketorolak 30 Mg Dan Placebo Patch Untuk Penatalaksanaan Nyeri Setelah Pembedahan Laparatomi

(1)

PERBANDINGAN KOMBINASI KETOROLAK 30 mg DAN

FENTANYL PATCH

12,5 µg/ JAM , KETOROLAK 30 mg DAN

FENTANYL PATCH

25 µg/JAM, KETOROLAK 30 mg DAN

PLACEBO PATCH

UNTUK PENATALAKSANAAN NYERI

SETELAH PEMBEDAHAN LAPARATOMI

OLEH

ADE WINATA NIM 077114005

TESIS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS - I DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN


(2)

PERBANDINGAN KOMBINASI KETOROLAK 30 Mg DAN FENTANYL PATCH 12,5 µg/ JAM , KETOROLAK 30 Mg DAN FENTANYL PATCH 25

µg/JAM, KETOROLAK 30 Mg DAN PLACEBO PATCH UNTUK PENATALAKSANAAN NYERI SETELAH PEMBEDAHAN

LAPARATOMI

TESIS

Oleh ADE WINATA NIM 077114005

Pembimbing I : Prof. dr. ACHSANUDDIN HANAFIE,SpAn.KIC

Pembimbing II : dr. YUTU SOLIHAT,SpAn.KAKV

Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN


(3)

(4)

(5)

Kata Pengantar

Dengan Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahirobbil’alamin, Saya sampaikan rasa syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya berkesempatan membuat laporan hasil penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh spesialis dalam bidang Anestesiologi dan Terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Saya menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari sempurna baik isi maupun bahasannya, namun demikian Saya berharap bahwa tulisan ini dapat menambah perbendaharaan bacaan tentang Perbandingan Kombinasi Ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 12,5 µG/jam, Ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 25

µG/jam, Ketorolak 30 mg dan placebo patch untuk Penatalaksanaan Nyeri setelah Pembedahan Laparatomi.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

Dengan penuh rasa hormat saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.dr.Achsanuddin Hanafie,SpAn.KIC dan dr. Yutu Solihat, SpAn.KAKV sebagai pembimbing tesis Saya, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga Saya dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Yang Terhormat Prof.dr. Achsanuddin Hanafie,SpAn.KIC sebagai Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik, dr. Hasanul Arifin,SpAn. KAP.KIC sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi intensif, Dr.dr. Nazaruddin Umar SpAn, KNA sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi intensif, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV sebagai Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat dan keikhlasan telah mendidik selama Saya menjalani penelitian ini.


(6)

Yang terhormat Guru saya dijajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, dr. A. Sani P. Nasution SpAn. KIC, dr. H. Chairul M. Mursin, SpAn, dr. Asmin Lubis DAF, SpAn, KAP. KMN, dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn, dr. Soejat Harto, SpAn, dr. Muhammad AR, SpAn, dr. Veronica H.Y, SpAn. KIC, dr. Tjahaya Indra Utama, SpAn, dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn, dr. Walman Sitohang, SpAn, dr. Tumbur, SpAn, dr. Nugroho Kunto Subagio, SpAn, dr. Dadik W Wijaya, SpAn, dr. M. Ihsan, SpAn, dan dr. Guido M Solihin, SpAn, yang telah banyak memberikan bimbingan dalam bidang ilmu pengetahuan di Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan sehingga menimbulkan rasa percaya diri baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.

Ucapan terima kasih Saya berikan kepada dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, yang telah meluangkan waktu dan ilmunya sebagai pembimbing metode penelitian dan analisa statistik pada penelitian yang banyak memberikan masukan, arahan, kritikan demi laporan penelitian ini.

Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga saya sembahkan kepada kedua orang tua saya tercinta, yang mulia Ayahanda Azwar Aziz dan ibunda Rafiah, Amd yang dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga saya dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada kepada orang tua, agama, bangsa dan negara. Dengan memanjatkan doa kehadirat Allah SWT ampunilah dosa kedua orang tua saya serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya sewaktu kecil. Terima kasih juga saya tujukan kepada adik-adik saya, Andi Arfian, SH, Briptu Aulia Al Hadi, Wulandari Sari Putri, SE, yang telah memberikan dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan ini.

Yang terhormat kedua mertua saya, Ir. Sayuti Lubis dan Rosyidah Iramawaty Nasution, AmD, SKM, serta abang-abang dan adik ipar yang telah


(7)

memberikan dorongan semangat kepada Saya sehingga laporan penelitian dapat selesai.

Kepada istriku tercinta dr. Lestari Ramora Lubis dan anak-anakku tersayang Faqih Alkhairi Winata dan Maghfira Nahja Alfaqiha Winata yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama ini. Tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan selain ucapan terimakasih yang setulus- tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat Saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi dan Terapi intensif terutama dr. M. Jalaluddin A Chalil, dr. Irfan Hamdani, dr. Ricky Tarigan, dr. Teguh Ismanto, dr. Ade Fitriani, dr. Edlin, dr. Andriamuri P Lubis, dr. Dwi Lunarta S, dan teman-teman yang lain yang tidak bisa Saya sebutkan namanya di sini, yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua.

Kepada paramedis dan karyawan Departemen Ilmu Anestesiologi dan Terapi intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, RSU dr. Pirngadi Medan, RSU H. Mina Medan, dan RS Kodam I Bukit Barisan Medan yang telah banyak membantu dan banyak bekerja sama selama saya menjalani penelitian ini.


(8)

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, Semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Amin, Amin Ya Rabbal’alamin.

Medan, Januari 2011 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... I DAFTAR ISI...V DAFTAR GAMBAR ... IX DAFTAR TABEL... IX DAFTAR GRAFIK... IX DAFTAR LAMPIRAN...X ABSTRAK ... XI ABSTRACT...XIII

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...4

1.3 Hipotesa ...5

1.4 Tujuan Penelitian ...5

1.4.1 Tujuan Umum...5

1.4.2 Tujuan Khusus ...5

1.5 Manfaat penelitian ...5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...6

2.1 Fisiologi Nyeri ...6

2.2 Mekanisme Nyeri ...7

2.2.1 Sensitisasi perifer...9

2.2.2 Sensitisasi sentral...10

2.3 Nosiseptor ...12

2.4 Perjalanan Nyeri ...12

2.5 Sistem Descending ...13


(10)

2.5.2 Sistem noradrenergik ...14

2.5.3 Sistem serotonergik ...14

2.5.4 Komponen dari Analgesia Descending...14

2.5.5 Proyeksi ke Dorsal Horn...15

2.6 Analgesia Preemptif ...15

2.7 Analgesia Preventif...15

2.8 Mekanisme Kerja Obat Analgetik ...17

2.9 Farmakologi obat AINS...17

2.10 Peranan Prostaglandin ...17

2.11 Enzim Cyclooxygenase (COX)...18

2.12 Ketorolak ...21

2.12.1 Farmakokinetik ...22

2.12.2 Farmakodinamik ...22

2.12.3 Efek Samping...23

2.13 Fentanyl Patch ...24

2.13.1Komponen dan Struktur Sistim...25

2.13.2Farmakokinetik Fentanyl Patch...26

2.13.3Farmakodinamik Fentanyl Patch...26

2.14 Laparotomi...27

2.15 Instrumen Pengukur Nyeri...27

2.16 Kerangka Konsep ...29

BAB 3 METODE PENELITIAN ...30

3.1 Desain ...30


(11)

3.2.1 Tempat ...30

3.2.2 Waktu...30

3.3 Populasi dan sampel ...30

3.3.1 Populasi ...30

3.3.2 Sampel ...30

3.4 Kriteria inklusi, eksklusi dan putus uji ...30

3.4.1 Kriteria inklusi ...30

3.4.2 Kriteria Ekslusi ...31

3.4.3 Kriteria putus uji ...31

3.5 Besar Sampel ...31

3.6 Cara Kerja...32

3.6.1 Persiapan Pasien dan Obat...32

3.6.2 Pelaksanaan Penelitian ...32

3.7 Kerangka kerja...36

3.8 Identifikasi Variabel ...37

3.8.1 Variabel bebas : ...37

3.8.2 Variabel tergantung : ...37

3.9 Rencana manajemen dan analisis data...37

3.10 Alat dan bahan ...38

3.10.1Alat yang digunakan ...38

3.10.2Bahan yang digunakan ...38

3.11 Definisi operasional ...39


(12)

BAB 4 HASIL PENELITIAN ...41

4.1 Karakteristik UMUM ...41

4.2 TINGKAT Pendidikan dan Suku ...42

4.3 Jenis Operasi...43

4.4 Lama Anestesi dan PS-ASA...44

4.5 Karakteristik Klinis Hemodinamik Berdasarkan Waktu Pengamatan...45

4.6 Karakteristik Nilai VAS pada Ketiga Kelompok ...47

4.7 Efek Samping ...48

BAB 5 PEMBAHASAN ...49

5.1 Gambaran Umum ...49

5.2 Perubahan Nilai VAS ...49

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...52

6.1 KESIMPULAN ...52

6.2 SARAN...52


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan allodinia...10 

Gambar 2. Skematik preemptif analgesik dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif...1 

Gambar 3. Tempat kerja obat analgetik27...1 

Gambar 4. Pengaruh AINS dan Kortikosteroid25...21 

Gambar 5. Rumus Bangun Ketorolak ...24 

Gambar 7. Skematis Fentanyl Patch35,36...25 

Gambar 8. Kerangka Konsep ...1 

Gambar 9. Kerangka Kerja ...1 

Gambar 10. Kartu penilaian VAS dengan ekspresi ...39 

Gambar 11. Nilai VAS pre-operasi dan paska operasi ...48 

DAFTAR TABEL Tabel 2.13-1. Dosis dan ukuran Fentanyl Patch ...25 

Tabel 4.1-1. Karakteristik Umum ...41 

Tabel 4.2-1. Tingkat Pendidikan...42 

Tabel 4.2-2. Suku ...43 

Tabel 4.3-1. Jenis Operasi...44 

Tabel 4.4-1. Karakteristik Lama Anestesi dan PS-ASA ...44 

Tabel 4.6-1. Nilai VAS pre-operasi dan paska operasi...47 

Tabel 4.6-2. Tabel Hasil Analisa General Linier Model VAS dari Jam ke Jam pada tiap kelompok dan antar kelompok ...48 

DAFTAR GRAFIK Grafik 4.5-1. Grafik rata-rata sistolik per waktu pengamatan ...45 


(14)

Grafik 4.5-3. Grafik rata-rata laju nadi per waktu pengamatan ...46 

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : RIWAYAT HIDUP PENELITI ...58 LAMPIRAN 2 : JADWAL PERTAHAPAN PENELITIAN ...59 LAMPIRAN 3 : LEMBAR PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN.60 LAMPIRAN 4 : LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN 63 LAMPIRAN 5 : LEMBARAN OBSERVASI PASIEN PERIOPERATIF.64 LAMPIRAN 6 : KOMITE ETIK ...68 LAMPIRAN 7 : TABEL ANGKA RANDOM ...69


(15)

ABSTRAK

Latar belakang dan Objektif : Nyeri paska bedah merupakan salah satu masalah penting yang menyertai proses operasi, sehingga analgesia yang kuat sangat dibutuhkan pada periode paska bedah. Obat-obat AINS sudah popular sebagai analgesia kerena obat ini dapat menurunkan kebutuhan analgetik opioid dan kadar mediator inflamatori pada daerah trauma tetapi tidak menyebabkan sedasi. Opioid sebagai analgetik setelah operasi laparatomi juga telah banyak dipakai. Metode pemberian melalui penyerapan kulit merupakan salah satu cara yang telah banyak digunakan. Kombinasi antara AINS dan opioid merupakan balans analgesia. Penelitian ini ditujukan untuk membandingkan kombinasi ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 12,5 µg/jam, ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 25 µg/jam , ketorolak 30 mg dan placebo patch untuk penatalaksanan nyeri setelah pembedahan laparatomi.

Metode : Setelah mendapat persetujuan dari komite etik Fakultas Kedokteran USU, 30 sampel dikumpulkan, pria dan wanita, dari umur 16-50 tahun dengan status fisik ASA 1-2, VAS preoperasi 0-1, yang menjalani pembedahan elektif laparatomi dengan anestesi umum dengan intubasi pada Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik dan Rumah sakit jejaring di kota Medan. Sampel kemudian dibagi secara acak menjadi tiga kelompok dengan masing-masing 10 subjek. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Kelompok A mendapat ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 12,5 µg/jam, dan kelompok B mendapat ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 12,5 µg/jam, serta Kelompok C mendapatkan ketorolak 30 mg dan placebo patch. Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nafas dan frekwensi nadi, nilai VAS dicatat dan diukur.Semua data dianalisa menggunakan uji ANOVA dan chi square.


(16)

Hasil : Didapatkan nilai VAS sesudah pemberian analgetik ada perbedaan bermakna antara kelompok A, kelompok B dengan kelompok C. Hasil penelitian secara berturut-turut dengan uji ANOVA didapati p=0.16 , p=085., p=0.001, p=0.001, p=0.0001, p=0.00, p=0,001, p=0,001.

Kesimpulan : Dari hasil penelitian ada perbedaan bermakna diantara kedua kelompok fentanyl patch dengan placebo secara statistik. Pasien yang diberikan fentanyl patch mendapatkan nilai VAS yang lebih kecil

Kata Kunci : Ketorolak, Fentanil patch, , hemodinamik, Visual Analog Score (VAS)


(17)

ABSTRACT

Background and Objective: Pain after surgery is one of the important

problems that accompany the process of operation, so that a strong analgesia is needed in post-surgical period. NSAID medicines are popular as analgesia because this drug can reduce opioid analgesic requirements and levels of inflammatory mediators in the area of trauma but did not cause sedation. Opioids as analgesics after surgery laparotomy has also been widely used. Method of delivery through skin absorption is one way that has been widely used. The combination of NSAIDs and opioids is a balance of analgesia. This study aimed to compare the combination of ketorolac 30 mg and fentanyl patch 12.5 ug / h, ketorolac 30 mg and fentanyl patch 25 ug / h, ketorolac 30 mg and placebo patch for pain management after laparotomy surgery.

Methods: After obtaining approval from the ethics committee of the

Faculty of Medicine, USU, 30 samples were collected, men and women, from age 16-50 years with ASA physical status 1-2, VAS preoperatively 0-1, undergoing elective laparotomy surgery under general anesthesia with intubation orotrakea at the RSUP H. Adam Malik Hospital in Medan networking. The samples then were divided randomly into three groups with each 10 subjects. This research

used double-blind randomized controlled clinical trial. Group A received

ketorolac 30 mg and fentanyl patch 12.5 g / hour, and group B received ketorolac 30 mg and fentanyl patch 12.5 ug / hr, and Group C receive ketorolac 30 mg and placebo patch. Systolic blood pressure, diastolic blood pressure, mean arterial pressure, breath frequency and pulse frequency, VAS values were recorded and analyzed data with ANOVA and chi square.

Results: VAS values after the administration of analgesic there were

significant differences between group A, group B with group C. The results respectively were found with ANOVA p = 0:16, p = 085., P = 0.001, p = 0.001, p = 0.0001, p = 0.00, p = 0.001, p = 0.001.


(18)

xiv Conclusion: The results of the study there were significant differences

between the two groups with fentanyl patch statistically placebo. Patients given fentanyl patches get smaller VAS values

Keywords: Ketorolac, Fentanyl patch,, hemodynamics, Visual Analogue


(19)

ABSTRAK

Latar belakang dan Objektif : Nyeri paska bedah merupakan salah satu masalah penting yang menyertai proses operasi, sehingga analgesia yang kuat sangat dibutuhkan pada periode paska bedah. Obat-obat AINS sudah popular sebagai analgesia kerena obat ini dapat menurunkan kebutuhan analgetik opioid dan kadar mediator inflamatori pada daerah trauma tetapi tidak menyebabkan sedasi. Opioid sebagai analgetik setelah operasi laparatomi juga telah banyak dipakai. Metode pemberian melalui penyerapan kulit merupakan salah satu cara yang telah banyak digunakan. Kombinasi antara AINS dan opioid merupakan balans analgesia. Penelitian ini ditujukan untuk membandingkan kombinasi ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 12,5 µg/jam, ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 25 µg/jam , ketorolak 30 mg dan placebo patch untuk penatalaksanan nyeri setelah pembedahan laparatomi.

Metode : Setelah mendapat persetujuan dari komite etik Fakultas Kedokteran USU, 30 sampel dikumpulkan, pria dan wanita, dari umur 16-50 tahun dengan status fisik ASA 1-2, VAS preoperasi 0-1, yang menjalani pembedahan elektif laparatomi dengan anestesi umum dengan intubasi pada Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik dan Rumah sakit jejaring di kota Medan. Sampel kemudian dibagi secara acak menjadi tiga kelompok dengan masing-masing 10 subjek. Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Kelompok A mendapat ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 12,5 µg/jam, dan kelompok B mendapat ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 12,5 µg/jam, serta Kelompok C mendapatkan ketorolak 30 mg dan placebo patch. Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, frekwensi nafas dan frekwensi nadi, nilai VAS dicatat dan diukur.Semua data dianalisa menggunakan uji ANOVA dan chi square.


(20)

Hasil : Didapatkan nilai VAS sesudah pemberian analgetik ada perbedaan bermakna antara kelompok A, kelompok B dengan kelompok C. Hasil penelitian secara berturut-turut dengan uji ANOVA didapati p=0.16 , p=085., p=0.001, p=0.001, p=0.0001, p=0.00, p=0,001, p=0,001.

Kesimpulan : Dari hasil penelitian ada perbedaan bermakna diantara kedua kelompok fentanyl patch dengan placebo secara statistik. Pasien yang diberikan fentanyl patch mendapatkan nilai VAS yang lebih kecil

Kata Kunci : Ketorolak, Fentanil patch, , hemodinamik, Visual Analog Score (VAS)


(21)

ABSTRACT

Background and Objective: Pain after surgery is one of the important

problems that accompany the process of operation, so that a strong analgesia is needed in post-surgical period. NSAID medicines are popular as analgesia because this drug can reduce opioid analgesic requirements and levels of inflammatory mediators in the area of trauma but did not cause sedation. Opioids as analgesics after surgery laparotomy has also been widely used. Method of delivery through skin absorption is one way that has been widely used. The combination of NSAIDs and opioids is a balance of analgesia. This study aimed to compare the combination of ketorolac 30 mg and fentanyl patch 12.5 ug / h, ketorolac 30 mg and fentanyl patch 25 ug / h, ketorolac 30 mg and placebo patch for pain management after laparotomy surgery.

Methods: After obtaining approval from the ethics committee of the

Faculty of Medicine, USU, 30 samples were collected, men and women, from age 16-50 years with ASA physical status 1-2, VAS preoperatively 0-1, undergoing elective laparotomy surgery under general anesthesia with intubation orotrakea at the RSUP H. Adam Malik Hospital in Medan networking. The samples then were divided randomly into three groups with each 10 subjects. This research

used double-blind randomized controlled clinical trial. Group A received

ketorolac 30 mg and fentanyl patch 12.5 g / hour, and group B received ketorolac 30 mg and fentanyl patch 12.5 ug / hr, and Group C receive ketorolac 30 mg and placebo patch. Systolic blood pressure, diastolic blood pressure, mean arterial pressure, breath frequency and pulse frequency, VAS values were recorded and analyzed data with ANOVA and chi square.

Results: VAS values after the administration of analgesic there were

significant differences between group A, group B with group C. The results respectively were found with ANOVA p = 0:16, p = 085., P = 0.001, p = 0.001, p = 0.0001, p = 0.00, p = 0.001, p = 0.001.


(22)

xiv Conclusion: The results of the study there were significant differences

between the two groups with fentanyl patch statistically placebo. Patients given fentanyl patches get smaller VAS values

Keywords: Ketorolac, Fentanyl patch,, hemodynamics, Visual Analogue


(23)

BAB 1

1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penanganan nyeri paska bedah yang efektif adalah penting untuk perawatan pasien yang mendapat tindakan pembedahan. Penanganan nyeri yang efektif dengan efek samping yang sedikit akan mempercepat pemulihan dan kepulangan pasien dari rumah sakit. Kenyamanan pasien adalah hal yang paling penting sehingga analgetik yang adekuat sangat dibutuhkan pada periode paska bedah1.

Walaupun sudah ada kemajuan yang berarti di dalam pilihan-pilihan terhadap penilaian dan pengobatan nyeri, namun penanganan nyeri paska bedah yang efektif masih sering menjadi dilema bagi pasien dan dokter. Diperkirakan 70-80% dari pasien setelah pembedahan mengalami nyeri sedang sampai berat, sekalipun mendapatkan obat-obat analgesik.2,3

Nyeri paska pembedahan dapat menyebabkan respon segmental dan supra-segmental refleks yang dapat berefek pada sistem pernafasan, kardiovaskular, pencernaan, urin, neuro-endokrin. Efek pada sistem pernafasan yaitu bila pasien masih merasa nyeri terutama pada waktu bernafas dapat menyebabkan atelektasis, pneumonia, dan gagal nafas. Efek pada sistem kardiovaskuler yaitu peningkatan stres kardiovaskular menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen dan penurunan suplai oksigen ke otot jantung, yang menyebabkan terjadinya disritmia jantung, juga dapat menyebabkan takikardi dan peningkatan tekanan darah. Pengaruh terhadap hormonal adalah lepasnya beta-endorphine dan hormon adenokortikotropik dari kelenjar pituitary anterior. 1,2,3

Analgesi setelah pembedahan dapat dicapai dengan menggunakan beragam opioid dengan rentang sifat farmakodinamik dan farmakokinetik yang luas. Efektifitas pemakaian opioid sebagai analgesi paska bedah sudah diakui namun


(24)

juga dijumpai efek samping terutama pada pasien dengan usia tertentu seperti pada anak-anak ataupun orang tua. Perubahan-perubahan dalam kadar plasma terkait dengan pemberian bolus dapat menyebabkan sedasi yang berlebihan dan depresi nafas saat kadar plasma mencapai puncaknya dan analgesia yang insufisien saat kadar plasma paling rendah.4,5,6Teknik alternatif dalam pemberian obat yang menyediakan kadar plasma narkotik terapeutik dapat digunakan dengan aman untuk menghindari hal tersebut. Hal ini termasuk pemberian epidural atau intravena yang kontinyu, injeksi subkutan atau analgesia kendali pasien. Namun metode ini mahal dan membutuhkan pemantauan yang ketat mengingat dapat terjadi infeksi, lepasnya alat dan kesalahan mekanik atau petugas. Pada umumnya dari teknik-teknik ini menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien karena mengharuskan untuk diam di tempat tidur dan menjalani intervensi medis invasif yang sering, misalnya pemasangan jarum4.

Tata laksana paska bedah dengan opioid dan obat AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid) telah sering digunakan dan cukup efektif. Analgesik opioid dan konvensional obat AINS mendominasi strategi pengobatan nyeri paska bedah saat ini. Opioid dan obat-obatan AINS yang diberikan parenteral sebagai analgesik pada periode paska bedah awal bertujuan untuk mengurangi rasa sakit akibat pembedahan. Namun, efektivitas dari obat-obatan analgesi paska bedah dibatasi oleh efek samping yang menghambat pasien rehabilitasi setelah intervensi bedah. Pemberian opioid dibatasi oleh efek samping terutama pada pasien usia lanjut, yaitu sedasi, depresi pernafasan, sembelit dan / atau ileus paralitik, dan retensi urin. Di sisi lain, obat AINS klasik yang menghambat produksi prostaglandin oleh kedua siklooksigenase (COX) isoenzime, COX-1 dan COX-2, menghasilkan efek negatif pada saluran pencernaan, platelet, dan ginjal. Akibatnya adalah penggunaan kombinasi opioid dan obat AINS digunakan pada pasien usia lanjut sebagai bagian dari strategi multimodal ("analgesia seimbang") untuk meningkatkan analgesia sambil mengurangi efek samping yang terkait-dosis1.


(25)

Ketorolak sebagai analgesia paska bedah telah banyak diteliti. Penelitian Burhanuddin MD dan Mosharrof Hossain menggunakan ketorolak 15 mg

intramuscular dibandingkan dengan petidin 100 mg intramuscular untuk pasien yang menjalani prosedur pembedahan besar mengurangi keluhan nyeri paska bedah7. Gunawan Basuki, FK UI menunjukkan bahwa potensi kemanjuran ketorolak dengan dosis tunggal ( 30-90 mg) intra vena setara dengan 6-12 mg morfin atau petidin 50-100 mg8. J.B.Forrest, dkk, Mc Master University, Hamilton, Canada menyatakan bahwa ketorolak, diklofenak dan ketoprofen sama efek analgesia sesudah operasi besar9. Pada penelitian ini juga melihat efek samping masing-masing obat. Didapatkan bahwa resiko untuk terjadinya perdarahan saluran cerna, masa perdarahan yang memanjang dan munculnya reaksi anafilaksis ditemukan pada ketorolak dibandingkan dengan diklofenak dan ketoprofen9. Rafiqul Hasan Khan dkk, membandingkan ketorolak, diklofenak dan tramadol sebagai analgesik preemptif pada operasi laparoskopi kolesistektomi, dengan melihat penggunaan petidin paska bedah, hasil yang didapatkan adalah pengurangan dosis petidin pada ketorolak dan tramadol10. Studi yang dilakukan oleh Aldreyn, Medan, membandingkan ketorolak 30 mg dan deksketoprofen 50 mg intra vena sebagai preventif analgesi mendapatkan hasil bahwa pemberian ketorolak 60 mg (dua kali pemberian) baru menyamai efektifitas deksketoprofen 50 mg11. Tapi kenaikan dosis pemberian ketorolak akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan pada hemostasis dan ginjal12.

Penggunaan jalur transdermal dapat menyederhanakan rejimen dosis, meningkatkan keteraturan, serta mengurangi ketidaknyamanan pasien dan efek samping. Fentanil telah terbukti dapat diserap dengan baik secara transdermal, meskipun dibutuhkan selang waktu yang lama untuk mencapai kadar plasma terapeutik yang tetap13,14. Penelitian fentanyl patch untuk penanganan nyeri paska bedah oleh Rafael Miguel; Joel M. Kreizer menggunakan fentanyl patch 100 μg/jam dan 120 μg/jam pada pasien paska bedah laparatomi eksplorasi ginekologi13. Ferne B. Sevarino, J. Steven Naulty menggunakan fentanyl patch 25 μg/jam dan 50 μg/jam untuk penanganan nyeri paska bedah Ginekologi


(26)

Abdominal15. Martine Van Bastelaere; Georges Rolly; Nik Mohamad Abdullah, menggunakan fentanyl patch 75 μg/jam dibandingkan dengan plasebo sebagai analgesia paska bedah pada pembedahan tulang16 . Kombinasi fentanyl patch dan

placebo patch dengan ketorolak intramuscular telah dilakukan oleh Douglas J Reinhart, Michael E Goldgerg, Jonathan V Roth, dkk, dengan dosis tergantung pada berat badan dan kebutuhan penggunaan ketorolak. Kemudian dilakukan penilaian nyeri menggunakan visual analogue score (VAS) mendapatkan hasil bahwa kombinasi keduanya lebih baik dari ketorolak sendiri atau pun fentanyl patch sendiri17. Kombinasi obat AINS jenis yang lain, deksketoprofen, dengan

fentanyl patch pada pasien operasi ginekologi yang dilakukan pembiusan spinal. Didapatkan bahwa nyeri paska bedah yang dinilai dengan VAS pada saat diam dan bergerak terjadi perbaikan nilai VAS18.

Berdasarkan alasan tersebut diatas, fentanyl patch diharapkan mampu mencegah sensitisasi sentral dan ketorolak hidroklorida akan mencegah sensitisasi perifer serta meredam respon inflamasi yang terjadi pasca trauma jaringan akibat pembedahan. Dengan pemilihan dosis fentanyl patch 12,5 μg/jam dan 25 μg/jam diharapkan akan meminimalkan efek samping yang timbul. Oleh karena itu kombinasi kedua obat ini diharapkan memberi efektifitas yang tinggi pada pengelolaan nyeri paska bedah.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka masalah penelitian ini adalah : Apakah ada perbedaan efektifitas ketorolak 30 mg dan fentanyl patch

12,5 µg/jam dibandingkan ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 25 µg/jam, serta ketorolak 30 mg dan placebo patch sebagai penatalaksanaan nyeri setelah pembedahan laparotomi.


(27)

1.3 HIPOTESA

Ada perbedaan efektifitas ketorolak 30 mg dan fentanyl patch 12,5 µg/jam dibandingkan dengan ketorolak 30 dan fentanyl patch 25 µg/jam serta ketorolak 30 mg dan placebo patch sebagai penatalaksanaan nyeri setelah pembedahan laparotomi.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan Umum

Mendapatkan alternatif obat yang efektif untuk penatalaksanaan nyeri paska pembedahan.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui keefektifan ketorolak dalam mengatasi nyeri setelah pembedahan laparotomi.

2. Untuk mengetahui keefektifan ketorolak ditambah fentanyl patch

dalam mengatasi nyeri setelah pembedahan laparotomi.

3. Untuk mengetahui efek samping ketorolak dalam mengatasi nyeri setelah pembedahan laparotomi.

4. Untuk mengetahui efek samping fentanyl patch dalam mengatasi nyeri setelah pembedahan laparotomi.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui efek fentanyl patch

sebagai obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan nyeri setelah pembedahan.

2. Mendapatkan kombinasi yang paling baik antara obat opioid dengan NSAID sebagai tata laksana nyeri setelah pembedahan.


(28)

BAB 2

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI NYERI

Defenisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain

(IASP) sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang jelas, cenderung rusak, atau sesuatu yang tergambarkan seperti yang dialami. Defenisi di atas menjelaskan adanya hubungan pengaruh obyektif (aspek fisiologi dari nyeri) dan subyektif (aspek komponen emosi dan kejiwaan). Pengaruh subyektif erat kaitannya dengan pendidikan, budaya, makna situasi dan aktifitas kognitif, sehingga nyeri merupakan hasil belajar serta pengalaman sejak dimulainya kehidupan. Individualisme rasa nyeri ini sulit dinilai secara obyektif, walaupun dokter telah melakukan observasi atau menggunakan alat monitor. Baku emas untuk mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah dengan menanyakannya langsung19,20,21,26.

Berdasarkan asalnya nyeri dibagi dua, yaitu nyeri somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik yang berasal dari kulit disebut nyeri superfisial, sedangkan nyeri yang berasal dari otot rangka, tulang, sendi atau jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri superfisial cirinya tajam, lokasinya jelas, dan cepat hilang bila stimulasi dihentikan. Sedangkan nyeri dalam cirinya terasa tumpul, sulit dilokasi, dan cenderung menyebar ke sekitarnya. Nyeri visera bisa juga disebabkan oleh penarikan yang kuat dari organ-organ dalam abdomen, demikian juga karena spasme atau kontraksi yang kuat dari organ visera yang menimbulkan nyeri terutama bila disertai dengan aliran darah yang tidak adekuat 20,21.


(29)

Berdasarkan lamanya nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus nosiseptif dan koneksi sentral yang terlibat serta sistem saraf autonomik berdasarkan regionya karena perlakuan atau proses penyakit atau fungsi abnormal dari otot atau visera. Biasanya nyeri ini mudah dideteksi, lokasinya jelas, dan sebatas kerusakan jaringan20,21.Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap dialami lebih 3 bulan atau 6 bulan dari sejak mulai dirasakan nyeri. Defenisi yang lain mengatakan nyeri kronik adalah nyeri yang dialami selama waktu yang seharusnya perlukaan mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronik adalah nyeri persisten yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama atau nyeri rekuren yaitu nyeri yang kambuh dengan interval tertentu20,21.

Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P, lekotrein dimana zat-zat tersebut berperan pada proses transduksi dari nyeri20,22,23,26.

2.2 MEKANISME NYERI

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta dalam proses bertahan hidup dengan melindungi organisme dari cedera berkepanjangan dan membantu proses pemulihan. Sebaliknya, nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem saraf26. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, talamus, dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistim nosiseptif akan


(30)

bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak 19,26.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi 26.

Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun demikian pada kasus-kasus cedera elektif (misalnya: pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri. Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistim saraf (nyeri fungsional) 26.

Berbagai mekanisme yang mendasari munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi, dan persepsi. Transduksi merupakan konversi stimulus noksious termal, mekanik, atau kimia menjadi aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik nosiseptif. Proses ini diperantarai oleh reseptor ion channel yang spesifik. Konduksi merupakan perjalanan aksi potensial dari akhiran saraf perifer ke sepanjang akson menuju akhiran nosiseptor di sistem saraf pusat. Transmisi merupakan bentuk transfer sinaptik dari satu neuron ke neuron lainnya. Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan δ) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis


(31)

medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus ke korteks serebri, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan 26.

2.2.1 Sensitisasi perifer

Cidera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhiran nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosin trifosfat dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine, dan growth factor. Beberapa komponen tersebut di atas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators), dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers). Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh sel yang cidera dan merangsang reseptor purin P2x3, danmengaktifkan nosiseptor. Secara berututan prostaglandin

E2 (sebuah bentuk prostanoid) dan nerve growth factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan tirosin kinase A, menyebabkan sensitisasi pada terminal nosiseptor tanpa langsung menimbulkan aktivitas nosiseptor. Bradikinin akan mengaktifkan dan mensensitisasi nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2

yang hanya terjadi setelah cidera ataupun inflamasi 26.

Pembentukan prostanoid pada tempat cidera merupakan komponen utama reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari membran fosfolipid oleh fosfolipase A2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) berperan

mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2.

Cyclooxygenase-2 (COX-2) dipicu oleh interleukin 1-β dan tumor necrosis factor-α, yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan inflamasi, sehinggaobat anti inflamasi yang selektif menghambat COX-2 tidak efektif pada nyeri nosiseptif atau inflamasi yang berlangsungcepat 26.

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akanmereduksi ambang

aktivasi nosiseptor dan meningkatkankepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Aktivasi adenil siklase olehprostaglandin E


(32)

akan meningkatkan kadar adenosine monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A. Proteinkinase A dan protein kinase C akan menfosforilasi asam amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik 26.

Berbagai komponen yang menyebabkan sensitasi akan muncul secara bersamaan (prostaglandin E2, nerve growth factor, dan bradikinin),

penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cidera atau inflamasi 26.

Gambar 1. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan allodinia

Keterangan: stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon sistem saraf terhadap stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada cedera jaringan, kurva tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus non noksious juga dirasakan sebagai nyeri (allodinia).

2.2.2 Sensitisasi sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisinosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cedera.


(33)

Sensitisasisentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik darinosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses inidipacu oleh input nosiseptor ke medula spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron(transcription dependent) 26.

Secara umum proses sensitisasi sentral serupa dengan sensitisasi perifer. Diawali dengan aktivasi kinase intraseluler, memacu fosforilasi saluran ion dan reseptor, dan terjadi perubahan fenotip neuron. Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelahkerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang massif ke dalam medulla spinalis, ini akan menjadikan jaringan saraf di dalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi inimenyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus non noksious(misalnya: nyeri akibat sentuhan ringan), dan daerah yang jauh dari jaringan cedera juga menjadi sensitif rangsangan nyeri (hiperalgesia sekunder) 26.

Sensitisasi sentral membutuhkan aktivitas nosiseptor yang singkat dengan intensitas yang tinggi, misalnya: irisan kulit dengan skalpel. Sensitisasi sentral dapat juga terjadi akibat sensitisasi nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopikspontan akibat cidera saraf. Sensitisasi sentral merupakanurutan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor N-Methyl D-Aspartat (NMDA). Selama proses sensitisasi sentral, reseptor ini akan mengalami fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya terhadap glutamat. Respon berlebih pada glutamat ditandai oleh hilangnya blokade ion Mg2+ dan terjadi pembukaan ion channel yang lebih lama. Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh input yang di bawah

(subtreshold), dan respon berlebih pada input di atas ambang (supratreshold).


(34)

ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder) 26.

2.3 NOSISEPTOR

Kata ”nociception” yang berasal dari kata noci (bahasa latin untuk trauma atau luka), digunakan untuk menggambarkan hanya respon neural terhadap trauma atau stimulus noxious. Nosiseptor adalah reseptor nyeri yang ada di seluruh tubuh, letaknya terutama pada permukaan kulit, kapsula sendi, di dalam periosteum, serta di sekitar dinding pembuluh darah, ujung dari nosiseptor berada di dorsal horn dari medulla spinalis. Organ dalam juga mempunyai nosiseptor hanya saja jumlahnya lebih sedikit. Reseptor nyeri berupa ujung syaraf bebas dengan permukaan reseptor yang luas, sehingga kadang-kadang sulit untuk menentukan sumber nyeri secara tepat.25,27

Nosiseptor sangat sensitif terhadap rangsangan noksius seperti suhu yang sangat ekstrem, kerusakan mekanik, bahan-bahan kimia terutama yang keluar akibat kerusakan sel. Stimuli yang sangat kuat dari ketiganya dapat menimbulkan nyeri. Stimuli pada dendrit nosiseptor menyebabkan depolarisasi, dan juga rangsangan tersebut mencapai akson dan melewati ambang potensial, maka stimulus akan diteruskan hingga mencapai susunan saraf pusat.25,26

2.4 PERJALANAN NYERI

Ada empat proses yang terjadi pada suatu nosiseptif yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung syaraf. Rangsang ini dapat berupa stimuli fisik, kimia, ataupun panas. Ciri khas dari nosiseptor adalah tidak mengalami adaptasi25-28.


(35)

2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi tadi melalui saraf sensorik. Impuls ini akan dibawa oleh serabut syaraf A Delta (mechanothermal receptor) dan serabut C (C-polymodal nociceptor) sebagai neuron pertama (dari perifer menuju kornu dorsalis medula spinalis). Pada kornu dorsalis ini, neuron pertama tersebut akan menyilang garis tengah dan naik melalui traktus spinotalamikus kontralateral menuju talamus, yang disebut sebagai neuron kedua. Pada neuron kedua inilah terjadi sensitisasi sentral. Neuron kedua ini kembali bersinaps di talamus dengan neuron ketiga yang memproyeksikan stimulus nyeri melalui kapsula interna dan korona radiata menuju girus postcentralis korteks serebri25-28.

3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang dan merupakan bagian yang penting dari nyeri. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi dapat berupa augmentasi (peningkatan), ataupun inhibisi (penghambatan) yang merupakan bagian dari descending neural tracts. Pada proses ini opioid endogen (beta-endorphins dan enkephalins) dan eksogen mempunyai peran untuk mengatasi nyeri dengan secara tidak langsung menghambat keluar masuknya kalsium dan potassium. 25-28.

4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut 25-28.

2.5 SISTEM DESCENDING

Sistem descending tampaknya memiliki tiga komponen yang saling terkait secara fungsional utama: sistem opioid, noradrenergik, dan serotonergik.29


(36)

2.5.1 Sistem opioid

Sistem opioid terlibat dalam analgesia. Prekursor opioid (yaitu, proopiomelanocortin, proenkephalin, dan prodynorphin) dan peptida masing-masing (beta-endorphin, bertemu-dan leu-enkephalin, dan prodynorphin) yang ada dalam amigdala, hipotalamus, raphe magnus, dan dorsal horn.29

2.5.2 Sistem noradrenergik

Neuron noradrenergik mempunyai jalur dari locus caeruleus dan kelompok-kelompok sel noradrenergik lainnya di medulla dan pons. Jalur ini ditemukan di funiculus dorsolateral. Stimulasi daerah ini menghasilkan analgesia, seperti halnya administrasi (langsung atau intratekal) suatu agonis alfa 2-reseptor seperti klonidin ataupun deksmedetomidin.29

2.5.3 Sistem serotonergik

Banyak neuron pada raphe magnus yang diketahui mengandung serotonin (5-hydoxytryptamine atau 5-HT), dan mereka mengirimkan jalur untuk medulla spinalis melalui funiculus dorsolateral. Penghambatan farmakologis, atau lesi, dari raphe magnus dapat mengurangi efek morfin, dan pemberian 5-HT ke medulla spinalis akan menghasilkan efek analgesia.29

2.5.4 Komponen dari Analgesia Descending

Sel nosiseptif di dorsal horn dapat diaktifkan atau dihambat dengan stimulasi periaquaductal gray (PAG). Beberapa jenis neuron yang terlibat dalam pengendalian informasi nosiseptif berada di raphe magnus, sel-sel ini dinamakan sel “on” dan “off “. Sel “on” akan aktif sebelum penarikan kembali refleks nosifensif. Sel-sel ini dirangsang oleh input nosiseptif, akan tereksitasi oleh stimulasi dan dihambat oleh morfin. Sel memfasilitasi transmisi nosiseptif di

dorsal horn. Sel “off” akan berhenti sebelum penarikan kembali refleks

nosifensif.29

Sel-sel ini dihambat oleh rangsangan noksius, akan tereksitasi oleh stimulasi elektrik dan morfin. Telah diterangkan bahwa opioid bertindak untuk


(37)

menghambat penghambatan interneuron (GABAergic) yang bekerja pada sel “on” dan “ off “ , dengan cara ini, menghasilkan efek eksitatori dari sel-sel. Sel-sel ini menghambat transmisi nosiseptif di dorsal horn.29

2.5.5 Proyeksi ke Dorsal Horn

Serabut saraf yang aslinya berasal dari inti yang terlibat dalam modulasi nyeri berakhir pada dorsal horn mayoritasnya di lamina I dan II dan di lamina lain, termasuk IV, V, VI, dan X.29

2.6 ANALGESIA PREEMPTIF

Analgesia preemptif dimulai dengan analgesia sebelum onset dari rangsangan melukai untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Analgesia preemptif mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan melukai 30,31,32.

Pembedahan mungkin merupakan aplikasi klinis dimana teknik analgesia preemptif menjadi sangat efektif karena onset rangsangan yang kuat dapat diketahui . Oleh karena itu, potensi sensitisasi sentral muncul bahkan pada pasien tidak sadar yang tampak tidak respon secara klinis terhadap rangsangan pembedahan.32,33

2.7 ANALGESIA PREVENTIF

Pada tahun 1994 Kissin menambahkan istilah “analgesia preventif” pada “analgesia preemptif” dan menggunakan istilah “analgesia preemptif” hanya terbatas pada efek karena sensitisasi oleh bagian dari analgesia preventif yang dimulai sebelum pembedahan dan tidak termasuk waktu paska pembedahan. Jadi analgesia preventif adalah pemberian obat analgesia sebelum operasi dan dilanjutkan setelah operasi selesai. Katz membandingkan keluaran dari penelitian dengan pendekatan yang dirancang untuk membuktikan pencegahan hipersensitif dari nyeri. Dia melaporkan bahwa cara PRE melawan NO (analgesia preventif) menghasilkan efek yang positif lebih sering dibandingkan cara PRE lawan POST


(38)

(analgesia preemptif) dan secara umum, efek dengan cara PRE lawan NO terdapat jarak yang lebih besar. Hal ini menggambarkan bahwa pencegahan yang menyeluruh terhadap sensitisasi (tidak hanya disebabkan oleh luka karena sayatan tetapi juga karena trauma inflamasi) memiliki nilai klinis yang lebih baik33.

Gambar 2 Skematik preemptif analgesik dengan penekanan pada pencegahan sensitisasi sistem saraf selama perioperatif.

Tipe nyeri tanpa intervensi ditunjukkan pada gambar A, dimana tergambar nyeri saat awal pembedahan dan selanjutnya berkembang menjadi hipersensitifiti. Gambar 2-B, analgesia diberikan setelah sensitisasi dapat menurunkan nyeri sedikit tetapi tidak memiliki keuntungan jangka panjang. Pada gambar 2-C, analgesia diberikan sebelum pembedahan membatasi nyeri dari mulai rangsangan dan menurunkan hipersensitifiti selanjutnya. Yang paling efektif adalah gambar 2-D.


(39)

2.8 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK

Obat analgesia dibagi dalam 2 golongan utama, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja di sentral. Golongan obat AINS bekerja di perifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medula spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmiter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi. Dari beberapa mekanisme kerja opioid maka dapat diketahui bahwa opioid bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid di midbrain dan mengaktifkan sistem descending, bekerja pada reseptor opioid di transmisi second-order untuk menghambat sinyal nyeri dari sistem ascending, mengaktifkan reseptor opioid terminal sentral serat C di medulla spinalis untuk menghambat keluarnya neurotransmiter nyeri, mengaktifkan reseptor nyeri di perifer untuk menginhibisi aktivasi dari nosiseptor yang juga menghambat sel yang menghasilkan efek inflamasi1.

2.9 FARMAKOLOGI OBAT AINS

Obat analgesik antipiretik serta AINS merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walapun demikian obat-obat ini ternyata memiliki persamaan dalam efek terapi dan efek samping.

Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efeknya berdasarkan pada penghambatan biosintesis prostaglandin (PG)14,35.

2.10 PERANAN PROSTAGLANDIN

Di antara mediator-mediator reaksi lokal ini ditemukan prostaglandin. Semuanya diawali dengan degradasi fosfolipid membran sel menjadi asam arakhidonat, yang diperantarai oleh ensim fosfolipase A2. Tahap pertama ini


(40)

Sejak terbentuk asam arakhidonat terjadi dua jalur proses metabolisme :

1. Cara metabolisme melalui siklooksigenase yang berakhir dengan pembentukan prostaglandin, zat ini kemudian dilepaskan dan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi: edema, menimbulkan rasa nyeri lokal, kemerahan (eritema) lokal. Selain itu meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap rangsang nyeri (nosiseptif) 27.

2. Cara metabolisme melalui lipo-oksigenase yang berakhir dengan terbentuknya leukotrien. Leukotrien meningkatkan daya kemotaktik polinuklear dan menghasilkan radikal bebas dengan akibat terjadinya lesi

27

.

2.11 ENZIM CYCLOOXYGENASE (COX)

Enzim Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakidonat. PG memediasi sejumlah besar proses di tubuh termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi renal, dan aggregasi platelet. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin. Hal ini menghasilkan kedua efek, baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang ubiquitously dan constitutive

diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat di mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti aggregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Keberadaan COX-2 bisa difasilitasi beberapa proses onkogenik, termasuk invasi tumor, angiogenesis dan metastase. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral 14,35.


(41)

inflamasi

NSAID Pelepasan mediator

Sitokoin, neurokin Algogen

Lokal anastesi Kontrol dari peptide, reseptor dll

Pelepasan transmiter di kornu dorsalis Opioid

Eksitasi transmisi neuron Perangsangan saraf spinal

NYERI

Eksitasi sensori neuron

Kerusakan saraf Kerusakan akibat insisi

Gambar 3. Tempat kerja obat analgetik27

Obat AINS menghambat siklooksigenase, tanpa menghambat proses lipo-oksigenese dan menginduksi peningkatan ambilan asam arakhidonat yang dilepaskan oleh membran polinuklear, dengan tujuan mengurangi fraksi-fraksi utama yang dapat dimetabolisme oleh enzim lipooksigenase 27.


(42)

(43)

MEMBRAN FOSFOLIPID

(-)

Fosfolipase A2 Kortikosteroid

ASAM ARAKHIDONAT

Enzim siklooksigenase Enzim lipooksigenase

(-)

AINS

PGE2 Prostasiklin Tromboksan A2 Leukotrien

Ket (+) = memperkuat, (-) = penghambatan

Gambar 4. Pengaruh AINS dan Kortikosteroid25

2.12 KETOROLAK

Ketorolak adalah suatu OAINS yang menunjukkan efek analgesia yang potensi tetapi hanya memiliki aktifitas antiinflamasi yang moderat bila diberi secara intramuscular atau intravena. Obat ini dipakai sebagai analgesia paska pembedahan baik sebagai obat tunggal (kurang nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen dengan opioid. Ketorolak mempotensiasi aksi antinociceptif dari opioid. Hal yang berlawanan efek analgesia opioid tergantung dosis, ketorolak dan obat AINS lain menimbulkan efek pada analgesia paska


(44)

pembedahan. Ketorolak merupakan struktur alfa pengganti dari asam arilasetik, dimana secara struktural kimia berhubungan dengan indometasin 7,8,9,12,36.

Penggunaan ketorolak sebagai obat analgesia tunggal intraoperatif dihubungkan dengan meningkatnya insiden bergeraknya pasien pada saat sayatan. Ketorolak 30 mg IM menghasilkan analgesia yang sebanding dengan 10 mg morfin atau 100 mg petidin8. Keuntungan ketorolak sewaktu induksi adalah tidak adanya depresi pada kardiovaskuler maupun pernafasan. Tidak seperti opioid, ketorolak sedikit atau tidak mempengaruhi saluran empedu7,9,36.

2.12.1 Farmakokinetik

Setelah injeksi intramuscular, maksimum plasma konsentrasi tercapai pada 30 sampai 60 menit, dan waktu paruh eliminasi sekitar 6-8 jam. Mula kerjanya adalah 10 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Bioavailibilitas dari ketorolak dilaporkan sekitar 81-100 %. Metabolisme berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di hati. Obat dan hasil metabolitnya akan dikeluarkan melalui urin. Ikatan dengan protein melebihi 99 % dan bersihan obat ini menurun dibandingkan opioid. Bersihan menurun sebanding dengan bertambahnya usia pasien, dan dosis lebih kecil pada pasien yang lebih muda 34.

2.12.2 Farmakodinamik

Bekerja di jalur siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang kemudian menghambat sintesis dari prostaglandin dan menghasilkan efek analgesia.

a. Efek analgesia

Pada percobaan di beberapa hewan animal, mempunyai efek analgesia 200-800 kali lebih poten dibandingkan dengan aspirin, indometasin, naproksen dan fenil butazon.


(45)

Mempunyai anti inflamasi yang kurang dibandingkan dengan efek analgesinya. Efek antiinflamasinya hampir sama dengan indometasin.

c. Efek pada fungsi platelet dan hemostasik

Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen mencetuskan agregasi platelet. Tidak ada interaksi dengan heparin dan menimbulkan efek pada waktu trombin dan waktu protrombin.

d. Efek pada mukosa gastrointestinal

Tergantung pada dosis untuk menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal 36.

2.12.3 Efek Samping

Masa perdarahan dapat meningkat pada pemberian ketorolak intravena

dosis tunggal pada pasien yang mendapat anestesi spinal (blok setinggi Th 6) tetapi tidak pada pasien yang di anestesi umum. Perbedaan respon ini disebabkan reflek status hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin karena stres pembedahan selama anestesi umum dibandingkan anestesi spinal36.

Bronkospasme yang mengancam nyawa dapat terjadi setelah pemberian ketorolak pada pasien nasal poliposis, asma, dan sensitif dengan aspirin. Toleransi silang antara aspirin dengan obat AINS lain sering terjadi. Ketorolak sedikit menyebabkan keracunan pada ginjal dengan keseimbangan cairan yang adekuat dipertahankan dan fungsi ginjal tidak tergantung pada prostaglandin ginjal. Pasien dengan gagal jantung kongesti, hipovolemia, atau sirosis hepatis melepaskan substansi vasoaktif, dimana prostaglandin merupakan kunci dari pencegahan konstruksi arteri di ginjal, yang bisa menurunkan aliran darah ke ginjal. Peningkatan enzim transaminase hati bisa terjadi pada pasien yang diterapi dengan ketorolak. Iritasi gastrointestinal dan perforasi, mual, sedasi, dan edema perifer dapat menyertai pemberian obat AINS. Pemberian berulang melalui


(46)

intramuscular dapat menimbulkan somnolen sekitar 7 %, nyeri pada tempat suntikan sekitar 2 %, berkeringat sekitar 1 %, sakit kepala, dan pruritus 7,8,12,36.

Gambar 5. Rumus Bangun Ketorolak

2.13 FENTANYL PATCH

Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Sistem transdermal menghantarkan fentanil, dari reservoir dengan jumlah yang hampir konstan per unit waktu. Perbedaan konsentrasi yang timbul antara larutan jenuh obat di dalam reservoir dan konsentrasi yang rendah di dalam kulit mendorong pelepasan obat fentanil bergerak ke arah konsentrasi yang lebih rendah dengan kecepatan yang ditentukan oleh membran pelepas kopolimer dan difusi fentanil melalui lapisan kulit. Meskipun kecepatan aktual penghantaran fentanil ke kulit berbeda selama periode pemakaian 72 jam, tiap sistim dilabel dengan fluks nominal yang mencerminkan jumlah rata-rata obat yang dihantarkan ke sirkulasi sistemik melalui kulit12,37,38,39.

Metabolit utama dari fentanil adalah norfentanil, sedangkan metabolit minornya adalah hidroksipropionil-fentanil dan hidroksipropionil-norfentanil, yang tidak mempunyai aktivitas farmakologi. Sejumlah kecil alkohol yang


(47)

tergabung dalam sistem peningkatan kecepatan fluks obat melalui membran kopolimer yang membatasi kecepatan dan meningkatkan permeabilitas kulit terhadap fentanil 12,37,38,39.

2.13.1 Komponen dan Struktur Sistim

Jumlah fentanil yang dilepas dari tiap sistim per jam sebanding dengan luas permukaan ( 25 μg/jam per 10 cm2 ). Komposisi per unit area dari seluruh ukuran sistim adalah identik. Tiap sistim juga mengandung 0,1 mL alkohol USP per 10 cm 2, 37,38.

Tabel 2.13-1. Dosis dan ukuran Fentanyl Patch

Dosis *(μg/jam) Ukuran (cm2) Kadar fentanyl (mg)

12** 5 1,25

25 10 2,5

50 20 5

75 30 7,5

100 40 10

* kecepatan penghantaran nominal per jam

** kecepatan penghantaran nominal adalah 12,5 μg/jam.36

Fentanyl patch merupakan sebuah unit rectangular transparan yang terdiri dari satu lapisan protektif dan empat lapisan fungsional. Dimulai dari permukaan terluar kearah permukaan yang berbatasan dengan kulit. Fentanyl patch yang ada di pasaran ada 2 jenis, yaitu dengan reservoir dan dengan matriks 36.


(48)

Lapisan film polyester panahan :

1. Membran kopolimer etilen-vinil asetat yang mengatur kecepatan penghantaran fentanil pada permukaan kulit.

2. Fentanil yang mengandung perekat silikon.

3. Lapisan protektif yang menutupi lapisan adesif 37,38.

Fentanyl patch dengan matriks, mengandung glikol dipropilen yang

bergabung dengan poliakrilat. Lebih kecil, tipis dan fleksibel yang memungkinkan pemakaiannya lebih nyaman, dan kemungkinan terjadinya kebocoran obat dan keracunan lebih kecil 36,37.

2.13.2 Farmakokinetik Fentanyl Patch

Setelah penempelan sistim fentanyl patch, konsentrasi fentanil serum akan meningkat mencapai 12-18 jam sampai tercapai tahap plateu. Bila sistim ini dibiarkan tertinggal menempel, konsentrasi fentanil hanya akan meningkat sedikit setelah 24 jam. Setelah pelepasan sistim, konsentrasi fentanil akan menurun perlahan, dengan waktu paruh terminal mencapai 15-21 jam 2, 37,38.

2.13.3 Farmakodinamik Fentanyl Patch

Opioid memediasi 3 reseptornya, µ, β, dan δ, dengan reseptor µ dibagi menjadi 2 yaitu µ1 dan µ2. Aktivasi dari setiap reseptor akan memberikan efek analgesik supraspinal dan spinal, menurunkan motilitas gastrointestinal, sedasi dan depresi pernafasan. Fentanil mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptor µ, dan rendah pada δ dan β. Sifat analgesi dari fentanil 75 sampai 100 kali dari morfin, perbedaan ini kemungkinan karena sifat lipofilik dari fentanil yang memungkinkan lebih cepat melewati sawar darah otak 37.


(49)

2.14 LAPAROTOMI

Merupakan istilah yang digunakan untuk tindakan operasi yang membuka kavum abdomen. Istilah diperkenalkan oleh Thomas Bryant, seorang ahli bedah yang berasal dari Inggris. Berasal dari bahasa Yunani, “lapara” yang artinya jaringan lunak yang berada antara tulang iga dan tulang panggul. Sedangkan “tomi” adalah tindakan insisi pada atau memotong pada bagian tersebut. Tindakan laparotomi bisa merupakan tindakan untuk mendiagnosa ataupun sebagai tindakan untuk menghilangkan gangguan yang menjadi dasar tindakan laparotomi 39.

2.15 INSTRUMEN PENGUKUR NYERI

Alat pengukur derajat nyeri yang paling sering digunakan adalah Verbal Descriptor/Rater Scale (VDS/VRS), Numerical Rating Scale (NRS), dan Visual

Analogue Scale (VAS) dikemukakan pada tahun 1948 oleh Keele, didasarkan

pada 3-5 tingkat nyeri numerik yang menggambarkan kata “tidak nyeri”, “nyeri sedikit” (slight), “nyeri ringan”, “nyeri sedang”, “nyeri berat”. Sementara itu Downie dkk pada tahun 1978 menggambarkan NRS sebagai garis horizontal atau vertikal yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan “10” menandakan nyeri yang berat 40.

NRS sering dipakai oleh peneliti sebagai alat ukur tunggal maupun bersama-sama dengan VDS. Alat ukur VAS dikembangkan 70 tahun lalu dan mungkin saat ini menjadi yang paling luas digunakan untuk mengukur nyeri. Skala ini berupa garis lurus, biasanya panjangnya 100 mm, atau kadang-kadang 150 dan 160 mm. Ujung kiri garis ini melambangkan “tidak ada nyeri sama sekali” dan ujung kanannya melambangkan “nyeri yang tak tertahankan”. Pasien diminta untuk menandai satu titik pada garis itu yang menggambarkan tingkat nyeri yang dia rasakan. Intensitas nyeri ini diukur dari ujung garis yang paling kiri sampai tanda yang ditunjuk pasien, biasanya menggunakan satuan militer. Tingkat nyeri ini lalu dicatat sebagai nomor antara 0 sampai 100. Selain posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan vertikal, dan hasilnya tetap valid. Pada


(50)

umumnya VAS mudah digunakan, namun pada periode paska bedah VAS agak sulit untuk digunakan karena efek zat anestesia, mual dan penglihatan kabur 40. Dalam kajian pustakanya Coll dkk merekomendasikan VAS sebagai alat ukur nyeri paska bedah, bahkan untuk operasi rawat sehari (day surgery). Rekomendasi ini dikeluarkan mengingat alat ini telah digunakan secara luas, kualitasnya secara metodologis baik dan penggunaannya mudah, hanya menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi persoalan 41.

Willianson dkk melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan memberikan kesimpulan antara lain : VAS secara statistik paling kuat strukturnya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio, perlu dicatat bahwa data VAS tidak selalu terdistribusi normal dan pasien tidak selalu menggunakan seluruh area skala, penggunaan VAS berulang dapat bervariasi sebanyak 20%, tingkat kesalahan penggunaan VAS dapat dikurangi dengan penjelasan yang baik kepada pasien, pasien dengan keterbatasan kognitif lebih sulit melaporkan rasa nyerinya, termasuk pula lebih sulit menggunakan VAS sebagai alat ukurnya, orang tua dan anak-anak yang kurang memiliki kemampuan abstrak lebih menyukai alat ukur verbal dari pada VAS.40,41,42

Nilai VAS antara 0 sampai 40 (skala 0-100) dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai 5-44 berat. Nilai VAS 50 atau lebih membuat pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesik penyelamat (rescue analgetic).41,42,43

Perubahan nilai VAS juga turut mempengaruhi kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 (skala 0-100) atau 15% dirasakan sebagai “nyeri menurun sedikit”. Penurunan 20-30 atau rasio 33% dianggap sebagai penurunan nyeri secara bermakna bagi pasien. Penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai penghilangan nyeri yang substansial.42,43


(51)

2.16 KERANGKA KONSEP

Efek samping

Luka operasi

(sel yang cedera merangsang nosiseptor)

Inflamasi

NSAID Ketorolak

Nyeri setelah pembedahan

OPIOID Fentanyl patch

Sentral

Nilai VAS Perifer

Pembedahan


(52)

3. METODE PENELITIAN

3.1 DESAIN

Penelitian ini menggunakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda. Acak dilakukan dengan memakai cara randomisasi blok.

3.2 TEMPAT DAN WAKTU

3.2.1 Tempat

Rumah Sakit (RS) Umum Pusat H. Adam Malik, RUMKITDAM I/BB Putri Hijau dan RS Haji Mina Medan.

3.2.2 Waktu

Nopember sampai dengan Desember 2010

3.3 POPULASI DAN SAMPEL

3.3.1 Populasi

Seluruh pasien yang menjalani pembedahan laparotomi dengan anestesi umum di RSUP H. Adam Malik, RUMKITDAM I/BB Putri Hijau dan RS Haji Mina Medan.

3.3.2 Sampel

Seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 KRITERIA INKLUSI, EKSKLUSI DAN PUTUS UJI

3.4.1 Kriteria inklusi

1. Usia 18 – 50 Tahun


(53)

3. Semua tindakan laparatomi

4. Masa perdarahan dan pembekuan dalam batas normal

5. Berat badan ideal sesuai BMI (18,5-24,9)

6. Bersedia ikut dalam penelitian

3.4.2 Kriteria Ekslusi

1. Riwayat alergi terhadap obat yang diteliti

2. Riwayat / menderita ulkus peptikum dan gangguan faal hemostasis dan penderita / riwayat penyakit asma

3. Riwayat pemakai obat-obatan penghilang nyeri yang berlama-lama

3.4.3 Kriteria putus uji

1. Masa pembedahan lebih dari 4 jam.

2. Paska operasi masih terintubasi lebih dari 4 jam setelah tindakan pembedahan.

3.5 BESAR SAMPEL

Besar sampel dihitung dengan rumus :

Æ 10 sampel • Simpang baku = 0,80

Clinical judgment = 1 • Kesalahan tipe I , α = 1,960 • Kesalahan tipe II, β = 1,282


(54)

3.6 CARA KERJA

3.6.1 Persiapan Pasien dan Obat

a.Setelah mendapat informed consent dan disetujui oleh komisi etik penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

b. Sampel dibagi secara acak menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok A yang mendapat ketorolak 30 mg + fentanyl patch 12,5 µg/jam, kelompok B mendapat ketorolak 30 mg + fentanyl patch 25 µg/jam da kelompok C mendapatkan ketorolak 30 mg + plasebo patch. Lalu dilakukan randomisasi tersamar ganda oleh relawan yang sudah dilatih.

c.Randomisasi dilakukan dengan cara blok, terdiri dari 6 subjek (6 blok) dengan jumlah kemungkinan kombinasi sekuens sebanyak 20 (terlampir). Kemudian dijatuhkan pena di atas angka random. Angka yang ditunjuk oleh pena tadi merupakan nomor awal untuk menentukan sekuens yang sesuai. Kemudian pilihlah 10 angka dengan digit 2 ke bawah dari angka pertama tadi sampai diperoleh jumlah sekuens yang sesuai dengan besarnya sampel. Kemudian sekuens yang diperoleh disusun secara berurutan sesuai dengan nomer amplop.

d. Obat disiapkan oleh relawan yang melakukan randomisasi (peneliti dan pasien tidak mengetahui). Setelah melakukan randomisasi dan menyiapkan obat, relawan tersebut memberikan ke peneliti di dalam amplop putih.

3.6.2 Pelaksanaan Penelitian

1. Obat disiapkan oleh relawan terlatih, dimana:

Kelompok A : diberikan ketorolak 30 mg + fentanyl patch 12,5 µg/jam


(55)

Kelompok C : diberikan ketorolak 30 mg + plasebo patch

2. Cara pemakaian fentanyl patch: buka bungkus obat kemudian kupas plastik pelapisnya, kemudian tempelkan ke daerah bahu kanan atau kiri, dipastikan tidak ada rambut di daerah tersebut, kemudian tekan telapak tangan selama 30 detik. Kemudian cuci tangan sampai bersih.

3. Sebelum pasien memasuki kamar bedah, kepada pasien dilakukan pemasangan infus RL dengan abocath no. 18 G, threeway, dan infuse set

makro. Kemudian dilakukan penggantian cairan puasa dengan hitungan 4 cc/ jam untuk 10 kg pertama, 2 cc/jam untuk 10 kg kedua, 1 cc/jam untuk 10 kg ketiga, disesuaikan dengan lamanya pasien tersebut dipuasakan.

4. Dipersiapkan mesin anestesi, lampu, meja operasi, alat-alat dan obat-obatan untuk tindakan anestesi umum

5. Kemudian pasien dibawa masuk ke kamar bedah, kemudian dilakukan pemasangan alat monitor. Lalu dilakukan pengukuran tekanan darah, laju nadi, laju nafas, saturasi oksigen dan temperatur tubuh.

6. Pasien menjalani operasi dengan anestesi umum dengan rumatan N2O + O2+ titrasi gas inhalasi yang sudah standar dilakukan di RS Haji Adam Malik.

7.

Setelah operasi berakhir pasien diobservasi di ruang pulih sampai sadar penuh. Derajat kesadaran pasien dinilai dengan Aldrette Scoring

(modifikasi).

Safety Criteria

Pernafasan 0 Membutuhkan bantuan ventilasi

1 Laju nafas > 20 atau <10 kali /menit

2 Normal laju nafas 12-15 kali/menit.


(56)

1 Pucat dengan tangan dingin

2 Hangat dan merah

Kekuatan otot 0 Tidak bisa mengangkat kepala atau ekstremitas dengan perintah

1 Bisa menggerakkan ekstremitas tetapi tidak bisa mengangkat kepala

2 Bisa mengangkat kepala selama 5 detik

Sirkulasi 0 Tekanan darah meningkat atau menurun 50% dari tekanan darah pre operasi atau nadi >150 atau <45

1 Tekanan darah meningkat atau menurun 20% dari tekanan darah pre operasi

2 Tekanan darah dan nadi stabil tidak ada perubahan selama 45 menit

Sedasi 0 Tidak ada respon sewaktu bahu digoyang

1 Bangun bila dirangsang

2 Sadar penuh

Temperatur 0

Temperatur aksila < 35⁰C

1

Temperatur aksila 35-36⁰C

2

Temperatur aksila >36⁰C

Nilai normal AS ≥ 10- 12

a. Dilakukan pencatatan VAS, waktu, dan tanda vital jam ke 8, 12, 16, 24, 36, 40, 48 jam setelah pembedahan.

b. Di ruang rawatan, semua pasien menerima obat analgesik ketorolak 30 mg setiap 8 jam terhitung sejak pemberian ketorolak yang pertama.

c. Pasien mendapatkan tambahan analgetik bila VAS > 4 analgetik yang diberikan fentanyl 0,5 – 1 mg/kg/iv.


(57)

(58)

3.7 KERANGKA KERJA

POPULASI

GA*

KELOMPOK C KETOROLAK 30 MG

+ Plasebo patch

KET: *= GENERAL ANASTESI AS** OPERASI BERAKHIR JAM 0 Pra Intubasi 15’ KRITERIA GA * VAS,TD,NADI,LAJU NAFAS KETOROLAK 30

SAMPEL KRITERIA

AS**

KELOMPOK B KETOROLAK 30 MG +

fentanyl patch 25μg/jam

GA*

AS*

• Vital sign: TD, HR, RR

• VAS paska bedah jam ke 8,12,24,36,48

• Skor Ramsay

PREMEDIKASI : MIDAZOLAM 0,1 MG/KGBB

PETIDIN 1 MG/KGBB

15’

ANALISA DATA

KELOMPOK A

Ketorolak 30 mg + fentanyl patch12,5μg/jam

8 JAM


(59)

3.8 IDENTIFIKASI VARIABEL

3.8.1 Variabel bebas : 1.Ketorolak 30 mg

2.Fentanyl patch 12,5 µg/jam

3.Fentanyl patch 25 µg/jam

3.8.2 Variabel tergantung :

1.Visual Analogue Score (VAS)

2.Hemodinamik (Tekanan darah, Laju nadi, Laju Nafas)

3.Efek samping (mual, muntah, pruritus, sedasi dan depresi nafas)

3.9 RENCANA MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA

1.Setelah data yang diperlukan telah terkumpul, kemudian data tersebut diperiksa kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah. Lalu data tersebut diberikan pengkodean untuk memudahkan dalam mentabulasi. Data ditabulasi ke dalam master tabel dengan menggunakan software Microsoft Office Excel 2007. Setelah data ditabulasi, kemudian diolah dengan menggunakan software SPSS 17,0 for windows.

2.Data numerik ditampilkan dalam nilai rata-rata + SD (standard deviasi), sedangkan data katagorik disajikan dalam bentuk jumlah (persentase).

3.Uji kenormalan data numerik digunakan uji Kolmogorof-Smirnov test, sedangkan untuk data katagorik digunakan uji chi-square.

4.Uji hipotesa menggunakan uji ANOVA, sedangkan uji Post Hoc menggunakan uji Benferroni.


(60)

5.Interval kepercayaan 95% dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna secara signifikan.

3.10 ALAT DAN BAHAN 3.10.1 Alat yang digunakan

a. Alat monitor tekanan darah non invasif otomatik.

b. Alat monitor EKG

c. Kanul vena 18

d. Jarum suntik 10 cc

e. Laringoskop set

f. Pipa endotrakea sesuai aturan

g. Infus set

h. Pencatat waktu (stopwatch)

i. Alat tulis dan formulir penelitian

3.10.2 Bahan yang digunakan 1. Cairan ringer laktat

2. Aquadest

3. Fentanyl patch 12,5 µg/jam dan fentanyl patch 25 µg/jam

(Durogesic patch®)

4. Ketorolak ampul (1ampul = 30 mg)

5. Midazolam

6. Petidin


(61)

8. Rocuronium (Roculax®)

3.11 DEFINISI OPERASIONAL

1. Ketorolak adalah NSAID yang menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang moderat bila diberi secara im atau iv. Obat ini dipakai sebagai analgesia paska pembedahan baik sebagai obat tunggal (kurang nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen dengan opioid. Onsetnya mulai 15 menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Dosis orang dewasa < 65 tahun 60 mg dosis tunggal im, 30 mg dosis tunggal iv. Pasien > 65 tahun, gangguan ginjal, dan berat badan < 50 kg 30 mg dosis tunggal im, 15 mg dosis tunggal iv.35

2. Visual analogue score (VAS) adalah alat yang sudah sering digunakan untuk mengukur nyeri. Caranya dengan menanyakan kepada pasien dan memintanya untuk menunjukkan intensitas nyerinya pada sepanjang garis horizontal 100 mm, dan tingkat nyerinya diukur mulai dari sisi kiri. Hasilnya dinilai mulai dari 0 mm (tidak nyeri) sampai 100 mm (nyeri sangat hebat).36

Gambar 9. Kartu penilaian VAS dengan ekspresi

3. Fentanyl patch adalah fentanil yang diberikan dengan penyerapan melalui kulit secara konstan sesuai dengan diameter patch yang ditempelkan.

4. Laparotomi merupakan istilah yang digunakan untuk tindakan operasi yang membuka kavum abdomen. Tindakan laparotomi bisa merupakan tindakan


(62)

untuk mendiagnosa ataupun sebagai tindakan untuk menghilangkan gangguan yang menjadi dasar tindakan laparotomi

5. Anestesi umum adalah tindakan pembiusan atau penghilangan kesadaran baik dengan obat anestesi inhalasi, intra vena, intra muskular ataupun rektal.

6. Aldrette Scoring adalah kriteria untuk menilai kesadaran dan pengeluaran pasien dari ruang rawat setelah tindakan anestesi.

3.12 MASALAH ETIKA

Kedua obat yang diteliti ini memiliki efek samping yang dapat diantisipasi. Dari penelitian yang sudah dilakukan didapatkan efek samping fentanil dan ketorolak berupa penurunan laju nafas, alergi di kulit, ulkus peptikum, masa perdarahan yang memanjang, gangguan pada ginjal. Bila efek samping ditemukan pemakaian obat langsung dihentikan dan pasien di terapi sesuai penyakit yang ditimbulkannya. Bila pada pasien dijumpai mual muntah maka diberikan ondansetron 8 mg intravena. Bila pasien pruritus diberikan fenoramin maleat 25 mg intravena. Bila terjadi depresi nafas maka fentanyl patch

segera dilepaskan, kemudian diobservasi selama 2 jam, bila tidak ada perubahan diberikan nalokson 100 mg intravena dan diperiksa analisa gas darah.

Sebelum penelitian kepada pasien dilakukan informed consent. Penelitian ini aman dilaksanakan pada manusia karena kedua obat sudah lama dipakai sebagai analgesia paska pembedahan dan terbukti aman bila tidak ada kontra indikasi pada pasien yang memakainya. Pada penelitian ini dosis obat yang digunakan adalah dosis terapeutik. Selain itu penelitian dengan jenis obat yang sama sudah sering dilakukan pada pusat-pusat pendidikan lain.


(63)

4.

5. BAB 4

6. HASIL PENELITIAN

Prosedur pengambilan data penelitian dilakukan selama 2 bulan dari Nopember sampai Desember 2010, mencakup 30 subjek yang terpilih secara acak dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi laparatomi dengan anestesi umum sesuai dengan prosedur penelitian. Dari 30 pasien yang menjadi subjek penelitian dibagi dalam 3 kelompok perioperatif masing-masing 10 pasien dalam tiap kelompok. Kelompok A mendapatkan ketorolak 30 mg iv per 8 jam dan fentanyl patch 25 µg/jam, kelompok B mendapatkan ketorolak 30 mg iv per 8 jam dan fentanyl patch 12,5 µg/jam, dan kelompok C mendapatkan ketorolak 30 mg dan placebo patch. Tidak ada subjek yang keluar dari prosedur penelitian. Setelah dilakukan pemasukan dan pengolahan data maka didapatkan hasil-hasil penelitian sebagaimana ditampilkan dalam bab ini.

6.1 KARAKTERISTIK UMUM

Karakteristik umum subjek penelitian dinilai dari umur, tinggi badan, berat badan, BMI, suku, pendidikan dan PS-ASA. Hasil penelitian terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 6.1-1. Karakteristik Umum

Kelompok Variabel

A B C p

Umur 42,80 (4,82) 42,90 (6,77) 39,60 (10,78) 0,57*(NS)

Tinggi Badan 1,54 (0,03) 1,51 (0,03) 1,54 (0,05) 0,23*(NS)

BMI 26,10 (2,01) 24,44 (3,70) 24,35 (2,98) 0,12*(NS)

Berat Badan 62,70 (6,32) 56,00 (7,74) 57,80 (7,87) 0,35* (NS) *


(64)

Umur pasien yang menjadi subjek penelitian pada ketiga kelompok dari yang paling muda umur 27 dan tertua usia 50 tahun dengan rata-rata 42,80 pada kelompok A dan 42,90 pada kelompok B serta kelompok C rata-rata 39,60. Dengan uji ANOVA didapat nilai p= 0,57 berarti tidak ada perbedaan bermakna antar 3 kelompok tersebut.

Indeks massa tubuh berkisar 19,53 hingga 31,11 dengan rata-rata 26,10 (SD 2,01) pada kelompok A dan rata-rata 24,44 (SD 3,70) pada kelompok B, serta rata-rata 24,35 (SD 2,98) pada kelompok C dengan uji ANOVA didapati nilai p = 0,12 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok.

6.2 TINGKAT PENDIDIKAN DAN SUKU

Karakteristik pendidikan dan suku pada subjek penelitian ini terlihat pada tabel 4.2

Tabel 6.2-1. Tingkat Pendidikan

Kelompok Jenis

pendidikan A B C Total P

SD 1 (3,3%) 2 (6,7%) 0 (0 %) 3 (10,0%)

SMP 3 (10,0%) 2 (6,7%) 3 (10,0 %) 8 (26,7%)

SMA 5 (16,7%) 6 (20,0%) 6 (20,0%) 17 (56,7%) 0,60*(NS)

D3 0 (0%) 0 (0 %) 1 (3,3%) 1 (3,3 %)

SARJANA 1 (3,3%) 0 (0 %) 0 (0%) 1 (9,5%) Total 10 (33,3%) 10 (33,3%) 1 (100%) 30 (100%)

*


(65)

Tabel 6.2-2. Suku

Kelompok Jenis suku

A B C Total P

BATAK 2 (6,7%) 1 (3,3%) 5 (16,7%) 8 (26,7%)

KARO 0 (0,0%) 1 (3,3%) 2 (10,0%) 3 (10,0%)

MINANG 1 (3,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (3,3%) 0,14*(NS)

JAWA 7 (23,3%) 8 (26,7%) 3 (10,0%) 18 (60,0 %)

Total 10 (33,3%) 10 (33,3%) 10(33,3%) 30 (100%) *

Uji Chi-Square

Jenis pendidikan terbanyak pada penelitian ini adalah SMA pada semua kelompok. Dimana pada kelompok A sebanyak 16,7%, pada kelompok B sebanyak 20 %, dan pada kelompok C sebanyak 20 %. Jenis pendidikan dianalisa dengan uji chi-square untuk menilai perbedaan proporsi antara ketiga kelompok penelitian didapatkan p = 0,60 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada jenis pendidikan di antara ketiga kelompok.

Jenis suku terbanyak pada penelitian ini adalah jawa pada kelompok A dengan 23,3 %dan pada kelompok B yang terbanyak adalah jawa dengan 26,7 %, serta kelompok C yang terbanyak adalah suku batak dengan 16,7 %. Jenis suku dianalisa dengan uji chi-square untuk menilai perbedaan proporsi antara kedua kelompok penelitian didapatkan p = 0,14 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada jenis suku di antara ketiga kelompok.

6.3 JENIS OPERASI

Karakteristik jenis operasi yang dilaksanakan pada subjek penelitian ini adalah kistektomi, surgikal staging, transabdominal hysterektomi (TAH), laparaskopi, dan internal debulking. Hasil penelitian terlihat pada tabel 4.3


(66)

Tabel 6.3-1. Jenis Operasi

Kelompok Jenis operasi

A B C Total P

Kistektomi 1 (3,3 %) 2 (6,7%) 0 (0 %) 3 (10 %)

Surgikal Staging

5 (16,7%) 4 (13,3%) 3 (10,0%) 12 (40,0%)

TAH 4 (13,3%) 4 (13,4%) 3 (10%) 11 (36,7%) 0,19*(NS)

Laparaskopi 0 (0 %) 0 (0 %) 3 (10,0%) 3 (10,0%)

Internal Debulking

0 (0 %) 0 (0 %) 1 (3,3%) 1 (3,3%)

Total 10 (33,3%) 10 (33,3%) 10(33,3%) 30 (100%) *

Uji Chi-Square

Jenis operasi terbanyak pada penelitian ini adalah surgikal staging dan TAH pada kelompok A dengan masing-masing 13,4 % dan 13,3 %, dan pada kelompok B yang terbanyak adalah surgikal staging dengan 16,7 %, serta pada kelompok C jenis operasinya adalah surgikal staging, TAH dan laparaskopi. Jenis operasi dianalisa dengan uji chi-square untuk menilai perbedaan proporsi antara kedua kelompok penelitian didapatkan p = 0,19 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada jenis operasi di antara ketiga kelompok.

6.4 LAMA ANESTESI DAN PS-ASA

Karakteristik lama anestesi dan PS-ASA pada penelitian ini terlihat pada tabel 4.4 dibawah ini

Tabel 6.4-1. Karakteristik Lama Anestesi dan PS-ASA

Kelompok Total

PS-ASA

A B C P

Lama Anestesi ASA 1

140,10 (56,49) 7 (23,3 %)

165 (37,86) 9 (30,0%) 132,90 (44,00) 7 (23,3%) 146 (47,24) 23 (76,7%) 0,29*(NS) 0,47**(NS)

ASA 2 3 (10,0%) 1 (3,3%) 3 (10,0%) 7 (23,3%) Total 10 (100%) 10 (100%) 10 (100%) 30 (100%)

*Uji ANOVA

**

Uji Chi-Square

Lama anestesi 114 – 228 menit dengan rerata 140,10 (SD 56,49) pada kelompok A. Pada kelompok B dengan rerata 165 (SD 37,86) serta pada


(67)

kelompok C reratanya adalah 132,9 (SD 44,0) diuji dengan tes ANOVA didapatkan nilai p = 0,29. Berarti tidak ada perbedaan bermakna pada ketiga kelompok.

Fisikal status PS-ASA pada kedua kelompok ini adalah 1 dan 2, pada kelompok A yang terbanyak adalah PS-ASA 1 dengan 23,3% dari semua sampel dan pada kelompok B juga PS-ASA 1 dengan 30%, serta pada kelompok C adalah PS-ASA 1 dengan 23,3 %. PS-ASA diuji dengan chi-square dengan nilai p

= 0,47. Berarti tidak ada perbedaan bermakna pada PS-ASA di antara kedua kelompok.

6.5 KARAKTERISTIK KLINIS HEMODINAMIK BERDASARKAN

WAKTU PENGAMATAN

Karakteristik klinis perubahan hemodinamik berdasarkan waktu pengamatan pada ketiga kelompok dengan menggunakan uji ANOVA dapat dilihat pada grafik 4.1 sampai dengan 4.3.

Karakteristik hemodinamik rata-rata tekanan darah sistolik pada ketiga kelompok dimulai dari preoperasi sampai 48 jam pengamatan, tidak terdapat perbedaan diantara ketiga kelompok dengan nilai Benferroni 1,00.

Grafik 6.5-1. Grafik rata-rata sistolik per waktu pengamatan

R

ata-r

ata s

is

tol

ik

(mmH

g)


(1)

LAMPIRAN 5 : LEMBARAN OBSERVASI PASIEN PERIOPERATIF

Nama :

No. Med. Record : TB :

Umur : BB :

Jenis kelamin : Suku:

Alamat : Pendidikan ;

Diagnosis : Tindakan : PS ASA :

Mulai anastesi : selesai :

Mulai operasi : selesai :

Premed dengan : mg iv/im

Induksi dengan : mg iv

Maintenance :

VAS

Post op Pre op

8 jam 12 jam 16 jam 24 jam 32 jam 40 jam 48 jam

EFEK SAMPING YA TIDAK JAM KE

MUAL MUNTAH HALUSINASI


(2)

65

SEDASI

DEPRESI NAFAS


(3)

Post Operasi Pre Operasi

8 jam 12 jam 16 jam 24 jam 32 jam 40 jam 48 jam

No

TD N RR TD N RR TD N RR TD N RR TD N RR TD N RR TD N RR TD N R


(4)

67 Universitas Sumatera Utara


(5)

LAMPIRAN 6 : KOMITE ETIK


(6)

LAMPIRAN 7 : TABEL ANGKA RANDOM

20 - 29 A C B 10 – 19 B C A 0 - 9 A B C Nomor Sekuens

69 Universitas Sumatera Utara


Dokumen yang terkait

Perbandingan Efek Parasetamol 1 gr/6 jam Intravena dan Ketorolak 30 mg/6 jam Intravena Untuk Penanganan Nyeri Paska Pembedahan Seksio Sesaria Dengan Anestesi Regional Blok Subaraknoid

1 60 119

Perbandingan Efektivitas Kombinasi Fentanyl Patch 12,5 µg/jam dan 25 µg/jam dengan Ketorolak 30 mg Intravena pada Pascabedah Ortopedi Ekstremitas Bawah | Rini | Jurnal Anestesi Perioperatif 823 3040 1 PB

0 0 8

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 22

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 4

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 14

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

1 1 27

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 6

Perbandingan efek parasetamol 1 gr 6 jam intravena dan Ketorolak 30 mg 6 jam intravena untuk penanganan nyeri paska pembedahan seksio sesaria dengan anestesi regional blok subaraknoid

0 0 13

Perbandingan Efektivitas antara Gabapentin 600 mg dan Gabapentin 900 mg Kombinasi dengan Ketorolak 30 mg 8 Jam sebagai Analgesia Pascabedah pada Total Abdominal Histerektomi dengan Anestesi Umum | Camary | Jurnal Anestesi Perioperatif 898 3274 1 PB

0 0 7

Efek Ketorolak 30 Mg Intravena Sebagai Preemptive Analgesia Pada Operasi

0 0 51