Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
pada saat itu mencapai 2.124 kasus. Tahun berikutnya menjadi 2.312 kasus dan pada tahun 2002 yang lalu jumlahnya terus meningkat hingga menjadi 2.663
kasus. Dan pada tahun 2003, dalam bulan Januari saja sudah tercatat angka Pemutusan Hubungan Kerja PHK sebesar 809 kasus, yang berarti sebesar tiga
puluh persen dari total kasus Pemutusan Hubungan Kerja PHK pada tahun 2002 Darmawan, 2003. Besarnya kasus Pemutusan Hubungan Kerja PHK ini akan
semakin membuat para karyawan khawatir dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja PHK.
Dalam penelitian ini peneliti ingin membahas mengenai kemungkinan berhenti bekerja yang disebabkan karena adanya pemecatan atau Pemutusan
Hubungan Kerja PHK yang akhir-akhir ini banyak terjadi. Peneliti melihat bahwa pemecatan yang dilakukan akhir-akhir ini sudah tidak pandang bulu lagi,
dari karyawan yang baru saja bekerja sampai karyawan yang sudah bertahun- tahun bekerja di suatu perusahaan, dari tingkat buruh sampai pada tingkat
manajer. Sebenarnya ada prosedur untuk pemberhentian atau Pemutusan Hubungan
Kerja PHK, yaitu Pengusaha yang ingin melakukan Pemutusan Hubungan Kerja PHK terhadap kurang dari sembilan karyaawan harus mendapat ijin terlebih
dahulu dari P4D Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah, dan harus mendapat ijin dari P4P Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat untuk Pemutusan Hubungan Kerja PHK terhadap pekerja yang jumlahnya sepuluh orang ke atas Panggabean, 2002: 122. Namun demikian, keputusan
perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja PHK terhadap 4
karyawannya tetap saja dinilai kurang adil oleh karyawan yang menghadapi PHK, apalagi menyangkut pesangon dan masa depan mereka.
Peneliti seringkali melihat adanya suatu kecenderungan menarik diri pada karyawan yang tengah menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja
PHK, terutama jika karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja PHK berada pada tingkat manajerial dan karyawan yang sudah relatif lama
bekerja di suatu perusahaan. Hal itu disebabkan karena mereka mengalami post power syndrome
dan retirement shock. Menarik diri withdrawal merupakan reaksi dari seseorang untuk
mengingkari dirinya sendiri dan terkadang orang-orang lain di sekitarnya, sebagai reaksi dari keadaan yang menekannya. Mereka mencoba membohongi diri dengan
berpura-pura segalanya berjalan sebagaimana keadaan semula sebelum keadaan yang menekan terjadi, dan mulai hidup dalam dunia khayalan Leatz Stolar,
1992: 37 Withdrawal
penarikan diri juga berarti suatu pola dari penghalangan atau frustrasi. Penarikan diri ini bisa menjadi suatu mekanisme pembelaan diri yang
habitual, yang menyangkut simptom serius berupa pengunduran atau penarikan diri dari realitas, kecanduan bahan narkotika, alkoholisme, dan sebagainya
Chaplin, 2002: 540. Menarik diri withdrawal dijadikan sebagai defense mechanism atau
mekanisme pertahanan diri oleh para karyawan yang sedang menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja PHK. Menarik diri dari lingkungan
sosial membuat mereka merasa lebih aman dan tidak merasa terganggu dengan lingkungan sosialnya.
Uraian tersebut menjadi alasan bagi peneliti untuk mengetahui adanya kecenderungan menarik diri yang dialami oleh para karyawan dalam menghadapi
kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja PHK. Oleh karena itu dengan penelitian ini peneliti ingin mengetahui lebih dalam bagaimana tingkat menarik
diri karyawan dalam menghadapi kemungkinan Pemutusan Hubungan Kerja PHK.