Penyelesaian terhadap penahanan Nelayan Yang Melanggar Batas

BAB IV PENYELESAIAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENAHANAN NELAYAN YANG MELANGGAR BATAS WILAYAH PERAIRAN DAN WILAYAH YURIDIKSI ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN NEGARA MALAYSIA

A. Penyelesaian terhadap penahanan Nelayan Yang Melanggar Batas

Teritorial Antara Indonesia–Malaysia Berdasarkan Hukum Internasional Konvensi hukum laut 1982 menyediakan berbagai metode dalam rangka penyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional mekanisme konvensi ini merupakan yang pertama kali dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa compulsory procedures, dengan sistem konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi Negara-negara pihak konvensi untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi dibelakang konsep kedaulatan negara, karena konvensi secara prinsip negara mengharuskan sengketanya melalui mekanisme konvensi. 48 Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Sentlement of Disputes. Pasal 279 pada intinya menyebutkan bahwa Negara-negara pihak diberi kebebasan yang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Pasal ini mengarahkan penyelesaian sengketa seperti yang dianjurkan dalam Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB. Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB menyebutkan jika terjadi persengketaan hendaknya diselesaikan dengan cara 48 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peran dan Fungsi Dalam Era Global, Bandung: Alumni, 2000, hal 377. negotiation enquity mediation conciliation arbritation judicial settlement resort to regional agencies or arrangements or other peaceful means on their own choice. Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia- Malaysia kedua negara memilih untuk menggunakan metode negotiation atau perundingan diplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang sudah dilakukan oleh perwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia-Malaysia cara negosiasi ini merupakan langkah tepat dalam menyelesaikan sengketa. Indonesia-Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara yang bersahabat dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan sebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat. Sejarah membuktikan banyak sengketa antara Indonesia-Malaysia yang upaya penyelesaiannya ditempuh dengan cara perundingan. Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upaya penyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Dalam interaksi sosial sehari-hari manusia tidak jarang luput dari kesalahan, yang biasanya menimbulkan konflik akibat adanya kepentingan- kepentingan yang saling berbenturan. Begitu pula dengan negara maupun aktor- aktor dalam hubungan internasional lainnya, dimana hubungan yang terjalin begitu kompleks sehingga konflik sangat mudah terjadi. Dalam hubungan antar negara, sengketa acapkali terjadi akibat perebutan wilayah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan juga isu-isu sosial lainnya. Oleh karena itu yang seharusnya memainkan peranan di sini adalah hukum internasional, yang mengatur mekanisme hubungan yang terjadi antar aktor internasional dengan mengedepankan prinsip perdamaian dan keamanan internasional. Sengketa internasional sendiri dibedakan ke dalam dua jenis yaitu sengketa hukum dan sengketa politik. Menurut Friedman dalam Adolf dalam tulisannya Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional sengketa hukum berarti perselisihan-perselisihan antarnegara yang mampu diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang ada dan sudah pasti, yang sifatnya mempengaruhi kepentingan vital negara seperti integritas wilayah dan kehormatan, di mana penerapan hukum internasional yang ada sudah cukup untuk menghasilkan keputusan yang sesuai dengan keadilan antara negara dengan perkembangam progresif hubungan-hubungan internasional. Ia berkaitan dengan persengketaan hak-hak hukum dan menuntut adanya perubahan melalui hukum yang telah ada. 49 Berkebalikan dengan Friedman, Waldock dalam buku Adolf mengemukakan bahwa penentuan suatu sengketa sebagai sengketa hukum atau politik ditentukan sendiri oleh pihak yang bersengketa. Ketika sengketa tersebut memerlukan patokan-patokan tertentu yang tidak ada dalam hukum internasional, maka sengketa tersebut digolongkan sebagai sengketa politik. “ The legal or Pandangan Friedman tersebut juga digunakan oleh International Court of Justice ICJ. 49 Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.Jakarta: Sinar Grafika,2004, hal 6 political character of a dispute is ultimately determined by the objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute …” . Pandangan Friedman tersebut juga digunakan oleh International Court of Justice ICJ. 50 Adolf sendiri menganggap sudut pandang Waldock lebih tepat, sebab menurutnya pihak yang bersengketa lebih memahami jenis sengketa yang sedang dihadapinya. Misalnya adalah sengketa perbatasan, pelanggaran hak-hak diplomatik, dan sebagainya yang tentu berpengaruh terhadap hubungan baik kedua pihak. 51 Pandangan ketiga yaitu pandangan Oppenheim dan Kelsen yang oleh Adolf dianggap sebagai jalan tengah dari kedua pandangan sebelumnya. Menurut Oppenheim dan Kelsen, antara sengketa hukum dan politis tidak ada pembenaran ilmiah kriteria objektif yang mendasarinya. Sebab setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya masing-masing. Sengketa yang dianggap sebagai sengketa hukum mungkin memiliki nilai kepentingan politis pihak yang bersangkutan. Dan sebaliknya, sengketa yang dianggap politis mungkin dapat diterapkan dalam prinsip dan aturan hukum internasional. 52 Dari sedikit penjelasan mengenai sengketa diatas terdapat beberapa cara untuk menyelesaiakan sengketa, yakni melalui cara kekerasan, cara damai, dan cara hukum. Cara kekerasan biasanya digunakan ketika pihak yang bersengketa mengalami jalan buntu atas solusi damai, sehingga kemungkinan yang terjadi adalah pihak-pihak yang terlibat menggunakan cara-cara paksaan seperti perang, retorsi, dan blokade. Perang berarti pihak yang terlibat sengketa utamanya negara 50 Ibid 51 Ibid 52 Ibid menggunakan angkatan bersenjata yang dimilikinya dan bertujuan untuk menaklukan lawan dan memenuhi kehendaknya dan membebankan syarat-syarat penyelesaian dan perdamaian pada pihak lawan yang dikalahkan, yang tidak mempunyai allternatif lain selain mematuhinya. Retorsi berarti suatu pihak melakukan tindakan pembalasan terhadap tindakan-tindakan yang dianggap tidak pantas dari pihak lawan. Misalnya adalah merenggangkan hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa diplomatik, menarik diri dari konsesi-konsesi fiscal dan bea, dan penghentian bantuan ekonomi. Meski dari beberapa tindakan tersebut motif yang digunakan tidak selalu pembalasan, namun seolah menjadi kode bahwa konflik sedang terjadi di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Sementara itu blokade berarti mengepung atau memblokir wilayah lawan guna memutus hubungan wilayah tersebut dengan pihak luar. Terdapat dua macam blokade yaitu blokade masa damai, dimana pihak selain yang sedang bersengketa dan diblokade tidak berhak untuk ditangkap ketika pihak tersebut melanggar blokade yang sedang dilakukan; dan blokade masa perang, yaitu ketika pihak selain yang diblokade ini berhakuntuk ditangkap dan diperiksa ketika pihak yang tidak berdangkutan tersebut melanggar blokade yang sedang diberlakukan. Blokade dilakukan dengan tujuan memaksa pihak yang diblokade supaya mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade. Cara damai berarti menggunakan cara tanpa kekerasan sebagai jalan keluar dari penyelesaian sengketa, yaitu negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Negosiasi biasanya merupakan cara yang pertama kali ditempuh ketika konflik mulai terjadi dan juga efektif sebab ia menawarkan alternatif-alternatif kemungkinan antara pihak yang bersengketa secara langsung. Negosiasi merundingkan secara langsung sengketa antara kedua pihak yang bersangkutan dengan tujuan mencari penyelesaian masalah melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. 53 Cara damai yang kedua yaitu mediasi, yang berarti terdapat pihak ketiga sebagai penengah dari konflik yang ada, yang bisa berupa individu, organisasi internasional, maupun institusi lain yang berdaulat. Pihak ketiga dalam negosiasi tersebut tidak memiliki kapasitas untuk turut mengambil keputusan, kecuali sebatas saran penyelesaian sengketa. Fungsi utama mediator adalah mencarikan solusi, mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati serta usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa. Sisi positif dari nogosiasi adalah bahwa para pihak sengketa sendiri yang terlibat dalam negosiasi, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk menentukan kesepakatan tanpa adanya paksaan dan tekanan dari pihak lain, juga karena terhindar dari perhatian publik. Prosedur penyelesaian juga dapat diawasi secara langsung. Namun demikian yang menjadi kelemahannya adalah ketika kedudukan pihak-pihak yang bersengketa tidak seimbang, dalam artian terdapat salah satu pihak yang lebih kuat sehingga dapat menekan pihak lain yang lebih lemah; dan ketika pihak-pihak yang bersengketa sama-sama berpendirian keras maka proses negosiasi tidak dapat berjalan produktif, sebab tidak ada yang mau mengkompromikan kepentingan dari semua pihak. 54 53 Ibid.,.hal 29 54 Ibid.,.hal 33 Dalam menjalankan fungsinya mediator tidak perlu tunduk pada aturan tertentu, dan bebas untuk mnentukan bagaimana proses penyelesaian sengketa berlangsung. Cara damai yang lain adalah konsiliasi, yaitu penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau sebuah komisi yang dibentuk oleh pihak yang bersengketa. Konsiliasi sifatnya lebih formal dibanding negosiasi dan mediasi. Komisi konsiliasi dapat berupa komisi yang sudah melembaga maupun bentukan sementara ad hoc yang fungsinya menetapkan syaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh yang bersengketa, meskipun sifatnya tidak mengikat 55 Kasus penangkapan ikan ilegal oleh nelayan kedua negara selama beberapa tahun terakhir telah menjadi fokus utama masalah bilateral yang perlu dibenahi, didasari keinginan kedua negara untuk mencegah aksi-aksi nelayan tidak berhukum serta untuk meperbaiki tatanan hubungan bilateral kedua negara, selain daripada untuk mencegah kerugian negara. Indonesia saja telah mengalami kerugian hingga sebesar Rp 30 triliun selama 10 tahun terakhir akibat penangkapan dan pencurian ikan ilegal di seluruh wilayahnya. 56 Didasari niat baik kedua negara dalam menyelesaikan masalah ini melalui jalur diplomasi, dibuatlah nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding MoU “Common Guidelines Concerning Treatment of Fishermen by Maritime Banyaknya kasus penangkapan ikan ilegal yang merugikan kedua negara seringkali beralasan karena batas-batas laut negara yang tidak jelas dan kurang dipahami nelayan tradisional, kekurangan mereka dalam hal navigasi, hingga faktor cuaca yang membuat mereka tersasar. 55 Ibid.,.hal 34 56 Republika.Co.IdBeritaNasionalUmum120606M56po8-10-Tahun-Indonesia-Tekor- Rp30-Triliun , diakses tanggal 29 Maret 2015. Law Enforcement Agencies” pada tanggal 27 Januari 2012 di Nusa Dua, Bali. 57 Isinya adalah tentang perjanjian kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia mengenai nelayan-nelayan tradisional yang tersesat di perairan kedua negara, pedoman serta penanganannya yang nantinya dilakukan oleh badan-badan penegak hukum di negara masing-masing. Inti dari pedoman umum common guidelines ini adalah bukan pada kebijakan hukum atau rezim yang akan diberlakukan di wilayah perairan kedua negara, tetapi lebih kepada penanganan dan taktis operasional baru di lapangan atau oleh aparat keamanan laut antara kedua belah pihak sekiranya terjadi kasus lintas batas wilayah laut negara seperti yang sering terjadi sebelumnya. 58 Indonesia mengirimkan perwakilannya dalam meratifikasi nota kesepahaman tersebut yaitu Kepala Badan Koordinasi Keamanan Laut Bakorkamla Laksamana Madya Didik Heru Purnomo yang disaksikan oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto. Sementara dari pihak Malaysia adalah Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Datuk Abdul Wahab Mohamed Tajudeen, disaksikan oleh Menteri Senior bidang Judicial Review Malaysia, Datuk Seri Muhamed Nazri bin Abdul Aziz. KKP mengkategorikan nelayan tradisional adalah nelayan yang menggunakan kapal dengan berat 5 hingga 10 GT Gross Tonage. 59 57 http:www.antaranews.comberita294936indonesia-malaysia-sepakat- selesaikan-masalah-nelayan-lewat-jalur-diplomasi , diakses tanggal 1 Maret 2015 58 http:www.kkp.go.idindex.phpmobilearsipc7011Indonesia-Malaysia-Sepakat- Selesaikan-Masalah-Nelayan-Lewat-Jalur-Diplomasi?category_id=34, diakses tanggal 1 Maret 2015. 59 Ibid Bentuk konkrit dari kerjasama bilateral ini adalah misalkan di masa yang akan datang nanti terdapat nelayan dari salah satu pihak yang melakukan penangkapan ikan atau tersesat sampai masuk kedalam wilayah pihak lain, maka tindakan yang diambil oleh pihak lain bukanlah penangkapan tetapi dengan membantu atau mengawal kapal tradisional tadi untuk kembali ke perairan asal di negaranya. Tidak ada hukuman yang dijatuhkan oleh kedua belah pihak terhadap nelayan-nelayan tradisional, terkecuali nelayan-nelayan yang melakukan illegal fishing dengan menggunakan bahan-bahan peledak ataupun bahan kimia berbahaya. Sehingga tidak akan terjadi konflik antara kedua belah pihak terkait nelayan tradisional yang memang tersesat masuk wilayah negara tetangga dalam bekerja. Kerjasama positif bilateral ini berdasarkan komitmen kedua negara untuk tidak melakukan konflik dalam menyelesaikan permasalahan, serta sebagai upaya untuk menghormati UNCLOS 1982. Dalam konvensi hukum laut internasional itu sendiri memang terdapat Pasal yang menyinggung kewajiban bagi negara-negara kepulauan untuk melindungi dan menghormati perairan yang merupakan wilayah tangkap bagi nelayan tradisional, yaitu Pasal 51 ayat 160 58 .Ibid . Kedua negara juga menyepakati upaya pengawasan , evaluasi, dan peninjauan dengan koordinasi antara lembaga penegak hukum maritim laut Indonesia seperti IMSCBBakorkamla, TNI AL, Kepolisian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, dengan lembaga penegak hukum Malaysia yaitu Maritime Enforcement Agency Malaysia MMEA, Royal Navy, Royal Airforce, Kepolisian Kerajaan Malaysia, serta Departemen Perikanan dan Royal Beacukai Malaysia. Dengan disepakatinya nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia ini menunjukkan adanya kemauan niat baik kedua negara dalam bekerjasama untuk melindungi dan menghormati nelayan tradisional, dan juga niat baik untuk bekerjasama menyelesaikan suatu permasalahan bilateral dengan jalan diplomasi dan bukan melalui konflik. Kerjasama mutualisme ini diharapkan untuk terus dievaluasi dan ditingkatkan lagi kedepannya, serta dapat ditularkan kepada bidang-bidang lainnya sehingga kedua negara terus dapat menjalin kerjasama bilateral yang positif di regionalnya.

B. Kendala-kendala yang dihadapi dalam Penyelesaian terhadap penahanan

Dokumen yang terkait

Pengelolaan Wilayah Perbatasan Darat Antara Indonesia Dengan Malaysia Pada Lembaga Perbatasan General Border Committee (Gbc) Menurut Perspektif Hukum Internasional

14 144 169

Bentuk Pertanggungjawaban Indonesia Atas Protes Malaysia Dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Dan Kebakaran Hutan Di Propinsi Riau

7 69 97

Yurisdiksi Wilayah Udara Suatu Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional

4 74 94

Pemetaan Konflik Nelayan Tradisional Dengan Nelayan Pukat Tarik Menggunakan Model SIPABIO (Kajian pada konflik masyarakat nelayan di desa Bagan Asahan, Kec. Tanjung Balai, Kab. Asahan Tahun 2011-2013)

17 213 111

PROSES PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PEMBAJAKAN KAPAL DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL.

0 0 6

PENYELUNDUPAN IMIGRAN DI PERAIRAN INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL.

0 0 16

Sengketa Wilayah Kashmir Antara India Dan Pakistan Ditinjau Dari Hukum Internasional - Ubaya Repository

0 0 8

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional - Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi Antara Indonesia – Malaysia Ditinjau Dari Hukum Internasi

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penahanan Nelayan Yang Melanggar Wilayah Perairan Dan Wilayah Yurisdiksi Antara Indonesia – Malaysia Ditinjau Dari Hukum Internasional

0 0 27

BAB II YURISDIKSI NEGARA PANTAI DI ATAS WILAYAH LAUT BERDASARKAN KETENTUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL A. Sejarah Hukum Laut Internasional - Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Oleh Nelayan Asing Di Wilayah Laut Indonesia Di Tinjau Dari Hukum Laut Internasional

0 0 17