Absorpsi Toksikan Distribusi Toksikan Ekskresi Toksikan

sederhana dan ringkas, toksikologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap mahluk hidup dan sistem biologik lainnya. Donatus 2001 menjelaskan bahwa toksikologi adalah ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Hal ini menunjukkan bahwa obyek yang dipelajari dalam toksikologi adalah antaraksi zat kimia atau senyawa asing dengan sistem biologi atau mahluk hidup, dengan pusat perhatiannya terletak pada pengaruh berbahaya racun itu atas kehidupan mahluk hidup. Mekanisme detoksifikasi adalah sistem pertahanan tubuh terhadap masuknya senyawa kimia asing xenobiotik. Metabolisme senyawa asingracun dapat diartikan sebagai perubahan hayati biotransformasi zat kimia toksik menjadi suatu metabolit yang secara nyata berbeda dengan zat kimia induknya Donatus, 2001. Menurut Donatus 2001, pertama kali mahluk hidup mengalami paparan dengan toksikan. Berikutnya, setelah mengalami absorpsi dari tempat paparannya maka toksikan atau metabolitnya akan terdistribusi ke tempat aksi tertentu yang ada di dalam mahluk hidup. Di tempat aksi ini kemudian terjadi interaksi antara toksikan atau metabolitnya dengan komponen penyusun sel sasaran atau reseptor sehingga timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan sifat tertentu. Menurut Donatus 2001, toksisitas racun ditentukan oleh keberadaan racun di tempat aksi dan keadaan ini tergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi serta eliminasi racun itu.

1. Absorpsi Toksikan

Sebelum racun dapat memberikan pengaruh toksik tertentu, racun itu harus bersentuhan terlebih dahulu dengan mahluk hidup, masuk ke dalam sirkulasi darah, dan tersebar ke tempat aksi tertentu di dalam tubuh Donatus, 2001. Absorpsi merupakan proses pemindahan racun dari tempat paparannya atau tempat absorpsinya ke dalam sirkulasi darah. Mekanisme absorpsi suatu toksikan dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu transpor pasif, filtrasi membran, transpor aktif serta endositosis Hodgson dan Levi, 2000. Filtrasi biasanya terjadi untuk racun yang bermolekul kecil. Transport pasif merupakan mekanisme absorpsi yang paling penting bagi racun. Mekanisme ini berlangsung jika senyawa racun bersifat larut lipid dan dalam bentuk tidak terion. Sedangkan transpor aktif melibatkan karier suatu protein untuk memindahkan molekul melewati membran melawan perbedaan muatan. Selain filtrasi, transport pasif dan aktif, terdapat juga mekanisme endositosis. Pada mekanisme ini partikel-partikel dapat ditelan oleh sel. Bila partikel itu benda padat, prosesnya disebut fagositosis dan bila cairan disebut pinositosis Lu, 1995.

2. Distribusi Toksikan

Setelah toksikan masuk ke dalam sirkulasi darah, maka toksikan tersebut akan didistribusikan atau disebar ke seluruh jaringan tubuh manusia Donatus, 2001. Menurut Hodgson dan Levi 2000, cairan tubuh memegang peranan penting dalam pendistribusian toksikan dalam tubuh yang telah diabsorpsi. Pada umumnya, biofase tempat antara racun dan tempat aksi tidak terdapat di dalam sirkulasi darah, melainkan berada di jaringan tertentu. Karena itu untuk memberikan pengaruh berbahaya atau efek toksiknya, suatu racun harus melintas banyak membran Donatus, 2001.

3. Metabolisme Toksikan

Berlangsungnya metabolisme toksikan di dalam tubuh dapat terjadi di hati, ginjal, usus, kulit, kelenjar kelamin dan plasenta. Meskipun demikian, hati merupakan tempat metabolisme yang utama karena fungsi hati diantaranya mengelola sistem pembuluh darah dan sistem parenkim hati Donatus, 2001. Menurut Murray et al 1999, sebagian besar senyawa toksikxenobiotik akan mengalami metabolisme perubahan kimiawi dalam tubuh manusia dan hati menjadi organ utama yang terlibat. Sekitar 30 jenis enzim yang berbeda akan mengkatalisis berbagai reaksi yang terlibat dalam metabolisme xenobiotik. Transformasi metabolik biotranformasi adalah suatu proses yang umumnya mengubah senyawa asal menjadi metabolit, kemudian membentuk konjugat. Metabolit dan konjugat lebih larut dalam air dan lebih polar, karenanya lebih mudah diekskresi. Dalam keadaan tertentu, metabolit dapat lebih toksik daripada senyawa asalnya. Laju dan jenis biotranformasi suatu toksikan berbeda antar spesies, bahkan berbeda dari satu strain ke strain lainnya Lu, 1995. Metabolisme xenobiotik terdiri dari dua fase. Pada fase satu, toksikan bersifat lipofilik akan ditransformasikan oleh enzim-enzim fase satu menjadi metabolit yang bersifat polar-reaktif grup. Pada fase dua, metabolit yang terbentuk akan dikonjugasi oleh enzim-enzim fase dua sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat hidrofilik dan mudah diekskresikan ke luar tubuh Hodgson dan Levi, 2000.

a. Reaksi Fase Satu

Reaksi fase satu meliputi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis Donatus, 2001. Semua reaksi fase satu menghasilkan metabolit atau merubah bentuk toksikan menjadi lebih polar sehingga dapat dikonjugasi dalam reaksi-reaksi fase dua Hodgson dan Levi, 2000 dan mudah diekskresi baik secara langsung atau tidak langsung setelah mengalami reaksi fase satu. Menurut Donatus 2001, fungsi utama reaksi metabolisme fase I ialah mengubah struktur senyawa asing melalui proses oksidasi, reduksi atau hidrolisis, guna memasukkan gugus fungsional yang sesuai bagi reaksi konjugasi fase II. Reaksi oksidasi terjadi sebagai hasil penyisipan atom oksigen ke dalam ikatan karbon-hidrogen secara langsung Sipes dan Gandolfi, 1986 dalam Donatus, 2001. Reaksi reduksi dikatalisir oleh sitokrom P-450 mikrosomal, berlangsung dengan efektif dalam kondisi tegangan oksigen yang rendah. Bila tidak demikian, maka oksigen molekular akan bersaing dengan substrat senyawa asing dalam proses perpindahan elektron yang dikatalisir oleh sistem enzim tersebut. Reaksi hidrolisis fase I pada jaringan mamalia mengandung sejumlah sitosolik enzim esterase dan amidase yang mampu menghidrolisis berturut-turut senyawa ester dan amida. Donatus, 2001.

b. Sitokrom P-450

Enzim monooksigenase yang utama dalam retikulum endoplasma adalah sitokrom P-450. Diberi nama demikian karena enzim tersebut ditemukan ketika preparat mikrosom yang telah mengalami reduksi kimiawi dan kemudian terkompleks dengan karbon monoksida memperlihatkan suatu puncak yang khas pada 450 nm Murray et al., 1999; Hodgson dan Levi, 2000. Menurut Lu 1995, monooksigenase yang berkaitan dengan sistem sitokrom berada dalam retikulum endoplasma. Pada homogenat sel, retikulum endoplasma pecah menjadi vesikel kecil yang dikenal sebagai mikrosom. Di samping itu, oksidasi sejumlah toksikan dikatalisis oleh oksidoreduktase nonmikrosom yang berada dalam fraksi mitokondria. Komponen penyusun sistem sitokrom P-450 mikrosomal meliputi sitokrom P-450, NADPH-sitokrom P-450 reduktase dan lipid yang terikat pada retikulum endoplasma halus Donatus, 2001. Sitokrom P-450 merupakan hemoprotein, enzim ini terdapat secara luas pada semua spesies. Menurut Scenkman et al. 1991, salah satu karakteristik penting dari sitokrom P-450 adalah kemampuan merespon dengan cara menolak senyawa asing xenobiotik. Sitokrom P-450 terdapat dengan kadar yang tinggi di dalam hati terutama terdapat dalam membran retikulum endoplasma halus yang merupakan bagian fraksi mikrosomal. Dalam mikrosomal sel hati sitokrom P-450 bisa menyusun sampai 20 total protein Murray et al., 1999. Sitokrom P-450 juga dikenal dengan istilah monooksigenase atau Mix-Function Oxidase MFO. Istilah ini berasal dari hasil reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh sitokrom P-450 dimana terjadi reduksi satu atom oksigen menjadi molekul H 2 O sedangkan satu atom oksigen lainnya bergabung dengan substrat Lu, 1995; Murray et al., 1999; Hodgson dan Levi, 2000; Donatus, 2001. RH + O 2 +NADPH + H + R OH + H 2 O + NADP Gambar 2. Persamaan reaksi monooksigenase Jakoby et al, 1982; Murray et al., 1999 NADPH terlibat dalam mekanisme reaksi sitokrom P-450. Enzim yang menggunakan NADPH untuk menghasilkan bentuk tereduksi sitokrom P-450 dan terlihat dalam sisi sebelah kiri penyumbang elektron persamaan diatas Gambar 2 dinamakan NADPH-sitokrom P-450 reduktase. Murray et al., 1999; Hodgson dan Levi, 2000.

c. Reaksi Fase Dua

Dalam reaksi fase dua, senyawa yang terhidroksilasi atau senyawa lainnya yang diproduksi dalam fase satu, diubah oleh enzim yang spesifik menjadi berbagai metabolit polar lewat konjugasi dengan asam glukuronat, sulfat, asetat, glutation atau asam amino tertentu atau lewat metilasi. Reaksi konjugasi ini membuat molekul lebih bersifat dapat larut dalam air sehingga akhirnya dapat diekresikan ke dalam urin dan empedu Murray et al., 1999. Reaksi fase II melibatkan aneka ragam enzim yang umumnya merupakan enzim sitosolik. Reaksi ini dikenal pula sebagai reaksi konjugasi, menyangkut penambahan gugus polar ke senyawa asing. Reaksi-reaksi pada fase dua merupakan reaksi biosintetik sehingga diperlukan energi. Hal ini berbeda dengan reaksi-reaksi pada fase satu yang tidak memerlukan energi Donatus, 2001. Menurut Hodgson dan Levi 2000, terdapat dua tipe umum dari reaksi konjugasi, yakni tipe satu dan tipe dua. Pada tipe satu, agen konjugasi yang telah teraktifkan akan berkonjugasi dengan substrat sehingga menghasilkan produk konjugasi sedangkan pada tipe dua, substrat telah teraktifkan akan berkonjugasi dengan asam amino sehingga dihasilkan produk konjugasi.

d. Glutation S-Transferase

Sejumlah xenobiotik elektrofilik yang potensial beracun seperti karsinogen tertentu akan terkonjugasi dengan glutation GSH nukleofilik dalam reaksi berikut, R + GSHO → R S G. Dimana R adalah xenobiotik elektrofilik. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini disebut Glutation S- Transferase GST dan terdapat dalam sitosol sel hati dalam jumlah yang tinggi Murray et al., 1999. Menurut Donatus 2001, pengikatan karbon elektrofil oleh gugus sulfhidril nukleofilik yang ada pada glutation dinamakan reaksi anion tiolat glutation GT. Reaksi tersebut membentuk ikatan tioeter antara atom karbon dan gugus sulfhidril glutation. Konjugat glutation yang terbentuk, selanjutnya oleh enzim yang terutama ada di ginjal, dipecah menjadi turunan sisteina. Berikutnya turunan sisteina itu terasetilkan menjadi N-asetil-sisteina asam merkapturat, yang segera diekskresikan ke dalam urin Donatus, 2001. Menurut Murray et al 1999, sejumlah enzim GST terdapat dalam jaringan tubuh manusia. Enzim ini memperlihatkan spesifisitas substrat yang berbeda-beda dan dapat dipisahkan lewat elektroforesis serta teknik pemeriksaan lainnya. Jika xenobiotik yang potensial beracun itu tidak terkonjugasi, maka molekulnya akan berada dalam keadaan bebas yang membentuk ikatan kovalen dengan DNA, RNA atau protein sel dengan demikian dapat mengakibatkan kerusakan sel yang serius.

4. Ekskresi Toksikan

Setelah tahapan absorpsi dan distribusi dalam tubuh, toksikan dapat dikeluarkan dari tubuh ekskresi dengan cepat atau perlahan Lu, 1995. Donatus 2001 menyatakan, ekskresi adalah perpindahan xenobiotik dari sirkulasi darah ke organ ekskresi. Selain xenobiotik pangan dalam bentuk utuh, metabolit akhirnya juga diekskresi. Semakin cepat toksikan diekskresikan berarti keberadaannya di dalam tubuh akan semakin singkat. Dengan demikian kemungkinan untuk terjadinya efek toksik terhadap tubuh akan berkurang Donatus, 2001. Jalur utama ekskresi adalah melalui ginjal ke dalam urin, hati dan paru-paru merupakan alat ekskresi penting untuk zat kimia jenis tertentu, empedu, air susu dan sejumlah jalur ekskresi lainnya Lu, 1995; Donatus, 2001. Toksikan senyawa induk Intravaskular Absorpsi Ekstravaskular Sirkulasi darah Distribusi Eliminasi Sel sasaranreseptor Metabolisme Ekskresi Efek toksik Metabolit toksik Metabolit tak toksik Gambar 3. Siklus toksikan dalam tubuh Donatus, 2001

III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman kumis kucing Orthosiphon stamineus Benth. yang diperoleh dari Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Bahan-bahan yang digunakan pada analisis kimia bubuk daun kumis kucing adalah NaOH, HCl, H 2 SO 4 , HgO, K 2 SO 4 , larutan NaOH- Na 2 S 2 O 3 , H 3 BO 3 , heksan, indikator merah metil, etanol 95, air bebas ion, folin, Na 2 CO 3 , asam tanat, buffer asetat 100 mM, DPPH, Trolox, metanol. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan ransum perlakuan tikus adalah kasein teknis, mineral mix, air, minyak nabati, tepung maizena, vitamin dan selulosa teknis. Bahan yang digunakan dalam pengambilan organ tikus adalah alkohol dan PBS Phospat Buffer Saline. Bahan-bahan kimia yang digunakan pada persiapan sampelfraksinasi sel antara lain Tris, HCl, sukrosa dan EDTA. Dalam pengukuran kadar protein dari fraksi sitosol dan mikrosomal hati tikus digunakan BSA standar, larutan folin, CuSO 4 , NaK-Tartarat dan Na 2 CO 3 .10H 2 O. Untuk analisa kadar sitokrom P-450 digunakan gas karbon monooksida CO, K 2 HPO 4 , dan natrium dithionate Na 2 S 2 O 4 . Sedangkan untuk analisis aktivitas glutation S-transferase diperlukan 1-cloro-2,4- dinitrobenzen CDNB, glutation tereduksi, etanol 90, K 2 HPO 4 , dan KH 2 PO 4 .

2. Alat

Peralatan utama yang digunakan dalam pembuatan bubuk daun kumis kucing adalah oven dan blender kering. Untuk keperluan analisis kimiawi digunakan tanur, oven, soxhlet, alat destilasi kjeldahl. Fraksinasi sel menggunakan ultrasentrifuse. Peralatan utama saat pengukuran kandungan protein fraksi sitosol dan mikrosomal hati tikus, analisa kadar sitokrom P450

Dokumen yang terkait

Pengaruh pemberian ekstrak etanol 96% herba kumis kucing (orthosiphon stamineus benth) terhadap penurunan kadar kolesterol total pada tikus jantan yang diinduksi pakan hiperkolesterol

3 20 92

Mempelajari Toksisitas Subkronis Bubuk Gel Daun Cincau Hijau (Cyclea barbata L. Miers dan Premna oblongifolia Merr) terhadap Tikus Percobaan secara In Vivo

0 10 118

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L.) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus

2 30 248

Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan Krim Anti-inflamasi Ekstrak Etanol 70% Herba Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)

9 41 106

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) dan Bunga Kenop (Gomphrena globosa L ) terhadap Proliferasi Sel Limfosit Tikus

2 16 119

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALO

0 4 14

UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS UJI EFEK EKSTRAK ETANOL 70% DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH JANTAN

0 3 15

EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon stamineus Benth.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR.

9 71 93

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Sebagai Obat Komplementer Terhadap Tekanan Darah Penderita Hipertensi.

0 3 28

Pengaruh Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pria Dewasa.

2 6 28