Perdebatan tentang Upah Minimum
7.5. Perdebatan tentang Upah Minimum
Oleh Claudia Weinkopf 15
Apakah meningkatnya porsi upah rendah adalah sebuah permasalahan, juga sebuah sinyal untuk segera mengambil langkah kebijakan yang dibutuhkan,
ataukah merupakan bagian dari strategi yang ampuh dalam upaya mengu- rangi pengangguran? Jawaban atas pertanyaan ini, di Jerman, selalu me-
nimbulkan polemik. Meskipun banyak studi dalam beberapa tahun terakhir sepakat bahwa porsi penerima gaji rendah di Jerman sudah mencapai jumlah yang signiikan (vgl. z. B. Schäfer 2003, Rhein/Gartner/Krug 2005, Goebel/
Krause/Schupp 2005, Eichhorst u. a. 2005), masih saja ada tuntutan untuk memperluas pekerjaan bergaji rendah, bahkan ada suara yang mengusulkan „formalisasi“ pekerjaan bergaji rendah. 16
Secara keseluruhan, perdebatan belakang ini lebih fokus pada pertanyaan apakah tanggung jawab (harus melulu dari) negara untuk menaikkan gaji ren- dah agar dalam konteks rumah tangga bisa dipastikan bahwa penghasilan
yang diperoleh mencukupi kebutuhan pokok, ataukah lewat perundangan
dipastikan bahwa perusahaan tidak bisa menekan gaji kurang dari batas yang ditentukan. Berikut ini, dicermati keabsahan dan dikomentari dari perspektif
keadilan gender.
Pembela pekerjaan begaji rendah seringkali mengajukan argumentasi bahwa
hal tersebut menjadi semacam batu loncatan bagi pekerjaan bergaji lebih baik. Namun, beberapa studi terbaru meredam optimisme tersebut. Apa yang
15 Makalah ini hampir identik dengan versi berjudul „Debat politis terkait upah rendah dan upah mini-
mum–komentar dari perspektif gender“ sebagai sebuah tulisan dalam buku „Gaji rendah dan mini- mum. Sebuah analisis dari perspektif gender“, diterbitkan dalam: Friederike Maier, Angela Fiedler (Hg.) (2008), Kondisi menyimpang yang dibakukan. Analisis ekonomi tentang relasi perempuan-le- laki, telah dipublikasikan. Kami berterima kasih kepada penerbit ‘edition sigma ‘, Berlin, dan penulis
atas ijinnya. 16 Kutipan yang pas untuk itu, sulit ditemukan. Dalam banyak publikasi relevan, tuntutan pekerjaan bergaji rendah sedikit banyak menjadi kontroversi. Sehingga, muncul suara berkaitan dengan ke- harusan perbaikan standar gaji, ijin bagi gaji yang memperkuat persaingan bagi pekerjaan yang memerlukan kualiikasi rendah, penerapan kembali “ketentuan jarak maksimal antargaji” atau juga
mempersempit „kesenjangan pelayanan“ lewat perbandingan dengan AS.Sebagai contoh, adalah kutipan dari evaluasitahunan 2006/2007 yang dilakukan oleh dewan pertimbangan ahli: „Tetapi, dalam bidang pelayanan publik terbuka banyak kesempatan kerja seperti yang diperlihatkan oleh pengalaman negara-negara, misalnya AS, begitu pula pelajaran dari pengalaman masa lalu Jerman di mana banyak tempat pekerjaan dengan gaji rendah di bidang pelayanan kemudian terhapuskan akibat tingginya gaji“ (Sachver-ständigenrat 2006: 370).
disebut „mobilitas maju“berangkat dari pekerjaan bergaji rendah di Jerman yang beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan (vgl.Rhein/Gartner/ Krug 2005). Hal ini, membenarkan penilaian lAQ yang menggunakan data- data dari Lembaga Federal untuk Pekerjaan (disingkat BA): “kami menelu- suri pertanyaan berapa besar porsi pekerja penuh waktu yang pada tahun 1988, memperoleh upah rendah yang hingga tahun 2003, berhasil menin-
gkatkan perolehan upah (di atas garis upah minimum). Rata-rata, 34,4 % - atau sekitar sepertiga pekerja yang pada tahun 2003 masih bekerja –ber- hasil mencapai peningkatan tersebut. Mengacu pada kelompok pekerjaan,
U porsi ma-sing-masing sangat berbeda.Paling berhasil, adalah kelompok usia
muda (di bawah 25 tahun: 62,3 %), mereka yang berkualiikasi tinggi (den- S gan ijazah akademik: 53,6 %) serta laki-laki (50,4 %), telah berhasi meng-
gapai pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik. Sebaliknya, hanya sekitar seperempat kaum perempuan yang berasil keluar dari sektor bergaji rendah (27,1 %) (Bosch/Kalina 2007: 45).
Perdebatan paling banyak berkaitan dengan penilaian tentang upah ren- dah ditilik dari perspektif sosial-politik.Di satu pihak, terdapat argumentasi
bahwa pendapatan dari pekerjaan penuh waktu harus bisa memenuhi peng- amanan eksistensi. Tidak boleh ada yang miskin meski telah bekerja penuh
I dah, tidak secara otomatis menyebabkan kemiskinan. Ada pula yang mewakili
waktu. Di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa pekerjaan bergaji ren-
pendapat bahwa mereka yang melakukan pekerjaan bergaji rendah, hanyalah untuk memperoleh “pendapatan tambahan” (bandingkan, misalnya Brenke/ Eichhorst 2007). Dalam dua sudut pandang tersebut, terdapat kesamaan
pendapat bahwa upah rendah bagi perempuan tidak terlalu bermasalah. Bagi mereka yang mendukung upah minimum, perhatian utama adalah ayah sebagai kepala keluarga, yang meski telah bekerja penuh waktu (termasuk,