Kepolisian Kerajaan Malaysia, serta Departemen Perikanan dan Royal Beacukai Malaysia.
Dengan disepakatinya nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia ini menunjukkan adanya kemauan niat baik kedua negara dalam bekerjasama
untuk melindungi dan menghormati nelayan tradisional, dan juga niat baik untuk bekerjasama menyelesaikan suatu permasalahan bilateral dengan jalan diplomasi
dan bukan melalui konflik. Kerjasama mutualisme ini diharapkan untuk terus dievaluasi dan ditingkatkan lagi kedepannya, serta dapat ditularkan kepada
bidang-bidang lainnya sehingga kedua negara terus dapat menjalin kerjasama bilateral yang positif di regionalnya.
B. Kendala-kendala yang dihadapi dalam Penyelesaian terhadap penahanan
Nelayan Yang Melanggar Batas Teritorial Antara Indonesia – Malaysia Berdasarkan Hukum Internasional
Masalah-masalah yang berkaitan dengan kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian terhadap penahanan nelayan yang melanggar batas teritorial
antara Indonesia – Malaysia berdasarkan hukum internasional. Kendala-kendala
yang dihadapi dalam penanganan undang-undang kelautan di Indonesia yaitu:
61
1. Lemahnya pengawasan karena masih terbatasnya sarana prasarana dan
fasilitas pengawasan, SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat
61
Maimunarenhoran.blogspot.com2011_12_01_archive.html, diakses tanggal 1 Maret 2015.
penegak hukum baik pusat maupun daerah, dan belum berkembangnya lembaga pengawasan; Penerapan Monitor ing and Controlling System
yang belum sempurna. 2.
Belum tertibnya perizinan yang tergambar dari adanya pemalsuan dan penggandaan izin.
3. Lemahnya Law Enforcement karena wibawa hukum menurun.
4. Ketidakadilan bagi masyarakat.
5. Maraknya pelanggaran aktivitas-aktivitas ilegal.
Masalah-masalah Undang-Undang Kelautan yang dijelaskan di atas, umumnya terjadi di wilayah-wilayah perbatasan. Kecenderungan masalah-
masalah tersebut, khususnya di wilayah perbatasan disebabkan oleh eksistensi wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang penting untuk dimanfaatkan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara
yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di
kecamatan. Mengacu pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang ini, Wilayah Negara yang dimaksudkan di atas adalah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan
wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh
sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Batasan ini menunjukkan bahwa Kawasan Perbatasan tidak hanya meliputi wilayah daratan tetapi juga wilayah
perairan yang termasuk dalam teritorial negara. Dalam konteks geografis, banyak
permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat di kawasan perbatasan sebagai akibat lemahnya aksesibilitas. Permasalahan yang dihadapi wilayah
perbatasan Indonesia berbeda sifat dan kondisinya dengan kawasan lain. Permasalahan-permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan dipengaruhi oleh
faktor yang berbeda seperti geografis, sumber daya manusia dan alam, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta tingkat kesejahteraan masyarakat negara
tetangga. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi oleh seluruh wilayah
perbatasan di Indonesia adalah kemiskinan serta keterbatasan sarana dan prasarana dasar sosial dan ekonomi.
62
1. Provinsi Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, kondisi
sosial-ekonomi negara tetangga masih jauh lebih baik. Selain itu, di wilayah perbatasan ini terjadi pula penurunan kualitas sumber daya alam akibat
perambahan hutan secara ilegal serta adanya pengiriman sumber daya manusia secara ilegal.
Beberapa masalah di wilayah perbatasan Indonesia yang penting dikemukakan untuk memberikan gambaran adanya masalah di wilayah itu, antara
lain:
2. Di wilayah perbatasan Papua-PNG, kondisi sosial dan ekonomi Indonesia
yang masih relatif lebih baik serta masih adanya keterikatan keluarga dan suku bangsa sehingga menyebabkan terjadinya arus orang dan perdagangan barang
yang bersifat tradisional barter melalui pintu-pintu perbatasan yang belum
62
Ibid
resmi. Kegiatan perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi dan bersifat resmi antara kedua negara melalui pintu perbatasan ini masih sangat terbatas.
Sebagian besar wilayah perbatasan di Papua terdiri atas areal hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman nasional. Secara fisik, sebagian
besar wilayah perbatasan di Papua terdiri atas pegunungan dan kawasan berbukit yang masih sulit dijangkau dengan sarana perhubungan roda empat
dan roda dua. Satu-satunya sarana perhubungan yang dapat menjangkau wilayah perbatasan pegunungan tersebut adalah pesawat udara perintis atau
helikopter. 3.
Di wilayah perbatasan Indonesia dan RDTL, secara umum kondisi wilayah perbatasan di Nusa Tenggara Timur NTT dan Maluku Barat Daya, masih
belum berkembang dan sarana serta prasarananya masih bersifat darurat. Secara umum kondisi wilayah perbatasan di NTT dan Maluku Barat Daya ini
relatif lebih baik dibanding dengan wilayah perbatasan di wilayah Timor Leste RDTL. Pada kawasan tersebut sudah berlangsung kegiatan perdagangan
barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat Timor Leste dan disediakan oleh masyarakat Indonesia dengan nilai jual yang relatif tinggi.
Dalam konteks potensi wilayah, setiap wilayah perbatasan memiliki ciri khas masing-masing. Ciri khas yang dimaksud bisa didasarkan pada aspek
geofisik wilayah, aspek biologis, aspek sosial maupun aspek ekonomi. Keseluruhan aspek tersebut, bila dilihat secara menyeluruh memberikan gambaran
bahwa wilayah perbatasan memiliki potensi untuk dikelola dan dimanfaatkan,
terutama potensi yang memiliki nilai ekonomis seperti hutan, tambang dan mineral, serta perikanan dan kelautan.
Salah satu potensi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah perbatasan di kawasan perairan laut yang menjadi tujuan pemanfaatan ialah sumber daya ikan.
Namun demikian, sumber daya ikan di seluruh dunia saat ini menghadapi tekanan eksploitasi yang sangat tinggi. Hasil evaluasi badan dunia FAO Food and
Agriculture Organization tahun 1998 menunjukkan bahwa empat dari 16 perairan telah mencapai puncak pemanfaatan sumber daya ikannya, delapan
wilayahnya telah dimanfaatkan sekitar lebih dari 70, sementara empat lainnya telah dimanfaatkan antara 10 - 50. Wilayah perairan Indonesia yang termasuk
dalam wilayah 57 yaitu perairan kawasan Timur dan Utara serta wilayah 71 yaitu perairan kawasan Barat dan Selatan, termasuk yang dinyatakan sebagai kawasan
dimana pemanfaatan sumber daya ikannya sudah mencapai puncak.
63
63
Ibid
Sebagai negara anggota PBB yang memiliki potensi sumber daya ikan yang cukup besar, Indonesia memiliki obligasi untuk berupaya sekuat tenaga
menjaga agar sumber daya ikan yang dimiliki tetap lestari. Pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini ditangani oleh KKP Republik Indonesia yang memiliki
mandat mengelola sumber daya perikanan dan kelautan. Sebagai institusi yang mendapat otoritas untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan maka
KKP menjadi aktor penentu dalam penyusunan program nasional penanggulangan
masalah Illegal Unreported Unregulated IUU Indonesia.
Keberadaan lembaga negara yang diberi mandat dan tugas untuk mengelola sumber daya ikan di Indonesia sudah sejak berpuluh tahun lalu yang
ditingkatkan menjadi KKP pada tahun 1999. Sejak itu pula berbagai program nasional maupun daerah diluncurkan agar sektor kelautan dan perikanan Indonesia
menjadi maju. Sudah cukup banyak upaya yang dilakukan KKP untuk mengelola sumber daya perikanan agar tetap lestari, baik dengan penetapan Wilayah
Pengelolaan Perikanan WPP, penetapan jalur-jalur penangkapan sesuai dengan kapasitas dan upaya penangkapan, pembatasan armada dan alat tangkap,
penetapan kuota hasil tangkapan, sampai pada pengembangan kawasan-kawasan konservasi laut.
Berdasarkan upaya-upaya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara lestari, seharusnya tidak sulit untuk memberikan bukti pada
dunia bahwa Indonesia telah mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dan telah memilih serta memiliki cara untuk mengatasinya sesuai dengan rekomendasi
dan anjuran FAO. Program-program yang sudah berjalan ataupun dalam perencanaan tersebut disusun dan dikerjakan oleh berbagai unit kerja yang
berbeda-beda dan tersebar di berbagai institusi yang bernaung di bawah kendali KKP. Mengingat bahwa dokumen resmi FAO mengenai aspek undang-undang
Kelautan ini baru disebarluaskan pada tahun 2001, maka masih diperlukan waktu agar semua lapisan masyarakat terutama di pemerintahan pusat maupun daerah
untuk memahaminya. Itulah sebabnya mengapa berbagai program yang sudah ada belumlah disusun secara komprehensif sesuai dengan format yang
direkomendasikan oleh FAO dalam buku panduannya FAO, 2002. Penyusunan
program penanggulangan Illegal Unreported Unregulated IUU Fishing secara komprehensif sesuai dengan format yang direkomendasikan oleh FAO dapat
menjadi bukti adanya komitmen pemerintah Indonesia untuk menjaga keberlanjutan usaha perikanan tangkapnya.
Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih
sangat terbatas. Pandangan di masa lalu bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian
para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan security approach daripada
pendekatan kesejahteraan prosperity approach. Akibatnya, wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi daerah yang tidak tersentuh oleh dinamika
pembangunan dan masyarakat di wilayah perbatasan pada umumnya miskin serta diprediksi banyak yang berorientasi pada negara tetangga. Di lain pihak, salah
satu negara tetangga, yaitu Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan
yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Demikian juga RDTL, tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang
dalam waktu yang relatif singkat, melalui pemanfaatan potensi sumber daya alamnya migas serta dukungan internasional akan menjadi negara yang
berkembang pesat, sehingga jika tidak diantisipasi wilayah NTT dan Maluku yang ada di perbatasan dengan negara tersebut akan tetap tertinggal.
Dengan berlakunya perdagangan bebas internasional dan kesepakatan serta kerjasama ekonomi, regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di
beberapa wilayah perbatasan kontinen maupun maritim menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan kawasan tersebut.
Kerjasama subregional seperti Asian Free Trade Area AFTA, Indonesia- Malaysia-Singapore Growth Triangle IMS-GT, Indonesia-Malaysia-Thailand
Growth Triangle IMT-GT, Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East Asian Growth Area BIMP-EAGA, dan Australia-Indonesia Development Area AID
A perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan seluruh pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi
internasional dan subregional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu
sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang menyebabkan sumber daya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan
akan tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagi masyarakat dan pemerintah. Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam
rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan subregional perlu disiapkan.
64
Isu dan permasalahan yang sering muncul dan terjadi dengan negara- negara tetangga secara bilateral lebih banyak didominasi oleh masalah penataan
Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu
pelaksanaannya.
64
Ibid
garis batas antar negara, baik kontinen maupun batas maritim. Namun demikian isu atau permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian juga muncul seperti
penanganan masalah nelayan yang saling melanggar batas negara, dan adanya pelintas batas tradisional sebagai kegiatan yang telah berlangsung sejak dahulu
karena adanya kesamaan budaya dan hubungan kekeluargaan seperti di Kalimantan, Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur.
Di beberapa wilayah perbatasan, baik darat maupun laut belum tercapai kesepakatan penentuan garis batas, termasuk antara RI dan RDTL. Di wilayah
perbatasan kedua negara ini, beberapa titik tapal batas belum disepakati. Ketidakjelasan batas maritim antara kedua negara sering menimbulkan
pertentangan antara aparat yang bertugas di lapangan, serta antara nelayan Indonesia dan negara tetangga.
Wilayah-wilayah maritim yang belum disepakati garis batasnya antara lain: 1 batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan
selatan P. Miangas, P. Marore, dan P. Marampit; 2 penentuan batas yang baru secara trilateral antara Indonesia-Australia dan RDTL; 3 batas landas kontinen
di wilayah antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam; 4 batas perairan ZEE antara Indonesia dan Palau; dan 5 masih
adanya ganjalan tentang batas laut dengan Singapura akibat reklamasi yang dilakukan Singapura. Belum tercapainya kesepakatan penentuan garis batas
negara dengan negara tetangga sangat potensial menimbulkan berbagai masalah baru di masa yang akan datang.
Perbatasan maritim Indonesia dengan sepuluh negara tetangga memberi peluang adanya pelanggaran batas, baik oleh kapal-kapal asing maupun oleh
nelayan dalam negeri yang belum mengetahui secara pasti batas maritim Indonesia. Belum jelas dan tegasnya batas maritim antara Indonesia dan beberapa
negara tertentu serta ketidaktahuan masyarakat, khususnya nelayan, menyebabkan terjadinya pelanggaran batas maritim oleh para nelayan Indonesia maupun
nelayan asing. Beberapa kasus pendudukan pulau-pulau milik negara tetangga, di perbatasan maritim dengan Australia dan perbatasan maritim dengan India, yang
telah berlangsung lama menyimpan potensi konflik karena dapat memicu konflik bilateral yang lebih meluas.
65
65
Ibid
Penanganan nelayan kedua negara yang melanggar batas perlu diupayakan secara terpadu oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah. Di beberapa daerah
kepulauan, seperti Kepulauan Riau, di Sangihe dan Talaud, perairan Kalimantan Timur, Papua, NTB, dan NTT, Maluku, masih banyak nelayan asing terutama dari
Thailand dan Filipina yang masuk tanpa izin karena ketidaktahuan batas maritim antara kedua negara. Pembicaraan bilateral untuk mengatasi permasalahan ini
perlu dilakukan, mengingat sumber daya laut yang telah dicuri oleh nelayan asing selama ini merugikan negara dalam jumlah besar. Demikian pula halnya dengan
pengembalian nelayan Indonesia yang tertangkap di negara tetangga ke daerah asalnya masing-masing serta penanganan kapal-kapal asing yang ditangkap aparat
keamanan Indonesia. Di beberapa daerah, kapal-kapal tangkapan ini dibiarkan terlantar tidak terpakai menunggu keputusan hukum yang berlaku.
Adanya kesamaan budaya, adat dan keturunan suku yang sama di beberapa wilayah perbatasan seperti di Kalimantan, Papua, NTT dan Maluku,
menyebabkan adanya kegiatan lintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah. Persamaan budaya dan adat masyarakat dan kegiatan lintas batas
tradisional ini merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antar negara yang telah ada sejak lama dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan wilayah
perbatasan kontinen maupun maritim di beberapa daerah. Masalah sosial dan kependudukan lain adalah masih belum terjangkaunya
pelayanan administrasi daerah seperti pemberian tanda pengenal penduduk bagi warga masyarakat di wilayah perbatasan karena sulitnya akses dan terbatasnya
sarana perhubungan dan kurangnya fasilitas pendidikan dan kesehatan sehingga banyak penduduk Indonesia yang berobat dan bersekolah ke negara tetangga,
seperti yang terjadi di daerah Kalimantan Barat. Demikian pula dengan ikatan kekeluargaan antara pengungsi eks Provinsi Timor Timur di Atambua - NTT dan
keluarganya di RDTL masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian tentang bagaimana pengaturan kunjungan kekeluargaan ini untuk menghindari
lintas batas secara ilegal. Beberapa fakta yang menunjukkan adanya pemanfaatan perairan perbatasan pulau Lirang dan RDTL antara lain:
1. Pergerakan nelayan RDTL yang memiliki hubungan kekerabatan dengan
masyarakat di pulau Lirang di Maluku Barat Daya untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan sekitar pulau Lirang, dengan
perhitungan akan mudah mencari perlindungan ketika musim angin atau
ombak. Bahkan aktivitas penangkapan ikan bisa dilakukan secara bersamaan antara nelayan RDTL dengan nelayan pulau Lirang.
2. Hal menarik yang dapat diangkat dalam konteks pengelolaan sumber daya
ikan ialah bahwa masuknya nelayan RDTL ke Pulau Lirang sulit untuk dicegah petugas TNI dan Polisi di wilayah perbatasan Indonesia ini. Hal
ini disebabkan karena adanya kesamaan bahasa dan dialek sehingga para penjaga perbatasan ini tidak bisa membedakan antara nelayan pulau Lirang
dan RDTL. 3.
Ekspansinya nelayan dari pulau Lirang untuk tujuan penangkapan ikan, tidak hanya menjangkau perairan Pulau Lirang, tetapi juga cenderung
mengarah ke kawasan sekitar Pulau Timor yang menjadi kewenangan RDTL. Kegiatan ini dapat dilakukan secara terus menerus ataupun
berulang tanpa ada pengawasan yang ketat. Kondisi demikian sangat mungkin terjadi karena penggunaan armada penangkapan, pola
penggunaan dan jenis alat tangkap serta teknik penangkapan yang sama, menyulitkan pengawasan terhadap aktivitas perikanan lintas batas ini.
Ketiga fakta tersebut membuktikan bahwa secara tradisional masyarakat pulau Lirang dan RDTL telah memanfaatkan ruang yang sama untuk tujuan
penangkapan ikan. Kondisi ini merupakan praktek Undang-Undang Kelautan. . Penanganan perikanan Illegal pada perbatasan perairan pulau Lirang memberi arti
penting tentang adanya: 1 batas wilayah NKRI; 2 landas kontinental; 3 perairan teritorial; dan 4 ZEE. Didasarkan pada menyatunya perairan teritorial
pulau Lirang dan perairan RDTL, maka keberadaan sumber daya ikan di perairan
tersebut dapat bermuara atau bermigrasi secara bebas dan dapat menyebabkan adanya perilaku perikanan ilegal. Di samping itu, kegiatan perdagangan atau
pemasaran hasil di sekitar pulau perbatasan pulau Lirang di Indonesia maupun Pulau Kambing di RDTL juga menjadi daya tarik untuk terjadinya perikanan
ilegal.
C. Solusi Penyelesaian terhadap penahanan Nelayan Yang Melanggar Batas