Modal Kehidupan Petani Padi Sawah Tadah Hujan di Desa Tanjung Leidong (1970-200)

karena itu bukanlah pekerjaan yang mudah kerena bisa saja terjatuh kayu kepada mereka saat menebang hutan tersebut. Setelah pohon tersebut tumbang mereka kemudian membakar kayu kayu yang sudah ditumbang dan mereka akan membakar hutan atau kayu itu dengan posisi yang sudah kering agar lebih mudah untuk dibakar. Setelah selesai membersihkan hutan masyarakat mulai menabur benih kedalam lahan pertanian meskipun masih ada bekas fosil kayu-kayu bakaran mereka yang masih tertinggal di lahan pertanian mereka. Setelah masyarakat mengerjakan penanaman bibit dengan cara menabur ada yang kembali kedaerahnya masing masing dan ada juga yang kembali keperjaannya semula sebagai nelayan. Untuk menunggu hasil panen mereka membutuhkan waktu selama 5-6 bulan menunggu hasil panen, dan ada juga para pendatang setelah melakukan pertanian ada yang ikut untuk berlaut dan tidak kembali kedaerah asalnya tetapi ini tidak banyak, hanya beberapa orang saja dan belum mempunyai keluarga atau sering disebut dengan anak muda yang belum menikah. Setelah panen mereka datang kembali untuk menuai hasil panennya dan mereka tidak datang sendiri tetapi mereka membawa rekan atau keluarga mereka dalam mengambil hasil panen mereka.

3.2 Modal

Pada tahun 1970 masyarakat Tanjung Leidong tidak menggunakan modal untuk membuka lahan pertanian, masyarakat hanya menggunakan tenaga sebagai modal utama, seperti membersihkan hutan, membakar. Mereka hanya menggunakan kapak dan tenaga sebagai sarana utama, dalam proses pemodalan ini system kerja yang mereka gunakan sangat tradisional karena membutuhkan waktu yang sangat panjang, menurut salah seorang informant dalam satu hektar Ha tanah membutuhkan waktu yang sangat panjang dalam menyelesaikan lahan tersebut Universitas Sumatera Utara seiring dengan lambatnya cara kerja. Karena system pemodalan di desa ini tidak membutuhan biaya yang banyak seprti yang dilakukan oleh petani-petani yang didearah lain karena belum adanya irigasi, hanya butuh tenaga dan pikiran saja. tetapi ini berlangsung sampai tahun 1987 karena melihat unsur hara pada tanah sangat tinggi, tidak perlu menggunakan pupuk dalam pertanian padi tersebut. Seperti bibit bibit yang mereka gunakan sebagai penanaman padi itu diambil sendiri dari hasil panen yang diperoleh lahan masing-masing, selainnya jikalau ada bibit kerabat petani, itu diminta saja atau diganti dengan padinya atau sering disebut dengan barter. Sampai musim turun ladang semua dikerjakan secara bergotong royong atau marsiruppa, dengan jadwal yang bergantian tanpa terkecuali semua dikerjakan secara bersama-sama, mulai dari pembibitan, penyerakan bibit, sampai dengan penanaman bibit kesawah, semuanya itu dikerjakan secara gotong royong, mereka juga sangat berhati-hati dalam pembibitan dan penanaman benih karena banyak ketakutan masyarakat, karena kalau hujan turun dengan curah hujan yang sangat tinggi, bisa membawa pengaruh buruk terhadap bibit, maupun dalam penanaman kesawah, kerena jikalau curah hujan tinggi maka padi atau bibit yang hendah ditanam disawah tergenang air, dan mengakibatkan pengulangan kembali bibit yang sudah ditanam. Salah satu cara yang digunakan pada petani dalam penanaman yang baik apabila hujan turun supaya tidak mudah padi rusak, maka bibit padi tersebut dituakan untuk menghindari curah hujan tiba-tiba datang. Mulai dari pembersihan lahan atau masyarakat setempat menyebutnya dengan membambat rumput ini dikerjakan secara bergantian, hal ini biasanya dikerjakan oleh para pria dalam membabat rumput biasanya setelah hujan datang supaya lebih mudah dikerjakan. Pada pemodalan masyarakat yang memiliki lahan yang luas bidang tanah yang dimiliki antara lain masyarakat yang memiliki lahan 5 Ha ke atas akan di upahkan untuk penanaman dan pada masa itu modal yang dibutuhkan untuk penanaman satu Ha Rp.200.000,00. Kecil mulai Universitas Sumatera Utara dari satu Hektar sampai dengan dua Hektar akan dikerjakan ngerombo atau marsadapari atau dikerjakan secara bersama-sama atau gotong royong, dan mereka secara bergantian sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat jadwal, pada umumnya jumlah masyarakat yang bergotong royong 10 sampai 20 orang akan diselesaikan lahan yang mereka kerjakan.

3.3 Pembibitan.

Dokumen yang terkait

Kehidupan Petani Salak di Desa Parsalakan Kecamatan Angkola Barat Kabupaten Tapanuli Selatan (1970 – 200)

10 134 104

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem Irigasi Dengan Padi Sawah Sistem Tadah Hujan (Studi Kasus : Desa Bakaran Batu Dan Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang)

1 53 152

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem Irigasi Dengan Padi Sawah Sistem Tadah Hujan (Studi kasus : Desa Bakaran Batu dan Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang).

14 80 152

Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Dengan Desa Wonosari Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang

14 121 99

Desa Juhar: Perkembangan dan Peranannya Sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo tahun 1945-1970.”Perkembangan dan Peranannya Sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo tahun 1945-1970.

5 43 117

Evaluasi Petani Terhadap Program Penyuluhan Pertanian Sl Ptt (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu): Hama Terpadu (Kasus : Petani Padi Sawah, Desa Paya Bakung, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

3 67 67

Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Bunga Di desa Tongkoh Kabupaten Karo (1970-1990)

2 80 148

Nilai Tukar Petani Padi Sawah di Sentra Produksi Padi Sawah (Studi Kasus: Desa Purwabinangun, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat)

8 73 198

KAJIAN DAMPAK VARIABILITAS CURAH HUJAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI SAWAH TADAH HUJAN DI KABUPATEN MAGELANG

0 0 9

KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN SETELAH PADI

0 0 5