Tujuan Penelitian Dinamika Perbedaan Kecenderungan pembelian impulsif pada

10 BAB II LANDASAN TEORI

A. Pembelian Impulsif

1. Definisi Pembelian Impulsif

Pembelian impulsif adalah perilaku membeli tanpa melalui perencanaan sebelumnya. Membeli dengan impulsif sering kali dilakukan dengan cepat tanpa melalukan pertimbangan dan dengan alasan yang kurang logis atau rasional Engel dan Blackwell, 1995. Definisi ini didukung oleh Verplanken Herabadi 2001 yang mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang kurang menggunakan rasional dan diasumsikan sebagai pembelian yang cepat dan kurang direncanakan. Selain mendukung teori sebelumnya Verplanken Herabadi 2001 menambahkan bahwa pembelian Impulsif hanya mengikuti konflik pikiran dan dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut terkait dengan munculnya perasaan yang intens yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan mengabaikan konsekuensi negatif, merasakan kepuasan dan mengalami konflik di dalam pemikiran Rook dalam Verplanken, 2001. Berbeda dengan teori sebelumnya yang berpendapat bahwa pembelian impulsif bersifat irasional, spontan dan berlangsung secara cepat. Solomon Rabolt 2009 menyatakan bahwa tidak sepenuhnya pembelian impulsif disebut irasional karena seringnya pembelian impulsif justru didasarkan kebutuhan. Pendapat itu didukung oleh Thomson et al, dalam Semuel, 2007 mengemukakan bahwa motif pembelian impulsif muncul seringkali dilakukan secara sadar oleh pengalaman individu pada kebutuhan emosional seperti: kepuasan, pujian, kesenangan hingga kebahagiaan secara sementara, sehingga pembelian impulsif lebih sesuai dengan keputusan membeli yang rasional dibandingkan irasional Thomson et al, dalam Semuel, 2007. Solomon Rabolt 2009 berpendapat bahwa pembelian impulsif dilakukan individu secara rasional ketika mengalami perasaan mendesak dikarenakan tidak dapat melawan keinginan dalam membeli sesuatu. Kecenderungan untuk membeli secara spontan ini sering membuat konsumen merasa percaya bahwa tindakan membelinya adalah hal yang wajar Rook Fisher 1995 dalam Solomon, 2009. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif adalah pembelian yang cenderung dilakukan secara spontan atau tiba-tiba, disertai dengan perasaan intens dan seringkali kurang rasional dan berdampak pada pengabaian akan konsekuensinya, sehingga pembelian seringkali secara irasional.

2. Aspek Pembelian Impusif

Pembelian impulsif terdiri atas dua aspek yakni aspek kognisi dan emosi. Sebelumnya Rook 1987 menyimpulkan bahwa pembelian impulsif terdiri dari empat aspek yaitu aspek spontan , aspek kekuatan, aspek stimuli, aspek tidak peduli pada konsekuensi. Hal tersebut dikelompokkan Verplanken Herabadi 2001 menjadi dua aspek yakni aspek spontan dan aspek tidak peduli akan konsekuensi mencerminkan aspek kognisi serta aspek emosi terdiri atas aspek stimuli dan aspek kekuatan. Meski demikian, Verplanken Herabadi 2001 mengatakan bahwa pada setiap pembelian impulsif hanya memunculkan satu aspek yang dominan. Aspek pembelian impulsif menurut Verplanken Herabadi 2001 yaitu: a. Aspek Kognitif Aspek ini berfokus pada proses kognitif individu yang meliputi: individu kurang dalam melakukan pertimbangan harga dengan manfaat suatu produk, kurang memberikan penilaian terhadap suatu pembelian produk dan kurang membandingan produk yang akan dibeli dengan produk yang mungkin lebih berguna. Rook 1987 mengatakan pada aspek kognitif terdapat pembelian impulsif secara spontan yakni pembelian yang cenderung mendadak, dan cepat dikarenakan promosi atau pengaruh stimulus visual yang menarik dan pembelian impulsif seringkali mengabaikan atau kecenderungan tidak peduli pada konsekuensinya Rook, 1987. b. Aspek Emosional Aspek ini berfokus pada kondisi emosional konsumen yang meliputi: munculnya dorongan perasaan untuk segera melakukan pembelian, munculnya perasaan senang dan puas setelah melakukan pembelian. Rook 1987 berpendapat, pada aspek emosional ini terdapat kekuatan impuls dan intensitas yakni pembelian yang harus dilakukan karena merasa sangat memerlukan serta munculnya stimuli dan kegembiraan yakni pembelian disertai dengan dorongan perasan gembira yang kuat dan seringkali terlepas dari kontrol Rook, 1987. Berdasarkan aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan individu pada aspek kognitif melakukan pembelian impulsif dengan cenderung kurang dalam melakukan pertimbangan, pemberian penilaian dan membandingkan produk yang akan dibeli dengan produk lain yang lebih berguna sehingga mengabaikan konsekuensinya, sedangkan pada aspek emosional individu melakukan pembelian impulsif dengan menekankan perasaan senang dan puas yang muncul secara tiba-tiba dan merasa sangat memerlukan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif

Menurut Loudon dan Bitta 1993 faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni faktor pemasaran atau marketing, faktor produk dan faktor konsumen. Faktor pemasaran atau marketing merupakan faktor dari luar individu yang mendorong konsumen melakukan pembelian impulsif, faktor produk merupakan faktor tampilan produk yang membuat individu tertarik membeli suatu produk sehingga membeli secara impulsif dan faktor karakteristik konsumen yakni faktor dari dalam diri individu dan mempengaruhi individu dalam pembelian impulsif. Faktor pemasaran atau marketing menurut Loudon dan Bitta 1993, yaitu: dorongan murni pure impulse yaitu berupa dorongan untuk membeli produk baru atau menghentikan pola pembelian yang sebelumnya, dorongan karena saran suggestion impulse yang didasarkan karena saran dari orang lain, misalkan teman atau sales promotion, dorongan karena ingatan reminder impulse karena teringat akan produk yang terdapat diiklan, display maupun katalog dan dorongan yang tidak terencana planned impulse untuk membeli berdasarkan kupon, diskon, voucher yang direncanakan meski kurang berguna Loudon dan Bitta,1993. Faktor produk menurut Loudon dan Bitta 1993, yakni: Harga yang relatif murah, produk berukuran kecil, produk digunakan dalam jangka waktu relatif cepat. Harga yang relatif murah, misalnya: adanya promosi potongan harga suatu produk membuat individu cenderung membeli secara impulsif. Produk berukuran kecil misalnya: produk yang ringan dan mudah dibawa seringkali diletakkan di dekat kasir untuk mempengaruhi individu melakukan pembelian impulsif, produk digunakan dalam jangka waktu relatif cepat misalkan: pembelian beberapa produk seringkali memiliki batas kadaluarsa atau batas pemakaian yang relatif cepat sehingga pembelian suatu produk berkelanjutan meskipun kurang manfaatnya. Faktor karakteristik konsumen, menurut Loudon dan Bitta dalam Anin F dkk, 2008, meliputi gender, sosial demografi dan sosial ekonomi. Rook dan Hoch dalam Kancen 2007 mengemukakan pada faktor gender yakni perempuan lebih cenderung membeli secara impulsif dibandingkan laki-laki. Namun, belum ada penelitian yang mendukung perempuan mahasiswa kos memiliki kecenderungan lebih Impulsif dibandingkan laki-laki. Pada faktor sosial demografi keadaan lingkungan dikota lebih banyak pusat perbelanjaan sehingga mendorong individu membeli secara impulsif Loudon dan Bitta dalam Astasari AR, dkk, 2009. Pada faktor sosial ekonomi pada konsumen remaja keadaan uang saku berhubungan positif dengan kecenderungan membeli secara impulsif Ling dan Lin dalam Semuel, 2007. Tetapi ini bertentangan dengan Semuel 2007 yang mengungkapkan tidak ada keterkaitan antara uang saku dengan pembelian impulsif. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan faktor-faktor pembelian impulsif dapat dikategorikan menjadi faktor pemasaran atau marketing, faktor produk, dan faktor konsumen. Pada faktor pemasaran terdapat dorongan murni, dorongan karena saran, dorongan karena ingatan, dan dorongan tidak terencana. Faktor produk yang terdiri atas produk relatif murah, produk berukuran kecil atau ringan, dan produk memiliki jangka waktu singkat. Sedangkan faktor konsumen terdapat gender, sosial demografi dan sosial ekonomi.

B. Mahasiswa Kos dan Mahasiswa Tinggal dengan Orang Tua

Berdasarkan Tingkat Kemandirian. 1. Definisi Kemandirian Menurut Steinberg, 2002 kemandirian dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu dalam bertingkah laku, merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasarkan kehendaknya sendiri. Jihadah. U, dkk. 2002 menambahkan bahwa kemandirian merupakan suatu sikap yang harus dipenuhi individu dalam menentukan masa depan yang lepas dari ketergantungan pada orang lain, kemandirian ini tidak dapat berkembang secara instant atau langsung jadi. Erikson dalam Monk, dkk, 2006 menegaskan bahwa seorang individu yang dinyatakan memiliki kemandirian dapat melepaskan diri dari pengaruh orang tua, memiliki inisiatif, tanggung jawab, percaya diri dan kreatif. Senada dengan hal tersebut, Anggraeni 2013 menyatakan bahwa, kemandirian dapat di definisikan sebagai kemampuan individu yang tidak hanya mengambil keputusan namun dapat bertanggung jawab atas berperilaku, disertai pengambilan keputusan yang diikuti dengan menurunnya ketergantungan pada orang lain. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan kemandirian merupakan kemampuan individu dalam bertingkah laku, merasakan sesuatu dan membuat keputusan sendiri dengan bertanggung jawab tanpa bantuan orang lain. Kemandirian merupakan sikap yang harus dipenuhi individu dalam menentukan masa depan dan tidak dapat berkembang secara instant atau langsung jadi.

2. Kemandirian Remaja Akhir

Batubara, 2010 mengatakan bahwa remaja merupakan periode kritis peralihan anak menjadi dewasa, berbagai perubahan hormonal, fisik psikologis maupun sosial terjadi berlangsung cepat dan terkadang tidak disadari. Perubahan mengakibatkan perubahan perilaku remaja pada lingkungannya dan dapat diatasi pada akhir remaja untuk menghadapi masa dewasanya Batubara, 2010. Santrock 2007 mengutarakan bahwa masa perkembangan remaja akhir diusia 18-22 tahun. Batubara 2010 menambahkan bahwa remaja akhir dimulai pada usia 18 tahun yang ditandai dengan matangnya maturitas fisik secara sempurna, hal itu ditandai dengan mampu memikirkan ide, indentitas diri menjadi lebih kuat, lebih menghargai orang lain, emosi lebih stabil, lebih memikirkan masa depan, lebih konsisten dan bertanggung jawab. Masa remaja ialah masa seseorang sudah dapat memutuskan pilihan yang dirasa tepat untuk dirinya Santrock, 2007. Menurut Sarlito 2002 rentang usia remaja ialah 14-24 tahun. Pada remaja akhir, remaja sudah lebih mandiri dan berkompeten dalam menentukan masa depannya termasuk membeli sesuai kebutuhannya dan memikirkan dampak atau resikonya Kreating dalam Santrock, 2007. Mandiri dalam pengambilan keputusan pada remaja akhir merupakan proses terampil yang dipelajari dikehidupan sehari-hari dan menuntut proses kognitif yang lebih tinggi dan seringkali lebih sempurna Ganzel dan Jacobs dalam Santrock, 2007 Kemandirian yang bertanggung jawab harus dipenuhi individu di masa remaja. Kemandirian merupakan salah satu indikator remaja mencapai kedewasaan dengan kemampuannya dalam melakukan segala sesuatu sendiri tanpa harus bergantung dengan orang lain Patriana, 2007. Mahasiswa merupakan remaja akhir yang pada umumnya memiliki rentang usia 18-22 tahun yakni selama 4 tahun atau 8 semester. Hal ini menandakan bahwa mahasiswa berada pada masa perkembangan remaja akhir. Mahasiswa pada masa remaja akhir diharuskan mencapai kemandirian untuk mempersiapkan diri di masa depan serta tidak kesulitan di masa dewasanya dengan melakukan segala sesuatu secara bertanggung jawab dan tanpa bergantung pada orang lain Patriana, 2007. Masa remaja akhir merupakan saat berkembangnya proses kognitif, emosi, bertanggung jawab dan konsistensi. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja akhir memiliki rentang usia 18-22 tahun, dan mahasiswa memiliki rentang usia 18- 22 tahun sehingga mahasiswa merupakan remaja akhir. Mahasiswa mengalami masa transisi dari hidup bergantung dengan orang tua menjadi hidup mandiri sehingga dapat mengambil keputusan secara mandiri dan dapat menentukan masa depannya tanpa bantuan orang lain.

3. Aspek Kemandirian Remaja Akhir

Menurut Syafaruddin 2012 kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: a. Aspek Emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua. b. Aspek Ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua. c. Aspek Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. d. Aspek Sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain

4. Definisi Mahasiswa Kos

Mahasiswa kos adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan bermukim secara sementara dengan menyewa suatu ruangan dalam periodik waktu tertentu, anak kos memiliki kewajiban untuk membayar dan mematuhi perjanjian misalkan membayar listrik dan air Arifin As, 2009. Mahasiswa kos biasanya tinggal jauh dari orang tua dan harus mencukupi kebutuhannya secara bijak karena tidak setiap waktu mendapat kiriman dari orang tua, sehingga mahasiswa kos sering dituntut lebih hemat sedangkan tidak semua tempat kos dapat memasak untuk mengurangi biaya, sehingga seringkali masalah pengeluaran menjadi permasalahan mahasiswa kos. Menurut Lampung post, 2011 Mahasiswa kos hidup bertempat tinggal terpisah dengan orang tua dan harus mencukupi kebutuhannya secara bijak karena tidak setiap waktu mendapat kiriman dari orang tua. Mahasiswa kos berdasarkan tanggung jawabnya dituntut lebih mandiri mengelola keuangan dibandingkan mahasiswa tinggal dengan orang tua. Mahasiswa kos dituntut hidup mandiri dikarenakan jarak yang jauh dengan orang tua sehingga tindakan, pengambilan keputusan dan tanggung jawab lebih dituntut dari mahasiswa kos.

5. Definisi Mahasiswa Tinggal Dengan Orang Tua

Mahasiswa tinggal dengan orang tua adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan tinggal dengan orang tua atau hidup serumah bersama dengan orang tua tidak perlu menyewa dan menunggu kiriman uang dari orang tua, tetapi mendapat pengawasan orang tua. Mahasiswa tinggal dengan orang tua atau seorang anak yang hidup serumah bersama dengan orang tua memiliki kecenderungan meniru perilaku orang tua, sehingga ketika orang tua berperilaku pembeli secara impulsif maka anak akan meniru perilaku orang tua Setiawati dkk, 2004 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tipe tempat tinggal pada mahasiswa kos dan mahasiswa tinggal dengan orang tua berdasarkan kemandiriannya. Kemandirian merupakan bagian dari remaja untuk menghadapi masa dewasa. Kemandirian remaja akhir diperlukan saat mengambil keputusan dan menentukan masa depan tanpa bantuan orang lain. Pada pengambilan keputusan dan tanggung jawab mahasiswa kos dituntut lebih dibandingkan mahasiswa tinggal dengan orang tua.

C. Dinamika Perbedaan Kecenderungan pembelian impulsif pada

mahasiswa kos dan mahasiswa tinggal dengan orang tua. Mahasiswa berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Tahap kehidupan yang menuntut hidup lebih ideal dalam memutuskan masalah secara bertanggung jawab. Mahasiswa mulai memiliki emosi yang cenderung stabil, sabar, dan diharuskan memiliki kemandirian untuk berkembang di masa dewasa Patriana, 2007. Kemandirian memiliki peranan penting yang harus dimiliki pada mahasiswa. Hal ini diungkapkan oleh Steinberg 2002 yang mendefinisikan kemandirian merupakan kemampuan individu dalam bertingkah laku, merasakan sesuatu, dan mengambil keputusan berdasarkan kehendaknya sendiri. Kemandirian mahasiswa dalam melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab merupakan beberapa perilaku yang dilakukan mahasiswa kos karena hidup jauh dari orang tua dan harus memenuhi kebutuhannya sendiri dibandingkan Mahasiswa tinggal dengan orang tua Patriana, 2007. Mahasiswa kos hidup jauh dari orang tua, hal itu membuatnya harus mengambil keputusan sendiri, dan bertanggung jawab atas keputusannya sendiri. Mahasiswa kos memiliki keterbatasan perhatian dan bantuan orang tua seperti yang sebelumnya biasa didapatkan ketika tinggal bersama dengan orang tua Nainggolan IS, 2012. Mahasiswa kos hidup jauh dengan orang tua memiliki keterbatasan yang membuat mahasiswa kos lebih rendah dalam membeli secara impulsif. Mahasiswa tinggal dengan orang tua masih memiliki kemudahan dari orang tua sebagai figur yang dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya. Lingkungan kurang memaksa mereka untuk keluar dari lingkungan keluarga sehingga mahasiswa tinggal dengan orang tua masih tergantung dengan orang tua Steinberg, 2002. Keadaan situasi tempat tinggal membuat mahasiswa memiliki kemandirian yang berbeda dalam membuat keputusan, bertanggung jawab dan memikirkan konsesuensi ketika melakukan pembelian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya terutama pembelian secara Impulsif Nainggolan IS, 2012. Keadaan lingkungan yang memberi kemudahan membuat mahasiswa tinggal dengan orang tua lebih cenderung membeli secara impulsif. Pembelian impulsif merupakan pembelian suatu barang yang cepat tanpa melakukan pertimbangan konsekuensinya Semuel, 2007. Mahasiswa yang melakukan pembelian impulsif dapat mengalami kekecewaan atas konsekuensi yang didapat, kehabisan uang dikarenakan banyaknya pengeluaran disertai kurangnya pengelolaan keuangan dalam pengambilan keputusan secara bertanggung jawab. Gambar 1. Skema Penelitian Perbedaan Pembelian Impulsif pada Mahasiswa kos dan mahasiswa tinggal dengan orang tua

D. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan pembelian impulsif antara mahasiswa kos dan mahasiswa tinggal dengan orang tua. Pembelian impulsif mahasiswa kos lebih rendah dari pada mahasiswa tinggal dengan orang tua. 25 BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian komparasi atau uji beda. Menurut Sugiyono 2012 penelitian komparasi atau uji beda merupakan penelitian yang digunakan untuk melihat perbedaan satu varibel atau lebih, pada dua sampel atau sampel yang berbeda. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan kecenderungan pembelian impulsif pada mahasiswa yang kos dan mahasiswa tinggal dengan orang tua

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel tergantung : Kecenderungan Pembelian impulsif Mahasiswa. 2. Variabel bebas : Mahasiswa kos dan Mahasiswa tinggal dengan orang tua.

C. Definisi Operasional

1. Kecenderungan Pembelian Impulsif

Kecenderungan pembelian impulsif mahasiswa adalah kecenderungan pembelian yang muncul akibat adanya dorongan yang spontan, disertai perasaan intens dan seringkali kurang rasional untuk melakukan tindakan membeli dan tanpa melakukan perencanaannya, hal ini mengakibatkan rasa penyesalan ketika barang yang dibeli dengan cepat menimbulkan konsekuensi. Aspek yang digunakan pada penelitian ini adalah aspek kognisi dan aspek emosi. Kecenderungan pembelian secara impulsif akan diukur berdasarkan skala kecenderungan pembelian impulsif yang dibuat oleh peneliti. Semakin tinggi skor pada skala kecenderungan pembelian impulsif maka semakin tinggi kecenderungan pembelian impulsif dan sebaliknya jika skor pada skala pembelian impulsif rendah maka semakin rendah kecenderungan pembelian impulsif.

2. Kemandirian Mahasiswa Kos dan Mahasiswa Tinggal dengan Orang tua

Kemandirian merupakan kemampuan mahasiswa dalam bertingkah laku, merasakan sesuatu, dan membuat keputusan sendiri dengan bertanggung jawab tanpa bantuan orang lain. Mahasiswa kos adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan bermukim secara sementara dengan menyewa suatu ruangan dalam periodik waktu tertentu, anak kos memiliki kewajiban untuk membayar dan mematuhi perjanjian misalkan membayar listrik dan air. Sedangkan, mahasiswa tinggal dengan orang tua adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan tinggal dengan orang tua atau hidup serumah bersama dengan orang tua tidak perlu menyewa dan menunggu kiriman uang dari orang tua, tetapi mendapat pengawasan orang tua.