25
BAB II AKIBAT HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH YANG
BERADA DALAM KAWASAN HUTAN
A. Penataan Kawasan Hutan
Secara yuridis normatif, Pengertian hutan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 pasal 1 huruf b adalah : “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan, berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan pada pasal 1 huruf b adalah “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Menurut, A. Arief, Hutan adalah sutau masyarakat tumbuh-tumbuhan dan
hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan
serta membentuk
suatu kesatuan
ekosistem yang
berada dalam
keseimbangan yang dinamis.
26
Kemudian menurut, Hasanu Simon, Hutan adalah suatu asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang didonimasi oleh pohon dan vegetasi berkayu
yang mempunyai luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikrodan kondisi ekologi yang spesifik.
27
26
Arief. A, Hutan, Hakikat Dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994, hlm. 9.
27
Hasanu Simon, Hutan Jati dan Kemakmuran Jogyakarta: Aditya Media, 1993, hlm.13-14.
25
Universitas Sumatera Utara
26
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, definisi hutan ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan
yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Sedangkan
kawasan hutan diartikan sebagai wilayah-wilayah tertentu yang oleh menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Yang dimaksud dengan menteri
disini adalah menteri yang diserahi urusan kehutanan. Dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 diuraikan
bahwa hutan dalam undang-undang ini diartikan sebagai suatu lapangan yang cukup luas, bertumbuhan kayu, bambu danatau palem yang bersama-sama dengan
tanahnya, beserta segala isinya baik berupa alam nabati maupun alam hewani, secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk
memberikan manfaat-manfaat produksi, perlindungan danatau manfaat-manfaat lainnya secara lestari.
Dengan merujuk kepada pengertian dalam UU kehutanan 1967 tersebut, pengertian hutan tidak dianut pemisahan secara horizontal antara suatu
lapangan tanah dengan apa yang diatasnya. Antara suatu lapangan tanah, tumbuh-tumbuhanalam hayati dan lingkungannya merupakan suatu kesatuan
yang utuh; hutan yang dimaksud ini adalah dilihat dari sudut de facto yaitu kenyataan dan kebenarannya dilapangan. Disamping itu adanya suatu
lapangan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan, dimaksudkan untuk menetapkan suatu lapangan tanah baik yang bertumbuhan pohon atau tidak
sebagai hutan tetap. Dalam ketentuan ini dimungkinkan suatu lapangan yang tidak bertumbuhan pohon-pohon di luar kawasan hutan yang ditetapkan
sebagai kawasan hutan. Keberadaan hutan disini adalah de jure penetapan pemerintah.
28
28
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan Jakarta: Rajawali Pers, Cetakan I, 2013, hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
27
Dari pengertian tentang hutan dan kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam undang-undang kehutanan dapat disimpulkan bahwa, pengertian “hutan”
adalah pengertian pisik atau ekologi, yaitu suatu hamparan lahantanah yang di dominasi pepohonan sebagai satu kesatuan ekosistem. Sedangkan pengertian
“kawasan hutan” adalah pengertian yuridis atau status hukum, yaitu wilayah atau daerah
tertentu yang
ditunjuk danatau
ditetapkan oleh
pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Penguasaan atas hutan oleh pemerintah di dasarkan kepada pasal 33 ayat 3
UUD 1945 yang menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh
negara dan
dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut dijabarkan dalam pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria UUPA yang menegaskan tentang hak menguasai dari negara, dinyatakan bahwa Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakann peruntukkan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” sehingga membuat peraturan, kemudian “menyelenggarakan” artinya melaksanakan
execution atas penggunaanperuntukan use, persediaan reservation dan pemeliharaan maintenance dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur menetapkan dan membuat peraturan-peraturan hak-hak apa saja yang dapat
dikembangkan dari hak menguasai dari negara tersebut.
29
Abrar Saleng berpendapat bahwa rumusan hak menguasai negara atas hutan artinya negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan
penggunaan, pemanfaatan, dan hak atas sumber daya alam yang berupa hutan tersebut dalam lingkup mengatur regelen, mengurus, mengelola besturen, beheeren dan
mengawasi toezichthouden pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
30
Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan sebagaimana konsepsi Domein Verklaring yang ada pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda.
31
Sejarah lahirnya landasan hukum agraria nasional termasuk sejarah dari terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria UUPA salah satu point penting dari UUPA adalah
mencabut “Domein Verklaring” yang merupakan pelaksanan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda yang biasa disebut “Agrarische Wet” Staatsblad 1870
No. 55. Pernyataan dari “Domein Verklaring” itu berbunyi :
29
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria Bandung: CV. Mandar Maju, cetakan kesembilan, 2008, hlm. 44.
30
Abrar Sabeng, Hukum Pertambangan Jakarta: UII Press, cet I, 2004, hlm. 18.
31
Noer Fauzi,“Petani Dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
29
“Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikannya, bahwa itu eigendomnya adalah domein atau milik Negara.”
32
Konsep tersebut
dapat dikatakan
sangat tidak
menghargai bahkan
mengganggu hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat. Karena hak-hak rakyat atas tanah yang sudah turun temurun akan tetapi tidak dapat
dibuktikan eigendomnya dianggap domein atau milik negara. Dalam konteks penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan maka pasal 4
ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan
“Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.” Intinya adalah hutan sebagai sumber kekayaan alam Indonesia pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat, dan digunakan untuk mencapai kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia. Dalam pengertian ini hutan “dikuasai” tetapi bukan “dimiliki” oleh negara, melainkan suatu pengertian
kewajiban-kewajiban dan pemegang amanah rakyat dalam lapangan hukum publik sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan : “Penguasaan hutan oleh negara tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah untuk : a mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil
32
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
30
hutan, b menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan bukan kawasan hutan, c mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.” Jika dihubungkan dengan teori kewenangan maka pemerintah mendapat
kewenangan untuk menguasai, mengatur dan mengurus hutan berdasarkan wewenang atribusi yang diberikan oleh pembentuk undang-undang kehutanan.
33
Dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, menurut H.D. Van Wijk dan Willem
Konijnenbelt, setidaknya terdapat 3 tiga sumber kewenangan pemerintah yaitu : 1. Atribusi, adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang DPR kepada suatu organ pemerintahan. 2. Delegasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 3. Mandat, adalah jika satu organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya, dalam hal ini tidak terjadi perubahan wewenang apapun yang terjadi hanyalah hubungan internal antara atasan dan
bawahan.
34
Pemerintah atau eksekutif yang dipresentasikan oleh presiden dalam menjalankan tugas pemerintahannya dibantu oleh para menteri atau kementerian
kehutanan. Pada dasarnya dalam undang-undang kehutanan tidak ditemukan rumusan yang menyatakan bahwa menteri atau kementerian kehutanan menguasai tanah
33
Bambang, Op Cit, hlm. 78.
34
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, ed. I, 2006, hlm. 104-105.
Universitas Sumatera Utara
31
kawasan hutan, namun tidak berarti tanah kawasan hutan tidak ada yang menguasai. Jika merujuk pada konstruksi undang-undang kehutanan penguasaan hutan termasuk
tanahnya adalah domain negara bukan pemerintah. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status hutan dengan tanah hutan,
dimana antara pepohonan dengan tanah memiliki pengaturan yang berbeda. Sehingga apabila pepohonan telah ditebang maka status hukum sebagai hutan akan berakhir
dan tanahnya kembali menjadi tanah negara yang diurusi oleh Badan Pertanahan Nasional BPN. Salah satu pendapat yang berkenaan dengan ini adalah :
Dengan adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan LNRI
1999-167, TLNRI 3587. Hukum Tanah Nasional HTN ditafsirkan sebagai tidak berlaku terhadap tanah-tanah yang berada di kawasan hutan. Padahal
HTN berlaku untuk semua tanah diwilayah negara, seperti dapat disimpulkan dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1967 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan
Tugas
Keagrariaan dengan
bidang tugas
kehutanan, pertambangan,
transmigrasi dan pekerjaan umum. Hak penguasaan yang ada pada menteri yang membidangi kehutanan, sebenarnya hanya mengenai hutan, dalam arti
tegakan-tegakan yang ada di kawasan hutan. Tidak meliputi kewenangan mengenai tanahnya. Kiranya kewenangan mengenai tanah dikawasan hutan
yang sekarang kenyataannya dilaksanakan oleh menteri tersebut, dapat diberikan landasan hukumnya dengan diberikan hak pengelolaan kepada
departemen yang bidangnya meliputi urusan kehutanan.
35
Kembali melihat pengertian hutan menurut pasal 1 angka 2 dan angka 3 serta pasal 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Pada pasal 1 angka 2 disebutkan
adanya suatu hamparan lahan. Lahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
35
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Jakarta: Universitas Trisakti, edisi revisi, 2007, hlm. 52-53.
Universitas Sumatera Utara
32
pula tanah.
36
Dengan demikian lahan dengan pepohonan merupakan bagian yang tidak terpisahkan, karena dalam rumusan tersebut dinyatakan sebagai “suatu kesatuan
ekosistem” Menurut Otto Soemarwoto, suatu konsep sentral dalam ekologi adalah
ekosistem, yaitu suatu sistim ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem terbentuk oleh komponen
hidup dan tidak hidup di suatu tempat yang berinteraksi membuat satu kesatuan yang teratur.
37
Selanjutnya pada pasal 1 angka 3 disebutkan adanya suatu “wilayah tertentu”, suatu wilayah menunjukkan adanya suatu daerah dimana tentunya berkaitan dengan
tanah, karena tidak ada suatu daerah yang terpisah dari tanahnya. Akan tetapi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang Singkronisasi Pelaksanaan Tugas
Keagrariaan Dengan Bidang Tugas Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi, dan Pekerjaan Umum, telah memisahkan penguasaan antara pepohonan dengan tanahnya
tidak tepat. Penguasaan kawasan hutan oleh menteri yang ditetapkan melalui sebuah undang-undang lebih tinggi kedudukan hukumnya dari sebuah Instruksi Presiden
sesuai dengan hirarki perundang-undangan di Indonesia pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 pasal 7 ayat 1.
Menurut Achmad Sodiki, inti masalahnya adalah pada hak menguasai negara yang diterapkan pada undang-undang sektoral tersebut tidak menunjukkan kesamaan
36
Kementerian Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Edisi keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama.
37
Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
33
penafsiran tentang isi dan batas-batasnya. Sehingga terkesan adanya tumpang tindih kewenangan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum.
38
Perbedaan sudut pandang pada dasarnya disebabkan perbedaan cara pandang dan dasar hukum yang berbeda. Disatu sisi dasar hukum yang digunakan adalah
UUPA dan peraturan pelaksananya, sedangkan disisi Kementerian Kehutanan didasarkan
kepada ketentuan
undang-undang kehutanan
beserta peraturan
pelaksanaannya. Kementerian Kehutanan mengemban amanah untuk mengelola hutan di
Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, pasal 10 menyatakan:
1 Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna
dan lestari untuk kemakmuran rakyat. 2 Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, meliputi kegiatan
penyelenggaraan : a Perencanaan kehutanan,
b Pengelolaan hutan, c Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan
kehutanan, dan d Pengawasan.
Pada pasal 11 Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan : 1 Perencanaan Kehutanan dimaksudkan untuk memberi pedoman dan
arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3. 2 Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan,
bertanggung gugat, partisipatif, terpadu serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi
38
Achmad Sodiki, 40 Tahun Perjalanan UUPA, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Brawijaya, Malang, 1999, hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
34
daerah. Kemudian pasal 12 menyatakan bahwa Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 2 huruf a, meliputi :
a. Inventarisasi hutan, b. Pengukuhan kawasan hutan,
c. Penatagunaan kawasan hutan, d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
e. Penyusunan rencana kehutanan. Penjelasan Pasal 12 menerangkan : “Dalam pelaksanaan dilapangan, kegiatan
pengukuhan kawasan hutan tidak selalu mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan memerlukan waktu yang lama.
Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan”.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, dimana dalam pasal 1 butir 1 dikatakan, “Perencanaan Kehutanan adalah
proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, mengemukakan : 1 Maksud perencanaan kehutanan adalah untuk memberikan pedoman dan arah
bagi pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenkota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi, yang memuat strategi dan kebijakan kehutanan
untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaran kehutanan.
Universitas Sumatera Utara
35
2 Tujuan perencanaan kehutanan adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang
optimum dan lestari. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, menyatakan :
1 Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan : a. Inventarisasi hutan,
b. Pengukuhan kawan hutan, c. Penatagunaan kawasan hutan,
d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan e. Penyusunan rencana kehutanan.
2 Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 di dukung peta kehutanan dan atau data numerik.
3 Pedoman pemetaan kehutanan dan pengelolaan data numerik sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan keputusan menteri.
Pasal 4 menyatakan perencanaan kehutanan dilaksanakan : a. Secara transparan, partisipatif dan bertanggung-gugat;
b. Secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan masyarakat seta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial
budaya dan berwawasan global; c. Dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifan
tradisional. Inventarisasi hutan adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan
fakta mengenai sumber daya hutan untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Ruang lingkup inventarisasi hutan meliputi : survei mengenai
status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Inventarisasi hutan
wajib dilaksanakan karena hasilnya digunakan sebagai bahan perencanaan pengelolaan hutan agar diperoleh kelestarian hasil. Hierarki inventarisasi
hutan adalah inventarisasi hutan tingkat nasional, inventarisasi hutan tingkat wilayah, inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, inventarisasi hutan
tingkat
unit pengelolaan.
Tujuan inventarisasi
hutan adalah
untuk mendapatkan data yang akan diolah menjadi informasi yang akan digunakan
sebagai bahan perencanaan dan perumusan kebijaksanaan strategis jangka panjang, jangka menengah dan operasional jangka pendek sesuai dengan
tingkatan dan kedalaman inventarisasi yang dilaksanakan.
39
39
www.google.com - Inventarisasi Hutan - Bab II Inventarisasi Hutan. lihat juga www.dephut.go.idpranalogi kehutananbab2.pdf. Diakses pada tanggal 12 Nopember 2013.
Universitas Sumatera Utara
36
Pasal 13 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, 1 Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh
data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. 2 Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 dilakukan dengan survey mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar
hutan. 3 Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud ayat 2 terdiri dari : a. Inventarisasi hutan tingkat nasional,
b. Inventarisasi hutan tingkat tingkat wilayah, c. Inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai dan
d. Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan. 4 Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud ayat 1, ayat 2 dan ayat
3 antara lain dipegunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan dan
sistim informasi kehutanan . 5 Ketentuan lebih lanjut sebagimana dimaksud ayat 1 , ayat 2 dan ayat 3
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan pasal 13 ayat 3, ayat 4 dan ayat 5 adalah :
Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi hutan tingkat yang lebih rendah. Inventarisasi untuk semua tingkat,
dilaksanakan terhadap hutan negara maupun hutan hak. Ayat 4 yang dimaksud neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat
menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber
daya hutan,
sehingga pada
waktu tertentu
dapat diketahui
kecenderungannya, apakah surplus atau defisit jika dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
37
waktu sebelumnya. Ayat 5 Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya akan dirangkum
dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan. Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain :
a. Tata cara, b. Mekanisme pelaksanaan,
c. Pengawasan dan pengendalian, dan d. Sistim informasi.
Menurut PP Nomor 44 Tahun 2004 paragraf 3, 4 dan 5 mengatur mengenai inventarisasi hutan tingkat wilayah. Pasal 8 menyatakan Gubernur menetapkan
pedoman inventarisasi hutan berdasarkan kriteria dan standar inventarisasi yang
ditetapkan menteri, sebagai acuan pelaksanaan inventarisasi hutan. Kemudian inventarisasi hutan pada tingkat propinsi, kabupatenkota, tingkat wilayah dan pada
tingkat unit pengelolaan dilakukan satu kali dalam lima tahun. Undang-undang
Kehutanan dalam
pasal 18
mengamanatkan bahwa
pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi
manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Dalam penjelasan pasal 18 ayat 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
penutupan hutan forest coverage adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain
iklim mikro, tata air dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan. Sedangkan yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah kesinambungan antara manfaat
lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekosistem secara lestari.
Universitas Sumatera Utara
38
Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan oleh pemerintah adalah minimal 30 tiga puluh persen dari luas aliran sungai dan atau pulau dengan
sebaran yang proporsional.
40
Luas hutan yang hendak dipertahankan oleh pemerintah tidak selamanya dapat diterapkan pada wilayah-wilayah tertentu, seperti pulau Jawa. Luas areal
kawasan hutan di pulau Jawa dan Madura pada kenyataannya kurang dari 20 dan tidak selururuhnya dapat digunakan sesuai peruntukannya. Hal ini disebabkan oleh
terdapat tanah-tanah yang diduduki pihak ketiga tanpa izin, pembuatan waduk- waduk, irigasi dan jalan-jalan.
Luas hutan Indonesia di tiap provinsi merupakan data luas hutan yang terdapat di masing-masing provinsi di Indonesia. Luas seluruh hutan di Indonesia adalah
133.300.543,98 ha. Ini mencakup kawasan suaka alam, hutan lindung, dan hutan produksi.
Data luas hutan Indonesia ini merupakan data de jure, data di atas kertas berdasarkan SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi yang dikeluarkan
oleh Menteri Kehutanan. Mengenai jumlah riil luas hutan di lapangan kemungkinan dapat berbeda.
Data ini kemungkinan besar bukan luas riil hutan di Indonesia. Dengan SK penunjukkan kawasan hutan yang dikeluarkan beberapa tahun lalu tentunya tidak
mencakup berbagai kerusakan hutan yang terjadi akibat kebakaran hutan, pembalakan liar, maupun berbagai alih fungsi hutan lainnya.
40
Loc.cit, Bambang Eko, hlm. 119.
Universitas Sumatera Utara
39
Dengan demikian setiap kebijakan pemerintah terhadap hutan harus tetap mempertimbangkan setiap kepentingan yang berkaitan dengan hutan tersebut dan
tidak mengutamakan kepentingan sekelompok orang tertentu yang justru dapat menyebabkan kerusakan hutan.
Sesuai dengan pemaparan di atas maka pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan yang memperoleh kewenangan untuk mengelola hutan di Indonesia harus
lebih agresif dan selektif seperti dalam hal penetapan dan pengelolaan hutan. Namun yang paling utama adalah lebih bijaksana dalam mengeluarkan produk-produk hukum
yang sangat besar pengaruhnya bagi masa depan hutan dan rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan Asas dan Tujuan Pasal 2 Undang-undang No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan yang berisi “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.”
Dalam Penjelasan Pasal 2 tersebut dinyatakan bahwa Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar :
Setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
Penyelenggaraan kehutanan
berasaskan kerakyatan
dan keadilan,
dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai
dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin
pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli,
dan oligopsoni.
Penyelenggaraan kehutanan
berasaskan kebersamaan,
dimaksudkan agar
dalam penyelenggaraan
kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling
ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil,
menengah, dan koperasi. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikut-
Universitas Sumatera Utara
40
sertakan masyarakat
dan memperhatikan
aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan
kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.
Tahapan terakhir dalam penataan kawasan hutan adalah penyusunan rencana kehutanan, hal ini dilakukan setelah
di dapat inventarisasi hutan setelah mempertimbangkan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial
masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan. Menurut Lampiran Peraturan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 36MENHUT-II2013 Tanggal : 3 Juli
2013 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat KabupatenKota di dalam latar belakang menyatakan :
Rencana kehutanan terdiri dari rencana kawasan hutan dan rencana pembangunan kehutanan. Berdasarkan skala geografis, rencana kawasan hutan
terdiri dari Rencana Kehutanan Tingkat Nasional RKTN, Rencana Makro Penyelenggaraan Kehutanan, Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi RKTP,
Rencana
Kehutanan Tingkat
KabupatenKota RKTK
dan Rencana
Kehutanan Tingkat Pengelolaan Hutan RKPH. Jenis dan tata hubungan rencana-rencana kehutanan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.42Menhut-II2010
tentang Sistem
Perencanaan Kehutanan.
Rencana Kawasan Hutan mempertimbangkan rencana tata ruang dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang RPJP Nasional dan daerah, dan selanjutnya
merupakan acuan
spasial dalam
penyusunan Rencana
Pembangunan Kehutanan.
Pengertian Rencana Kehutanan adalah produk perencanaan kehutanan yang dituangkan dalam bentuk dokumen rencana spasial dan numerik serta disusun
menurut skala geografis, fungsi pokok kawasan hutan dan jenis-jenis pengelolaannya serta
dalam jangka
waktu pelaksanaan
dan dalam
penyusunannya telah
memperhatikan tata ruang wilayah dan kebijakan prioritas pembangunan yang terdiri dari rencana kawasan hutan dan rencana pembangunan kehutanan.
Universitas Sumatera Utara
41
Selanjutnya tata cara penyusunan rencana kehutanan menurut Lampiran Peraturan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 36MENHUT-II2013 pada
bagian F No. 2 dilakukan dengan tata cara : a. Persiapan.
b. Kondisi dan Potensi Kawasan Hutan Saat Ini. c. Analisis Kawasan.
Berdasarkan Rencana Kehutanan tersebut diatas, maka apabila semua prosedur dilaksanakan sesuai dengan petunjuk undang-undang kemungkinan akan
didapatkan hasil maksimal dalam pengurusan hutan di Indonesia dalam rangka
memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. Prosedur Penerbitan Sertipikat Hak Milik Oleh Badan Pertanahan