Pengukuran Kinerja Supply Chain Management

merupakan perusahaan–perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama yaitu suppliers, manufacture, distribution, retailer outlets, dan customers.

2.2.1. Pengukuran Kinerja

Supply Chain Pengukuran performansi berkembang di perusahaan seringkali hanya untuk menampilkan performansi dari masing-masing departemen. Pengukuran tersebut dirasakan kurang efektif karena adanya kecenderungan bahwa masing-masing departemen hanya berusaha untuk meningkatkan performansinya sendiri- sendiri dan bukan performansi perusahaan secara keseluruhan. Pengukuran performansi adalah suatu proses untuk mengukur efektivitas dan efisiensi dari suatu aktivitas. Dalam sistem manajemen bisnis modern, pengukuran performansi bukan hanya sekedar sistem pengukuran dan perhitungan saja, melainkan juga dapat memberikan kontribusi pada peningkatan performansi. Model SCOR menyediakan lebih dari 150 indikator prnilaian yang mengukur performa pada proses rantai pasokan www.wikipedia.org. indikator-indikator tersebut dinyatakan dalam ukuran kuantitatif yang disebut dengan metrik-metrik penilaian. Gunanya menggunakan ukuran kuantitatif adalah agar performakinerja rantai pasokannya dapat diukur dengan baik, dapat menentukan target peningkatan yang dikehendaki, dan dapat dievaluasi di kemudian hari mengenai besarnya peningkatan performa yang dicapai. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Metrik-metrik penilaian tersebut dinyatakan dalam beberapa level tingkatan meliputi level 1, level 2, dan level 3. Dengan demikian, selain proses rantai pasokan yang dimodelkan ke dalam bentuk Hierarki proses, metrik penilaiannya dinyatakan dalam bentuk Hierarki penilaian. Banyaknya matrik dan tingkatan metrik dan tingkatan metrik yang digunakan disesuaikan dengan jenis dan banyaknya proses, Serta tingkatan proses rantai pasokan yang diterapkan di dalam perusahaan yang bersangkutan Supply Chain Council, 2006. Jadi tidak semua indikator yang disediakan dalam model SCOR, digunakan untuk mengukur suatu performa rantai pasokan perusahaan. Kriteria yang digunakan dalam pengukuran performa rantai pasokan disebut dengan atribut performa, meliputi reliabilitas rantai pasokan, responsifitas rantai pasokan, fleksibilitas rantai pasokan, biaya rantai pasokan, dan manajemen aset rantai. Masing-masing dari atribut performma tersebut terdiri dari satu atau lebih metrik level 1. Umumnya, para pimpinan perusahaan menggunakan metrik level 1 ini sebagai dasar untuk menentukan strategi pengembangan rantai pasokan yang hendak dicapai oleh perusahaan, disesuaikan dengan atribut performa yang paling dikehendaki oleh pembeli eksternal dan perusahaan internal Bolstroff 2003. Definisi dari masing-masing atribut performa tersebut dijelaskan pada tabel 2.1. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Tabel 2.1 Atribut performa manajemen rantai pasokan beserta metrik performa Atribut Performa Definisi Metrik level 1 Reliabilitas Rantai Pasokan Performa rantai pasokan perusahaan dalam memenuhi pesanan pembeli dengan produk, jumlah, waktu, kemasan, kondisi dan dokumentasi yang tepat sehingga mampu memberikan kepercayaan kepada pembeli bahwa pesanannya akan dapat terpenuhi dengan baik Pemenuhan pesanan sempurna Responsivitas Rantai Pasokan Waktu kecepatan rantai pasokan perusahaan dalam memenuhi pesanan konsumen Siklus pemenuhan konsumen Fleksibilitas Rantai Pasokan Keuletan rantai pasokan perusahaan dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan pasar untuk memelihara keuntungan kompetitif rantai pasokan Fleksibilitas rantai pasokan atas Adaptibilitas rantai pasokan atas Adaptibilitas rantai pasokan bawah Biaya Rantai Pasokan Biaya yang berkaitan dengan pelaksanaan proses rantai pasokan Biaya total SCM Biaya pokok produk Manajemen Aset Rantai Pasokan Efektifitas suatu perusahaan dalam memanajemmen asetnya untuk mendukung terpenuhinya kepuasan konsumen Siklus Cash-to-cash Retusn on Supply Chain Fixed Assets Return on Working Capital Metrik level 1 merupakan agregat penilaian dari metrik-metrik level 2, matrik level 2 merupakan agregat penilaian dari matrik-matrik level 3. Dengan demikian, proses pengukuran performa rantai pasokan diawali dengan mengukur pross-proses pada level paling bawah level 3 kemudian seterusnya hingga level 1. Namun, metrik level 1 berkaitan dengan performa proses level 1. Sebagai contohnya, performa siklus waktu pemenuhan pesanan matrik level 1 tidak hanya dinilai dari Deliver D saja, melainkan dinilai dari siklus proses Plan P, Source S, dam Make M. jadi, nilai dari suatu metrik level 1 bisa dipengaruhi dari performa beberapa Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. proses level 1, sedangkan untuk matik level 2 umumnya di asosiasikan dengan proses level 2 yang berkaitan. Seperti misalnya metrik performa pengiriman barang metrik level 2 dinilai dari banyaknya proses pesanan yang terkirim ke pembeli tepat waktu. Menurut Marimin dan Maghfiroh, N, 2010 pengukuran performa rantai pasokan kemudian dilanjutkan dengan menentukan target pencapaian yang dibutuhkan perusahaan untuk menghasilkan performa yang terbaik dan mampu memenangi persaingan pasar. Penentuan target pencapaian tersebut dapat dilakukan dengan proses Benchmarking. Benchmarking merupakan proses membandingkan kondisi perusahaan saat ini dengan kondisi perusahaan kompetitor yang paling maju dibidangnya Best In Class Performance, sehingga data pembanding yang digunakan adalah berasal dari perusahaan-perusahaan Best In Class tersebut. Namun demikian, ada kalanya membandingkan dengan perusahaan kompetitor sulit dilakukan sehingga data benchmark dapat juga diperoleh berdasarkan target internal perusahaan yang hendak dicapai tanpa harus membandingkannya dengan perusahaan lain Bolstroff, 2003 Ada berbagai macam cara pengukuran performansi yang pernah dilakukan perusahaan-perusahaan dunia. Salah satunya adalah cara pengukuran yang dilakukan oleh sebuah supermarket. Pertama mereka menentukan obyektif performansi yang dibutuhkan di dalam pengukuran tersebut, seperti quality, speed, reliability, flexibility, dan sebagainya. Obyektif tersebut diberi skor dan bobot. Tingkat pemenuhan performansi didefinisikan oleh normalisasi dari indikator performansi tersebut. Untuk strategi Supply Chain yang pasti, berlaku hubungan sebagai berikut : Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. P i =   n i j j ij W S , Dimana : P i = Total performansi supply chain varian i n = Jumlah obyektif performansi S ij = Skor supply chain ke i didalam obyektif performansi ke j W j = Bobot dari obyektif performansi Di dalam pengukuran ini, langkah pertama adalah melakukan pembobotan. Pembobotan dilakukan dengan cara Analytic Hierarchy Process AHP, dimana setiap obyektif performansi dipasangkan dan dilakukan perbandingan tingkat kepentingannya. Langkah kedua adalah pendefinisian dari indikator performansi dan melakukan pengukuran. Skor di dalam obyektif pengukuran yang berbeda-beda didefinisikan dengan bantuan 6 langkah, yaitu : 1. Pendefinisian setiap indikator 2. Pendefinisian normalisasi 3. Pendefinisian interval skor untuk setiap indikator 4. Pendefinisian skor dari indikator 5. Penjumlahan skor 6. Normalisasi dari skor Setiap indikator memiliki bobot yang berbeda-beda dengan skala ukuran yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, diperlukan proses penyamaan parameter, yaitu dengan cara normalisasi tersebut. Di sini normalisasi memegang peranan cukup penting demi tercapainya nilai akhir dari pengukuran performansi. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Proses normalisasi dilakukan dengan rumus normalisasi Snorm dr De boer, yaitu :   100 min max min x S S S Si Snorm    Keterangan : Si = Nilai indikator aktual yang berhasil dicapai Smin = Nilai pencapaian performansi terburuk dari indikator performansi Smax = Nilai pencapaian performansi terbaik dari indikator performansi Pada pengukuran ini, setiap bobot indikator dikonversikan ke dalam interval nilai tertentu yaitu 0 sampai 100. Nol 0 diartikan paling jelek dan seratus 100 diartikan paling baik. Dengan demikian parameter dari setiap indikator adalah sama, setelah itu didapatkan suatu hasil yang dapat dianalisa. Menurut Trienekens dan Hvolby, 2000 untuk memantau nilai pencapaian performansi terhadap nilai pencapaian terbaik atau target yang ingin dicapai oleh perusahaan maka dibutuhkan sistem monitoring indikator performansi. Jika nilai kinerja 40 maka pencapaian performansinya dapat dikategorikan kedalam kondisi yang sangat rendah poor, 40-50 dikatagorikan marginal, 50-70 dikategorikan average, 70-90 dikategorikan good sedangkan jika skor normalisasi mencapai nilai diatas 90 maka dapat dikategorikan sangat baik sekali excellent, dapat dilihat pada Tabel 2.2. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Tabel 2.2. Sistem Monitoring Indikator Performansi Sistem Monitoring Indikator Performansi 90 Exellent 70 – 90 Good 50 – 70 Average 40 – 50 Marginal 40 Poor Sumber : Trienekens dan Hvolby, 2000

2.2.2. Ruang Lingkup Pengukuran Kinerja Supply Chain