Adaptasi Budaya Karo Terhadap Tipologi Gereja Katolik
102
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta.
Caniggia, Gianfranco & Maffei, Gian Luigi. 2001. Architectural Composition and
Building Typology. Alinea Editrice
Erdansyah. Fuad
.
2011. Simbol dan Pemaknaan Gerga Pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatera Utara. 7 (1) :115-139Frick, Heinz. 1996. Arsitektur dan Lingkungan. Yogyakarta : Kanisius, 1996
Habraken, N. John. 1988. Type as Social Agreement. Asian Congress of Architect. Korea: Seoul
Hendraningsih, dkk .1985. Peran, Kesan dan Pesan Bentuk-Bentuk Arsitektur, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Pengantar Ilmu Antropologi. Balai Pustaka, Jakarta.
Laurens, Joyce. M. 2013. Relasi Bentuk-Makna Perseptual Pada Arsitektur gereja katolik di Indonesia.
Moleong, Lexy J., 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
(2)
103 Nurfansyah, 2012. Tipologi Kawasan Jalan Pageran Antasari Banjarmasin. Info
Teknik, 13 (1): 50-56
Pangarsa, dkk. 2012. TIPOLOGI NUSANTARA GREEN ARCHITECTURE Dalam Rangka Konservasi Dan Pengembangan Arsitektur Nusantara Bagi Perbaikan Kualitas Lingkungan Binaan. Jurnal RUAS, 10 (2) : 78-94
Prijotomo, Josep. Santosa. 1997. Bunga Rampai Arsitektur ITS Surabaya. Surabaya: Bunga Rampai Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.
Purba, Tiffany, 2011, Karo Cultural Tourism Park (Taman Wisata Budaya Karo): Arsitektur Neo-Vernakular. Laporan Akhir Perancangan, Program Sarjana Universitas Sumatera Utara, Program Studi Teknik Arsitektur, Medan.
Rapoport, A., 1980, Human Aspect of Urban Form. Towards a Man-Environment Approach to Urban Form and Design. Oxford: Pergamon Press.
Rapoport, A. 1982, The Meaning of the Built Environment, Sage Publications, Beverly Hills.
Santoso I, Wulandanu B.G, 2011, Studi Pengamatan Tipologi Bangunan pada Kawasan Kauman Kota Malang, Local Wisdom – Jurnal Ilmiah Online,
III (2) : 10 – 26.
Sembiring, P.Prusihean. 2015. Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah Tinggal Suku Karo. Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
(3)
104 Soeroto, Myrtha. 2007. Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia,
Yayasan Enam Enam
Utomo, Tri Prasetyo. 2005. Tipologi dan Pelestarian Bangunan Bersejarah; Sebuah Pemahaman Melalui Proses Komunikasi. Jurnal Seni Rupa STSI Surakarta. 2 (1): 71-79
Wahid, Julaihi. & Alamsyah, Bhakti. 2013. Arsitektur dan Sosial Budaya
Sumatera Utara, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Vidler, Anthony .1977. The Third Typology Princeton Architectural Press 37 East Seventh Street New York, New York
(4)
58
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2000), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek peneliti misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan. Moleong (2000) dalam bukunya mengutip arti dari penelitian kualitatif yaitu, prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif yang digunakan akan menghasilkan data-data arsitektur karo dan konservasi langsung kelapangan meneliti gereja masyarakat karo yang ada di Kabupaten Karo yang dominan orang karo berada. Data-data tersebut didapat dari literature yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan pengaruh budaya terhadap tipologi Gereja masyarakat karo.
3.2. Variabel Penelitian
Variabel dapat diartikan sebagai suatu konsep yang mempunyai variasi atau keragaman. Sedangkan konsep sendiri adalah pengambaran atau abstraksi dari suatu fenomena atau gejala tertentu. Konsep tentang apapun jika memiliki ciri-ciri yang bervariasi atau beragam dapat disebut sebagai variabel (Arikunto, 2006)
Menurut Habraken (1988:5) ada 3 cara mengelompokkan wujud arsitektur, yang pertama adalah sistem spasial (spasial sistem), yaitu berkaitan dengan denah
(5)
59 yang meliputi bentuk denah, organisasi ruang, orientasi dan hirarki ruang. Kemudian yang kedua sistem fisik (physical sistem), yaitu yang kaitannya dengan penggunaan material-material elemen-elemen konstruksi penyususn bangunan seperti atap, dinding, lantai termasuk kolom yang digunakan dalam mewujudkan suatu fisik bangunan. Lalu yang ketiga adalah sistem model /tampilan (stylic
sistem), yaitu suatu yang berkaitan dengan tampak depan/fasad yang meliputi
pintu dan jendela termsuk ventilasi serta ragam hias.
Berdasarkan teori Habraken maka variabel penelitian ini berpedoman pada teori tersebut, yaitu wujud arsitektur.
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
Wujud dan Teori Arsitektur
Variabel Sub Variabel Metode Pengumpulan Data Teori Habraken (1988) Habraken, 1988 dan Nurfansyah, 2012 (Tipologi Arsitektur) 1. Sistem Spasial Tipologi arsitektur tersusun atas sistem spasial yaitu denah Denah Bentuk
Denah Observasi Organisasi
Ruang Observasi
2. Sistem Fisik
Habraken menyususn tipologi arsitektur atas sistem fisik
Elemen penyusun
Atap Observasi Dinding Observasi Lantai Observasi Kolom Observasi
3. Sistem Model/ Tampilan Habraken menyusun tipologi arsitektur yang terakhir adalah sistem model/tampilan Tampak/fasad
Pintu Observasi Jendela dan Ventilasi Observasi Ornamen/ Gerga Observasi
(6)
60
3.3. Metoda Penggumpulan data
Mengelompokan tipe bangunan Gereja sebagai objek penelitian. Bangunan dikelompokan bardasarkan variable penelitian, yaitu:
1. Sistem spasial (spasial sistem) 2. Sistem fisik (physical sistem)
3. Sistem model /tampilan (stylic sistem)
Menganalisa konsep tradisi yang mempengaruhi tipe bentuk gereja masyarakat karo.
Observasi lapangan atau survey visual
Observasi lapangan atau survey visual adalah dilakukan dengan melakukan pemotretan terhadap bangunan rumah tinggal. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi tampilan bangunan meliputi, atap, dinding, lantai, kolom, pintu, jendela, ventilasi. Foto-foto hasil pemotretan sebagai acuan dalam menganalisa pengaruh budaya terhadap tipologi rumah tinggal masyarakat karo.
Pengumpulan data sekunder
Pengumpulan data sekunder dengan penggumpulan data tidak langsung dengan menggambil data-data studi literature dan mencari data-data mengenai teori yang berkaitan langsung dengan objek penelitian sehingga dapat memecahkan maslah didalm penelitian.
(7)
61
3.4. Kawasan Penelitian
Kawasan penelitian terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara di tiga Kecamatan. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Berastagi, Kecamatan Barusjahe dan Kecamatan Kabanjahe.
Gambar 3.1 Kawasan Penelitian Sumber: Google Map
3.4.1. Objek Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga objek yaitu, Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi, Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe, dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe.
3.4.1.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi
Objek penelitian yang pertama adalah gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Asisi yang terletak di Kota Berastagi
(8)
62 Gambar 3.2 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
3.4.1.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe
Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe merupakan objek penelitian yang kedua.
Gambar 3.3 Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber : Dokumentasi Pribadi
(9)
63
3.4.1.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe
Objek penelitian yang ketiga adalah Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe
Gambar 3.4 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi
3.5 Metode Analisa Data
Metode yang digunakan merupakan analisa data yang berupa deskriptif mengenai data yang didapat. Adapun analisa untuk menemukan elemen-elemen penerapan budaya karo pada Gereja, yaitu :
1. Pengumpulan data pada penelitian ini terdiri dari studi kepustakaan dan studi lapangan.
2. Tahap analisis data dilakukan setelah data kepustakaan dan data lapangan terkumpul.
(10)
64 3. Data yang didapat dianalisis menggunakan metode deskriptif. Data fisik objek penelitian digambarkan kembali sesuai dengan hasil observasi kemudian dijelaskan bagian-bagian gereja yang telah beradaptasi dengan budaya karo.
4. Kesimpulan dilakukan setelah pengolahan data yang berdasarkan kepada permasalahan dan tujuan dari penelitian ini.
(11)
65
BAB IV
ADAPTASI BUDAYA KARO TERHADAP TIPOLOGI GEREJA KATOLIK
4.1. Deskripsi Kawasan Penelitian
Kawasan penelitian ini berada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara tepatnya berada di tiga Kecamatan yaitu, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Barusjahe dan Kecamatan Kabanjahe. Objek penelitian ini adalah tiga gereja yang berada di Kabupaten Karo yaitu, Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi, Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe, dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe.
Gambar 4.1 Kawasan Penelitian
(12)
66
4.1.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi
Objek penelitian yang pertama adalah Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi yang terletak di desa Sempa Jaya. Berikut ini merupakan sejarah singkat mengenai gereja inkulturatif karo st. Fransiskus asisi berastagi oleh: Betlehem Ketaren, SH.
Gereja paroki Berastagi ini didirikan dengan arsitektur Karo mengingat rumah Karo yang unik, kokoh, artistik, bersifat religius dan komunal, dan mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah Karo sudah mulai hilang dalam kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian. Gereja merasa perlu melestarikan nilai-nilainya yang agung mengingat tugas Gereja yang luhur dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya semua bangsa dan suku di dunia ini, sebagaimana dirumuskan oleh Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium nomor 37 dan Konsili Gaudium et Spes nomor 53-62. Gereja Inkulturatif Karo ini berada di Jl. Let. Jend. Jamin Ginting Berastagi, berdiri megah dengan ketinggian 35m dengan panjang bangunan 32m dan lebarnya 24m dapat menampung 1000 dalam mengikuti Perayaan Ekaristi.
Gereja ini juga mempunyai pendopo dengan model “geriten” (rumah kecil tanpa dinding untuk berbagai keperluan religi dan sebagai ruang untuk aneka keperluan kaum muda) dengan panjang 10,40m , lebar 10m dengan ketinggian 15m. St. Fransiskus dari Asisi dipilih sebagai pelindung gereja ini mengingat peranan mulia St. Fransiskus Asisi dalam menghormati alam ciptaan dan menjadi saudara bagi semua. St. Fransiskus Asisi telah dinobatkan Vatikan sebagai santo pelindung lingkungan hidup dan karena itu diharapkan menjadi teladan bagi semua manusia dalam menghidupi semangat dan cinta kepada seluruh alam
(13)
67 ciptaan. Diharapkan setiap orang yang masuk gereja ini, akan kembali bersemi didalam hatinya rasa bersyukur kepada Si Pencipta, dan rasa cinta kepada sesama yang menumbuhkembangkan semangat untuk mencintai lingkungan hidup, sebab karena itu kita akan dapat merasakan kedamaian dan ketenteraman nan sejati (Dame ras Mejuah-juah).
Gambar 4.2 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.3 Peta Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Google Map
4.1.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Objek penelitian yang kedua adalah Gereja Katolik Santa Perawan Maria, Kabanjahe yang terletak di Jl. Letnan Rata Prangin-angin. Gereja ini mengalami
(14)
68 renovasi, di karenakan bangunan yang sudah tua dan bertambahnya jemaat di gereja ini.
Gambar 4.4. Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber : Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.5 Peta Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber : Google map
4.1.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Suka Julu-Tiga Jumpa, Barusjahe
Objek penelitian yang ketiga yaitu, Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Desa Suka Julu-Tiga Jumpa.
(15)
69 Gambar 4.6 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.2. Sistem Spasial
Sistem spasial ini meliputi bentuk denah, organisasi ruang dan orientasi.
4.2.1. Bentuk Denah
Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi memiliki bentuk denah yang menyerupai rumah adat Si Waluh Jabu. Hal ini menunjukkan bahwa gereja ini mengadaptasi bentuk denah dari rumah adat karo.
(16)
70 Gambar 4.7 Bentuk denah Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi (kiri) dan skema
denah rumah adat karo Sumber: Analisa Penulis
Gereja Katolik Santa Perawan Maria memiliki bentuk denah gereja pada umumnya yang berbentuk salib. Jika melihat denah yang berbentuk salib, maka denah gereja ini tidak mengadaptasi budaya Karo.
Gambar 4.8 Bentuk denah Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber: Analisa Penulis
4.2.2. Organisasi Ruang
Organisasi ruang pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Gereja Katolik Santa Perawan Maria, dan Gereja Katolik St. Yohannes Don
(17)
71 Bosco yaitu ruang yang berda pada masing-masing gereja adalah ruang yang pada umumnya terdapat pada gereja.
Gambar 4.9 Organisasi Ruang Pada Masing-Masing Gereja Sumber: Analisa Penulis
4.2.3. Adaptasi Tipologi Gereja Berdasarkan Tatanan Massa
Gambar di bawah ini menunjukkan tatanan massa pada masing-masing denah gereja.
Gambar 4.10 Tatanan massa bangunan Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi (kiri), Gereja Katolik Santa Perawan Maria (tengah), dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco
(kanan)
(18)
72 Gambar 4.39 menunjukkan tipologi gereja yang beradaptasi adalah Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco. Hal
tersebut diperlihatkan pada massa bangunan yang terlihat seperti rumah Siwaluh Jabu. Sedangkan
pada Gereja Katolik Santa Perawan Maria tatanan bentukan massanya sama dengan gereja pada
umumnya yang berbentuk salib.
Pada tabel berikut ini dapat dilihat sistem spasial yang menyangkut bentuk denah dan organisasi ruang pada masing-masing gereja.
Tabel 4.1 Sistem Spasial Gereja
Sistem Fisik
Elemen
spasial Gambar Keterangan
Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Bentuk Denah
Denah gereja ini berbentuk persegi panjang yang sama dengan denah rumah Siwaluh Jabu Organisasi Ruang Organisasi ruang gereja ini sama dengan gereja pada umumnya
(19)
73 Tatanan
Massa
Massa gereja ini sama dengan massa rumah Siwaluh Jabu Gereja Katolik Santa Perawan Maria Bentuk Denah
Denah gereja ini berbentuk salib
Organisasi Ruang
Organisasi ruang yang ada pada gereja ini juga sama dengan gereja pada umumnya Tatanan Massa Tatanan massa di gereja ini sesuai dengan gereja pada umumnya
(20)
74 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Bentuk Denah
Denah gereja ini berbentuk persegi panjang sama dengan denah pada rumah Siwaluh Jabu Organisasi Ruang Sama halnya dengn gereja ini juga memiliki organisasi ruang gereja pada umumnya Tatanan Massa Tatanan massa terlihat seperti rumah Siwaluh Jabu
Sumber: Anlisa Penulis
4.3. Sistem fisik
Pada sistem fisik terdapat beberapa wujud arsitektur, diantaranya : Atap, dinding, lantai/elevasi, kolom.
4.3.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi
Sistem fisik pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus adalah atap, dinding, lantai/elevasi dan kolom.
(21)
75
4.3.1.1. Atap
Atap Gereja katolik ini mengadaptasi atap rumah adat dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (anjung-anjung), rumah adat bermuka 4 atau lebih. Ujung atap pada rumah adat adalah tanduk kerbau dimana pada jaman dahulu masyarakat karo belum mempunyai keyakinan maka dari itu masyarakat karo masih menyembah berhala dan menyebah roh nenek moyang mereka. Dengan berkembangnya jaman dan penyebaran agama di Kabupaten Karo salah satu agama masyarakat karo adalah Kristen Protestan dan Katolik. Maka dari itu atap pada gereja katolik ini di ujung atap berikan Salib dimana di dunia paing atas ada Tuhan. Material atap pada gereja katolik ini menggunakan atap genteng, sedangkan pada rumah adat material yang digunakan adalah ijuk.
Penggunaan genteng sebagai bahan penutup atap akan sangat efisien karena genteng memiliki kadar penyerapan tinggi sekitar 60-70%. Sehingga disekeliling bangunan sedikit terjadi pemantulan panas Pada jaman sekarang penggunaan atap ijuk mahal dan pengerjaan nya lama.
Gambar 4.11 Penggunaan atap Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas satu atau dua tersek dan diberi tanduk
(22)
76
4.3.1.2. Dinding
Pada gereja ini dinding yang digunakan mengadaptasi dari rumah siwaluh jabu yang memiliki kemiringan. Material yang digunakan adalah batu bata berbeda dengan rumah adat karo yang biasanya menggunakan kayu/papan.
Gambar 4.12 Dinding Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi yang beradaptasi dengan Budaya Karo
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.1.3. Lantai
Lantai yang digunakan adalah lantai keramik, yang dimulai dari entrance yang menggunakan tangga sebagai elevasi. Tangga merupakan adaptasi dari rumah adat karo yang pada setiap entrance menggunakan tangga.
(23)
77 Gambar 4.13 Elevasi Lantai Dari Muka Tanah Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus
Assisi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.14 Lantai bagian dalam Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi menggunakan lantai keramik
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pada gambar 4.13 terlihat bahwa lantai yang digunakan adalah material keramik dan pada bagian altar juga menggunakan tangga sebagai elevasi. Untuk bahan penutup lantai biasanya menggunakan lantai kayu pada rumah adat karo, sedangkan pada gereja ini menggunakan penutup lantai yang umum.
4.3.1.4. Kolom
Gereja ini juga mengadaptasi kolom yang berada pada rumah adat karo. Kolom yang seolah-olah menyatu tanpa paku hanya memanfaatkan kayu tersebut untuk kolomnya.
(24)
78 Gambar 4.15 Kolom Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Pada gereja Katolik Santa Perawan Maria, sistem fisik yang akan di teliti juga sama seperti gereja sebelumnya.
4.3.2.1. Atap
Atap Gereja Santa Perawan Maria mengadaptasi atap rumah adat karo tetapi yang berbeda atap ini tidak bertingkat dan dilengkapi dengan menara
(anjung-anjung). Material yang digunakan pada atap ini adalah genteng.
Penggunaan genteng sebagai bahan penutup atap akan sangat efisien karena genteng memiliki kadar penyerapan tinggi sekitar 60-70%. Sehingga disekeliling bangunan sedikit terjadi pemantulan panas.
Gambar 4.16 Penggunaan Atap Rumah Adat Karo Namun Tidak Bertingkat Sumber: Dokumentasi Pribadi
(25)
79
4.3.2.2. Dinding
Pengunaan dinding batu bata dan tidak adanya ornamen pada gereja ini menunjukkan bahwa adaptasi tidak terjadi pada dinding tersebut.
Gambar 4.17 Dinding Gereja Tidak Beradaptasi Dengan Budaya Karo Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.2.3. Lantai
Lantai yang di gunakan pada gereja ini dapat di lihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.18 Tangga Pada Entrance Gereja Santa Perawan Maria Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.18 memperlihatkan bahwa pada entrance gereja menggunakan tangga sebagai elevasi lantai dari muka tanah. Hal ini menunjukan bahwa tangga tersebut diadaptasi dari rumah Siwaluh Jabu yang menggunakan tangga pada entrancenya
(26)
80 Gambar 4.19 Lantai Bagian Dalam Gereja Santa Perawan Maria yang Menuju Ke Altar
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Bahan penutup lantai yang digunakan adalah keramik yang ditunjukan pada gambar 4.18. Pada gambar tersebut juga terlihat elevasi dari lantai menuju ke altar. Elevasi ini memang sering digunakan pada gereja.
4.3.2.4. Kolom
Kolom pada gereja ini tidak mengikuti konsep dari rumah adat karo. Kolom yang digunakan pada gereja ini adalah kolom yang biasa dipakai pada gereja pada umumnya yang tidak berkonsep budaya.
Gambar 4.20 Kolom Konvensional Pada Gereja Katolik Santa Perawan Maria Sumber: Dokumentasi Pribadi
(27)
81
4.3.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco
Pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco juga memiliki sistem fisik yaitu, atap, dinding, lantai/elevasi, dan kolom.
4.3.3.1. Atap
Gereja ini menggunakan atap yang beradaptasi dari rumah sianjung anjung. Jika pada rumah adat biasanya menggunakan material ijuk namun pada gereja ini menggunakan material genteng sebagai penutup atap. Jika pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi bagian ujung atap telah diganti dengan patung malaikat namun pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco tetap menggunakan kepala kerbau sebagai ornamen.
Gambar 4.21 Penggunaan atap rumah sianjung-anjung pada gerejaKatolik St. Yohannes Don Bosco
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.3.2. Dinding
Gereja ini juga menggunakan material batu bata pada dindingnya. Dapat dilihat bahwa konsep adaptasi dinding tersebut ditandai dengan adanya bagian dinding yang sengaja dibuat miring karena mengikuti rumah adat Karo.
(28)
82 Gambar 4.22 Dinding gereja yang miring sama dengan rumah adat karo
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.3.3. Lantai
Lantai termasuk kedalam sistem fisik dalam wujud arsitektur, berikut ini adalah gambar tangga dan lantai di Gereja Katolik st. Yohannes Don Bosco
Gambar 4.23 Tangga Pada Entrance Gereja Katolik st. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.23 menunjukkan pemakain tangga pada entrance gereja yang juga merupakan adaptasi dari rumah Siwaluh Jabu. Dengan adanya tangga tersebut dapat membuat perbedaan antara tanah dan lantai. Bahan penutup lantai yang digunakan adalah keramik seperti pada gambar 4.24.
(29)
83 Gambar 4.24 Lantai keramik pada gereja
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.3.3.4. Kolom
Sama halnya dengan gereja Katolik Santa Perawan Maria, gereja ini juga menggunakan kolom konvensional yang sering digunakan gereja pada umumnya. Gereja ini tidak mengadaptasi pada bagian kolom rumah adat Karo.
Gambar 4.25 Penggunaan Kolom Pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi
(30)
84 Penjelasan sistem fisik pada tiga gereja tersebut dirangkum dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.2 Pengelompokan Sistem Fisik
Sistem Fisik
Elemen
fisik Gambar Keterangan
Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Atap Gereja ini menggunakan atap rumah sianjung-anjung yang pada beberapa bagian ujung atap telah diganti menjadi patung malaikat. Dinding Dinding gereja yang sama dengan dinding rumah Siwaluh Jabu Lantai Tangga yang digunakan merupakan adaptasi dari rumah Siwaluh Jabu Kolom Kolom pada gereja yang beradaptasi. Kolom tersebut dibuat
(31)
85 menyerupai kolom pada rumah Siwaluh Jabu
Gereja Katolik
Santa Perawan
Maria
Atap
Atap yang digunakan adalah atap rumah adat karo tetapi tidak bertingkat.
Dinding
Penggunaan dinding seperti gereja pada umumnya
Lantai
Entrance yang melalu tangga terlebih dahulu
(32)
86
Kolom Kolom yang digunakan gereja
pada umumnya Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Atap Atap gereja mengadaptasi dari rumah sianjung-anjung dan pada ujung atap masih menggunakan kepala kerbau sebagai ornamen atap Dinding Bagian dinding yang dibuat miring diadaptasi dari rumah Siwaluh Jabu Lantai
Seperti pada dua gereja
sebelumnya, gereja ini juga menggunakan tangga sebelum mencapai entrance
(33)
87 Kolom
Penggunaan kolom juga merupakan kolom pada gereja umumnya
Sumber: Analisa Penulis
4.4. Sistem Model /Tampilan
Dalam sistem ini mencakup beberapa elemen fasad yaitu, pintu, jendela dan ventilasi, serta ornamen.
4.4.1. Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi 4.4.1.1. Pintu
Pintu pada gereja ini tidak beradaptasi yang dapat dilihat pada gambar 4.25. jika pada rumah Siwaluh Jabu pintu dibuat pendek agar orang yang akan masuk menghormati yang berada di dalam dengan cara menunduk. Namun dari material, pintu pada gereja ini sama dengan rumah Siwaluh Jabu yaitu kayu.
Gambar 4.26 Pintu Kayu Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Dokumentasi Pribadi
(34)
88
4.4.2. Jendela dan Ventilasi
Jendela dan ventilasi pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi dapat dilihat pada gambar dibawah berikut ini.
Gambar 4.27 Jendela Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Sumber: Dokumentasi Pribadi
Jendela yang digunakan telah beradaptasi dengan budaya yaitu, penggunaan jendelah kecil pada dinding gereja yang ditunjukan oleh gambar 4.27.
Gambar 4.28 Ventilasi Pada Bagian Dinding yang Miring Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.29 Ventilasi Pada Bagian Atap Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi
(35)
89 Gambar 4.28 dan 4.29 menunjukkan ventilasi telah beradaptasi pada gereja. Biasanya ventilasi seperti ini digunakan pada rumah Siwaluh Jabu. Penambahan ornamen salib pada ventilasi menggambarkan kekristenan pada bangunan.
4.4.3. Ornamen
Ornamen yang terdapat pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi merupakan ornamen yang ada pada rumah adat Siwaluh Jabu. Berikut ini adalah ornamen yang terdapat pada gereja ini.
Gambar 4.30 Ornamen Tapak Sulaiman Pada Dinding Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.31 Ornamen Pengretret Pada Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi
(36)
90 Gambar 4.32 Ornamen Malaikat Pada Gereja
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Pada gamabar 4.30-4.32 dapat dilihat banyaknya oramen yang diadaptasi dari rumah Siwaluh Jabu. Ornamen-ornamen tersebut pada beberapa bagian gereja tetap dipertahankan sama dengan aslinya, namun pada bagian kepala kerbau sengaja diganti dengan patung malaikat karena untuk lebih religius. Pada bagian dinding biasanya terdapat ornamen pengretret yang berfungsi untuk mengikat dinding, namun pad gereja ornamen tersebut ditambahkan beberapa ornamen malaikat.
4.4.2. Gereja Katolik Santa Perawan Maria 4.4.2.1. Pintu
Gereja ini memiliki pintu pada umumnya dengan bentuk hampir bulat di bagian atas dan menggunakan material kayu dan kaca patri yang ditunjukan pada gambar 4.33
(37)
91 Gambar 4.33 Pintu Utama Gereja (Kiri) Dan Pintu Samping Gereja (Kanan)
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.4.2.2. Jendela dan Ventilasi
Jendela dan ventilasi yang digunakan pada gereja ini tidak beradaptasi dari budaya karo karena penggunaan jendela yang besar dan ventilasi yang digunakan adalah ventilasi untuk bangunan modern yang dapat dilihat pada gambar 4.34
Gambar 4.34 Jendela Dan Ventilasi Bagian Depan (Atas) Dan Jendela Dan Ventilasi Bagian Samping (Bawaah)
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.4.2.3. Ornamen
Gereja ini hanya mengadaptasi bagian atap yang menggunakan ornamen budaya Karo yang terlihat pada gambar 4.35.
(38)
92 Gambar 4.35 Ornamen Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Sumber: Dokumentasi Pribadi
4.4.3. Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco 4.4.3.1. Pintu
Pintu Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco dapat dilihat pada gambar berikut ini yang menunjukkan penggunaan material pintu dan ukuran pintu gereja.
Gambar 4.36 Entrance Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.36 menunjukkan bahwa pintu yang digunakan pada gereja ini tidak beradaptasi melainkan pintu yang sering digunakan gereja pada umumnya.
(39)
93
4.4.3.2. Jendela dan Ventilasi
Pada gamabar di bawah ini dapat menunjukkan penggunaan jendela dan ventilasi pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco
Gambar 4.37 Jendela Dan Ventilasi Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.37 menunjukkan penggunaan jendela dan ventilasi yang tidak beradaptasi dikarenakan jendela dan ventilasi tersebut adalah yang sering digunakan gerja pada umumnya.
4.4.3.3. Ornamen
Ornamen yang terdapat pada gereja ini menunjukkan ornamen pada rumah adat karo pada umumnya.
Gambar 4.38 Ornamen Tapak Sulaiman Pada Gereja Sumber: Dokumentasi Pribadi
(40)
94 Gambar 4.39 Ornamen Pengretret Di Gereja
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4.38 dan 4.39 menunjukkan ornamen yang diadaptasi dari rumah Siwaluh Jabu. Jika pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi mengadaptasi semua bagian ornamen dan ditambah dengan oramen khas gereja maka lain halnya dengan gereja ini. Gereja ini tidak menambahkan ornamen yang terkesan religi seperti malaikat tetapi hanya menambahkan salib pada bagian atas atap.
4.4.5. Adaptasi Tipologi Gereja Berdasarkan Proporsi Fasad
Proporsi fasad pada ketiga gereja ini sama yaitu simetris. Pada rumah Siwaluh Jabu fasad bangunan tersebut juga simetris.
Gambar 4.40 Fasad Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi yang simetris Sumber: Analisa Penulis
(41)
95 Gambar 4.41 Fasad Gereja Katolik Santa Perawan Maria
Sumber: Analisa Penulis
Gereja Katolik Santa Perawan Maria memiliki proporsi fasad yang simetris dan pada bagian kanan fasad terlihat menara sebagai tempat lonceng.
Gambar 3.42 Fasad Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco Sumber: Analisa Penulis
(42)
96 Pada gambar 3.42 terlihat bahwa fasad yang dimiliki gereja ini juga simetris sama halnya dengan fasad pada rumah Siwaluh Jabu. Kesamaan fasad yang simetris dikarenakan adanya adaptasi pada gereja ini.
Pada tabel di bawah ini di jelaskan sistem model/tampilan pada masing-masing gereja.
Tabel 4.3 Sistem Model/Tampilan Pada Gereja
Sistem Model/Tampilan
Elemen Model/Tampilan
Gambar Keterangan
Gereja Katolik Inkulturatif St.
Fransiskus
Assisi Pintu Tidak
beradaptasi
Jendela dan
Ventilasi Beradaptasi
(43)
97
Proporsi Fasad Fasad
simetris
Gereja Katolik Santa Perawan
Maria
Pintu Tidak
beradaptasi
Jendela dan Ventilasi
Tidak beradaptasi
Ornamen Beradaptasi
(44)
98 Proporsi Fasad
Fasad simetris dan pada bagian kanan di tambah menara
Gereja Katolik St. Yohannes
Don Bosco
Pintu Tidak
beradaptasi
Jendela dan Ventilasi
Tidak beradaptasi
Ornamen Beradaptasi
(45)
99
Proporsi Fasad Simetris
Sumber: Analisa Penulis
(46)
100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa penerapan arsitektur karo pada tipologi gereja yang paling utama adalah bentukan atap yang mengikuti bentuk atap rumah adat karo kemudian ornamen yang terdapat pada masing-masing gereja juga merupakan adaptasi dari budaya karo. Berikut ini merupakan penjabaran bagian dari masing-masing yang telah beradaptasi
Bentuk denah yang mengadaptasi budaya karo adalah Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi. Sedangkan pada kedua gereja yang lain menerapkan bentukan denah gereja pada umumnya
Pada bagian atap semua gereja mengadaptasi dari bentukan rumah Siwaluh Jabu yaitu dengan menggunakan atap sianjung-anjung Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi
dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco dinding bangunan mengadaptasi dari rumah siwaluh jabu. Sedangkan Gereja Katolik Santa Perawan Maria tidak mengadaptasi bentuk dinding tersebut melainkan menggunakan dinding gereja pada umumnya.
Untuk lantai pada ketiga gereja megadaptasi bagian entrance yang menggunakan tangga.
(47)
101 Kolom yang digunakan pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi merupakan kolom yang telah beradaptasi yaitu kolom yang mengikat satu sama lain dan kolom yang digunakan pada ke dua gereja lainnya adalah kolom yang biasa digunakan pada gereja.
Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi mengadaptasi pintu, jendela dan ventilasi dari rumah Siwaluh Jabu. Sedangkan pada gereja yang lainnya penggunaan pintu, jendela dan ventilasi seperti gereja pada umumnya.
Ornamen yang paling banyak beradaptasi adalah pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi, Berastagi dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco. Sedangkan pada Gereja Katolik Santa Perawan Maria hanya pada atap.
Tipologi gereja telah beradaptasi pada dua gereja yaitu pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi dan Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco dikarenakan tatanan massa dan fasad yang sama dengan rumah Siwaluh Jabu.
5.2. Saran
Untuk menjaga dan melestarikan budaya karo pada bangunan maka masyarakat juga memiliki peranan penting dalam melakukannya. Sebaiknya sebagai masyrakat karo harus mempertahankan budaya yang sudah ada. Salah satu caranya adalah dengan melestarikan bangunan rumah tradisional karo.
(48)
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budaya Masyarakat Karo
2.1.1. Sosial budaya masyarakat Batak Karo
Ada dua hal yang menjadi keunikan dalam kebudayaan suku Batak Karo, yaitu sistem kepercayaan (religi) dan sistem kekerabatan. Untuk menjalankan kepercayaannya, orang Batak Karo terlebih dahulu melakukan ritual. Semua jenis ritual pada umumnya tidak terlepas dengan sikap penghormatan kepada roh-roh nenek moyangnya untuk menjamin keselamatan bagi keluarga yang masih hidup.
Gambar 2.1 Tari-tarian masyarakat Karo sering Digunakan dalam upacara ritual ± tahun 1900 (Sumber : K.I. Museum Amsterdam, Capture)
Pemujaan ini dilakukan karena dalam keluarga ada yang mati dalam satu hari (mate sadawari), baik karena sakit ataupun kecelakaan. Arwah dari orang yang mati diyakini dapat mengganggu keluarga. Oleh karena itu pada ritual, satu di antaranya adalah ritual mangmang, yaitu dengan cara memberi sesaji berupa sebatang rokok yang sudah dinyalakan serta dijepit pada sebatang ranting kecil di tanah, kemudian dilengkapi dengan seperangkat daun sirih yaitu lazimnya orang
(49)
9 yang makan sirih. Lalu bersama seluruh keluarga mereka duduk menghadap pohon sambil meratap, menangis, dan menyatakan seluruh perasaannya tentang arwah orang yang meninggal dunia tersebut.
Orang Batak Karo memiliki kepercayaan bahwa rumah adat merupakan tempat bersemayamnya roh para leluhur maupun dewa-dewa. Oleh karena itu, membangun rumah adat adalah sama seperti membuat “rumah tinggal” para makhluk gaib. Di rumah ini roh-roh leluhur akan bersemayam selamanya. Mereka secara sungguh-sungguh membuat seperangkat ritual dalam proses pendirian rumah adat tersebut, dan prosesnya dilakukan secara bersamaan dan gotong royong baik bersama keluarga inti maupun masyarakat kampung setempat.
Masri Singarimbun (1975) dalam Erdansyah (2011) menjelaskan :
“A number of complex ritual and ceremony are performed at successive stages
during the building of a housingthe side, selecting and felling the strees erecting the piles and establishing the hearths in certain circumstances, the occupants of the house
constitute a ritual group”.
Sejumlah ritual dan upacara yang kompleks diselenggarakan secara bertahap dan berurutan selama membangun sebuah rumah mulai dari memilih lokasi, menyeleksi dan menebang kayu-kayu pohonya, menegakkan rumah tangga. Pada kondisi tertentu, pendiri rumah tersebut melakukan sebuah rangkaian dari kumpulan ritual.
Pandangan di atas menjelaskan bahwa proses ritual mendirikan rumah adalah berkaitan dengan karakter alam maupun ekologinya. Ritual merupakan implementasi sakral yang berhubungan dengan makrokosmos, sebab dalam praktiknya mereka melakukannya dengan hati-hati berdasarkan perhitungan
(50)
10 kalender Batak (katika), bahwa ada delapan penjuru mata angin sebagai pedoman orang Karo, termasuk dalam kaitanya dengan pendiri rumah. Sikap kehati-hati ini juga salah satu yang mendorong perilaku orang Karo melakukan ritual. Dalam kaitanya dengan penebangan kayu sebagai tiang rumah, peranan seorang dukun atau guru dibutuhkan sebagai penghubung ke dunia magis, cara yang dilakukan adalah dengan meletakkan sesajian berupa belo selambar atau daun sirih lengkap dengan kapur dan tembakaunya di bawah kayu nderasi dan kayu serbenaik yang akan ditebang. Aturan lainnya juga yang terkait dengan penempatan letak rumah tdak boleh di atas batu besar, dan harus mengharap arah aliran sungai di satu kampung yaitu menghadap kenjulu (hulu) dan kenjahe (hilir) sampai proses mendirikan rumah. Setelah itu memasuki rumah baru, maka mereka melakukan ritual pemujaan kepada kekuatan gaib, roh, atau makhluk halus lainnya diberikan keselamatan, kedamaian, kesejahteraan bagi penghuninya.
Hubungan makrokosmos mengambarkan adanya kekuatan di belakang proses mendirikan rumah, yaitu: (a) Kekuatan gaib yang berada di bumi, (b) Kekuatan gaib yang berada di rumah, (c) Kekuatan gaib yan berada pada makhluk halus atau gaib. Kekuatan gaib ini kemudian direpresentasikan pada diri penghuninya. Orang batak Karo mempercayai bahwa terdapat makhluk-makhluk legenda yang mempunyai kekuatan gaib yang tidak terlihat ataupun yang terlihat. Makhluk yang tidak terlihat disebut sebagai makhluk halus yang menyerupai manusia dan binatang dan ada juga yang berasal dari arwah maupun dewa alam
(semula jadi). Makhluk-makhluk gaib yang menguasai dunia bawah, yaitu dunia
(51)
11 makhluk yang menyerupai binatang cecak yang memiliki dua kepala disebut oleh orang Batak Karo pengretret. Hewan-hewan legenda tersebut bagi orang Batak Karo kuno merupakan penjelmaan roh-roh yang menguasai dunia bawah, yang akan melindungi manusia dari kekuatan-kekuatan jahat maupun yang bersifat magis.
Tranformasi bentuk-bentuk makhluk tersebut dalam temuan para arkeolog adalah perwujudan estetika manusia purba berdasar kepercayaan sinkret yang berkembang antara agama asli dengan pengaruh Hindu. Konsep estetika manusia prasejarah dalam dunia arkeologi terbagi ke dalam tiga sifat-sifat dalam kosmologi manusia pada masa itu, yaitu sifat sakral menempati posisi tertinggi yang menggambarkan kekuatan yang tak terindra, kemudian semisakral yaitu yang menghubungkan dunia bawah dengan dunia atas, dan yang terakhir adalah profane.(Sukendar, 2004 dalam Erdansyah, 2011).
Simbol-simbol tersebut terdapat dalam berbagai peninggalan artefak-artefak kuno. Konsep primitive ini merupakan kebudayaan manusia yang berkembang dan secara bersama-sama bersentuhan dengan sistem-sistem kepercayaan baru, seperti Hindu-Budha dan Islam.
2.1.2. Sistem Organisasi Kemasyarakatan dan Kekerabatan Masyarakat Batak Karo
Batak Karo memiliki sistem organisasi sosial berdasarkan sistem kekerabatan yang disebut rakut sitelu. Secara harfiah arti rakut sitelu adalah ikatan yang menjadi satu (rakut = ikat, sitelu = yang tiga). Dalam praktik sosialnya rakut sitelu terbentuk dari hubungan perkawinan yang kemudian
(52)
12 membentuk pranata sosial dengan menempatkan tiga unsur keluarga yaitu pihak pemberi dara disebut kalimbubu dan pihak penerima dara disebut anak beru dan pihak saudara dari kedua belah pihak masing-masing disebut senina. Ketiga unsur keluarga ini membentuk sistem kekerabatan yang menjadi tradisi masyarakat Batak Karo. Masing-masing unsur keluarga dalam sistem rakut sitelu memiliki perannya masing-masing. Kalimbubu adalah pihak yang paling dihormati dan memegang peranan sebagai penasihat atau konsultan yang berkaitan dengan peristiwa adat seperti perkawinan, pendirian rumah, atau juga pada peristiwa kematian.
Sistem kekerabatan lain yang turut mempererat hubungan kekerabatan
adalah “marga”. Bagi masyarakat Batak pada umumnya, marga menjadi panggilan
yang terhormat bagi seseorang. Penempatan marga diletakkan di belakang nama pertama, misalkan Gunawan Tarigan, Gunawan (nama pertama), Tarigan (marga). Bahkan dalam pergaulan sehari-hari, panggilan marga pada seorang suku Batak merupakan hal yang lazim.
Gambar 2.2 Skema Rakut Sitelu dalam sistem kekerabatan Batak
(53)
13 Jumlah marga dan sub marga pada orang Batak Karo cukup banyak, sehingga pada 3 Desember 1995 atas Keputusan Kongres Kebudayaan Karo ditetapkan pemakaian marga hanya berdasarkan “marga silima” yaitu Ginting, Karo-Karo, Peranginangin, Sembiring, dan Tarigan. (Prinst, 2004 dalam Erdansyah, 2011).
Di atas telah dijelaskan, bahwa sistem kekerabatan masyarakat Karo dapat dilihat dari penggunaan marga, termasuk kedudukan dan fungsinya dalam adat istiadat telah diatur secara turun-temurun. Demikian juga status keluarga (Kinship) juga di atur oleh adat istiadat berdasarkan ruang ketika berada di dalam rumah adat (jabu). Berdasarkan posisi ruang yang mereka tempati, maka seorang kepala keluarga akan menjalankan segala fungsi kewajiban dan haknya berdasarkan adat istiadat. Sistem kekerabatan Batak Karo merupakan implementasi dari sifat gotong royong dan kebersamaan dalam praktik kehidupan sosial dan spiritual.
2.2. Arsitektur Karo
Rumah adat Batak Karo yang tersebar di beberapa desa dan kecamatan di Kabupaten Karo sudah berdiri sejak beberapa abad silam. Kehadirannya merupakan simbol ekspresi kebudayaan masyarakat Batak Karo atas dorongan kebutuhan masyarakat tradisional Batak Karo menjalankan fungsi-fungsi kebudayaannya.
Kata “rumah” dalam pengertian orang Batak Karo sering menunjukkan alamat atau tempat tinggal seseorang. Dalam tingkat sosial atau kekerabatan, pengertian “rumah” beralih menjadi jabu artinya rumah tangga atau tepatnya
(54)
14 keluarga. Hakikat rumah dalam pengertian orang Karo adalah tempat berlangsungnya kehidupan keluarga. Dalam rumah adat orang Karo terdapat aturan-aturan dan adat istiadat yang mengatur kehidupan dalam hubungannya dengan kosmologi. Rumah adat Batak Karo adalah satu di antara bangunan-bangunan tradisional lainnya, dalam kaitan ini. Abdul Azis (2004) dalam Erdansyah (2011) menjelaskan:
“Pengertian rumah tradisional, yaitu suatu bangunan dimana struktur, cara pembuatan, bentuk, fungsi, dan ragam hiasnya mempunyai ciri khas tersendiri yang diwariskan secara turun-temurun, serta dipakai oleh penduduk daerah setempat untuk melakukan aktivitas kehidupan sebaik-baiknya”.
Arsitektur rumah adat Batak Karo berdasarkan anatomi konstruksinya dapat dibagi kedalam tiga susunan, Achim Sibeth (1991) dalam Erdansyah (2011) menjelaskan:
“The space for animals below the living level symbolizes the underworld. The living level, raised on pillars above the underworld, Is where humans dwell. Above this is the high roof, which corresponds to the abode of the gods and also sometimes of the ancestors”.
Ruang untuk binatang di bawah lantai ruang keluarga melambangkan dunia bawah. Lantai keluarga, yang berdiri di atas pilar-pilar di atas dunia bawah, adalah tempat tinggal manusia. Di atasnya ada atap tinggi, yang sesuai dengan tempat kediaman dewa (Tuhan) dan juga kadang-kadang nenek moyang. Berdasarkan bidang kosmo rumah adat Batak Karo dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: Pertama, bagian bawah terdiri dari kolong rumah, binangun (tiang
(55)
15 rumah), umpak (fondasi rumah), sendi-sendi (sambungan tiang), kemudian tangga
dan ture-ture (teras rumah).
Kolong rumah merupakan tempat yang kotor, sebab digunakan sebagai tempat menyimpan kayu perapian, membuang sampah, membuang kotoran manusia, kandang ternak, seperti kerbau, anjing, babi dan sampah organik lainnya, jelasnya segala yang bersifat kotor akan diletakkan atau dibuang ke bawah. Unsur-unsur tersebut merupakan komponen rumah yang menempati kosmo dunia bawah.
Kedua, bagian tengah pada rumah adat terdiri dari dinding (derpih), pintu, jendela, dan lubang angin (derpih angin) adalah tempat atau ruang bagi manusia yang menghuni rumah tersebut. Bagi masyarakat tradisional pengaturan ruang maupun bahan yang digunakan cenderung mengandung unsur-unsur simbolik. Pada rumah adat Batak Karo setiap ruang tinggal memiliki nama tertentu berasal dari pengaturan balok kayu rumah tersebut, dan sistem penamaan dihubungkan dengan organisasi sosial di rumah tersebut. Termasuk penempatan balok kayu horizontal diatur sedemikian rupa, ujungnya yang runcing menandai dasar dari setiap balok kayu. Dasar kayu tersebut ada pada bagian bawah dari cabang pohon yang kayunya diambil. Dasar balok kayu menempati sepanjang sisi timur dan barat yang diarahkan ke utara, dan fondasi kayu menempati sepanjang sisi utara ke selatan. Dengan demikian, semua balok kayu diarahkan ke arah sudut tenggara rumah. Fondasi horizontal balok kayu mengarah pada sudut A dan ujung balok kayu bagian atas nya mengarah ke sudut B. Berdasarkan pengaturan ini, kamar deret ditata seperti berikut.
(56)
16 1. Benakayu, pokok dari pohon
2. Ujungkayu, puncak pohon
3. Lepar benakayu, berlawanan dengan pangkal pohon 4. Lepar ujungkayu, lawan dengan ujung pohon
5. Sedapuren benakayu, membagi dapur dengan batang pohon 6. Sedapuren ujungkayu, membagi dapur dengan ujung pohon
7. Sedapuren leparbenakayu, membagi dapur berlawanan arah dengan batang pohon
8. Sedapuren lepar ujungkayu, membagi dapur berlawanan arah dengan ujung pohon.
Gambar 2.3 Denah Kamar pada rumah adat Batak Karo Sumber : Fuad Erdansyah 2011
Ketiga, bagian atas yang terdiri dari atap dan anak atap (tersek), ayo (wajah rumah) dan anjungan. Bagian atas rumah adat Batak Karo, berdasarkan komponen konstruksinya terdiri dari atap utama, atap bertingkat (tersek). ayo
(57)
17 Gambar 2.4 Rumah adat Batak Karo, model atap sada tersek (satu tingkat).
Sumber : Erdansyah 2011
Atap kedua disebut tersek. Secara estetik bentuk tersek ini menambah nilai seni pada bagian atap bangunan rumah adat Batak Karo. Ukurannya lebih kecil dan menggunakan ijuk seperti pada atap utama. Tersek ini berfungsi menambah keindahan anatomi atap, juga sebagai tempat meletakan ayo rumah dan derpih
angin. Ayo atau wajah rumah terletak pada dua sisi tersek menghadap muka dan
belakang. Jumlah ayo rumah kadangkala bervariasi, ada yang terdiri dari dua ayo, ada juga yang terdiri dari empat ayo. Jumlah ayo ini tergantung pada besar kecilnya bangunan rumah adat. Pada bagian bawah ayo terdapat dinding kecil terbuat dari papan yang disebut derpih angin. Derpih angin berfungsi sebagai pengaturan sirkulasi udara agar asap dapur yang memerihkan mata dapat keluar membumbung tinggi melewati derpih angin tersebut. Derpih angin ini terbuat dari papan yang disusun sedemikian rupa dengan pola vertical serta memiliki sudut kemiringan 60°. Pada bidang ini terdapat gerga dengan motif pengretret.
(58)
18
Ayo (wajah rumah) satu-satunya bidang rumah yang paling banyak
menggunakan unsur ragam hias (gerga). Pola geometris, dan motif flora dan fauna dan motif kosmos sebagai motif utama. Konon dahulu itu terbuat dari kayu dan hiasan diukir pada kayu tersebut. Pola segitiga dan peletakannya miring sama seperti posisi kemiringan derpih rumah. Namun dalam perkembangannya, bagian
ayo rumah tersebut menggunakan anyaman bambu, dan motif-motif gerga
dilukiskan mengikuti tekstur anyaman bambu tersebut, sehingga pola geometris semakin terlihat jelas. Untuk memperkuat letak ayo yang miring maka di setiap sisinya dijepit dengan sebilah papan, dan pada tepian papan diukirkan motif
ipen-ipen (gerigi) sekaligus memperindah papan tersebut. Pada bagian atas rumah
terdiri dari tiang atau balok-balok kayu yang disusun secara vertikal, diagonal dan horizontal. Susunan balok kayu demikian merupakan rangka atau penyangga bidang atap rumah dan bertumpu pada tiang utama yang disebut binangun. Pada bagian berikutnya terdapat delapan batang balok besar disebut tekang berdiameter 30 cm. Pemasangan tekang sering dilakukan dengan upacara tertentu. Dalam gaya rumah modern tekang ini sama artinya dengan kuda-kuda berupa kayu yang cukup kuat.
2.2.1. Bentuk, Simbol Gerga dan Pemaknaannya
Gerga sebagai ragam hias Batak Karo lahir atas dorongan kebutuhan estetik yang telah berakar sejak berabad-abad silam, bahkan dorongan ini muncul bersama pengetahuan tradisi lainnya. Sistem kekerabatan dan sistem kepercayaannya paling menonjol mempengaruhi kehadiran gerga dan arsitektur
(59)
19 rumah adatnya, Kedua sistem ini berkembang dan kemudian membentuk pranata sosial menjadi dasar kebudayaan masyarakat Batak Karo,
Fungsi ragam hias tersebut kadangkala mengandung makna-makna tertentu yang bersifat simbolik. Dalam kaitannya dengan aspek-aspek kebudayaan, simbol-simbol tersebut merupakan representasi perasaan, pikiran atau juga pandangan hidup masyarakatnya. Setiap simbol harus ditempatkan terlebih dahulu dalam kebudayaan suku berdasarkan habitat budayanya. Simbol-simbol seni pra-modern adalah Simbol-simbol-Simbol-simbol kolektif kepercayaan suku. Hal ini sama seperti simbol-simbol dalam agama Kristen atau Islam (Sumardjo, 2006:46 dalam Erdansyah 2011).
Berdasarkan keberadaanya, gerga menempati bidang-bidang yang terstruktur pada rumah adat Batak Karo mulai dari bagian bawah, bagian tengah, hingga bagian atas. Tetapi secara terpisah, bahwa gerga mengandung unsur-unsur rupa dan berdasarkan prinsip-prinsip kesenirupaan menghadirkan makna artifisialnya sendiri (denotatif). Pola estetika lainnya terbentuk dari interaksi sosial berdasarkan rakut sitelu dan sistem kepercayaannya. Peran tokoh Rakut Sitelu adalah Kalimbubu. Kalimbubu dalam kehidupan sehari-hari bahkan sering disebut sebagai di bata ni idah (Tuhan yang kelihatan) (Prinst, 2004:51 dalam Erdansyah 2011)
Kalimbubu juga memegang peranan penting dalam kaitannya dengan
rumah adat. Dalam ritual pendirian rumah misalnya, tidak hanya dukun yang memegang peranan, tetapi juga Kalimbubu.
(60)
20
“The site of the house is chosen by divination. This rite is carried out not by a
priest or older but by a female Kalimbubu of the head of the house (pengulu
rumah) who will later occupy the “base” apartmen” (Singarimbun, 1975:67
dalam Erdansyah 2011)
Letak rumah dipilih dengan ramalan. Ramalan ini tidak berasal dari dukun atau tetua namun dari kalimbubu wanita dari kepala rumah tersebut (pengulu rumah) yang nantinya menempati ruang tinggal dasar.) Pola tiga rakut sitelu dapat dikatakan sebagai jantung kebudayaan Batak Karo; ketiganya menggerakkan sistem sosial dan membentuk pranata sosial yang kemudian membentuk sistem kebudayaannya, termasuk unsur-unsurnya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah kesenian, gerga, dan rumah adat, yang semuanya dilandasi konsep pola tiga. Dengan demikian pola tiga ikut mendasari dalam konsep estetikanya.
Dalam dunia antropologi, kepercayaan masyarakat kuno ini berkembang namun tidak hilang bahkan berjalan bersama dengan sistem kepercayaan lainnya. Wilken menyebutkan keberadaan Tuhan dan makhluk-makhluk halus termasuk roh lainnya, sama-sama menempati
seluruh alam, dan menjadi dasar kepercayaan dari semua umat manusia (Sumardjo, 2006:170 dalam Erdansyah 2011).
Keberadaan gerga dan rumah adat, tidak terlepas dari konsep simbolik kepercayaan kosmologi Batak Karo. Oleh karena itu konsep estetika masyarakat Batak Karo juga menempati ruang metakosmos yaitu semula jadi nabolon (Batak Toba) (Hasibuan, 1985:60 dalam Erdansyah 2011).
(61)
21 Dalam metakosmos Tuhan menguasai tiga ruang jagad raya, yaitu debata datas, debata tengah dan debata teruh. Keberadaan gerga pada rumah adat, dapat diklasifikasikan menurut motifnya dan menurut penempatannya pada rumah adat. Kedua aspek tinjauan ini merupakan aspek semiologis yang menguraikan makna denotasi dan makna konotasi berdasarkan pola estetika Batak Karo.
Unsur-unsur rupa pada gerga terdiri dari garis, bidang, ruang dan tekstur. Unsur-unsur ini membentuk kesatuan artfisial denotatif. Unsur garis dan bentuknya menunjukan benang merah yang menghubungkan kebudayaan Batak Karo dengan kebudayaan megalitikum. Oleh karena itu unsur garis pada gerga akan dilihat berdasar ciri dan kesamaannya dengan bentuk ragam hias pada masa kebudayaan megalitikum. Motif garis yang membentuk pola gemoetris, seperti pilin “S” lingkaran memusat, garis lurus bersambung, garis lurus terputus, garis lengkung, garis patah, dan garis segitiga runcing (tumpal), juga terdapat pada
gerga. Berdasarkan wujudnya seperti pola geometrik, pola stilasi tumbuhan dan
hewan yang muncul secara berulang (repetition), maka gerga mengandung makna denotatif yang memberikan kepuasan estetik atau kepuasaan keindahan. Demikian juga sebaliknya, estetika rumah adat tidak hanya dilihat berdasarkan seni bangunannya semata (arsitektur), melainkan juga memperhatikan unsur gerga pada rumah adat tersebut.
Dengan demikian makna simbolik gerga dapat dilihat melalui analisis interpretif dan pendekatan kebudayaannya. Untuk itu gerga diklasifikasikan ke dalam tiga bagian menurut keadaannya pada rumah adat tersebut. Menurut
(62)
22 keadaannya, tingkat pembagian gerga dimulai dari bagian melmelen (tingkat yang bawah), derpih (tingkat tengah), dan ayo dan anjungan ( tingkat atas).
1. Gerga pada melmelen
Posisi melmelen (palang dapur) tepat sejajar dengan lantai. Secara estetis
melmelen dikategorikan sebagai wilayah bawah. Motif-motif yang terdapat
pada melmelen ini adalah motif-motif Tapak Raja Sulaiman, Bindu Natogog,
Embun Sikawiten, Bunga Gundur dan Pantil Manggis, Teger Tudung, dan Takal Dapur.
i) Motif Tapak Raja Sulaiman
Motif gerga tapak Raja Sulaiman adalah motif yang sangat dikenal oleh masyarakat Batak Karo juga Simalungun. Kata Sulaiman adalah nama seorang dukun sakti yang melegenda. Konon dukun tersebut mampu mengobati putri raja yang sakit tak kunjung sembuh. Sang dukun melakukan pengobatan dengan cara menyembelih ayam. Darah ayam tersebut digunakan untuk membuat garis di tanah seperti melukis. Dengan cara itu kemudian putri raja tersebut sembuh, raja kemudian memerintahkan pengawalnya untuk membuat lukisan dari darah ayam itu pada sebidang papan. Dalam perkembangannya motif (lukisan darah) itu dilukiskan pada bidang melmelen.
(63)
23 Gambar 2.5 Motif Tapak Raja Sulaiman
Sumber : http://3.bp.blogspot.com/tapak+raja+sulaiman.jpg
Motif tersebut diyakini sebagai ingan kundul (tempat duduk) dukun Raja Sulaiman. Raja Sulaiman menjadi personifikasi dukun. Kekuatannya ada yang terindra dan ada yang tak terindra. Dari sumber lain, Sulaiman adalah seorang nabi yang dikenal dalam Kristen maupun Islam. Dalam agama tersebut, Nabi Sulaiman adalah orang yang diberi kelebihan oleh Tuhan (Allah) yang jauh melebihi kemampuan manusia biasa. Bahkan diceritakan bahwa Nabi Sulaiman adalah manusia yang diutus Tuhan untuk kebaikan umat manusia. Ia dianugrahi kemampuan sama dengan semua makhluk di dunia, termasuk dengan semua jenis hewan. Sehubungan cerita tentang Nabi Sulaiman ini besar kemungkinan gerga Tapak Sulaiman bukanlah gerga yang lahir pada zaman prasejarah. Sebab makna yang terkandung dalam
gerga tersebut merupakan makna konotasi yang menyiratkan objek nyata,
yaitu Nabi Sulaiman. Motif gerga ini dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit, penolak racun, penyembuh gatal-gatal; bahkan alat-alat dapur rumah tangga lainnya menggunakan motif ini.
(64)
24
i) Motif Bindu Natogog
Bindu dalam kamus Batak Karo adalah suatu ukiran dari papan yang
dipasang pada pintu masuk rumah adat sebagai pegangan masuk ke rumah, dalam pustaka Batak kata tersebut merupakan panggilan pada ibu dan ayah yaitu suami-istri yang kawin sumbang (kawin tidak direstui secara adat) sehingga menimbulkan kemarau yang berkepanjangan (Prinst, 2004:89 dalam Erdansyah 2011), sedangkan natogog berasal dari kata matagah nama suatu ukiran kayu. Ada kemungkinan kata matagah ini berasal dari kata meteguh yang berarti kuat. Bindu Natogog merupakan pasangan dari Tapak Raja Sulaiman. Menurut legenda bahwa Bindu Natogog merupakan istri dari Raja Sulaiman, sehingga penempatan gerga ini diletakkan secara berdampingan. Gerga Bindu natogog merupakan deformasi bentuk dari Raja Sulaiman. Motifnya berupa garis bersilang dan saling mengkait, melambangkan kekuatan kesatuan dan keutuhan. Sebagai alat pegangan pada pintu rumah adat justru adalah cikepen pengalo-alo. Sebagai pegangan bagi tamu yang berkunjung. Dengan demikian bindu natogog adalah sebuah pesan mengingatkan tentang mitos atau legenda tentang adat perkawinan yang sumbang dapat menyebabkan bencana seperti kemarau panjang.
Gambar 2.6 Motif Bindu Natogog
(65)
25
ii) Motif Embun Sikawiten
Embun sikawiten mengandung arti kemakmuran dengan adanya pengertian
embun beriring. Fungsinya tidak mengandung unsur mistis, tetapi hanya sebagai hiasan. Ornamen ini dibuat secara berulang-ulang untuk menghiasi bidang melenmelen. Pada ujung ikal terdapat hiasan cekili kambing dan
tulak paku sebagai unsur hiasan. Perpaduan sulur dengan cekili kambing ini
disebut embun sikawiten. Kedua ornamen ini dibuat mendampingi motif Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah keindahan. Sering dipergunakan seniman sebagai hiasan pembagi bidang simetris. Ornamen ini dianggap sebagai simbol keindahan, kemakmuran dan tidak mengandung unsur mistik, tetapi hanya berfungsi sebagai hiasan.
Gambar 2.7 Motif Embun Sikawiten Sumber : https://s-media-cache-ak0.pinimg.com
iii) Motif Bunga Gundur dan Pantil Manggis
Orang Batak Karo tidak asing mendengar kata motif bunga gundur dan
pantil manggis (bunga gundur dan buah manggis), sebab nama tersebut
adalah nama buah-buahan yang sering dimakan oleh masyarakat. Bunga gundur dan buah manggis sejenis tanaman dan buah-buahan ini cukup
(66)
26 dikenal oleh masyarakat Karo. Bahkan buah manggis memiliki arti yang sangat simbolik pada sifat manusia yang berbuat baik, seperti pepatahnya
“hitam-hitam si buah manggis, meki hitam tetapi manis.”Motif gerga
merupakan sulur-sulur tumbuhan yang merupakan garis lengkung dan diulang secara teratur. Selanjutnya pada ujung daun terdapat putik bunga gundur. Sulur-sulur ini adalah deformasi yang sederhana dari daun gundur yang sesungguhnya. Pola hiasan yang disebut gerga ini disusun dan ditempatkan secara horizontal sesuai gelombang daun bunga gundur.
Bentuk yang sederhana ini merupakan tindakan kreatif untuk mengatasi kerumitan teknis dalam mencapai keserasian bentuk harmoni dan estetikanya, untuk memperteguh kesatuan komposisi hiasan ini diapit oleh pola geometrik yaitu motif tutup dadu yang melintang horizontal di atas dan bawah. Kemudian pada bagian atas terdapat empat buah motif tulak paku secara berpasangan. Gerga ini tidak mengandung unsur mistik, tetapi hanya sebagai simbol keindahan dan hiasan berdampingan dengan tapak Raja Sulaiman.
Gambar 2.8 Motif Pantil Manggis
(67)
27
iv) Teger Tudung
Teger Tudung dalam kamus Karo adalah tutup kepala wanita yang kedua
ujungnya tegak ke atas. (Darwan, 2002 dalam Erdansyah 2011). Polanya seperti ujung daun tumbuhan yang berdaun lebar dan juga seperti bentuk motif kubah yang diapit kubah kecil di kanan dan kirinya. Motif teger
tudung tidak banyak terdapat stilasi tumbuhan. Di tengahnya terdapat tiga
kelopak bunga seperti cekili kambing. Meskipun dalam kamus diartikan sebagai pencitraan wanita, tetapi bagi masyarakat Karo justru melambangkan ketampanan dan kewibawaan (laki-laki). Gerga ini dibuat untuk hiasan tengah melmelen pada pangkal dan ujungnya. Menurut keterangan lain ornamen ini juga melambangkan keagungan, dan letaknya berdekatan dengan tapak Raja Sulaiman, (Erdansyah, 2011).
v) Motif Tutup Dadu dan Cimba Lau
Tutup Dadu secara harfiah berarti tutup yang digunakan pada alat
permainan judi dadu. Tutup dadu umumnya terbuat dari tempurung kelapa, dan biji dadu terbuat dari tulang. Cimba Lau adalah alat untuk menciduk air yang terbuat dari bambu; tingginya 35 cm dengan diameter 8 cm.
Cimba lau ini dipergunakan untuk tempat air langir (air keramas) bagi
anak perana/singuda-nguda (perjaka/ gadis). Benda tersebut diyakini membawa kebaikan dan keselamatan bagi putra-putri mereka dalam pergaulannya. Cimba Lau juga digunakan sebagai tempat air minum dan tempat biji-biji buah untuk obat.
(68)
28 Pola Tutup Dadu adalah setengah lingkaran secara berjejer dan tidak terpisah dengan bidang di sampingnya. Pola setengah lingkaran saling mengisi dengan latarnya. Pola yang sama secara berulang melahirkan citra oposisi dari latarnya sendiri. Teknik perupaannya cukup sederhana. Pembuatnya adalah orang yang sering diminta untuk mengerjakan benda-benda seni kerajinan, bahkan pande ini juga mengerjakan ukir-ukiran
gerga pada bidang melmelen rumah adat. Hal yang lazim bagi orang Karo
mempunyai kenangan yang kuat dari barang atau benda-benda lain, sehingga senang memberi nama sesuatu termasuk nama putra-putrinya berdasarkan benda-benda yang dilihat, atau yang digunakan sehari-hari. Nama motif gerga kebanyakan diambil dari nama suatu benda yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Kemudian benda tersebut diberi makna sesuatu, baik karena fungsinya maupun karena dorongan nalurinya (sugesti), sehingga benda tersebut membawa manfaat yang baik jika digunakan.
vi) Motif Takal Dapur
Takal Dapur berarti kepala dapur. Gerga ini pada umumnya berbentuk
seperti tulak paku. Teknik pembuatannya seperti mendekati patung dengan bentuk seperti manusia raksasa menyerupai kuda. Takal dapur di Kabupaten Karo ada dua jenis, yaitu berbentuk kuda dan berbentuk tulak
paku. Takal dapur yang berbentuk kuda kini sudah jarang ditemukan,
tetapi masih ada di kampung Bintang Meriah. Bentuk Takal dapur masih banyak dijumpai sekarang, sebab pengerjaannya lebih mudah. Bentuk
(69)
29
tulak paku ini masih terlihat pada rumah adat di desa Dokan. Gerga Takal Dapur yang terdapat di Desa Lingga, bentuknya lebih sederhana dengan
pola setengah lingkaran atau lonjong (oval). Gerga ini mengandung arti tuah manusia sebagai kemuliaan. Sebagian orang mengatakan sebagai lambang kebesaran dan keagungan manusia. Fungsinya selain untuk memperkuat sudut rumah, juga diyakini dapat menambah umur panjang. Oleh karena itu digambarkan punggungnya bungkuk seperti gunduk pakis (bunga pakis).
2. Gerga Pada Derpih (Dinding) Rumah Adat Batak Karo
Gerga yang terletak di bagian tengah rumah adat Batak Karo jumlahnya lebih
sedikit daripada gerga yang di bawah. Penempatan gerga di sini terletak pada bagian derpih, pintu rumah, dan sudut rumah. Motif gerga-gerga tersebut adalah Cikepen Pengaloalo, Pengretret, dan Cuping-cuping. Gerga Cikepen
Pengalo-ngalo terdapat pada bagian tengah dan terletak di sisi pintu berfungsi
sebagai pegangan ketika hendak memasuki rumah, Pengretret berfungsi sebagai pengikat dinding, dan Cuping-cuping yang terletak pada sudut rumah tidak memiliki fungsi konstruksi, melainkan berfungsi simbolik.
i) Motif Cikepen Pengalo-ngalo
Kata “Cikepen” dalam bahasa Batak Karo berarti pegangan, dan “pengalo
-ngalo” berarti menyambut. Secara harfiah, Cikepen Pengalo-ngalo berarti
pegangan bagi para tamu, agar dapat dengan mudah dan aman memasuki rumah. Ferdinand Ginting dalam Erdansyah 2011 menjelaskan, bahwa
(70)
30
Cikepen Pengalo-ngalo merupakan simbol bagi tamu, karena setiap tamu
yang datang selalu memegang ukiran tersebut. Ukuran pintu yang rendah dengan lebar 60 cm dan tinggi 100 cm letaknya miring mengikuti dinding. Membungkukkan badan adalah perilaku sekaligus lambang penghormatan kepada pemilik rumah. Gerga ini merupakan hiasan pada dua sepasang kayu yang terletak di sisi kanan dan kiri pintu. Bentuknya berupa ukiran dengan kombinasi bergerigi dan bergelombang seperempat lingkaran secara berulang (repetition) menyerupai bentuk ipen-ipen (gigi-gigi). Fungsi lain
Cikepen Pengalo-ngalo adalah untuk pegangan bagi ibu yang melahirkan
bayi. Ia memegang Cikepen Pengalo-ngalo sambil duduk di atas danggulen.
ii) Motif Pengretret
Derpih atau dinding rumah adalah bidang yang penting pada rumah adat
sebagai penyekat udara dingin. Masyarakat tradisional Batak Karo meyakini bahwa kekuatan magis dapat dihembuskan dari luar, masuk ke dalam rumah melalui celah-celah derpih dan masuk menyerang penghuni rumah.
Pengretret adalah nama binatang mitos bagi orang Batak Karo; binatang ini
sejenis cecak, tetapi memiliki dua kepala. Dalam mitos masyarakat Batak Karo, hewan ini terdapat di hutan yang dipercaya dapat membantu menunjukkan jalan pulang bagi orang yang tersesat di hutan. Oleh karena itu motif hewan ini disebut sebagai makhluk legenda. Masyarakat Batak Toba menyebut pengretret ini dengan “brihaspati” (Sanskerta) yang menunjukkan sifat kedewataan. Di India nama brihaspati dipakai untuk menyebut nama bintang (Yupiter Hasibuan, 1985:243 dalam Erdansyah,
(71)
31 2011). Motif Pengretret ini terbuat dari tali ijuk berwarna hitam, tali tersebut dirajutkan dengan cara melubangi derpih rumah membentuk segitiga wajid dan sekaligus sebagai pengikat derpih. Pola yang terbentuk dari tali itu adalah pola geometris yang berulang dan sama pada semua sisinya. Pada setiap kepala pengretret terdapat sepasang organ tubuh seperti kaki, dan masing-masing ujung kaki terdapat tiga buah jari. Pengretret diletakkan secara horizontal pada derpih rumah di samping kedua sisi pintu. Ukuran panjang motif gerga pengretret seluruhnya sekitar ± 400 cm dan lebar ± 15–20 cm. Motif ini sangat khas bagi masyarakat Batak pada umumnya, sebab setiap puak Batak memperlakukan motif ini sebagai simbol magis.
Gambar 2.9 Gerga motif Pengretret pada dinding rumah, sekaligus sebagai pengikat dinding papan.
Sumber : Erdansyah 2011
Fungsi magis pengretret adalah untuk menangkal setan dan roh jahat. Dua kepalanya yang memiliki bentuk dan ukuran yang sama merupakan simbol kejujuran masyarakat Karo, yaitu satu kata dengan perbuatan. Dua sisi kepala itu sering dimaknai sebagai pertalian kekerabatan, atau lambang
(72)
32 persatuan dan lambang penyelesaian masalah dalam kehidupan sosial. Seiring dengan perjalanan waktu, pengretret tidak hanya dimaknai sebagai benda simbolik yang memiliki kekuatan magis, tetapi juga berkembang menjadi ikon budaya Batak Karo. Saat ini gambar ukiran pengretret terdapat pada setiap bangunan tradisional, rumah-rumah biasa, kantor-kantor resmi, gapura atau pintu gerbang, maupun kuburan leluhur.
iii) Motif Cuping-cuping
Cuping-cuping dalam bahasa Batak Karo berarti kuping atau telinga. Bentuk
motif Cuping-cuping seperti daun telinga dan berfungsi untuk mendengar. Bahan yang digunakan untuk membuat Cuping-cuping adalah sekeping papan dengan bidang ± 40 cm. Cuping-cuping dilekatkan pada keempat sudut rumah. Gerga cuping di Desa Lingga bentuknya sangat sederhana dan lonjong, sementara bentuk gerga cuping yang berada di Desa Dokan bentuknya lebih artistik, karena pada bagian bawah cuping terdapat aksentuasi bentuk berupa pahatan pada tepi papan. Beberapa makna simbolik dari Cuping-cuping antara lain penghuni rumah punya pendengaran yang tajam, untuk mendengar suara-suara jahat dari luar rumah. Makna lainnya adalah pemilik rumah harus pandai menyaring berita-berita atau ucapan-ucapan orang yang didengar.
(73)
33 Gambar 2.10 Motif Cuping-cuping
Sumber : http://4.bp.blogspot.com/_kef7
3. Gerga pada bagian Ayo Rumah Adat Batak Karo
Gerga pada Ayo rumah adat Batak Karo menempati bagian paling atas rumah
adat. Motifmotifnya terdiri dari motif ipen-ipen, motif pengretret, motif desa siwaluh, motif geometris, dan motif kepala kerbau, tetapi beberapa di antara motif tersebut juga terdapat di bagiankerbau, tetapi beberapa di antara motif tersebut juga terdapat di bagian melmelen yaitu motif desa siwaluh dan motif geometris lainnya. yaitu motif desa siwaluh dan motif geometris lainnya.
i) Motif Ipen-ipen
Kata “ipen-ipen” dalam bahasa Batak Karo berarti “gerigi.” Motif ipen-ipen
terdapat pada rumah adat Desa Dokan yang diukirkan pada sebidang kayu lebar 20 cm dan panjang menyesuaikan bidang ayo. Motifnya meruncing seperti tumpal dan diselingi dengan bentuk melengkung setengah lingkaran secara berulang. Warna yang digunakan adalah warna hijau muda. Rumah adat di Desa Lingga, motif ipen-ipen ini dilukiskan pada anyaman bambu. Polanya berbentuk segi empat, segitiga, dan disusun secara berulang dan
(74)
34 dicat dengan warna hitam. Berdasarkan kedua motif tersebut diperkirakan bahwa rumah di Dokan lebih muda keberadaannya. Hal ini ditunjukkan dengan pola dan penggunaan warna yang mencerminkan dedaunan atau tumbuh-tumbuhan. Motif-motif daun dan stilasinya merupakan ciri hiasan yang berkembang pada kebudayaan Hindu-Budha dan Islam. Gerga
ipen-ipen yang terdapat di rumah adat Desa Dokan tidak melambangkan makna
simbolik tertentu hanya berfungsi sebagai hiasan. Motif ipen-ipen yang terdapat pada rumah adat di Desa Lingga sangat sederhana. Bentuknya segitiga yang berjajar membentuk susunan seperti mata gergaji. Motif segitiga seperti ini banyak ditemukan pada artefak-artefak kuno. Zaman prasejarah gerga dengan motif segitiga pada rumah adat dilukiskan mengikuti pola-pola anyaman bambu yang merupakan bidang ayo rumah. Kesederhanaan ini juga dapat disebabkan karena faktor teknis. Motif Ipen-ipen melambangkan makna magis sebagai penolak bala. Berdasarkan duamotif ipen yang berbeda di atau dapat disimpulkan, bahwa
ipen-ipen yang terdapat pada rumah adat di Desa Lingga membuktikan
keberadaan gerga pada rumah adat tersebut lebih tua dari pada yang terdapat di rumah adat di Desa Dokan.
ii) Motif Pengretret
Motif pengretret pada ayo rumah ukurannya yang lebih kecil dari pada yang ada di derpih. Ukuran tersebut disesuaikan dengan luas bidangnya. Fungsinya telah dijelaskan di depan yakni sebagai lambang penangkal kekuatan jahat masuk ke dalam dan menyerang penghuni rumah.
(75)
35
iii) Motif Desa Siwaluh
Desa Siwaluh secara harfiah berarti kata “Delapan Desa,” melambangkan
jumlah penghuni rumah delapan keluarga atau juga disebut “siwaluh jabu,” dengan demikian pengertian desa siwaluh sama artinya dengan siwaluh
jabu. Tetapi juga orang Karo menyebutnya sebagai lambang delapan
penjuru mata angin disebut juga bintang delapan, sebagai simbolisasi dari delapan penjuru mata angin. Gerga Desa Siwaluh ini ditempatkan persis di pusat bidang ayo rumah. Motif ini dikelilingi sejumlah gerga geometris lainnya yang tidak lebih menonjol daripada motif Desa Siwaluh itu sendiri. Dalam konsep kebudayaan Karo, Desa Siwaluh salah satu simbol yang sangat penting dari empat hal yang terkait dengan setiap aktivitas kehidupan masyarakat Karo. Keempat hal yang berkaitan dengan aktivitas ini disebut Katika.
Motif Desa Siwaluh memiliki fungsi magis untuk menentukan hari dan bulan baik (nitik wari) untuk manusia. Motif ini melambangkan penggunaan waktu untuk berbagai upacara ritual, seperti mendirikan rumah (Hasibuan, 1995 dalam Erdansyah, 2011), bepergian, perkawinan, dan semua kegiatan yang direncanakan secara adat. Motif ini juga digunakan untuk mencari benda yang hilang. Penggunaan desa siwaluh secara simbolik tujuannya adalah untuk menemukan harmoni atau keseimbangan sekaligus sebagai sugesti dalam mengatasi keterbatasan diri manusia, dengan harapan menemukan kekuatan lain diluar dirinya.
(76)
36 Motif Desa Siwaluh bukan merupakan mimesis kosmik, melainkan bagian dari sebuah konsep simbolik tentang sesuatu yang abstrak, yaitu delapan arah mata angin. Oleh karena itu pola yang hadir dengan struktur bidang bersegi delapan lebih bersifat fungsional simbolis. Demikian juga halnya pada pola bintang bersegi lima yang terdapat pada peralatan makan seperti ukat atau sendok nasi maupun perlatan musik, sifatnya juga fungsional simbolis.
Gambar 2.11 Motif Desa Siwaluh
Sumber: http://inspirasigerhana.blogspot.co.id/2014/03/ornamen-tradisional-suku-karo.html
iv)Kajian Gerga Pola Geometris pada Rumah Adat Batak Karo
Awal mula manusia mengenal media rupa adalah dari sebuah unsur yang amat sederhana, yaitu garis. Organisasi garis menghasilkan pola (pattern) yang beragam seperti segitiga, segi empat, kubus, bujur sangkar, trapezium, lingkaran, lonjong (oval), dan sebagainya. Pola-pola ini disebut pola geometris. Pola ini merupakan semiosis dari kehidupan flora, fauna, dan alam.
Orang-orang primitif menggoreskan sesuatu pada dinding gua, batu, kayu, dan benda-benda lainnya, disertai keyakinan akan menimbulkan kekuatan
(77)
37 gaib (totems). Apabila itu diukirkan pada suatu benda, maka benda itu menjadi jimat.
Pengulangan secara teratur menghasil kansensasi keindahan. Bagi masyarakat tradisional Batak Karo motif perulangan lebih sebagai ekspresi transendental atau keteraturan imanensi untuk memasuki ruang kosmos dan memperoleh sugestinya. Gerga pada masyarakat Batak Karo sebagian besar adalah pola geometrik. Ini berbeda dengan gerga pada rumah adat Batak Toba yang umumnya menggunakan stilasi tumbuhan.
Pola geometrik pada rumah adat Batak Karo terpusat pada bidang ayo rumah, yang terdiri dari pako-pako, ipen-ipen, tutup dadu, pancung cekala,
tampune-tampune, lumut laut, pesiren kambing, duri mikan, dan pengretret.
Pola geometrisnya sangat bervariasi, seperti kubus, segitiga, setengah lingkaran, garis spiral, garis lengkung, garis diagonal, dan semua dibuat sangat sederhana. Bentuk-bentuk geometris ini ditempatkan secara simetris berhadapan atau bertentangan dengan bentuk perulangan (repetition). Pola-pola itu telah ada sejak zaman primitf. Manusia purba pada masa itu memindahkan fenomena alam dan isinya dalam bahasa rupa pada dinding-dinding gua maupun tempat tinggalnya. Pola-pola geometris tersebut umumnya sangat dekoratif. Garis hitam tersebut sangat jelas tanpa diberi warna lain. Warna hitam dari sabut ijuk aren seperti dalam pengretret tersebut memberikan kesan yang sangat magis.
Secara umum ragam hias di Indonesia banyak memiliki kemiripan, terutama pada motif-motif yang sederhana seperti motif huruf “S” maupun
(78)
motif-38 motif geometris. Kehadiran pola geometris pada masyarakat Batak Karo merupakan penyederhanaan ataupun abstraksi dari bentuk-bentuk alam dengan keterbatasan teknik pembuatannya. Pola-pola geometris itu hasil dari teknik anyaman tenunan, atau pahatan/ukiran pada papan kayu dengan alat gergaji (Said, 2004:90 dalam Erdansyah, 2011).
Gamabar 2.12 Pola geometris pada ayo rumah memiliki nama-nama flora dan fauna. Sumber : Erdansyah 2011
Berdasarkan peletakannya pada bagian atas rumah (ayo)
mencerminkan bahwa hubungan kekerabatan dijunjung tinggi dan dijaga kehormatannya. Hiasan ini melambangkan kedudukan rakut
(1)
ix DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kerangka Berpikir ... 7
Tabel 2.1 Kerangka Teori ... 57
Tabel 3.1 Variabel Penelitian ... 59
Tabel 4.1 Sistem Spasial Gereja... 72
Tabel 4.2 Pengelompokan Sistem Fisik ... 84
(2)
x DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tari-tarian masyarakat Karo sering Digunakan
dalam Upacara Ritual ± Tahun 1900 ... 8
Gambar 2.2 Skema Rakut Sitelu dalam sistem kekerabatan Batak ... 12
Gambar 2.3 Denah Kamar pada rumah adat Batak Karo ... 16
Gambar 2.4 Rumah adat Batak Karo, model atap sada tersek (satu tingkat) ... 17
Gambar 2.5 Motif Tapak Raja Sulaiman ... 23
Gambar 2.6 Motif Bindu Natogog ... 24
Gambar 2.7 Motif Embun Sikawiten ... 25
Gambar 2.8 Motif Pantil Manggis ... 26
Gambar 2.9 Gerga motif Pengretret pada dinding rumah, sekaligus sebagai pengikat dinding papan ... 31
Gambar 2.10 Motif Cuping-cuping ... 33
Gambar 2.11 Motif Desa Siwaluh ... 36
Gambar 2.12 Pola geometris pada ayo rumah memiliki nama-nama flora dan fauna ... 38
Gambar 2.13 Posisi paradoks, kepala kerbau jantan dan betina penyatuan ke dunia tengah... 42
Gambar 2.14 Gerga Kepala Kerbau di atas atap rumah adat Batak Karo ... 43
Gambar 2.15 Hierarki simbol gerga berdasarkan struktur rumah adat pada rumah adat Batak ... 43
(3)
xi
Gambar 2.16 Aksara Karo... 44
Gambar 2.17 Rumah Sianjung-anjung ... 46
Gambar 2.18 Jenis Atap Rumah Mecu ... 46
Gambar 2.19 Rumah Sangka Manuk ... 47
Gambar 2.20 Rumah Sendi ... 47
Gambar 2.21 Hirarki Ruang Sakral Arsitektur Gereja Katolik ... 50
Gambar 3.1 Kawasan Penelitian ... 61
Gambar 3.2 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi ... 62
Gambar 3.3 Gereja Katolik Santa Perawan Maria ... 62
Gambar 3.4 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco ... 63
Gambar 4.1 Kawasan Penelitian ... 65
Gambar 4.2 Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi Berastagi ... 67
Gambar 4.3 Peta Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi ... 67
Gambar 4.4 Gereja Katolik Santa Perawan Maria ... 68
Gambar 4.5 Peta Gereja Katolik Santa Perawan Maria ... 68
Gambar 4.6 Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco ... 69
Gambar 4.7 Bentuk denah Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi (kiri) dan skema denah rumah adat karo ... 70
Gambar 4.8 Bentuk denah Gereja Katolik Santa Perawan Maria ... 70
Gambar 4.9 Organisasi Ruang Pada Masing-Masing Gereja... 71 Gambar 4.10 Tatanan massa bangunan Gereja Katolik Inkulturatif
(4)
xii St. Fransiskus Assisi (kiri), Gereja Katolik Santa
Perawan Maria (tengah), dan Gereja Katolik St.
Yohannes Don Bosco (kanan) ... 71 Gambar 4.11. Penggunaan atap Rumah sianjung-anjung adalah
rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga
terdiri atas satu atau dua tersek dan diberi tanduk ... 75 Gambar 4.12 Dinding Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus
Assisi yang beradaptasi dengan Budaya Karo ... 76 Gambar 4.13 Elevasi Lantai Dari Muka Tanah Pada Gereja Katolik
Inkulturatif St. Fransiskus Assisi ... 77 Gambar 4.14 Lantai bagian dalam Gereja Katolik Inkulturatif St.
Fransiskus Assisi menggunakan lantai keramik ... 77 Gambar 4.15 Kolom Pada Gereja Katolik Inkulturatif St.
Fransiskus Assisi ... 78 Gambar 4.16 Penggunaan Atap Rumah Adat Karo
Namun Tidak Bertingkat ... 78 Gambar 4.17 Dinding Gereja Tidak Beradaptasi dengan
Budaya Karo ... 79 Gambar 4.18 Tangga Pada Entrance Gereja Santa Perawan Maria ... 79 Gambar 4.19 Lantai Bagian Dalam Gereja Santa Perawan Maria
yang Menuju Ke Altar ... 80 Gambar 4.20 Kolom Konvensional Pada Gereja Katolik Santa
(5)
xiii Gambar 4.21 Penggunaan atap rumah sianjung-anjung pada
Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco ... 81
Gambar 4.22 Dinding gereja yang miring sama dengan rumah adat karo ... 82
Gambar 4.23 Tangga Pada Entrance Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco ... 82
Gambar 4.24 Lantai keramik pada gereja ... 83
Gambar 4.25 penggunaan kolom pada Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco ... 83
Gambar 4.26 Pintu Kayu Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi ... 87
Gambar 4.27 Jendela Pada Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi ... 88
Gambar 4.28 Ventilasi Pada Bagian Dinding yang Miring ... 88
Gambar 4.29 Ventilasi Pada Bagian Atap Gereja ... 88
Gambar 4.30 Ornamen Tapak Sulaiman Pada Dinding Gereja ... 89
Gambar 4.31 Ornamen Pengretret Pada Gereja ... 89
Gambar 4.32 Ornamen Malaikat Pada Gereja ... 90
Gambar 4.33 Pintu Utama Gereja (Kiri) Dan Pintu Samping Gereja (Kanan) ... 91
Gambar 4.34 Jendela Dan Ventilasi Bagian Depan (Atas) dan Jendela Dan Ventilasi Bagian Samping (Bawaah) ... 91
(6)
xiv
Gambar 4.36 Entrance Gereja Katolik St. Yohannes Don Bosco ... 92
Gambar 4.37 Jendela Dan Ventilasi Gereja ... 93
Gambar 4.38 Ornamen Tapak Sulaiman Pada Gereja ... 93
Gambar 4.39 Ornamen Pengretret Di Gereja ... 94
Gambar 4.40 Fasad Gereja Katolik Inkulturatif St. Fransiskus Assisi yang simetris ... 94
Gambar 4.41 Fasad Gereja Katolik Santa Perawan Maria ... 95