BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kelompok lanjut usia lansia merupakan salah satu populasi terbesar yang menempati bumi ini. Dari 7 miliar populasi manusia yang menghuni bumi, 1
miliar di antaranya adalah penghuni lansia. Meningkatnya jumlah populasi di dunia ini tidak terlepas dari meningkatnya harapan hidup manusia yang kini
mencapai usia rata-rata 77 tahun Wahyuningsih, 2011. Melalui perhitungan Badan Pusat Statistik BPS pada tahun 2010 ditemukan bahwa jumlah penduduk
lansia di tanah air Indonesia sendiri adalah sekitar 23.992.553 jiwa 9,77 dari
total jumlah penduduknya dan bahkan Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk lansia terbanyak keempat setelah negara RRC, Amerika
Serikat dan India Wahyuningsih, 2011. Begitu besarnya jumlah penduduk lansia di Indonesia, kualitas pelayanan
sosial terhadap lansia yang tersedia di Indonesia seharusnya lebih baik dibandingkan kualitas pelayanan sosial di beberapa negara lain. Faktanya, ada
sekitar 24 juta lansia di Indonesia yang kurang diperhatikan masyarakat dan negara sehingga hidupnya terlantar. Kurangnya perhatian masyarakat dan negara
Indonesia terhadap kaum lansia ini dapat terlihat dari masih banyaknya jalan-jalan atau fasilitas umum yang bertangga-tangga di Indonesia sehingga para lansia
membutuhkan usaha yang lebih banyak untuk menggunakannya di tengah-tengah keterbatasan fisik mereka, berbeda dengan negara tetangga kita Singapura yang
Universitas Sumatera Utara
telah memodifikasi jalanan dan berbagai sarana umumnya dengan pola yang lebih melandai karena menyadari bahwa lansia sudah tidak bisa melompat-lompat
Wahyuningsih, 2011. Kurangnya perhatian dari masyarakat dan negara Indonesia terhadap kaum
lansia sedikit banyak dipengaruhi oleh berbagai prasangka negatif yang dianut secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap kaum lansia. Kuntjoro
mencantumkan beberapa prasangka negatif masyarakat Indonesia terhadap para lansia, yaitu lansia dianggap berbeda dengan orang lain, sukar memahami
informasi baru, dan sebagainya Kuntjoro, 2010. Prasangka-prasangka tersebut membuat masyarakat memandang kelompok lansia sebagai kelompok masyarakat
yang tidak produktif lagi dan hanya menambah beban masyarakat. Hal ini tentu saja dapat membuat masyarakat tidak lagi memberikan pelayanan yang
seharusnya diterima lansia sebagai kelompok yang paling senior. Perlakuan negatif masyarakat juga mempengaruhi lansia untuk menganggap dirinya tidak
berguna lagi dan hanya menjadi beban masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Schmidt dan
Boland, yang kemudian direplikasi oleh Hummert terhadap partisipan kaum muda, kaum paruh baya, dan kaum lansia di Amerika untuk menemukan
prasangka terhadap kaum lansia ditemukan hasil bahwa ada berbagai prasangka negatif dan positif yang diasosiasikan terhadap kaum lansia. Adapun beberapa
prasangka negatif yang ditemukan para ahli ini adalah lansia cenderung lamban berpikir, tidak kompeten, depresi, putus asa, dan sebagainya. Beberapa prasangka
positif yang ditemukan adalah berorientasi pada keluarga, suportif, religius,
Universitas Sumatera Utara
cerdas, bijaksana dan sebagainya Schaie Willis, 2011. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa ternyata masyarakat juga dapat memandang lansia dari
perspektif yang lebih positif, seperti suportif dan bijaksana. Kebijaksanaan wisdom merupakan topik yang telah dibahas sejak zaman
Yunani kuno. Para filsuf besar seperti Aristoteles, Plato, dan sebagainya sampai peneliti dari berbagai disiplin ilmu telah berusaha untuk mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan kebijaksanaan berdasarkan ranah ilmunya masing-masing, namun sampai saat ini belum ada suatu definisi universal untuk menjelaskan apa
yang dimaksud dengan kebijaksanaan. Paul Baltes mendefinisikan kebijaksanaan sebagai keahlian dalam mengatasi permasalahan mendasar yang berkaitan dengan
perilaku dan makna hidup. Menurut Baltes, kebijaksanaan merupakan perpaduan dari intelek dan karakter. Penjelasan Baltes tentang intelek adalah pengetahuan
tentang aspek kognitif, motivasi dan emosi dalam perilaku dan pemaknaan hidup Sternberg Jordan, 2005.
Baltes dan Staudinger merancang lima kriteria yang harus dipenuhi semuanya untuk disebut bijaksana Sternberg Jordan, 2005. Kelima kriteria ini
bertujuan untuk memenuhi dua komponen dasar kebijaksanaan, yaitu intelek dan karakter Sternberg Jordan, 2005. Adapun kelima kriteria kebijaksanaan
tersebut, yaitu memiliki memiliki banyak pengetahuan umum rich factual knowledge, memiliki banyak pengetahuan praktis rich procedural knowledge,
memahami konteks rentang kehidupan manusia lifespan contextualism, relativisme atau toleransi nilai values relativismtolerance, dan menyadari serta
Universitas Sumatera Utara
mampu mengelola ketidakpastian awarenessmanagement of uncertainty Snyder Lopez, 2002.
Siddharta Gautama, atau lebih dikenal dengan gelar Sang Buddha, termasuk orang yang memiliki banyak pengetahuan umum rich factual
knowledge. Melalui proses meditasi yang lama, Siddharta akhirnya berhasil mencapai kebenaran sejati dan memperoleh pengetahuan yang benar tentang
kehidupan manusia, masa lalu, masa kini, dan masa depan dirinya serta dunia Tyle, 2003.
Kebijaksanaan juga dimanifestasikan dalam hidup orang yang memiliki banyak pengetahuan praktis rich procedural knowledge. Florence Nightingale,
seorang wanita Italia yang mempelopori berdirinya sekolah keperawatan, mengikuti panggilan hidupnya dengan menjadi seorang perawat yang dipandang
sebagai pekerjaan paling hina pada masa itu. Pada masa awal kerjanya, keberadaan Florence dan perawat lainnya tidak diterima oleh para dokter militer
di medan perang. Namun, aksi diplomasi yang sering dilakukan Florence dan meningkatnya jumlah pasukan yang terluka dan jatuh sakit akhirnya membuat
Florence berhasil mengubah sikap dokter militer terhadap keberadaan tim perawat tersebut di medan perang Tyle, 2003. Tindakan Florence ini merefleksikan
pengetahuannya tentang cara mendekati orang lain. Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang mengabdikan dirinya pada ilmu
perkembangan anak, menyadari bahwa proses belajar pada anak sangatlah berbeda dengan proses belajar pada orang dewasa. Anak-anak lebih sering belajar
dengan mengeksplorasi lingkungan sekitar daripada memahaminya dalam bentuk
Universitas Sumatera Utara
linguistik. Peran hereditas dan lingkungan memiliki proporsi yang sama dalam proses pembelajaran tersebut. Piaget juga mempercayai bahwa kesan anak tentang
dunia sekitar tidaklah diwariskan secara genetik atau dipelajari, tetapi merupakan konstruksi dari pengalaman hidup dan struktur mentalnya Tyle, 2003.
Pemahaman Jean Piaget tersebut mencerminkan pemahamannya tentang konteks kehidupan manusia lifespan contextualism.
Bunda Teresa adalah seorang biarawati Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk melayani penduduk termiskin di kota Kalkuta, India. Pelayanan
kasihnya terhadap orang miskin di India menuntut pengorbanan untuk lebih mementingkan kesejahteraan orang lain di atas kepentingan pribadinya, apalagi
melayani masyarakat yang berbeda budaya dan agama dengannya. Banyak masyarakat sekitar yang menuduh Bunda Teresa mengubah kepercayaan
pasiennya menjelang ajal mereka. Namun, pada akhirnya mereka dapat melihat sendiri bahwa Bunda Teresa mendukung pasiennya untuk berdoa menurut
kepercayaannya dan Bunda Teresa berdoa menurut ajaran Katoliknya sehingga mereka berdua dapat mempersembahkan doa yang indah kepada Tuhan. Greene,
2004. Hal ini membuktikan bahwa Bunda Teresa sangat menghormati kebudayaan dan agama orang yang dilayaninya tanpa memaksakan nilai
pribadinya. Tindakan beliau ini telah menunjukkan relativisme atau toleransi nilai values relativismtolerance.
Perjuangan Mahatma Gandhi untuk menghapus diskriminasi agama dan rasisme serta memperoleh kemerdekaan bagi negara India dari penjajahan negara
Inggris mengandung beberapa tindakan yang bijaksana. Walaupun Gandhi tidak
Universitas Sumatera Utara
mengetahui kapan India akan merdeka atau bagaimana tanggapan pemerintahan Inggris terhadap gerakan sosial yang dilakukannya, Gandhi terus-menerus
melakukan berbagai gerakan sosial yang penuh perdamaian bersama rakyat India yang dikumpulkannya untuk melawan ketidakadilan Inggris demi mencapai
kemerdekaan India tanpa kekerasan Wolpert, 2001. Tindakan Gandhi tersebut menunjukkan kesadarannya serta persiapannya menghadapi ketidakpastian
awarenessmanagement of uncertainty. Pembahasan tentang kebijaksanaan tentunya tidak terlepas dari
karakteristik orang yang bijaksana. Beberapa tokoh dunia di atas dapat menjadi contoh untuk menyimpulkan bahwa orang yang dipandang bijaksana biasanya
memiliki karakteristik pribadi yang penuh dengan kedamaian dan belas kasih terhadap manusia dan dunia Sternberg Jordan, 2005. Dari contoh tersebut kita
juga dapat melihat bahwa kebijaksanaan umumnya dimiliki oleh individu yang bekerja di bidang kemanusiaan, seperti aktivis sosial dan guru spiritual. Hal ini
mengindikasikan bahwa jenis pekerjaan tertentu berkontribusi terhadap kebijaksanaan seseorang.
Brezina 2010 melakukan sebuah penelitian tentang konsep kepribadian orang yang bijaksana menurut kebudayaan Asia. Berdasarkan hasil penelitian ini
disimpulkan bahwa ada pengaruh budaya, yaitu etnisitas dan agama, terhadap kebijaksanaan individu. Selain itu, konsep kebijaksanaan dalam budaya Timur
lebih berfokus kepada hubungan antarmanusia dan spiritualisme. Sifat altruisme yang diukur dalam penelitian ini juga cenderung identik dengan kriteria lifespan
contextualism yang dikemukakan Baltes. Kedua konsep tersebut menggambarkan
Universitas Sumatera Utara
individu yang bijaksana sebagai orang yang berusaha memandang masalah dari banyak perspektif, yaitu pengaruh berbagai aspek kehidupan manusia lainnya.
Jenis kelamin merupakan variabel yang juga dianggap berpengaruh terhadap kebijaksanaan selain faktor budaya. Denney menyatakan bahwa
kebijaksanaan pria berbeda dengan kebijaksanaan wanita, yaitu kebijaksanaan pria lebih bersifat intelektual dan kebijaksanaan wanita lebih bersifat sosial Sternberg
Jordan, 2005. Benedikovicova Ardelt 2008 melakukan penelitian tentang adaptasi skala kebijaksanaan mereka, 3-D Wisdom Scale, terhadap mahasiswa
Slovakia dan membandingkan hasilnya dengan hasil mahasiswa Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok wanita sedikit lebih bijaksana
daripada kelompok pria. Hal ini mungkin dikarenakan budaya Eropa mendidik kaum wanita untuk lebih mementingkan hubungan sosial dibandingkan kaum pria.
Masyarakat pada umumnya memiliki pandangan bahwa kebijaksanaan adalah aset yang umumnya dimiliki para lansia. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya pepatah kuno “Wisdom comes with age” dan berbagai pepatah kuno tentang kebijaksanaan lainnya. Menurut tinjauan literatur, generasi yang telah
memasuki masa lansia mengalami banyak kemunduran secara fisik. Salah satu dampak dari kemunduran fisik yang dialami lansia adalah berkurangnya sel-sel
otak sehingga akan mempengaruhi proses kognitif individu, seperti ingatan dan kecepatan mencerna informasi yang diterima Schaie Willis, 2011. Jikalau
benar demikian, masyarakat mungkin telah keliru untuk menjadikan lansia sebagai model kebijaksanaan di tengah-tengah keterbatasan kognitif mereka.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Indonesia sendiri sering mendatangi kaum lansia untuk meminta nasihat ketika menghadapi masalah. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap
usia sebagai faktor utama yang menentukan kebijaksanaan, artinya semakin tua seseorang, semakin bijaksanalah dirinya di mata masyarakat.
Berikut ini adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Basri 2006 untuk mengkaji karakteristik dan faktor-faktor kearifan menurut pandangan tiga
kelompok usia, yaitu kelompok usia dewasa muda, dewasa madya, dan lansia. Dalam penelitiannya, Basri menggunakan kata kearifan untuk menyatakan
wisdom yang sebenarnya bersinonim dengan kebijaksanaan. Secara kuantitatif, Basri 2006 menemukan ada lima karakteristik kearifan, yaitu kondisi spiritual-
moral, kemampuan hubungan antarmanusia, kemampuan menilai dan mengambil keputusan, kondisi personal, serta kemampuan khususistimewa. Secara kualitatif,
tiga tokoh lansia yang ditemukan menyetujui arti kearifan, yaitu kemampuan untuk menanggapi, memutuskan dan menyelesaikan permasalahan dengan cara
yang tidak menyinggung dan dapat diterima pihak manapun yang terlibat. Dalam kehidupan ketiga tokoh tersebut terlihatlah manifestasi dari kelima faktor kearifan
yang ditemukan sebelumnya. Basri juga menyimpulkan bahwa tokoh-tokoh yang dipandang bijaksana biasanya adalah orang yang bersifat ideal, yang karismatik
dan diharapkan dapat menjadi panutan bagi masyarakat Basri, 2006. Pengaruh usia dengan tingkat kebijaksanaan individu mungkin didasari
asumsi bahwa semakin lama individu hidup, semakin banyak pengalaman hidup yang dimilikinya sehingga dia akan lebih bijaksana dibandingkan individu yang
lebih muda. Banyak juga ahli yang telah meneliti kaitan antara usia dan
Universitas Sumatera Utara
kebijaksanaan, namun kebanyakan hasil penelitian mereka menyatakan bahwa usia tidak terlalu berpengaruh terhadap kebijaksanaan secara signifikan. Penelitian
yang dilakukan Baltes dan Staudinger menyatakan bahwa masih ada banyak faktor lain selain usia yang benar-benar lebih mempengaruhi perkembangan
kebijaksanaan individu, seperti pengalaman hidup yang mampu mengasah ketajaman wawasan, pendidikan dan jenis pekerjaan yang dipilih, dan sebagainya
Dacey Travers, 2002. Penelitian lain yang dilakukan Ardelt dan Jacobs menyatakan bahwa
pertumbuhan kebijaksanaan tidak bersifat normatif pada usia dewasa, artinya setiap individu memiliki pertumbuhan kebijaksanaan yang berbeda-beda.
Pertumbuhan ini sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh usia sebagaimana yang banyak dipercayai masyarakat dan para ahli, namun juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain, seperti kondisi sosial, hubungan keluarga, kesempatan memperoleh pendidikan, jalur karir, pengalaman hidup, motivasi individu, dan
gaya pendekatan terhadap dunia juga turut berkontribusi terhadap pertumbuhan kebijaksanaan Schaie Willis, 2011. Kedua penelitian di atas menunjukkan
bahwa ada banyak faktor lain yang lebih mempengaruhi perkembangan kebijaksanaan selain usia, salah satunya adalah pengalaman hidup dan jalur karir.
Baltes dan Staudinger pernah meneliti kebijaksanaan dipandang dari perbedaan usia serta spesialisasi profesi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa
profesi yang melayani manusia human services memperoleh nilai yang lebih baik dalam kriteria kebijaksanaan dibandingkan profesi yang tidak melayani
manusia nonhuman services. Di samping itu, kelompok profesional lansia juga
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan lebih banyak manfaat dari pelatihan profesi dibandingkan kelompok profesional yang lebih muda Sternberg Jordan, 2005. Hal ini dikarenakan
pelayanan terhadap manusia mengharuskan pekerja bersikap lebih empatik terhadap permasalahan pelanggannya yang kadang kompleks dan bervariasi, tidak
monoton seperti individu yang bekerja dengan mesin atau berbagai benda yang tidak tergolong manusia.
Beberapa contoh pekerjaan yang melayani manusia human services adalah dokter, psikolog, hakim, guru, pekerja sosial dan sebagainya. Pekerjaan
tersebut pada umumnya berkaitan dengan kesejahteraan fisik dan mental individu yang mereka layani. Kesalahan sekecil apapun yang mereka lakukan dapat sangat
berdampak terhadap kesejahteraan fisik dan mental pelanggan yang mereka layani, sehingga pekerja perlu mempertimbangkan banyak hal dalam mengambil
suatu keputusan. Pengalaman sehari-hari dari pekerjaan tersebut dapat melatih kemampuan
pekerja untuk mengambil keputusan yang lebih bijaksana dalam berbagai aspek kehidupannya. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa kebijaksanaan merupakan
konstruk yang berkembang secara sosial sehingga perkembangan kebijaksanaan dalam kehidupan individu berlangsung lebih lancar ketika sering berdiskusi
dengan orang lain Sternberg Jordan, 2005. Dengan sering berdiskusi dengan orang lain, kita dapat memperluas perspektif kita dalam memandang suatu
masalah sehingga kita memiliki pemahaman yang lebih komprehensif dan mampu membuat suatu keputusan dengan lebih bijaksana.
Universitas Sumatera Utara
Pekerjaan yang tidak melayani manusia nonhuman services, misalnya kuli bangunan, mekanik, insinyur, petugas ekspor dan impor, petugas kehutanan,
dan sebagainya. Jenis pekerjaan ini pada umumnya memiliki tugas yang kurang bervariasi dan kurang mendesak pekerja untuk mengambil keputusan penting atau
sering bertukar pikiran dengan manusia lain. Kurangnya kegiatan berdiskusi dengan individu lain membuat wawasan pekerja tidak banyak berkembang dan
mereka cenderung jarang diharuskan untuk mengambil keputusan penting dalam situasi yang kompleks sehingga pekerjaannya kurang melatih kebijaksanaan. Hal
ini didukung oleh pernyataan bahwa individu tidak dapat menjadi bijaksana apabila individu jarang terlibat secara sosial Sternberg Jordan, 2005.
Perbedaan pekerjaan yang melayani manusia human services dan pekerjaan yang tidak melayani manusia nonhuman services terletak pada
keharusan pekerja untuk berinteraksi secara sosial dengan orang lain. Pada umumnya, pekerjaan yang tergolong human services mengharuskan pekerjanya
untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat untuk menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan interaksi sosial bukanlah suatau keharusan dalam pekerjaan nonhuman
services untuk menyelesaikan pekerjaannya. Berbagai uraian dan beberapa sajian hasil penelitian di atas telah
menjelaskan bahwa jenis pekerjaan merupakan satu di antara sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan kebijaksanaan dalam kehidupan
individu. Dengan demikian, peneliti hendak melihat perbedaan kebijaksanaan wisdom pada lansia ditinjau dari jenis pekerjaannya, yaitu lansia yang pernah
bekerja di bidang pekerjaan yang melayani manusia human services dan lansia
Universitas Sumatera Utara
yang pernah bekerja di bidang pekerjaan yang tidak melayani manusia nonhuman services.
B. RUMUSAN MASALAH