Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEEI Malaysia

2 Pasal 83 UNCLOS 1982, menetapkan bahwa penentuan batas landasan kontinental antar negara dengan pesisir yang berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui perjanjian berdasarkan Hukum Internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian yang pantas dan fair. Berdasarkan peraturan diatas dapat dinyatakan bahwa penentuan batas laut teritorial antara Negara pantai yang memiliki wilayah pantai dapat dilakukan melalui perundingan atau kesepakatan antar kedua belah pihak. Penetapan garis batas wilayah dan yurisdiksi di laut adalah suatu proses untuk menetapkan secara nyata pembagian berdasarkan kedaulatan sovereignty, hak-hak berdaulat sovereign rights dan yurisdiksi jurisdiction terhadap zona- zona maritim sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982. Dalam hal ini Indonesia berbatasan dengan kurang lebih sepuluh negara yaitu Australia, Filipina, India, Malaysia, Palau, Papua Nugini, Singapura, Timor Leste, Thailand dan Vietnam. Sampai saat ini Indonesia telah berhasil mencapai tiga buah persetujuan tentang garis batas laut teritorial, satu garis batas zona ekonomi eksklusif dan kurang lebih empat belas garis batas landas kontinen, dasar laut dan batas maritim lainnya dengan sejumlah negara tetangga.

C. Penetapan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang ZEEI Malaysia

Berdasarkan Hukum Internasional Indonesia yang memiliki lautan begitu luas terutama dengan wawasan nusantara telah bertindak dengan sangat berhati-hati. Prinsip ZEE maka berarti negara-negara dimaksud mempunyai dasar melaksanakan hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dibagian atau zona tertentu lautan tersebut. Dengan luasnya perairan pedalaman yang tadinya merupakan laut bebas yang memecah kesatuan wilayah negara, yang kita miliki dengan dasar hukum wawasan nusantara itu, tampaknya sudah luas pola lokasi lautan yang akan kita garap. Masalah ZEE sangat penting artinya karena dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 telah memberikan kekuatan hukum tentang persoalan-persoalan yang menyangkut ZEE Indonesia. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang- undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 dua ratus mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.Pasal 2 Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE Negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia.Pasal 3 ayat 1 Selama persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 belum ada dan tidak terdapat keadaan- keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah dicapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas ZEE Indonesia tersebut. Pasal 3 ayat 2 Di Zona Ekonomi. ZEE Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan: Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin. 1. Yurisdiksi yang berhubungan dengan: a. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya; b. Penelitian ilmiah mengenai kelautan; c. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut 2. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku hot Pursuit. Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat, hak-hal lain, yurisdiksi dan kewajiban- kewajiban Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku. Di ZEE Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku Pasal 4 ayat 1-3. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat 2, barangsiapa melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis seperti pembangkit tenaga dari air, arus dan angin di ZEE Indonesia, harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional dengan Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut. Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat 1, eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat 2, eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE Indonesia oleh orang atau badan hukum atau Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.Pasal 5 ayat 1-3. Sebagian besar persoalan dan kesulitan yang menggangu yang berkenan dengan praktek tindakan pengawasan negara pantai terhadap ZEE-nya adalah menyangkut ketentuan Pasal 73 UNCLOS yang mengemukakan batas-batas tunduk pada ketentuan yang menyebutkan tindakan-tindakan seperti pemuatan, inspeksi, penangkapan dan proses peradilan serta menjatuhkan hukuman penjara bagi setiap pelanggaran, berlakunya dikesampingkan. Selain itu ketentuan dalam Pasal 74 untuk menetapkan batas ZEE antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan hampir tidak ada artinya; penetapan batas demikian harus diadakan dengan “perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu jalan keluar yang adil”, tetapi apabila tidak dapat dicapai perjanjian dalam waktu yang layak, negara-negara terkait harus menggunakan prosedur-prosedur untuk penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Bab XV. Konvensi. Negara-negara dapat mengadakan peraturan sementara sambil menunggu perjanjian akhir, perjanjian itu harus diterapkan. Penetapan batas ZEE antara satu negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain harus diatur dengan perjanjian internasional. Bila kesepakatan tidak tercapai maka penyelesaian sengketa harus ditempuh sesuai bab XV yang pada pokoknya mengisyaratkan penyelesaian dengan jalain damai. Sambil menunggu tercapainya persetujuan perbatasan, pihak-pihak harus memanfaatkan sumber daya alam di wilayah sengketa berdasarkan semangat saling pengertian dan kerjasama Pasal 74. Garis batas ZEE harus dicantumkan dalam peta dengan skala-skala yang memadai dimana perlu harus pula dicantumkan daftar titik-titik koordinat koordinat geografis yang memerinci datum geodetic. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis dan harus mendepositkan satu copy setiap peta atau daftar demikian itu pada Sekertaris Jendral PBB Pasal 75. Hukum dan praktek penetapan batas wilayah termasuk ZEE tersebar dalam berbagai konvensi Internasional, putusan mahkamah internasional maupun ketentuan hukum nasional negara-negara yang menyatakan bahwa penetapan batas wilayah ZEE antara kedua negara yang berdampingan atau berhadapan, dapat ditempuh melalui persetujuan atau perjanjian secara damai antara kedua negara menurut Hukum Internasional yang berlaku umum dan khususnya tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Piagam PBB. Dengan kata lain, praktek penetapan batas wilayah ZEE antara negara-negara sudah menjadi aturan kebiasaan internasional, sehingga Indonesia dan India dapat mencontohinya. Indonesia tumpang tindih dengan ZEE negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan. Penetapan batas ZEE berdasarkan persetujuan juga diatur dalam Perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan Batas-batas Laut Tertentu. Didalam konsiderans perjanjian tersebut dikemukakan bahwa Republik Indonesia dan Australia terikat oleh Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, khusunya berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan Pasal 83 yang menentukan bahwa batas ZEE dan landas kontinen antara kedua negara yang pantainya berhadapan harus diatur dengan persetujuan berdasarkan hukum internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil the elimination of the economic exclusive zone and continental shelf between States with opposite coasts shall be effected by agreement on the basis of international law in order to achive an equitable solution. Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang pene-tapan garis batas landas kontinen antara kedua negara Agreement Between Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between the two countries, tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969. 45 45 Bulank2.blogspot.com201310permasalahan-perbatasan-indonesia-dan.html, diakses tanggal 1 Maret 2015 Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut Wilayah RI – Malaysia di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1971 tanggal 10 Maret 1971. Namun untuk garis batas ZEE di Selat Malaka dan Laut China Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan. Batas laut teritorial Malaysia di Selat Singapura terdapat masalah, yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini mengenai kepemilikan Karang Horsburgh Batu Puteh antara Malaysia dan Singapura. Karang ini terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor Timur, dengan jarak kurang lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik Malaysia maka jarak antara karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3 mil dari Pulau Bintan. Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimatan Timur perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya dan Perairan Selat Malaka bagian Selatan, hingga saat ini masih dalam proses perundingan. Pada segmen di Laut Sulawesi, Indonesia menghendaki perundingan batas laut teritorial terlebih dulu baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat perundingan batas maritim harus dilakukan dalam satu paket, yaitu menentukan batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen. Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan, Indonesia dan Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut teritorial kedua Negara. Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dinyatakan bahwa : 1 Wilayah perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 meliputi: a. Perairan pedalaman; b. Perairan kepulauan; dan c. Laut teritorial. 2 Wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 meliputi: a. Zona Tambahan; b. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan c. Landas Kontinen. 3 Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki: a. Kedaulatan pada perairan pedalaman, perairan Kepulauan, dan laut teritorial; b. Yurisdiksi tertentu pada Zona Tambahan; dan c. Hak berdaulat pada ZEE dan Landas Kontinen. 4 Kedaulatan, yurisdiksi tertentu, dan hak berdaulat di dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

D. Pembagian Kawasan Laut Menurut Konvensi Hukum Laut III 1982

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Wilayah Perbatasan Darat Antara Indonesia Dengan Malaysia Pada Lembaga Perbatasan General Border Committee (Gbc) Menurut Perspektif Hukum Internasional

14 144 169

Bentuk Pertanggungjawaban Indonesia Atas Protes Malaysia Dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Dan Kebakaran Hutan Di Propinsi Riau

7 69 97

Yurisdiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional

4 74 94

Pemetaan Konflik Nelayan Tradisional Dengan Nelayan Pukat Tarik Menggunakan Model SIPABIO (Kajian pada konflik masyarakat nelayan di desa Bagan Asahan, Kec. Tanjung Balai, Kab. Asahan Tahun 2011-2013)

17 213 111

PROSES PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PEMBAJAKAN KAPAL DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL.

0 0 6

PENYELUNDUPAN IMIGRAN DI PERAIRAN INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL.

0 0 16

Sengketa Wilayah Kashmir Antara India Dan Pakistan Ditinjau Dari Hukum Internasional - Ubaya Repository

0 0 8

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional - Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi Antara Indonesia – Malaysia Ditinjau Dari Hukum Internasi

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi Antara Indonesia – Malaysia Ditinjau Dari Hukum Internasional

0 0 27

BAB II YURISDIKSI NEGARA PANTAI DI ATAS WILAYAH LAUT BERDASARKAN KETENTUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Laut Internasional - Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Oleh Nelayan Asing Di Wilayah Laut Indonesia Di Tinjau Dari Hukum Laut Internasional

0 0 17