Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Bunga Di desa Tongkoh Kabupaten Karo (1970-1990)

(1)

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA

TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan:

O L E H

NAMA : BELLI JUNA BUKIT NIM : 020706006 DOSEN PEMBIMBING,

Drs. Samsul Tarigan NIP 131570490

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA

TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)

Yang diajukan Oleh Nama : BELLI JUNA BUKIT NIM : 020706006

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,

Drs. Samsul Tarigan Tanggal,……….

NIP 131570490

Ketua Departemen Ilmu Sejarah,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U Tanggal,……….

NIP 131284309

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA

TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : BELLI JUNA BUKIT NIM : 020706006

Pembimbing,

Drs. Samsul Tarigan NIP 131570490

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Persetujuan Ketua

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA

TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP 131284309


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian PENGESAHAN :

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Departemen Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan,

Drs. Syaifuddin, MA,Ph. D NIP 132098531

Panitia Ujian :

No. Tanda Tangan

1. (__________________)

2. (__________________)

3. (__________________)

4. (__________________)


(6)

Abstrak

Umat manusia selalu ingin hidup dalam lingkungan yang asri, nyaman dan tentram. Oleh sebab itu setiap individu baik itu tua ataupun muda pasti akan langsung memikirkan tanaman penyegar sebagai media keasrian dan kenyamanan baik di dalam ruangan maupun di pekarangan setiap lingkungan. Tanaman bunga menjadi salah satu alternatif manusia untuk memperoleh kedamaian batin dan melepas keletihan duniawi yang begitu terikat dengan berbagai permasalahan yang kompleks. Selain sebagai sekedar hobi atau sebagai lambang cinta kasih dalam kehidupan manusia, tanaman bunga telah menjelma sebagai salah satu kebutuhan yang mendasar sebagai penyegar pekarangan atau lingkungan yang gersang dan tandus. Begitu berpengaruhnya tanaman bunga bagi kehidupan manusia, sehingga kemunculan petani-petani bunga telah melahirkan pengusaha-pengusaha bunga yang mampu menciptakan lapangan kerja di berbagai bidang, mulai dari penanaman hingga pemasaran. Seperti halnya petani bunga yang berada di desa Tongkoh Kabupaten Karo, yang mampu menggairahkan industri pariwisata di Tanah Karo secara langsung maupun tidak langsung. Petani bunga di desa Tongkoh yang telah ada sejak penjajahan kolonial Belanda di Tanah Karo, mampu bertahan hingga saat ini dan menjadi sebuah warisan yang telah membudaya bagi masyarakatnya. Perubahan demi perubahan telah dilalui masyarakatnya mulai dari masa Orde Lama dan sudah mampu mengekspor produksi bunga potong keluar negeri, hingga terjadinya konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1963-1966 yang telah menyebabkan kemunduran yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Bagi petani bunga di desa Tongkoh peristiwa ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi mereka, karena konsumen terbesarnya adalah negari Malaysia. Berdirinya PT. Bibit Baru pada tahun 1970 membawa angin segar bagi petani bunga di desa Tongkoh. Kehadirannya membawa perubahan dalam sistem pertanian masyarakat dari sistem tradisional ke sistem pertanian yang lebih modern. Memang tidak dapat dipungkiri, majunya tingkat pengetahuan suatu masyarakat menyebabkan berkurangnya nilai-nilai budaya ditengah-tengah masyarakat. Hal ini juga terjadi bagi masyarakat di desa Tongkoh, dimana upacara-upacara adat warisan nenek moyang telah mulai ditinggalkan karena semakin berkembangnya tingkat pendidikan sehingga mulai berpikir secara logis. Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang demikian, dibutuhkan ilmu Bantu seperti Antropologi dan Sosiologi sebagai upaya mengungkap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi serta menyokong metode sejarah yang telah digunakan mulai dari proses heuristik, kritik sumber, interpretasi hingga tahap akhir dari proses tersebut yaitu historiografi sehingga melalui proses tersebutlah tercapai sebuah hasil penulisan yang sistematis dan kronologis.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan kerendahan hati penulis menghaturkan puji syukur dan sembah sujud kepada Allah Yang Maha Kuasa atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Tanpa kemurahan-Nya semua ini pastilah tidak terlaksana.

Adalah menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa untuk menyusun skripsi guna menyelesaikan perkuliahan dan mendapatkan gelar sarjana. Untuk memenuhi syarat tersebut di atas penulis mengangkat sebuah permasalahan yang ditulis menjadi sebuah skripsi yang berjudul:

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengumpulkan berbagai sumber yang relevan dengan penelitian. Di samping itu penulis melakukan wawancara dengan orang-orang yang mengetahui penelitian yang sedang dilakukan oleh penulis. Banyak kendala yang dihadapi penulis selama melakukan penelitian, terutama pada saat melakukan wawancara di mana banyak nara sumber yang sudah lupa dengan kejadian yang berlangsung waktu itu. Lebih dari itu, umumnya nara sumber yang terlibat langsung dengan peristiwa-peristiwa awal berkembangnya bunga di desa Tongkoh sudah tidak ada lagi. Jadi, sumber yang ada hanya diperoleh berdasarkan cerita turun-temurun atau biasa disebut oral history.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Bagi penulis bukanlah kesempurnaan yang menjadi faktor utama, melainkan proses menuju ke arah


(8)

kesempurnaan itulah yang terpenting. Kesempurnaan sesungguhnya hanyalah utopia belaka.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah yang mungkin ingin meneliti lebih dalam lagi mengenai petani bunga di desa Tongkoh.

Medan, Juli 2008

Penulis


(9)

Ucapan Terima Kasih

Puji dan syukur yang teramat besar penulis haturkan kepada Allah swt dan salawat beriring salam kepada Nabi junjungan Muhammad saw. Hanya karena kuasa-Nyalah penulis memperoleh kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda Masa Bukit dan Ibunda Jempol br Sembiring, juga untuk kakak dan adik penulis Pujinta Bukit .SP., Hermina br Bukit, Mahdalena br Bukit .Amd. dan Andi Putra Bukit serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan kepada penulis selama masa pendidikan dan dalam masa penulisan skripsi. Semoga Allah Yang Maha Pengasih mencurahkan anugrah dan hidayah-Nya pada kita semua.

2. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis DTMH, Sp.A(K).

3. Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat menjalani ujian meja hijau agar mendapatkan gelar kesarjanaan.

4. Ketua Departemen Sejarah, Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U, yang telah memberikan banyak bantuan, kemudahan serta pengalaman selama saya menjalani masa perkuliahan. Terima kasih juga disampaikan kepada Sekretaris Departemen Sejarah, Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si, yang terus memacu semangat saya agar segera menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Samsul Tarigan, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan ilmu dan yang telah memberikan nasehat kepada saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tanpa kontribusi dari bapak, rasanya skripsi ini akan jauh dari kesempurnaan.


(10)

7. Bapak Ibu Dosen dan seluruh Staf Pengajar dan Pegawai di Departemen Sejarah, terima kasih saya ucapkan atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama ini, semoga nantinya bermanfaat bagi saya.

8. Sahabat-sahabatku Mahasiswa Sejarah satambuk ’02 khususnya Birink, Boca, Deirs, Daru, Tommy, Amien, Roy, Toni, Bambang, I’ing, Ici, Edwin dan kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dan memberikan dukungan moral.

9. Kawan-Kawan seperjungan Gema Prodem khususnya Mika, N-g, Iqbal, Mamek, Zetro, Mega dan Otank terima kasih atas kepedulian kawan-kawan yang telah memberikan pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga bagi saya, terima kasih juga atas dukungan moral dari kawan-kawan. Salam 1/2 Merdeka.

Demokrasi Untuk Rakyat!!!

10.Seluruh masyarakat di desa Tongkoh dan di desa Lau Gendek yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas semua informasi yang telah diberikan kepada penulis di lokasi penelitian hingga rela meninggalkan aktivitasnya demi membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Atas semua bantuan ini penulis tidak dapat membalasnya. Penulis hanya bisa berdoa semoga baik budi itu mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah Yang Maha Kuasa. Akhir kata semoga skripsi ini berguna bagi kita semua khususnya bagi mahasiswa Jurusan Sejarah.

Medan, Juni 2008 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……… i

KATA PENGANTAR………. ii

UCAPAN TERIMA KASIH………... iv

DAFTAR ISI……… vi

DAFTAR TABEL……… viii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2Rumusan Masalah………. 7

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 9

1.4Tinjauan Pustaka……….. 10

1.5Metode Penelitian……… 13

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN……… 15

2.1 Letak Geografis……… 15

2.2 Latar Belakang Historis Desa Tongkoh……… 19

2.3 Distribusi Penduduk………. 25

BAB III LATAR BELAKANG DAN PRODUKSI PERTANIAN BUNGA DI DESA TONGKOH………. 30

3.1 Sejarah Petani Bunga di Desa Tongkoh……….. 30


(12)

BAB IV PERKEMBANGAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT DI DESA TONGKOH……….. 57

4.1 Kehidupan Ekonomi………. 57

4.1.1 Kehidupan Petani Pemilik……… 60

4.1.2 Kehidupan Petani Penyewa………. 64

4.1.3 Kehidupan Buruh Tani……… 69

4.1.4 Kehidupan Mata Pencaharian Lainnya……… 72

4.1.5 Pola Konsumsi………. 74

4.2 Kehidupan Sosial………. 78

4.2.1 Susunan Masyarakat……… 83

4.2.2 Solidaritas Sosial………. 87

4.2.3 Sosial Budaya……….. 90

4.2.4.Kegiatan Pendidikan……… 93

4.2.5 Kehidupan Beragama……….. 96

4.2.6 Sarana Kesehatan………. 101

4.3 Peranan Petani Bunga dalam Perkembangan Kepariwisataan di Tanah Karo……… 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 112

- DAFTAR PUSTAKA………. 119

- DAFTAR INFORMAN


(13)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Pemakaian Tanah Sebelum Adanya Investasi Modal Swasta.

2. Tabel 2. Pemakaian Tanah Setelah Berkembangnya Investasi Modal Swasta.

3. Tabel 3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama.

4. Tabel 4. Distribusi Penduduk Menurut Umur.


(14)

BAB I

KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI PETANI BUNGA DI DESA TONGKOH KABUPATEN KARO (1970-1990)

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada hakekatnya untuk mencapai taraf kesempurnaannya manusia hidup dari dan dalam masyarakatnya. Oleh karena itu manusia mempunyai rasa solidaritas yang sangat tebal terhadap masyarakatnya. Di samping itu setiap individu yang menjadi suatu anggota masyarakatnya harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hak dan kewajibannya yang diatur oleh negara.1

Setiap manusia selalu membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan yang bersifat primer yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek kebutuhan biologis atau organisme tubuh manusia yang mencakup kebutuhan-kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Di samping keperluan primer, manusia juga membutuhkan kepentingan sekunder seperti berkomunikasi dengan sesama, kontrol sosial, pendidikan serta keteraturan sosial. Selain itu ada juga kebutuhan tertier yang meliputi kebutuhan akan barang-barang yang mewah dan antik. Dengan demikian manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat universal serta harus dipenuhinya agar dapat melangsungkan hidup yang lebih baik dan teratur.

1


(15)

Masyarakat Indonesia baik didaerah pedesaan maupun perkotaan mempunyai kecendrungan untuk tinggal di tempat atau lingkungan yang lebih aman dan nyaman. Keadaan ini sebenarnya dapat diciptakan, antara lain dengan mengisi atau menata lingkungan tempat tinggal, lingkungan perkantoran atau taman-taman rekreasi dengan suatu tatanan taman yang dilengkapi dengan berbagai tanaman bunga hias atau bunga potong sebagai penghias ruangan.

Berbicara mengenai kenyamanan, kehidupan manusia tidak pernah bisa lepas dari keindahan tanaman bunga. Sejak dahulu bunga dimanfaatkan sebagai simbol keagamaan dan sosial, serta sebagai motif dalam arsitektur, tekstil, lukisan dan keramik. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa bunga dipakai sebagai pemuliaan pribadi dan diatas segalanya sebagai simbol penyambung, pemelihara, dan pemutus hubungan antara seseorang dengan yang mati maupun yang hidup, dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Bagi sebagian manusia, bunga dianggap mempunyai kemampuan dalam membentuk kehalusan budi pekerti dan menjaga keseimbangan jiwa manusia.

Di Indonesia sendiri, bunga mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi, sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani bunga dan memperluas lapangan pekerjaan. Yayasan Bunga Nusantara mencatat, bahwa di Indonesia terdapat 20.000 petani bunga yang tersebar diseluruh pelosok daerah Nusantara. Sementara pedagang bunga atau florist berjumlah 2.000 dan angka ini cendrung mengalami kenaikan dari


(16)

tahun ke tahun.2 Catatan dari Tim Direktorat Bina Produksi Holtikultura Departemen Pertanian mengungkapkan, bahwa pada tahun 1988 peringkat ekspor bunga ke Eropa adalah sebagai berikut: bunga potong (43,38 %), tanaman hias (38,65 %), dan umbi bunga (12,26 %).3 Pada tahun 1985-1990, ekspor berbagai produk florikultura di Indonesia hampir mencapai 17 juta dolar AS, sedangkan konsumsi bunga di dalam negeri terutama kota-kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Denpasar, Semarang dan Ujung Pandang adalah 1.928.000 tangkai dengan konsumsi terbesar di Jakarta. Konsumsi bunga di Indonesia meningkat pada saat-saat Hari Besar Keagamaan serta hari besar lainnya.

Perkebunan bunga di Sumatera Utara dapat dilakukan petani bunga di semua daerah yang berhawa sejuk, seperti di Takengon, Tanah Karo, dan Simalungun bagian pegunungan, tetapi berhubung dengan pengangkutan dan perhubungan, maka untuk perkebunan bunga yang dapat memberi keuntungan besar kepada petani bunga, hanya Tanah Karo-lah yang paling strategis letaknya. Dan pusat dari perkebunan bunga di Tanah Karo terletak di Desa Tongkoh, sekitar Kota Berastagi.4 Sebab wilayah inilah yang paling cocok untuk penanaman bunga secara dominan, karena alamnya yang lembab serta berada diantara pegunungan yang memungkinkan untuk pengembangan yang lebih efektif.

2

Rosa Widyawan, Sarwintyas Prahastuti, Bunga Potong, Tinjauan Literatur, Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI, 1994, hlm. 2-3.

3

Sukartawi, Manajemen Agribisnis Bunga Potong, Jakarta: UI Press, 1955, hlm. 3.

4

Kementerian Penerangan, Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara, Jawatan Penerangan Propinsi Sumatera Utara, 1953, hlm. 587.


(17)

Luas penanaman bunga untuk diperdagangkan di tempat-tempat yang disebut diatas adalah kira-kira 20-30 ha. Distribusi bunga-bunga tersebut ditujukan ke Kota Medan dan Banda Aceh yang kembali diperdagangkan ke kota-kota di Sumatera Utara, dan sebagian ke kota-kota besar di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa.

Pada tahun 1951, diperkirakan bahwa dalam sebulan, ada pemasaran bunga-bunga dari Tanah Karo sebanyak 250.000 tangkai atau dalam satu tahun mencapai 3 juta tangkai.5 Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat dan kebun-kebun bunga ini masih dapat diperluas, jika larangan pengiriman bunga ke Malaysia karena penyakit theepokken (cacar), dibatalkan. Sebagai diketahui bahwa sebelum Jepang datang dan berkuasa di Tanah Karo, ekspor bunga ke Malaysia tidak dilarang dan banyak juga bunga-bunga yang dikirim dengan kapal terbang dan kapal laut ke negeri seberang. Tercatat bahwa Singapura saja meminta paling sedikit 80.000 tangkai Gladiool setiap bulan, namun sayang tidak dapat diberikan lagi karena larangan tersebut.6

Jenis bunga yang paling banyak ditanam di Tanah Karo adalah: Krisan, Gladiool, Mawar, Dahlia, Gerbera dan Aster, sedangkan yang agak sedikit adalah: Tuberoos, Kala Merah, Kerklelie, Lili dan lain-lain.

Berhubung dengan tidak datangnya lagi bibit-bibit baru dari Eropa terutama Negeri Belanda sejak pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1943, hingga pasca Revolusi Sumatera Timur di tahun 1950, maka kualitas bunga-bunga di Tanah

5

Ibid

6


(18)

Karo sangat cepat mundur. Namun ketika perhubungan dengan luar negeri terbuka kembali, bibit-bibit dari beberapa jenis bunga mulai didatangkan dari Eropa, tetapi hal ini belum cukup untuk memperbaiki kualitas bunga-bunga di Tanah Karo, sedangkan di antara pengusaha-pengusaha bunga di Tanah Karo hampir tidak ada orang yang berusaha untuk mengadakan seleksi. Sangat disayangkan memang melihat bahwa bunga-bunga yang berharga seperti Krisan, Mawar, Dahlia, Gladiool dan lain-lain telah manurun mutunya sehingga sebenarnya bunga-bunga yang ada menurut ukuran Internasional kurang diminati lagi di pasaran. Regenerasinya sangat nyata kelihatan pada bunga-bunga Krisan, Mawar, Dahlia, Gladiool, dan lain-lain.

Pada tahun 1970 sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran bibit-bibit tanaman Hortikultura berdiri di desa Lau Gendek. Perusahaan yang bernama PT. Bibit Baru ini ternyata membawa perubahan yang sangat besar bagi petani bunga di Tanah Karo khususnya di desa Tongkoh, sebagai pusat industri bunga di Tanah Karo pada saat itu. Perubahan itu terlihat pada sistem penanaman yang dikembangkan oleh perusahaan swasta tersebut yaitu sistem Perkebunan Inti Rakyat. Tujuan dari dikembangkannya sistem Perkebunan Inti Rakyat ini kepada masyarakat di desa Tongkoh dan desa Lau Gendek tidak lain untuk mengembangkan sistem pertanian masyarakat setempat. Umumnya pihak perusahaan akan memberikan bibit-bibit baru kepada masyarakat setempat, dimana bibit-bibit tersebut akan dikembangkan sendiri oleh masyarakat dan hasilnya dijual kembali kepada pihak perusahaan dengan harga yang telah ditetapkan. Namun program ini tidak bertahan lama, karena masyarakat setempat terutama para petani bunga di desa Tongkoh menganggap program ini


(19)

menghambat pemasaran hasil pertanian mereka ke luar daerah. Pada akhirnya para petani bunga di desa Tongkoh hanya memanfaatkan bibit-bibit baru dari perusahaan tersebut, dan hasilnya mereka pasarkan sendiri ke luar daerah.

Kehidupan sosial ekonomi para petani bunga di desa Tongkoh semakin berkembang setelah berdirinya Balai Penelitian Pertanian di desa Tongkoh pada tahun 1978. Balai Penelitian Pertanian yang dikelola oleh pemerintah tersebut memberikan sebuah perubahan dalam sistem pertanian masyarakat, dimana para petani bunga mulai beralih dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian modern. Selain seringnya mengadakan penyuluhan kepada para petani, Balai Penelitian Pertanian ini juga telah ikut serta di dalam perkembangan jenis-jenis tanaman bunga yang baru, sehingga jenis-jenis tanaman bunga yang dihasilkan masyarakat semakin kompleks.

Dalam hal ini bagian perkebunan dari Dinas Pertanian, yaitu Balai Penelitian Pertanian mengupayakan agar kualitas bunga dari petani direhabilitasi yakni dengan cara :

1. Pada waktu tertentu mendatangkan benih-benih dari Eropa dengan kualitas tinggi untuk disebarkan kepada penduduk dan mengadakan penelitian di kebun, percobaan dan hasilnya kelak disebarkan kepada penduduk sebagai bibit.

2. Mengadakan seleksi di kebun percobaan dan dari hasil yang terbaik disebarkan kepada masyarakat.


(20)

3. Memberikan penyuluhan kepada petani bagaimana membudidayakan jenis-jenis bunga dengan sebaik-baiknya, dengan mengadakan seleksi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, dan lain sebagainya. Kehadiran Balai Penelitian Pertanian di desa Tongkoh serta PT. Bibit Baru di desa Lau Gendek, selain ikut serta dalam hal pengembangan pertanian masyarakat, ternyata membawa dampak positif bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di desa Tongkoh. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin kompleks dengan kehadiran para pendatang dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Kehadiran para pendatang di desa Tongkoh yang meningkat pada tahun 1980-an justru semakin memotivasi masyarakat setempat untuk mengembangkan usaha mereka dengan cara memperkenalkan produksi pertanian mereka kepada para pendatang, sehingga produk pertanian masyarakat di desa Tongkoh semakin dikenal di luar daerah.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam melakukan sebuah penelitian maka yang menjadi landasan dari pada penelitian itu sendiri adalah apa yang menjadi akar permasalahannya. Dengan adanya permasalahan maka penelitian akan bisa berjalan dan menjadi lebih terarah dan dapat berkembang sesuai dengan penulis ingin capai. Permasalahannya dianggap penting karena didalamnya telah terdapat konsep yang akan dibawa dalam penelitian dan menjadi frame yang membatasi penulis dan menjadi jalur dalam menyusun tulisannya.


(21)

Sesuai dengan judulnya yaitu “Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Bunga di Desa Tongkoh Kabupaten Karo (1970-1990)”, maka dibuatlah sesuatu batasan pokok masalah. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini maka penulis menspesifikkan beberapa pokok pertanyaan yang akan dikaji dalam penelitian, yaitu:

1. Bagaimana latar belakang kemunculan petani bunga di Desa Tongkoh? 2. Bagaimana proses produksi serta distribusi tanaman bunga di Desa

Tongkoh?

3. Bagaimana perkembangan kehidupan sosial ekonomi petani bunga di Desa Tongkoh?

4. Apa peranan petani bunga di dalam perkembangan kepariwisataan di Tanah Karo?

Perlu diketahui bahwa yang menjadi wilayah bagian bagi penulis untuk mengembangkan tulisan ini adalah Desa Tongkoh yang merupakan daerah pegunungan yang kurang dikenal oleh masyarakat luas khususnya pada masyarakat Karo dan masyarakat Sumatera Utara pada umumnya, karena sepanjang penelusuran penulis ke lapangan, sangat jarang dan hampir tidak dapat ditemukan tulisan yang memuat atau membahas tentang budidaya tanaman hias di daerah ini. Mengenai wilayah ini yang menjadi sasaran penelitian adalah sisi sejarah pedesaan dan segala kehidupan sosial ekonominya yang bersifat umum dalam mengembangkan tulisan ini.

Kemudian batasan waktu dalam penelitian ini mengambil tahun 1970 sampai 1990. Alasan penulis mengambil tahun 1970 sebagai batasan awal penelitian


(22)

dilatarbelakangi oleh tematis, sejak awal tahun 1970 tanaman bunga yang diproduksi petani mengalami perubahan dari bunga potong menjadi tanaman bunga hias yang memungkinkan petani memperoleh keuntungan yang lebih besar. Batasan akhir yang dijadikan penulis adalah tahun 1990, karena pada tahun tersebut kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya telah berkembang dengan pesat, setelah desa Tongkoh menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Tanah Karo dengan berdirinya Taman Hutan Raya Bukit Barisan pada tahun 1990.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah melihat apa yang menjadi akar permasalahan yang akan dikembangkan oleh penulis maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat yang di dapat oleh penulis nantinya, karena pada dasarnya salah satu landasan awal dalam melakukan penelitian ini adalah perlunya diperhatikan beberapa tujuan dan manfaat yang nantinya akan dapat memberikan penjelasan baik kepada penulis sendiri maupun bagi pembaca yang pada akhirnya dapat dikembangkan dalam masyarakat luas.

Adapun yang menjadi tujuan dari pada penelitian ini adalah:

1. Mengetahui latar belakang petani bunga di dalam melakukan budidaya tanaman hias di Desa Tongkoh.

2. Mengetahui bagaimana cara petani bunga di dalam memproduksi dan mendistribusikan tanaman bunga di Desa Tongkoh.


(23)

3. Mengetahui perkembangan kehidupan sosial ekonomi petani bunga di Desa Tongkoh.

4. Mengetahui peranan penting petani bunga di sektor kepariwisataan di Tanah Karo.

Adapun yang menjadi manfaat dari pada penelitian ini adalah:

1. Untuk lebih memperkenalkan pada masyarakat luas keberadaan budidaya tanaman hias di Desa Tongkoh

2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah khususnya sejarah Pedesaan di Sumatera Utara.

3. Menjadi acuan bagi para penulis yang lain.

4. Menjadi sebuah karya tulis (skripsi), sebagai persyaratan untuk menjadi Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah.

1.4 Tinjauan Pustaka

Untuk dapat menyusun tinjauan kepustakaan yang baik, maka akan diusahakan mengumpulkan sumber sebanyak-banyaknya, serta harus relevan dengan topik masalah yang akan ditulis, kemudian melakukan seleksi sebelum dituangkan ke dalam bentuk tulisan.

Dalam hal ini buku yang menguraikan latar belakang dari petani bunga di Desa Tongkoh sama sekali tidak ada, sebab penulisan tentang permasalahan ini baru pertama kali dilakukan oleh penulis.


(24)

Perlengkapan yang perlu dimiliki oleh penulis multidimensional adalah alat-alat metodologi berupa konsep dan teori ilmu-ilmu sosial, yaitu tentang teori perubahan sosial. Sedangkan ilmu bantu yang cukup membantu dalam penelitian ini adalah Sosiologi, Ekonomi dan Antropologi sebagai upaya mengungkap peristiwa sejarah yang lebih dalam. Ilmu bantu ini dianggap sesuai untuk mengkaji tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Adapun beberapa buku yang dikemukakan dalam mendukung penelitian ini yang dapat dijadikan sebagai reperensi adalah sebagai berikut.

Kementerian Penerangan, “Republik Indonesia Propinsi Sumatera Utara”, mengemukakan tentang keberadaan petani bunga pasca revolusi Sumatera Timur di Sumatera Utara. Setelah kedatangan Jepang ke Tanah Karo pada tahun 1943, rakyat Karo menjadi semakin menderita atas kependudukan Pemerintah Jepang tersebut. Setiap lahan pertanian di Tanah Karo harus ditinggalkan dan para pemuda Karo dipaksa menjadi tentara Jepang seperti, Heiho, Gyugun dan yang lainnya. Hal ini yang menjadi penyebab terhentinya produksi bunga potong dari petani bunga di Desa Tongkoh. Baru setelah pasca revolusi Sumatera Timur berakhir, petani bunga kembali lagi berusaha membudidayakan bunga potong.

Buku ini juga membahas tentang distribusi produksi bunga potong ke luar daerah, yang mana pernah juga mengekspor ribuan tangkai bunga ke luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura. Tetapi tidak banyak data yang dapat diperoleh dari buku ini, karena pembahasan tentang perkebunan bunga hanya sekilas saja


(25)

diterangkan. Namun dapat dijadikan acuan sebagai bahan perbandingan dengan data-data yang lain nantinya.

Kemudian buku yang ditulis oleh Drs. H. Wara Sinuhaji M. Hum, yang berjudul “Aktivitas Ekonomi Enterpreneurship, Masyarakat Karo Pasca Revolusi”, menjelaskan tentang asal-usul masyarakat Karo pada mulanya. Buku ini penting bagi penulisan skripsi ini karena daerah yang akan diteliti berada pada Kabupaten Karo dan merupakan salah satu daerah tujuan perpindahan penduduk. Buku ini juga menjelaskan sistem pertanian di tanah Karo sebagai salah satu daerah yang sangat potensial untuk pertanian. Oleh karena perkebunan bunga juga merupakan lahan pertanian, maka buku ini diperlukan sebagai salah satu sumber terhadap penelitian yang akan dilakukan.

Buku Sukartawi yang berjudul “Manajemen Agribisnis Bunga Potong”, yang membahas tentang budidaya bunga potong, dan akan menjadi sumber yang sangat penting bagi penulis di dalam penganalisaan nantinya.

Buku ini akan menjelaskan secara terperinci tentang tata cara pengembangbiakan bunga potong, perawatan hingga tehnik pendistribusian bunga potong serta pemasarannya. Buku ini juga membahas asal-usul jenis bunga potong yang sudah ada di Indonesia pada saat ini. Melalui buku ini penulis akan berusaha mnganalisa data sedetail mungkin untuk memperoleh suatu kesimpulan yang akan dituang dalam bentuk tulisan skripsi ini nantinya.


(26)

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan sejarah yang ilmiah pemakaian metode sejarah yang ilmiah sangatlah penting. Metode sejarah dapat diartikan sebagai proses menguji dan menganalisa secara kritis atas rekaman dan peninggalan masa lampau.7 Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu setiap peneliti didalam merekonstruksi kejadian pada masa yang telah berlalu.

Untuk mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan sebagai bahan penulisan yang relevan dengan pokok permasalahan haruslah dikaji secara mendalam. Dalam penulisan penelitian ini kita harus melewati beberapa proses agar diperoleh suatu penilaian atau pemaparan yang lebih objektif.

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah:

1. Heuristik, yaitu mengumpulkan data-data atau sumber-sumber tertulis melalui studi kepustakaan (library research), yaitu berusaha mengumpulkan data melalui buku-buku, arsip, dokumen, majalah, artikel, dan media elektronik yang dianggap mempunyai kaitan dan dapat membantu penulis untuk memahami permasalahan, dan metode penelitian (field research), yaitu mengadakan wawancara terhadap tokoh-tokoh yang dianggap mampu memberikan masukan-masukan yang berarti sebagai sumber penelitian.

7

Tentang Metode Sejarah lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Benteng, 1995, hlm. 95-97 dan Louis Gottschalk, Understanding History: A Primer of Historical Method, Nugroho Notosusanto (Terj.), Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 18-19.


(27)

2. Kritik sumber, yaitu berusaha mendekatkan penulis mendapatkan petunjuk atas nilai kebenaran dan keaslian data maupun sumber yang diperoleh. Adapun nilai-nilai tersebut menjadi suatu tolak ukur dalam melakukan suatu kritik baik itu secara internal maupun eksternal. Kritik internal, yaitu penelaah tentang kebenaran isi atau fakta dari sumber-sumber objek penelitian. Kritik eksternal dilakukan dengan cara pengujian untuk menentukan keaslian sumber.

3. Interpretasi merupakan tahap dimana penulis akan mencoba menafsirkan data-data yang telah diperoleh kemudian menghasilkan suatu kesimpulan dari objek masalah yang diteliti baik dengan cara analisis maupun sintesis. Hal ini dilakukan untuk manghindari subjektivitas. Sebagian benar, tetapi sebagian lagi salah. Hal ini akan menjadi benar karena tanpa penafsiran sejarawan, maka data tidak akan bisa berbicara.

4. Historiografi merupakan tahap akhir dari penulisan, atau dapat juga dikatakan dengan penulisan akhir dari suatu penelitian yang diperoleh dari fakta-fakta, dilakukan secara sistematis dan kronologis. Dalam penulisan sejarah aspek kronologis menjadi sangat penting untuk menghasilkan karya sejarah yang ilmiah dan objektif.


(28)

Abstrak

Umat manusia selalu ingin hidup dalam lingkungan yang asri, nyaman dan tentram. Oleh sebab itu setiap individu baik itu tua ataupun muda pasti akan langsung memikirkan tanaman penyegar sebagai media keasrian dan kenyamanan baik di dalam ruangan maupun di pekarangan setiap lingkungan. Tanaman bunga menjadi salah satu alternatif manusia untuk memperoleh kedamaian batin dan melepas keletihan duniawi yang begitu terikat dengan berbagai permasalahan yang kompleks. Selain sebagai sekedar hobi atau sebagai lambang cinta kasih dalam kehidupan manusia, tanaman bunga telah menjelma sebagai salah satu kebutuhan yang mendasar sebagai penyegar pekarangan atau lingkungan yang gersang dan tandus. Begitu berpengaruhnya tanaman bunga bagi kehidupan manusia, sehingga kemunculan petani-petani bunga telah melahirkan pengusaha-pengusaha bunga yang mampu menciptakan lapangan kerja di berbagai bidang, mulai dari penanaman hingga pemasaran. Seperti halnya petani bunga yang berada di desa Tongkoh Kabupaten Karo, yang mampu menggairahkan industri pariwisata di Tanah Karo secara langsung maupun tidak langsung. Petani bunga di desa Tongkoh yang telah ada sejak penjajahan kolonial Belanda di Tanah Karo, mampu bertahan hingga saat ini dan menjadi sebuah warisan yang telah membudaya bagi masyarakatnya. Perubahan demi perubahan telah dilalui masyarakatnya mulai dari masa Orde Lama dan sudah mampu mengekspor produksi bunga potong keluar negeri, hingga terjadinya konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1963-1966 yang telah menyebabkan kemunduran yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia. Bagi petani bunga di desa Tongkoh peristiwa ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi mereka, karena konsumen terbesarnya adalah negari Malaysia. Berdirinya PT. Bibit Baru pada tahun 1970 membawa angin segar bagi petani bunga di desa Tongkoh. Kehadirannya membawa perubahan dalam sistem pertanian masyarakat dari sistem tradisional ke sistem pertanian yang lebih modern. Memang tidak dapat dipungkiri, majunya tingkat pengetahuan suatu masyarakat menyebabkan berkurangnya nilai-nilai budaya ditengah-tengah masyarakat. Hal ini juga terjadi bagi masyarakat di desa Tongkoh, dimana upacara-upacara adat warisan nenek moyang telah mulai ditinggalkan karena semakin berkembangnya tingkat pendidikan sehingga mulai berpikir secara logis. Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang demikian, dibutuhkan ilmu Bantu seperti Antropologi dan Sosiologi sebagai upaya mengungkap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi serta menyokong metode sejarah yang telah digunakan mulai dari proses heuristik, kritik sumber, interpretasi hingga tahap akhir dari proses tersebut yaitu historiografi sehingga melalui proses tersebutlah tercapai sebuah hasil penulisan yang sistematis dan kronologis.


(29)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA TONGKOH

2.1 Letak Geografis

Desa Tongkoh berada diantara jalan raya Berastagi-Medan, jarak dari Ibukota Kabupaten ke desa ini lebih kurang sekitar 26 km, sedangkan dari kota Berastagi hanya berkisar 5 km, sebaliknya jika berangkat dari Ibukota Propinsi menuju lokasi ini jarak yang harus ditempuh berkisar lebih kurang 59 km. Letak wilayah desa ini dikelilingi dan dibatasi oleh beberapa desa serta pegunungan. Berikut ini batas-batas wilayah desa Tongkoh adalah sebagai berikut:

 Sebelah Barat berbatasan dengan desa Peceren Kecamatan Berastagi.

 Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Gunung Barus yang dikelola oleh Dinas Kehutanan sebagai hutan lindung Bukit Barisan.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Basam Kecamatan Barus Jahe.

 Sebelah Utara desa ini dibatasi oleh Gunung Singkut yang juga merupakan hutan lindung Bukit Barisan dan dikelola oleh Dinas Kehutanan.

Sebelum luas wilayah desa ini dipaparkan lebih lanjut, ada baiknya dibahas sekilas tentang pemerintahan desa Tongkoh ini. Desa Tongkoh tidak bisa terlepas dari desa Lau Gendek sebagai daerah induk dari kedua desa ini. Hal ini terjadi karena berkaitan dengan latar belakang berdirinya desa Lau Gendek yang kemudian disusul dengan munculnya desa Tongkoh sendiri. Pemerintahan desa sepenuhnya dipegang


(30)

oleh desa Lau Gendek dengan desa Tongkoh sebagai dusun atau kesain dalam budaya Karo. Jadi desa Lau Gendek memegang peranan utama, namun penduduk kedua desa ini akan selalu bekerja sama dalam segala hal. Mengenai latar belakang kedua desa ini akan dipaparkan lebih lanjut dalam latar belakang historis desa Tongkoh nantinya.

Mengenai luas wilayah kedua desa ini secara keseluruhan lebih kurang seluas 500 ha yang masing-masing dapat diperinci sebagai berikut: dipakai sebagai tempat pemukiman penduduk seluas 5 ha, lokasi perusahaan swasta seluas 14,5 ha termasuk 5 ha untuk lokasi perkebunan inti rakyat. Sedangkan kawasan industri swasta dipakai seluas 4 ha, serta lokasi yang digunakan oleh Hortikultura adalah seluas 7 ha dijadikan sebagai lokasi penelitian dari Dinas Pertanian.

Keadaan iklimnya berada pada suhu minimum 16 sampai dengan 20 derajat celsius dengan kelembaban udara rata-rata 28%. Pada bulan September hingga Desember mulai turun hujan dan pada rentang bulan yang lain mulai terjadi kemarau serta turun hujan sekali-kali. Keadaan yang demikian menyebabkan keadaan tanahnya sangat subur untuk lahan pertanian maupun perkebunan yang mendukung berkembangnya perindustrian di sekitarnya dengan pesat. Sebelum adanya Investasi Modal Swasta, dan lokasi penelitian dari Dinas Pertanian, pemakaian tanah masih sangat terbatas (lihat pada tabel1).


(31)

Tabel 1 Pemakaian Tanah Sebelum Adanya Investasi Modal Swasta

No. Penggunaan Tanah Luas/Ha

1. Pemukiman 3 ha

2. Kebun campuran 3 ha

3. Sawah -

4. Tegalan/lahan kering -

5. Hutan lebat 3 ha

6. Belukar -

7. Perkebunan rakyat 1 ha

8. Dan lain-lain 500 ha

Sumber: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)

Tetapi setelah mulai beroperasi usaha perkebunan dan industri swasta, serta penelitian pertanian yang dikelola oleh Pemerintah, terjadi perubahan dimana pemanfaatan tanah di kedua desa ini semakin meluas, malahan menyewakan tanah mereka kepada kalangan non pribumi. Lahan dari desa Lau Gendek di pakai sebagai perusahaan PT. Bibit Baru, Industri Gitar dan Pengalengan Makanan, sedangkan lahan dari desa Tongkoh digunakan sebagai lokasi Penelitian Pertanian dari Dinas Pertanian. Luasnya pemanfaatan tanah dapat dilihat dari perkembangan penggunaan tanah yang dipakai dan berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta, (lihat tabel 2).


(32)

Tabel 2 Pemakaian Tanah Setelah Berkembangnya Investasi Modal Swasta

No. Penggunaan Tanah Luas/Ha

1 Pemukiman 5 ha

2. Kebun campuran 5 ha

3.. Perkebunan 14,5 ha

4. Pabrik 4 ha

5. Lokasi penelitian 12 ha

6. Hutan lebat 2 ha

7. Perkebunan rakyat 3 ha

8. Dan lain-lain 454 ha

Sumber: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1986)

Pemanfaatan tanah yang demikian luas tidak hanya diusahakan oleh penduduk setempat saja, akan tetapi telah mulai banyak disewakan oleh penduduk kepada pendatang dan kalangan non pribumi, terutama kepada kaum Tionghoa dan ada pula yang telah menjualnya kepada petani non pribumi.

Selain itu, sejak tahun 1980 desa Lau Gendek telah mulai dibuka menjadi Pasar Tradisional untuk transaksi hasil-hasil pertanian dengan para pedagang, dan semakin berkembang lagi setelah pedagang-pedagang jenis kebutuhan lain turut berdagang ke pasar yang terletak di desa Lau Gendek. Perkembangan pasar ini


(33)

memang sangat memungkinkan jika dilihat dari sarana transportasi dimana jalur yang dilalui sangat strategis, yaitu terletak diantara jalan raya Medan-Berastagi. Jaringan penerangan listrik juga telah dimulai sejak tahun 1985 oleh Perusahaan Listrik Negara, sehingga jaringan komunikasi melalui televisi sudah dapat dinikmati oleh masyarakat ini.

Kebutuhan akan perawatan kesehatan bagi masyarakat telah diperhatikan pula. Sejak tahun 1979 atas swadaya masyarakat dengan pihak Perusahaan PT. Bibit Baru telah mendirikan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan menyarankan berobat ke Puskesmas ini yang dilakukan oleh petugasnya. Kegiatan lain di prakarsai masyarakat setempat, seperti mendirikan Jambur (tempat pertemuan desa), demikian juga halnya dengan membuat kamar mandi umum, balai desa, kantor agama Islam serta Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibiayai atas swadaya masyarakat serta bantuan yang di peroleh dari pihak Pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang terdapat di kedua desa ini, semuanya dibangun di desa Lau Gendek sebagai wilayah induk.

2.2 Latar Belakang Historis Desa Tongkoh

Menurut legendanya secara oral historis atau cerita turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dataran tinggi Karo mulai dihuni oleh masyarakat Melayu Tua yang datang kedaerah pegunungan Karo, kemudian menjadi suku bangsa Haru. Salah satu sub-marganya adalah Karo Sekali yang bermukim di kampung


(34)

Capah, sekarang dinamai Seberaya.8 Disinilah pertama sekali bangsa Haru menyebut Karou dan menjadi Karo oleh marga Karo Sekali. Sebelum kampung Sicapah bernama Seberaya, kampung ini masih terbagi dalam empat kesain yang berpencar-pencar, yaitu Kesain Rumah Juluun, Kesain Rumah Seribu, Kesain Rumah Karo, dan Kesain Rumah Sinuraya. Kemudian setelah orang-orang Hindu Tamil bermukim di daerah tersebut kira-kira tahun 1200-an, mereka berasimilasi dengan penduduk setempat dan mendapat keturunan sampai beberapa generasi, maka kampung Sicapah berubah nama menjadi Seberaya. Seberaya berasal dari kata sabe-sabe yang berarti pemujaan dan raya yang berarti besar, karena di kampung inilah pertama sekali diadakan sebuah musyawarah besar umat Hindu Perbegu, kira-kira pada permulaan abad ke-14 sebelum legenda Putri Hijau lahir di kampung itu pada abad ke-16.

Kampung Sicapah dengan ibukotanya Kerajaan Haru Sicapah berasal dari kata Capah yang artinya piring. Terjadinya nama kampung dan kerajaan Haru Sicapah adalah karena pada mulanya nenek moyang suku Karo melahirkan bayi kembar lima berselaput dan dibedah diatas piring besar. Sejak saat itulah tempat kediaman nenek moyangnya yang kembar lima itu dinamai kampung Sicapah yang awalnya dinamai burung Sicapah. Kelima nenek moyangnya itu melahirkan keturunan yang bermarga Karo Sekali, karo Kemit, karo Samura, Karo-karo Bukit, dan Karo-Karo-karo Sinuhaji dan Sinuraya.

8


(35)

Penduduk desa Seberaya ini biasanya dengan bangga mengatakan bahwa merekalah penduduk asli di Tanah Karo.9 Setelah beberapa generasi mendiami desa Seberaya sebagai Pemantek Kuta (kelmpok pendiri desa), akhirnya sebahagian dari pada kelompok marga Karo Sekali semakin terdesak oleh pendatang kelompok marga yang lain sehingga lahan pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin sempit. Hal ini mendorong sebahagian kelompok marga Karo Sekali mencari tempat pemukiman yang baru untuk mengatasi tantangan tersebut.

Sebelum pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa di Tanah Tinggi Karo pada tahun 1901, yang dimulai dengan pecahnya Perang Garamata, timbullah perselisihan paham diantara sesama marga Karo Sekali di desa Seberaya untuk memperebutkan masalah pembagian warisan tanah yang ada di desa tersebut. Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan, maka sekelompok dari kelompok yang bertikai tersebut mencari alternatif dengan mencari pemukiman yang baru, untuk menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya perang saudara. Akhirnya kelompok ini pergi meninggalkan desa Seberaya menuju kearah daerah sebelah selatan yang jaraknya kira-kira 18 km dari desa Seberaya, kemudian di tempat yang baru tersebut mereka mendirikan sebuah perkampungan baru sebagai tempat tinggal yang baru. Desa yang baru ini kemudian dinamakan oleh mereka dengan nama Taneh Jawa. Tidak ada asal usul nama tempat yang baru ini, namun awalnya bernama “Perawa-rawa” yang artinya

9

Martin L. Perangin-angin, Orang Karo Diantara Orang Batak, Jakarta: Pustaka Sora Mido, 2004, hlm. 9.


(36)

pemarah, dibuat seperti itu agar tidak ada kelompok lain yang mengusik keberadaan mereka.

Dalam waktu yang relatif singkat daerah tersebut mengalami perkembangan. Berhubung komunikasi dengan daerah sekitarnya sangat sulit serta adanya ancaman binatang buas sehingga keamanan mereka terganggu, pada akhirnya mereka pindah ke pinggir jalan raya Medan-Berastagi yang waktu itu masih berupa jalan setapak, di dekat pemukiman yang baru ini terdapat sebuah aliran sungai yang kecil dan gendek.10 Perkembangan selanjutnya, pada dekade awal tahun 1970-an, sebagaimana halnya dengan nama-nama desa yang lain, desa Lau Gendek dirubah namanya menjadi desa Daulat Rakyat sesuai dengan musyawarah masyarakatnya, dan merupakan nama gabungan dari desa Lau Gendek dengan Desa Tongkoh.

Latar belakang berdirinya desa Tongkoh sendiri adalah karena perpindahan kaum pendatang marga Karo-karo Bukit dari desa Sampun, sebelum Belanda berkuasa di Tanah Karo. Sama seperti perpindahan submarga lainnya yang ingin mencari lahan baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, marga Karo-karo Bukit juga demikian. Namun tidak seperti marga Karo Sekali yang datang secara berkelompok, marga Karo-karo Bukit datang justru hanya dengan sebuah keluarga saja, kemudian beberapa tahun berikutnya diikuti oleh kedatangan marga Karo-karo Gurusinga yang masih saudara dekat dengan keluarga Karo-karo Bukit. Singkat cerita Karo-karo Bukit yang pertama datang menyerahkan lahan-lahan kosong kepada

10

Dalam Bahasa Karo kata “gendek” sama dengan pendek. Desa tempat pemukiman tersebut akhirnya diberi nama Lau Gendek. Lau artinya air atau sungai, sehingga pengertiannya menadi sungai yang pendek.


(37)

Karo-karo Gurusinga. Pendatang yang terakhir muncul adalah kelompok marga Sembiring yang menghuni di daerah perbatasan desa Tongkoh dengan desa Lau Gendek. Jadi hanya ketiga marga inilah yang mendiami desa Tongkoh secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Asal mula nama desa Tongkoh sendiri tidak terlepas dari cerita terkenal Tanah Karo tentang legenda Putri Hijau versi orang Karo. Putri Hijau br Sembiring Meliala lahir di Seberaya dari seseorang yang bermarga Sembiring Meliala keturunan Hindu Tamil.11 Ia pergi meninggalkan Seberaya disebabkan terjadinya salah paham di dalam keluarganya. Dari Seberaya Putri Hijau pergi ke daerah Lau Kawar berharap akan ada yang akan menyusulnya, namun belum juga ada Anak Berunya yang menyusulnya, kemudian ia pergi kedaerah Lau Gendek yang ketika itu masih berupa lahan yang kosong, Anak Berunya belum juga kelihatan menyusul, hingga sampailah Putri Hijau di suatu tempat persinggahan, yaitu sebuah lahan yang kosong dengan hutan lebat dipinggirannya. Ia mulai beristirahat dan berpikir di tempat itu, timbul tanda tanya dalam dirinya mengapa Anak Berunya tidak juga datang menyusulnya. Sambil menyunyah daun sirih, pikirannyapun menjadi “Tongkoh”,12 apakah ia harus kembali ke Seberaya atau pergi ke tempat saudara ayahnya yang berada di daerah Deli Tuwa.

11

Ibid., hlm. 20.

12

Dalam Bahasa Karo kata “Tongkoh” dapat diartikan sebagai bercabang-cabang dan juga dapat diartikan juga sebagai tunggal atau satu. Pengertiannya tergantung kata-kata yang mengikutinya, kata “Tongkoh” dalam kalimat tersebut diatas memiliki arti bercabang, dengan kata lain pikiran Putri Hijau tidak menentu. Pada zaman sekarang, penggunaan kata “Tongkoh” tidak pernah lagi


(38)

Hubungan desa Tongkoh sendiri dengan desa Lau Gendek adalah tidak lain atas hubungan tanah, karena marga Karo Sekali yang pertama sekali mendiami desa Lau Gendek sampai ke daerah pinggiran desa Tongkoh, maka marga Karo Sekali dianggap sebagai tuan tanah seluruh daerah tersebut. Walaupun pada mulanya daerah desa Tongkoh hanya berupa lahan yang kosong dan tak berpenghuni. Hingga sampai sekarang marga Karo Sekali tetap dianggap sebagai “Pemantek Kuta” kedua desa

ongkoh yang seluruh lahan pada mulanya dikuasai oleh marga

pada rima

tersebut, walaupun sebenarnya marga Karo-karo Bukit yang pertama mendiami daerah itu.

Seperti halnya dengan desa-desa lain di Tanah Karo, karena kedua desa ini didirikan oleh marga Karo Sekali, secara otomatis jabatan Penghulu atau Kepala Desa di pegang oleh kelompok marga tersebut secara turun-temurun. Demikian juga halnya dengan pemilikan tanah dimana sebagian besar dikuasai oleh kelompok marga tersebut kecuali desa T

Karo-karo Bukit, kemudian diberikan sebagian kepada marga Karo-karo Gurusinga dan marga Sembiring.

Sampai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, jabatan Kepala Desa dipegang oleh Atuk Karo Sekali, kemudian sejak tahun 1945-1975, jabatan tersebut diserahkan kepada keturunannya yang bernama Lias Karo Sekali. Sedangkan pada periode 1975-2002, jabatan Kepala Desa dipegang oleh Cengken Hasan Karo Sekali. Saat ini jabatan Kepala Desa diserahkan ke Te Karo Sekali yang merupakan adik kandung dari Cengken Hasan Karo Sekali. Dengan demikian desa ini dapat dikatakan sebagai desa yang sifatnya homogen.


(39)

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemanfaatan tanah semakin bertambah karena berdirinya beberapa perusahaan dan perkebunan serta adanya penjualan tanah kepada para pendatang, sehingga dengan sendirinya desa ini berubah wajahnya. Kalau pada awalnya bersifat homogen sekarang mulai bersifat eterogen. Perubahan ini juga disebabkan adanya pendatang baru, yaitu suku lainnya

awa dan lain-lain.

laki-laki rjum

latif singkat atau lebih kurang selama tiga tahun, jumlah

ut, akan tetapi adalah akibat dari h

seperti Simalungun, toba, J

2.3 Distribusi Penduduk

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Pemerintahan desa Daulat Rakyat pada tahun 1984, dapat diketahui bahwa jumlah keseluruhan penduduk yang bermukim di desa ini adalah sejumlah 715 jiwa dari 149 rumah tangga. Jumlah tersebut dapat diperinci berdasarkan kelompok jenis kelamin, yaitu

be lah 324 jiwa dan perempuan berjumlah 391 jiwa. Tetapi pada tahun 1966 dan tahun 1976, sensus penduduk tidak dilaksanakan menurut para informan.

Pada tahun 1984, jumlah rumah tangga tercatat 149 kepala keluarga, jika dibandingkan dengan tahun 1987, sudah berjumlah lebih kurang 300 rumah tangga. Dalam rentang waktu yang re

penduduk di desa ini sudah hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan sensus penduduk pada tahun 1984.

Meningkatnya jumlah penduduk tersebut bukanlah karena disebabkan meningkatnya angka kelahiran anak di desa terseb


(40)

m katnya jumlah pendatang untuk mencari lapangan pekerjaan kemudian menetap menjadi penduduk di desa Daulat Rakyat.

Pada umumnya masyarakatnya memiliki sifat yang terbuka dan tidak bersifat sukuisme dan itulah sebabnya para pendatang betah tinggal di desa ini. Sifat keterbukaan yang dimiliki masyarakat desa ini membentuk sifat heterogen, bukan hanya dari segi etnis saja tetapi juga dalam hal kepercayaan yang dianut. Walaupun kepercayaan mereka umumnya berbeda, namun dengan suatu kesadaran yang tinggi, kepercayaan yang mereka anut bukan dija

ening

dikan sebagai benih-benih yang nim

melaksanakan upacara tradisional tara

me bulkan konflik melainkan mereka saling bertoleransi dan tidak menjadikannya sebagai penghalang dalam pergaulan sehari-hari.

Disamping agama yang sudah ada sekarang ini, namun sebagian masyarakatnya masih ada yang menganut kepercayaan tradisional. Mereka menganggap kepercayaan tradisional identik dengan adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, sehingga meskipun mereka sudah menganut kepercayaan seperti Agama Islam dan Kristen, mereka masih

an lain, “Erpangir Kulau”, memberi sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat agar roh nenek moyang memberi rejeki.

Menurut informasi yang di peroleh lapangan, unsur-unsur Agama Kristen mulai masuk ke desa ini sekitar tahun 1981, sedangkan unsur-unsur Agama Islam mulai berkembang pada tahun 1983. Kedua ajaran agama ini berkembang bukanlah atas bantuan misi-misi tertentu, melainkan kedua ajaran agama ini masing-masing dibawa oleh para pendatang yang memang telah menganut agama tersebut.


(41)

Unsur-unsur yang dibawa oleh para pendatang ini kemudian diserap oleh penduduk setempat sesuai dengan keyakinan dan keinginan masing-masing tanpa adanya unsur-unsur

erdiri dari Agama Islam, Kristen dan Budha.

Dari daftar distrib tnya berdasarkan

data sensus tahun 1984 (lihat tabel 3).

Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Ag

. Jenis Agama Jum wa

paksaan, sehingga penduduk yang pada mulanya masih menganut kepercayaan tradisional mulai menganut agama yang telah ada yaitu Kristen dan Islam.

Berdasarkan distribusi penduduk menurut agama, penulis membuat suatu kesimpulan bahwa agama yang ada t

usi berikut ini akan dapat dilihat jumlah penganu

ama

No lah/Ji

1. Islam 500

2. Kristen 115

3., Budha 25

4. Lain-lain 75

Jumlah 715

Su r: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)

Berdasarkan tabel diatas jumlah masyarakat desa ini bisa diklarifikasikan bahwa Agama Islam merupakan jumlah mayoritas yang dianut oleh p

mbe

enduduk, atau mlah

ju nya dua kali lipat dari pada keseluruhan agama yang ada, walaupun Agama Islam belakangan berkembang jika dibandingkan dengan agama lain.


(42)

Sebagaimana halnya dengan masyarakat lain, penduduk desa ini juga taat menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan agama yang mereka anut. Hal ini dapat dilihat dari adanya rumah ibadah yang mereka bangun dengan hasil swadaya sendiri, yaitu dua buah Mesjid yang di bangun masing-masing sebuah di desa

uduk

h dianggap memiliki berpenghasilan. ada saat sensus diadakan, hasilnya menunjukkan lebih banyak jumlah usia muda ari pada jumlah yang produktif (lihat tabel 4).

Tongkoh dan Desa Lau Gendek, serta sebuah bangunan Gereja yang terletak di desa Lau Gendek.

Selain dari pada itu, di bawah ini akan dipaparkan pula tabel klasifikasi penduduk desa berdasarkan kelompok usia sesuai dengan sensus jumlah p-end pada tahun 1984, sehingga dari tabel ini nantinya akan dapat diketahui klasifikasi penduduk yang dianggap produktif sebagai penghasil perekonomian di desa ini.

Selain itu, berdasarkan produktif atau tidaknya, penduduk desa Daulat Rakyat dapat dibagi menjadi dua, yaitu penduduk yang tidak produktif berdasarkan usia muda, yaitu dibawah 25 tahun. Kelompok ini dianggap masih dalam taraf pendidikan. Dengan demikian tidak dapat dilibatkan dalam peningkatan sosial ekonomi. Kelompok yang lainnya adalah yang produktif berdasarkan usia 25 tahun ke atas dan tidak bersekolah lagi. Dalam usia 25 tahun suda

P d


(43)

Tabel 4 Distribusi Penduduk Menurut Umu

. Kelom Usia Juml sia

r

No pok ah/U

1. 0-1 31

2. 2-5 80

3. 6-7 170

4. 8-14 135

5. 15-24 136

6. 25-54 108

7. 55 ke atas 55

Jumlah 715

S r: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)

Pada saat sensus ini dilakukan, jumlah usia muda jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah yang dianggap potensial sebagai produktif penghasil ekonomi, yaitu berusia 25 tahun ke atas. Usia yang dianggap tidak produktif disini adalah usia anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah, sedangkan yang dianggap sangat produktif adalah usia 25 tahun ke atas dan tidak bersekolah lagi. Jadi penduduk yang berusia 25 tahun ke atas dianggap sangat produktif, karena pada usia demikian dianggap telah mampu berper

umbe


(44)

muda dianggap masih dalam taraf pen n tidak mutlak melibatkan diri dalam pen

LATAR BELAKANG DAN PRODUKSI PERTANIAN BUNGA DI DESA H

emikian, demikian bentuk pertanian yang ada

m pelembagaan ada yang merupakan satuan dasar dari produksi

didikan da ingkatan sosial ekonomi di desa ini.

BAB III

TONGKO

3.1 Sejarah Petani Bunga Di Desa Tongkoh

Sejarah pertanian telah mencatat bahwa pola pertanian masyarakat petani awal adalah pertanian subssisten.13 Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan sebatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Mereka menanam berbagai jenis biji-bijian, antara lain padi, jagung, gandum, dan kacang-kacangan serta tanaman sayur-sayuran. Dengan d

sangat individual, kalau mau dikatakan bersifat sosial, itu masih sangat sempit cakupannya hanya dalam keluarga.

Pada abad-abad pertengahan, seni pertanian di dunia barat hanya terbatas di kebun-kebun biara. Jadi, pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan membiara, yang mampu menghasilkan pangan, anggur dan obat-obatan. Dala

pertanian yang belum banyak terjalin interaksi dan komunikasi secara luas dalam masyarakat.

13

Greg. Soetomo, Kekalahan Manusia Petani, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan Pertanian, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm. 21.


(45)

Perkembangan kultur pertanian berikutnya adalah terbentuknya komunitas-komunitas kecil yang menyerupai desa dalam bentuk dan struktur yang lebih sederhana. Bentuk pertaniannya masih berupa sistem ladang, masyarakatnya tidak bersifat menetap karena berpindah-pindah mengikuti ladang yang baru, tempat mereka memperoleh sumber makanannya. Solidaritas di antara mereka tampil dalam bentuk gotong-royong, baik yang bermaksud tolong-menolong secara spontan karena sikap bakti maupun sebagai wujud saling membutuhkan satu sama lain.14 Sistem bertani awal seperti ini belum mempunyai konsep pemilikan atas suatu ladang secara individual. Tanah menjadi milik bersama. Tiap individu anggota kelompok boleh mengerjakan satu bagian tanah dan mengambil hasil jerih payahnya. Ketika ia

nger

me jakan suatu areal tanah, tanah ini berada di bawah kekuasaannya. Apabila tanah tersebut berhenti dikerjakan, tanah kembali di bawah kekuasaan kelompok.15

Para sosiolog pertanian Indonesia memperoleh kesulitan apabila harus mengaplikasikan dua konsep yang berasal dari Sosiologi Barat, yakni peasants dan farmers yang dalam penggunaannya oleh para Sosiolog Barat dibedakan. Peasants adalah petani yang memiliki lahan yang sempit dan memanfaatkan sebagian besar dari hasil produksi pertaniannya untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara farmers adalah orang-orang yang hidup dari mengolah tanah pertanian namun berbeda dengan peasants, maka farmers menjual bagian terbanyak dari hasil pertanian mereka. Farmers juga telah akrab dengan pemanfaatan teknologi pertanian

14

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1967, hlm. 156.

15


(46)

yang modern seperti perbankan. Tipe farmers adalah petani-petani yang hidup di dunia pertama seperti Inggris dan Amerika umpamanya. Dalam perbendaharaan kata

erti subsektor

sumber pertumbuhan baru di sektor pertanian. Salah satu tanaman Hortiku

bahasa Indonesia, tidak ada kata yang berbeda bagi mereka yang hidup dari usaha tani, mereka disebut dengan satu kata yakni petani.16

Pertanian Indonesia tidak hanya terdiri dari subsektor pertanian pangan. Disamping subsektor pertanian pangan terdapat subsektor lain, sep

perkebunan, subsektor peternakan, subsektor perikanan, dan subsektor Hortikultura (sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan).

Subsektor Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang dipandang dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan dalam sektor pertanian di Indonesia. Tanaman Hortikultura seperti buah-buahan, sayur-sayuran, bunga-bungaan, dan tanaman obat-obatan mendapat perhatian dari pemerintah. Terbukti tanaman Hortikultura dimasukkan dalam subsektor tanaman pangan, sehingga ada subsektor tanaman pangan dan Hortikultura. Tanaman Hortikultura mendapat perhatian besar karena telah membuktikan dirinya sebagai komoditi yang dapat dipakai sebagai

ltura yang telah lama menjadi komoditi ekspor adalah tanaman hias dan bunga potong.

Di Indonesia tanaman bunga mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani bunga dan memperluas lapangan

16

Loekman Soetrismo, Pertanian Pada Abad Ke-21, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, hlm. 4.


(47)

pekerjaan. Yayasan Bunga Nusantara mencatat, bahwa di Indonesia terdapat 20.000 petani bunga yang tersebar diseluruh pelosok daerah Nusantara. Sementara pedagang bunga atau florist berjumlah 2.000, dan angka ini cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.17 Catatan dari Tim Direktorat Bina Produksi Hortikultura Departemen Pertanian mengungkapkan, bahwa pada tahun 1988 peringkat ekspor

jual bunga. amun

bunga ke Eropa adalah sebagai berikut: bunga potong (43,38%), tanaman hias (38,65%), dan umbi bunga (12,26%).18

Di Tanah Karo sendiri, komoditi bunga potong telah lama diusahakan oleh masyarakat, terutama pada masyarakat desa Tongkoh yang merupakan salah satu pemasok bunga potong terbesar di Tanah Karo. Walaupun luas penanaman tidak dalam skala besar, namun hampir seluruh lapisan masyarakatnya terjun ke dunia tanaman bunga. Masyarakat desa Tongkoh sendiri telah lama bermatapencaharian sebagai petani bunga. Umumnya petani bunga di desa tersebut dipanggil dengan istilah perudang-rudang, yang jika diartikan memiliki makna sebagai pen

N sesuai dengan perkembangan zaman, penggunaan nama “perudang-rudang” telah menghilang pada akhir tahun 1970-an di tengah-tengah masyarakat.

Sebelum pembahasan tentang petani bunga di desa Tongkoh dibahas lebih lanjut, ada baiknya diketahui latar belakang petani bunga di desa Tongkoh itu sendiri. Untuk itu uraian tentang petani bunga di desa Tongkoh akan dipaparkan lebih lanjut.

17

Rosa Wiidyawan, Sarwintyas Prahastuti., loc.cit.

18


(48)

Sejak kedatangan marga Karo-karo Bukit ke desa Tongkoh sebagai pendatang pertama, kelompok atau keluarga ini langsung merambah dan membuat tanda di setiap lahan yang mereka garap tersebut seluas mungkin. Maksud dari pembuatan tanda atau dalam istilah bahasa Karo disebut dengan pantek, tidak lain adalah untuk menegaskan kepada pendatang yang lain nantinya bahwa lahan tersebut telah dikuasai oleh keluarga marga Bukit. Sebagai awal, mereka mendirikan gubuk sebagai tempat perlindungan serta menanam jagung di lahan yang telah mereka bersihkan. Bibit jagung tersebut dibawa dari kampung halaman mereka sendiri, yaitu desa Sampun, hasilnya kemudian dijual ke desa sebelah yaitu desa Lau Gendek dan ditukar dengan beras. Kegiatan seperti ini terus berlangsung hingga sekitar satu dekade. Sekitar empat tahun setelah kedatangan marga Bukit, marga Gurusinga menjadi pendatang kedua di daerah ini. Karena masih ada hubungan keluarga, marga Bukit memberikan lahannya yang tidak terpakai kepada marga Gurusinga yang juga datang dengan sebuah keluarga saja. Baru beberapa tahun kemudian, marga

mbir

Se ing muncul sebagai pendatang baru di daerah ini sehingga daerah ini semakin ramai. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka menanam jagung serta berburu kehutan.

Kontak budaya masyarakat Karo dengan Belanda di dataran tinggi mulai berlangsung pada awal abad ke-20, sejak saat itu berlangsunglah pendudukan Belanda hingga tahun 1942 ketika Jepang menggantikan kedudukan Belanda.19

19

Wara Sinuhaji, Aktifitas Ekonomi Dan Enterpreneurship, Masyarakat Karo Pasca Revolusi, Medan: USU Press, 2004, hlm. 70.


(49)

Kontak dengan Belanda menyebabkan jendela untuk melihat dunia yang lebih luas menjadi semakin terbuka. Setelah sistem pemerintahan lokal ditata dan dapat dikendalikan, Belanda meniadakan isolasi daerah Tanah Karo dan segera membangun infrastruktur sarana jalan raya dari Medan membelah punggung Bukit Barisan menuju Berastagi. Jalan ini sungguh sangat memiliki arti ekonomi yang sangat besar bagi daerah Tanah Tinggi Karo, kemudian diteruskan ke Kabanjahe, Pematang Siantar (Simalungun). Bahagian pertama diselesaikan pada tahun 1912. Kurun waktu

ereka, terlebih-lebih setelah dibukanya kebun percobaan

yang sama Lembaga Batak yang banyak di biayai Gereja, mendirikan sebuah kebun percobaan di Kuta Gadung, 3 km dari Berastagi arah ke Kabanjahe, banyak tanaman yang ditanam berasal dari kebun percobaan ini.20

Bagi masyarakat desa Tongkoh, terbukanya jalan ini memiliki arti ekonomi yang sangat besar. Kehidupan perekonomian yang selama ini tertutup dari dunia luar khususnya ke daerah Berastagi dan Kabanjahe kini semakin mudah. Untuk merubah kehidupan perekonomian m

di Kuta Gadung, mereka mulai mendapat bibit sayur-sayuran seperti kentang dari kebun tersebut dan berusaha untuk membudidayakan sayur-sayuran tersebut sebagai matapencaharian mereka.

Perusahaan-perusahaan perkebunan Sumatera Timur memiliki peranan utama dalam perubahan dataran tinggi Karo, terutama Berastagi sekitarnya. Setelah sarana jalan raya terbuka mereka ramai-ramai membangun villa sebagai tempat peristirahatan. Di sekeliling bukit Gundaling telah berdiri rumah kediaman

orang-20


(50)

orang Belanda dan Sultan-Sultan kaya Sumatera Timur, selain udara yang sejuk dari bukit ini dapat pula dinikmati pemandangan yang indah ke dataran rendah, juga

erulang kali, hasilnya mulai kelihatan. Inilah awal tanaman

ukan kolonial Belanda, pengiriman bunga hanya terbatas untuk daerah Berastagi dan Kabanjahe

kearah gunung Sibayak dan Sinabung. Kurun waktu yang sama didirikan pula Grand Hotel, sebuah hotel mewah bertaraf internasional, dan apa saja yang diinginkan oleh turis telah tersedia di hotel ini.21

Bagi orang-orang Belanda, menghias tempat tinggal mereka dengan menanam berbagai jenis bunga di pekarangan selain menambah indah suasana juga merupakan suatu hobi. Jadi setiap mereka datang ke villa-villa tersebut, mereka akan selalu membawa bibit bunga dan menanamnya di pekarangan mereka. Umumnya orang-orang Belanda akan mempekerjakan orang-orang-orang-orang pribumi untuk mengurus villa-villa mereka. Beberapa masyarakat desa Tongkoh bekerja di villa-villa ini, karena sudah terbiasa mengurus tanaman-tanaman yang ada di villa tersebut. Para pekerja tersebut lantas membawa tanaman bunga itu ke rumah mereka dan berusaha membudidayakannya. Pada awalnya memang agak sulit untuk membudidayakannya, namun setelah dilakukan b

bunga tersebut dikembangkan oleh orang-orang pribumi di desa Tongkoh. Hingga tahun 1930-an masyarakat mulai membudidayakan dan memasarkan hasilnya ke Berastagi dan Kabanjahe.

Jenis tanaman bunga awal yang ditanam petani adalah jenis Dahlia, Garbera, Aster, Glardiol, Lili, Krisan, Mawar dan lain-lain. Pada saat pendud

21


(51)

saja, namun jika ada transportasi yang datang dari Medan, pengiriman bunga ke Medan baru akan dilakukan walaupun hanya dalam jumlah yang kecil.

Sejak pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1943, kehidupan petani bunga menurun drastis. Hal ini didasarkan karena tidak datangnya lagi bibit-bibit baru dari Eropa terutama Negeri Belanda. Sehingga kualitas bunga potong juga semakin menurun. Selain itu, karena kondisi saat itu, petani juga kurang baik dalam perawatan tanaman. Hal ini terus berlangsung hingga pasca revolusi Sumatera Timur. Setelah Negara Sumatera Timur dibubarkan pada tanggal 13 Agustus 1950,22 produksi bunga potong bergairah lagi. Ini terbukti dengan pemasaran bunga potong yang semakin lancar karena transportasi juga sudah mendukung pengiriman bunga ke luar daerah. Pada tahun 1951, diperkirakan bahwa dalam sebulan ada pemasaran bunga dari Tanah Karo sebanyak 250.000 tangkai atau dalam satu tahun mencapai tiga juta tangkai. Bahkan pengiriman bunga potong ke luar negeri seperti Malaysia

dan Singapura juga semakin lancar dan memperbesar pemasukan bagi petani bunga di Tanah Karo khususnya bagi petani bunga di desa Tongkoh.23

Pada tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur diputuskan secara sepihak oleh pemerintahan Malaysia karena Indonesia tidak mengakui Federasi Malaysia yang didirikan pada tanggal 31 Agustus 1963 di Kuala Lumpur.24 Imbas dari pemutusan hubungan diplomatik ini adalah melesunya perekonomian Indonesia, khususnya bagi petani bunga di desa Tongkoh yang tidak

22

Kementerian Penerangan, op.cit., hlm. 395-396.

23

Ibid., hlm. 587.

24


(52)

dapat lagi memasarkan hasil panennya ke Luar Negeri. Sebab secara historis pula semenanjung Malaya telah menjadi “surga” bagi produk komoditi mereka. Ratusan ribu bahkan jutaan ton pertahun berbagai komoditi petani diekspor untuk memenuhi permintaan konsumen di Semenanjung Malaya. Putusnya hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara tersebut, berarti tertutup pula pemasaran yang paling potensial bagi ekonomi Karo. Dan lebih luas lagi mematikan ribuan lapangan pekerjaan dikalangan petani, buruh dan pedagang. Pada akhirnya secara ekonomis tentu merembes pula pada semua sektor kehidupan masyarakat yang lebih luas. Setelah konfrontasi Indonesia-Malaysia mereda, perekonomian Tanah Karo tetap lesu, hal ini dikarenakan pengiriman hasil panen pertanian para petani di Tanah Karo tidak bisa lagi secara bebas. Hal ini juga membawa dampak yang sangat besar bagi petani bunga di desa Tongkoh, mereka tidak bisa lagi mengirimkan hasil panen mereka ke Malaysia. Pemasaran bunga potong hanya terbatas di kota-kota besar Sumatera Utara dan Aceh saja, dan itu juga hanya meningkat pada perayaan hari-hari besar keagamaan. Hal ini terjadi dikarenakan pada awal tahun 1970, muncul industri bunga plastik yang di pelopori oleh orang-orang keturunan Cina di Indonesia. Di Sumatera Utara industri ini berkembang dengan pesat karena permintaan pasar yang sangat besar. Umumnya bunga plastik ini digunakan sebagai pengganti bunga potong yang tidak tahan lama. Keadaan ini membuat petani bunga potong di desa Tongkoh kekurangan konsumen. Untuk menyiasatinya, tanaman bunga yang diproduksi para petani mengalami perubahan dari bunga potong menjadi tanaman hias dalam pot plastik, yang memungkinkan petani untuk menggairahkan kembali industri bunga


(53)

hidup. Pada tahun itu juga mulai muncul pengusaha-pengusaha bunga yang cukup besar didesa Tongkoh, dan umumnya diusahakan oleh mereka yang dari keturunan marga Karo-karo Bukit. Namun, petani bunga potong juga masih tetap eksis di desa Tongkoh, walaupun dengan jumlah yang kecil, penanaman bunga potong ini

lam

Baru ini memberikan dampak positif bagi para petani bunga di desa Tongkoh. Selain diusahakan oleh sebahagian kecil masyarakat di desa Tongkoh untuk memenuhi kebutuhan pasar khususnya untuk kota Berastagi sekitarnya.

Pada tahun 1970, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha industri pertanian, terutama dalam memproduksi bibit-bibit tanaman Hortikultura, berdiri di desa Lau Gendek, perusahaan ini bernama PT. Bibit Baru. Dalam rangka meningkatkan pengabdiannya terhadap masyarakat sekitar, perusahaan PT. Bibit Baru dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Karo mengembangkan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sistem pertanian ini dapat secara perlahan-lahan diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat di desa Tongkoh da pengembangan usaha tanaman bunga. Sementara itu, masyarakat di desa Lau Gendek berusaha di bidang pertanian pangan, misalnya tanaman padi serta sayur-sayuran.

Dengan adanya kerjasama antara perusahaan dengan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan hasil pertanian para petani, tetapi tidak semua masyarakat menerima sistem PIR ini, namun masih ada juga beberapa diantara kalangan petani ini yang tetap mengandalkan pengalamannya secara alamiah sebagaimana yang telah dilakukannya selama ini. Memang perubahan ini tidak dapat berlangsung secara drastic, tetapi berlangsung dengan perlahan-lahan. Berdirinya perusahaan PT. Bibit


(54)

mendapatkan bibit-bibit baru dari perusahaan, kehidupan sosial ekonomi di desa Tongkoh juga semakin kompleks dengan keberadaan para pendatang yang ingin

Penelitian Pertanian ini justru

makin maju dan modern.

bekerja di perusahaan tersebut.

Pada tahun 1978, sebuah Balai Penelitian Pertanian berdiri di desa Tongkoh. Balai Penelitian Pertanian yang dibangun oleh pemerintah ini bertujuan untuk melakukan penelitian dan percobaan terhadap tanaman-tanaman pangan, khususnya untuk tanaman Hortikultura yang di tanam oleh masyarakat di Tanah Karo. Hasil percobaan tersebut selanjutnya dikirim ke pusat tepatnya di Bogor dan dikembangkan disana. Sebenarnya keberadaan Balai Penelitian Pertanian ini tidak terlalu berpengaruh bagi masyarakat di desa Tongkoh, terutama terhadap petani bunga, karena hasil-hasil dari penelitian tersebut tidak pernah mengikutsertakan masyarakat setempat dalam usaha pengembangannya. Tetapi bagi kehidupan sosial masyarakat di desa Tongkoh, berdirinya Balai

membawa perubahan yang besar bagi masyarakat.

Selain sebahagian tenaga-tenaga buruh dari PT. Bibit Baru yang berdomisili di desa ini, karyawan-karyawan dari Balai Penelitian Pertanian yang kebanyakan adalah insinyur-insinyur pertanian juga berdomisili di desa Tongkoh, sehingga mempengaruhi perkembangan masyarakat kearah yang lebih maju. Perubahan sosial budaya maupun ekonomi yang terjadi adalah akibat dari pada tingkat perkembangan pengetahuan masyarakat semakin berkembang. Dengan demikian perubahan tersebutlah yang akan membuat kehidupan petani bunga di desa Tongkoh se


(55)

3.2 Produksi Tanaman Bunga

Tanaman hias merupakan tanaman Hortikultura non pangan, berbeda dengan sayuran dan buah-buahan. Tanaman hias dibudidayakan untuk dinikmati keindahan atau nilai estetikanya. Keindahan tanaman hias dapat dipancarkan dari keseluruhan tajuk tanaman atau organ-ogan tertentu dari tanaman tersebut. Organ tanaman yang

yang baik dan segar agar mpai

dinilai mempunyai nilai stetika tinggi dapat berupa bunga, daun atau batangnya.25 Khusus komoditi Hortikultura untuk tanaman hias yang merupakan komoditi bersifat khas, yaitu antara lain perlunya perhatian yang khusus karena memerlukan kemampuan mengusahakannya berdasarkan keterampilan seni, keterampilan khusus dalam hal penguasaan teknologi dan kemempuan dalam memperdagangkannya. Selanjutnya komoditi Hortikultura mempunyai sifat yang amat khas dalam hal pemasarannya yang harus tetap dalam keadaan segar, mempunyai bentuk dan warna yang mengandung aspek seni, disamping juga mudah rusaknya komoditi Hortikultura serta relatif sulitnya pemasaran. Apalagi tanaman hias seperti bunga-bungaan yang dipasarkan ke daerah lain, diperlukan pengepakan yang rapi, transportasi atau pengiriman yang cepat dan diusahakan tetap dalam keadaan

sa ke tempat tujuan dalam kondisi yang tidak rusak.26

Sejalan dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi serta mungkin tingginya tingkat pendapatan masyarakat, telah menyebabkan terjadinya

25

Benyamin Lakitan, Hortikultura, Teori, Budidaya, dan Pasca Panen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 199.

26


(56)

perubahan di dalam masyarakat, baik ditingkat pendapatan, selera maupun persepsi tentang bunga dan juga estetika keindahan serta kenyamanan terhadap bunga. Begitu pula halnya dengan majunya kota-kota besar di Sumatera Utara seperti Mean, Pematang Siantar, Sibolga, Lubukpakam, Kabanjahi dan lain-lain, menjadikan tingkat pendapatan perkapita masyarakatnya terus meningkat, dan tingkat permintaan terhadap bunga juga semakin meningkat. Dengan demikian, pengusaha bungapun bersaing untuk merebut konsumen. Dalam banyak kenyataan persaingan yang dilakukan oleh pedagang bunga lokal maupun pedagang bunga yang berasal dari luar

bunga diyakini dan mampu dijadikan sumber ertumbuhan di sektor pertanian.

daerah semakin ketat.

Secaramikro, pentingnya tanaman hias bukan saja mampu meningkatkan pendapatan petani dan pendapatan daerah produsen Hortikultura, tetapi agribisnis atau agroindustri Hortikultura ini juga mampu menyerap tenaga kerja, memunculkan industri baru, sehingga petani

p

3.2.1 Budidaya Tanaman

Secara garis besar, perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan organ-organ reproduksi setelah terjadi penyerbukan (cara seksual) atau dengan menggunakan berbagai organ vegetatif (cara aseksual).27 Perbanyakan tanaman secara seksual adalah dengan menggunakan biji. Cara ini merupakan cara perbanyakan tanaman yang paling sederhana dan merupakan cara pertama diterapkan

27


(57)

dalam proses domestikasi tanaman budidaya. Benih yang diperoleh pada saat panen adalah dalam keadaan hidup, tetapi setelah disimpan beberapa waktu, dihadapkan pada kondisi lingkungan yang ekstrim, atau terserang hama dan penyakit, benih dapat menjadi mati. Kendala perbanyakan tanaman secara seksual adalah bahwa tidak semua tanaman budidaya menghasilkan biji. Beberapa tanaman menghasilkan biji

sa disebut sistem tempel pada media tanaman lain, dan perbanyakan secara tetapi biji tersebut tidak dapat tumbuh menjadi tanaman baru.

Perbanyakan secara vegetatif atau aseksual merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk tanaman yang sulit dibiakkan dengan biji. Perbanyakan secara vegetatif juga mempunyai beberapa keuntungan lain, yang terpenting adalah tanaman yang dihasilkan dengan cara ini akan mewarisi sifat genetik dari tanaman induknya. Metode perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya sistem stek batang pada tanaman induk, sistem okulasi atau bagi masyarakat lokal bia

anakan.

Mutu bunga sebagai komoditi Hortikultura sangat tergantung pada bentuk fisik yang menarik dan daya tahan kesegarannya. Penampilan dan daya tahan yang prima itu ditentukan oleh banyak faktor, tetapi yang utama adalah penanganannya mulai dari masa pra panen sampai ke masa pascapanen. Oleh karena itu, bila menghendaki kualitas bunga yang baik, sejak tanam, perawatan hingga siap untuk


(58)

dipasarkan dan sampai pada pengangkutan dari kebun ke tempat penampungan harus diusahakan secara hati-hati dan intensif.28

Berikut ini adalah beberapa jenis tanaman bunga, beserta pengembangbiakan yang di

nggi. Tetapi untuk Mawar Holland hanya enyuk

i pada jenis bunga lainnya. karena

tanam oleh petani bunga di desa Tongkoh.

Tanaman Bunga Mawar

Bunga Mawar (bagi masyarakat setempat biasa disebut bunga Rose) dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran ti

m ai dataran tinggi sebab bunganya akan tumbuh dengan sempurna, baik bentuk, ukuran, warna, maupun aromanya.

Bagi petani bunga di desa Tongkoh umumnya yang dibudidayakan adalah Mawar jenis Holland. Budidayanya sangat rumit dan membutuhkan waktu yang relatif lama dari jenis bunga lainnya, biasanya butuh waktu setengah tahun hingga bisa dipasarkan. Biasanya dilakukan dengan sistem okulasi untuk mendapatkan hasil yang baik. Kerumitan tanaman ini terletak pada penanamannya, yaitu sebagai awal petani menanam Mawar liar (jenis Mawar yang sangat sulit berbunga) dengan cara stek batang. Selanjutnya setelah tanaman berusia kurang lebih sekitar tiga bulan, Mawar liar tersebut ditempel dengan jenis Mawar Holland dan dilakukan pada musim kemarau. Setelah tanaman berusia dua bulan, Mawar tersebut dipangkas dan dipindahkan kemedia tanam polibag. Dibutuhkan waktu satu sampai dua bulan agar Mawar tersebut dapat dipasarkan, memang membutuhkan waktu yang relatif lama, namun tanaman ini dapat hidup lebih lama dar

28


(59)

Mawar merupakan jenis tanaman keras yang dapat hidup sampai puluhan tahun, tergantung dari pemangkasan dan perawatannya.

Keberadaan Balai Penelitian Pertanian di desa Tongkoh ternyata membawa dampak positif bagi masyarakat setempat. Pada tahun 1981, karyawan-karyawan dari Balai Penelitian Pertanian ini mengembangkan jenis Mawar berbunga banyak tetapi kecil-kecil dalam satu tangkai. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Rose Jepang dan Rose Bogor. Pembiakannya juga relatif singkat karena tidak menggunakan sistem okulasi, tetapi langsung distek batang. Mawar-mawar ini biasanya dijual oleh karyawan-karyawan tersebut kepada pengusaha-pengusaha bunga yang ada didesa Tongkoh dengan harga yang relatif murah sehingga para

engusaha bunga tidak mengalami kesulitan untuk pemasaran kembali kepada onsumen yang dating ke desa Tongkoh.

p k

Tanaman Bunga Krisan

Tanaman bunga Krisan sering pula disebut bunga seruni oleh masyarakat umum, namun berbeda bagi petani bunga di desa Tongkoh dimana bunga Krisan dinamai dengan nama Tekwa. Dari cara penanamannya, Krisan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu Krisan yang ditanam dalam pot sebagai bunga hias dan Krisan yang diusahakan dikebun sebagai bunga potong. Bila dilihat dari jenis bunganya, dikenal jenis Krisan yang berbunga tunggal besar dan Krisan yang


(60)

berbunga banyak tetapi kecil-kecil pada satu tangkai. Dari perbedaan warna mahkota terkadang dapat dijumpai persamaan warna bunga yang begitu lengkap sehingga sulit

pada permulaan abad ke-20, perusahaan bunga Krisan tunggal ulai berkembang pesat dengan menghasilkan bunga potong Krisan bermutu tinggi

dari bunga yang telah dikenal sebelumya. untuk menyebut jenis warnanya. Namun demikian, pada umumnya warna dasar yang dikenal adalah putih, kuning, merah, orange, merah jambu dan ungu.

Krisan termasuk tanaman yang mudah sekali penanamannya, karena dapat dilakukan dengan stek batang atau dengan anakan. Cara sederhana ini dapat menghasilkan bunga dalam waktu sekitar tiga bulan. Usaha tani atau pembudidayaan bunga Krisan yang berbunga pokok tunggal dengan hanya sebuah bunga yang besar sudah lama dikenal di daerah pegunungan, misalnya di Berastagi dan sekitarnya. Usaha ini dijalankan oleh petani bunga di desa Tongkoh sejak zaman penjajahan kolonial Belanda di Tanah Karo. Di Belanda sendiri, budidayanya telah dirintis sejak akhir abad ke-17. baru

m

untuk kualitas ekspor.

Tanaman Bunga Garbera

Bunga Garbera kini sudah merebak di pasaran bunga dalam jumlah yang cukup besar dan sudah ada di Indonesia sejak dahulu. Biasanya bunga ini disebut sebagai Herbra atau Air Beras. Garbera ditanam terutama di daerah pegunungan yang beriklim sejuk. Bentuk bunganya adalah berbunga tunggal dan tangkainya tidak berdaun. Tanaman bunga Gerbera hasil pemuliaan di Negeri Belanda memang menampilkan sosok bunga yang berbeda


(61)

Ukuran

, tanaman ini menghendaki lingkungan yang cerah dan memerlukan tersedianya air yang cukup

an pertumbuhan vegetatif dan generatifnya.

embiakan stek bunganya yang semakin besar dan warna yang semakin cerah, beragam serta produktifitas tanaman yang cukup tinggi.

Kendala dalam penanaman garbera adalah pengadaan bibit, khususnya bibit yang mutunya prima seperti induknya di negara asal. Penyebabnya karena tersedianya bibit di pasaran sangat terbatas. Hal ini terjadi karena proses pembiakannya dilakukan dengan anakan, dimana tidak semua induk garbera menghasilkan anakan. Media tumbuh tanaman Garbera ini adalah spesifik. Garbera menghendaki tanah yang gembur, kaya akan humus serta air yang tidak tergenang dalam waktu yang cukup lama. Tanaman Garbera dapat tumbuh di dataran rendah, namun pertumbuhan vegetatif maupun generatifnya kurang baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan di dataran tinggi. Garbera merupakan tanaman yang agak sedikit manja

untuk menjaga keseimbang

Tanaman Bunga Dahlia

Tanaman bunga Dahlia umumnya digunakan untuk bunga potong, namun bagi petani bunga di desa Tongkoh, tanamn ini dapat dimanfaatkan juga sebagai tanamn hias dalam pot. Untuk pembiakannya biasanya digunakan umbi tanamn bunga tersebut, namun pembiakan dengan umbi menghasilkan tanaman yang rimbun dan tinggi serta lambat dalam proses pembungaannya. Untuk itu para petani bunga mengembangkan tanaman tersebut dengan cara system stek. Malalui p


(62)

ini tanaman bunga Dahlia dapat berbunga lebih cepat dan dengan ukuran yang cukup

han hidup ereka

ibubarkannya Negara Sumatera Timur, pendek dan lebih kerdil, sehingga sangat cocok sebagai tanaman hias.

Tanaman Bunga Gladiol

Tanaman ini juga lebih sering digunakan untuk komoditi bunga potong. Tanaman bunga Gladiol telah lama ada di desa Tongkoh, bahkan telah ada sejak pendudukan Belanda di Tanah Karo. Bunga Gladiol inilah bunga yang pertama kali dibudidayakan oleh petani bunga di desa Tongkoh, sehingga petani di desa ini menjadikannya sebagai matapencaharian mereka untuk memenuhi kebutu

m . Pembiakannya dilakukan dengan umbi-umbi yang akan bermunculan setelah tanaman induk mati atau setelah dipanen. Bunga Gladiol memiliki jenis bunga yang beraneka ragam, sehingga banyak konsumen yang menyukai tanaman ini.

Selain jenis-jenis tanaman diatas, masih banyak jenis tanaman bunga lain yang ditanam oleh petani bunga di desa Tongkoh. Misalnya jenis bunga Aster, Kala Merah dan Lili (biasa disebut bunga Terompet oleh petani setempat) serta bunga Sedap Malam. Semua jenis bunga ini telah ada dan dikembangkan oleh petani bunga di desa Tongkoh sejak 1950, dimana setelah d

jenis-jenis tanaman bunga yang baru mulai berdatangan ke Tanah Karo yang dibawa oleh pedagang-pedagang yang sering melakukan perjalanan dari dataran rendah seperti Medan, ke dataran tinggi Tanah Karo.

Setelah berdirinya PT. Bibit Baru, bibit-bibit bunga jenis yang lain bermunculan dan dikembangkan oleh masyarakat setempat. Jenis-jenis bunga yang


(63)

dikembangkan tersebut antara lain, Kala Merah jenis pendek, Karnesien, Anyelir, Salvia, Pilargonium, berbagai jenis Begonia dan sebagainya. Sedangkan dari Balai Penelitian Pertanian, jenis bunga yang dikembangkan oleh karyawannya adalah jenis bunga Anjelia dan Mawar Jepang serta Mawar Bogor. Selain itu pada tahun 1980, mulai berkembang tanaman hias Kaktus di desa Tongkoh. Tanaman ini juga didatangkan dari Medan, yang kemudian dikembangkan oleh petani bunga di desa ini. Namun, jenis tanamn bunga yang menarik perhatian penduduk di desa Tongkoh adalah jenis Anggrek. Umumnya tanaman Anggrek ini tidak dikembangkan oleh masyarakat, tetapi langsung diambil dari habitatnya yaitu pedalaman hutan-hutan Bukit Barisan dimana biasanya Anggrek tumbuh menumpang di pohon-pohon. Tanaman ini kemudian dijual kepada pengusaha bunga yang ada di desa Tongkoh. Untuk media tumbuhnya, pengusaha bunga menggunakan pohon-pohon pakis yang

ereka mampu menghasilkan komoditi yang baik serta dapat bersaing dengan engusaha-pengusaha bunga yang ada di Pulau Jawa. Hasilnya juga tidak kalah bagus i pasaran, sehingga mereka dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. sudah mati dan sudah dibentuk, Anggrek-anggrek tersebut dililitkan ke media pakis yang sudah dibentuk berbentuk persegi tersebut, kemudian disimpan ditempat teduh sampai Anggrek-anggrek tersebut hidup menempel dimedianya.

Pembiakan-pembiakan tanaman bunga yang dilakukan oleh petani bunga di desa Tongkoh sebenarnya masih jauh ketinggalan dari pembiakan yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha bunga yang ada di Pulau Jawa. Namun, pengalaman bertani bunga yang dimiliki petani bunga di desa Tongkoh menunjukkan bahwa m

p d


(1)

Gambar 1

Juara I Festival Pesta Bunga dan Buah pada Tahun 1991

Gambar 2


(2)

Gambar 3

Salah Satu Stand Pameren dalam Festival Pesta Bunga dan Buah

Gambar 4


(3)

Gambar 5

Pengambilan Tanaman Anggrek ke Hutan

Gambar 6


(4)

Gambar 7

Transaksi Jual Beli Antara Pembeli dan Penjual pada Tahun 1982

Gambar 8


(5)

Gambar 9

Kebun Bunga Bukit Tersanjung pada Tahun 1982

Gambar 10


(6)

Gambar 11