Penetapan Majlis Hakim Analisis Penulis
اكْلا ملْسمْلا ثراي اَ ا݇ااق امَلاساو ݔْݞالاع ََ ݚَلاص َݜبَݒلا َݏاأ اامݖْݒاع ارفا
ݛراخبلا ݓاور املْسمْلا رفااكْلا اَاو
3
Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah
bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda:
“Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”
2. Semua hartanya diberikan kepada para ahli warisnya yang muslim,
baik harta yang dihasilkan sebelum murtad semasa masih muslim atau setelah murtad. Ini pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, dua
orang murid Abu Hanifah, riwayat kedua Ahmad, riwayat dari Abu Bakar, Ali, Ibnu Mas’ud RA, pendapat sekelompok orang salaf antara
lain Al-Hasan, Umar Bin Abdul Aziz, Al- Auza’i, Ats-Tsauri.
Mereka berpegang pada dalil :
4
a. Riwayat dari Zaid bin Tsabit, dia mengatakan: Abu Bakar
mengutusku setelah sekembalinya dari kalangan murtad agar aku membagikan harta-harta mereka pada para pewaris mereka yang
masih muslim. Demikian disebutkan oleh Ibnu Qudamah. b.
Mereka mengatakan: jika memang karena kemurtadannya seluruh harta bendanya berpindah tangan, maka ia hanya berpindah tangan
3
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, Jakarta: Gema Insani, 2003, hal 784.
4
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap terjemah jilid 4, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, Hal. 288-290.
pada para ahli warisnya yang masih muslim, sebagaimana halnya jika ia meninggal dunia.
3. Harta orang murtad yang diperoleh sebelum kemurtadannya diberikan
kepada ahli warisnya yang masih muslim. Ini adalah pendapat Abu hanifah dan Ishaq. Mereka melanjutkan: Sedangkan harta yang
diperolehnya selama kemurtadannya menjadi harta fai’ untuk Baitul Mal. Alasan mereka kemukakan sama seperti argumentasi pengusung
pendapat kedua. 4.
Hartanya menjadi warisan bagi ahli warisnya yang mengikuti agama baru yang dianut orang yang murtad tersebut. Jika tidak ada, maka
harta tersebut menjadi fai’. Ini adalah riwayat ketiga dari pendapat Ahmad, Daud Azh-Zhahiri, riwayat dari Alqamah dan S
a’id bin Abi Arubah. Mereka berpegang teguh pada alasan sebagai berikut :
Orang yang murtad berstatus sama seperti kafir, sehingga pemeluk agamanyalah yang berhak menerima warisan, sebagaimana
halnya kasus orang kafir harbi dan seluruh orang kafir.
Sabda Nabi SAW:
ݐْݞاسح ݐْب ِݜلاع ْݐاع ۹ااݖش ݐْبا ْݐاع جْيارج ݐْبا ْݐاع مصااع ݘباأ ااݒاثَداح َݜبَݒلا َݏاأ اامݖْݒاع ََ اݜضار دْياܙ ݐْب اةامااسأ ْݐاع اݏاامْثع ݐْب ورْماع ْݐاع
ثراي اَ ا݇ااق امَلاساو ݔْݞالاع ََ ݚَلاص ݓاور املْسمْلا رفااكْلا اَاو ارفااكْلا ملْسمْلا
ݛراخبلا
5
“Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari
Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir,
dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” Berdasarkan uraian diatas hakim berpegang kepada pendapat Abu Yusuf
dan Muhammad, dua orang murid Abu Hanifah. Dan ada beberapa pendapat Sahabat yang pada masa Abu Bakar, Abu Bakar mengambil harta orang-orang
murtad dan memberikannya kepada ahli warisnya yang muslim. Pendapat ini bisa menjadi sebuah gagasan baru agar harta umat muslim
terjaga dan harta warisan tersebut tidak jatuh ketangan non muslim yang nantinya, dikhawatirkan harta itu menjadi alat propaganda kaum non muslim, sedangkan
jika jatuh ke muslim bisa menjadi alat perjuangan. Menurut hakim, tidak berarti Majelis Hakim menyalahi aturan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dan c, Majelis Hakim memandang Pasal 171 huruf b dan c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum
dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam kasus yang
ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana
5
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, Jakarta: Gema Insani, 2003, hal 784.
pewarisnya murtad telah keluar dari Islam, Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang Majelis Hakim uraikan di atas.
Mengenai kewarisan beda agama, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada penjelasan secara detail tentang perbedaan agama. Akan tetapi dalam KHI
dijelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam. Sebagaimana terdapat dalam pasal 171 ayat c,
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Berdasarkan pasal diatas, kewarisan bisa diperoleh dari perkawinan, dan persamaan keyakinan atau persamaan agama serta tidak terhalang oleh hukum.
Mengacu pada pasal tersebut, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi. Dalam Kompilasi Hukum Islam, seseorang dipandang beragama Islam apabila diketahui
dari Kartu Identitas atau pengakuan dan kesaksian. Hal ini dijelaskan dalam pasal 172 yakn
i, “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”
Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai masalah hukum kewarisan yang diatur dalam KHI secara garis besar tetap berpedoman pada garis-
garis hukum faraid. Warna alam pikira n asas qath’i masih agak dominan dalam
perumusan. Sehingga hampir seluruhnya berpedoman pada garis rumusan nash yang terdapat dalam al-
Qur’an.
Berdasarkan uraian diatas Majelis Hakim dalam memutuskan perkara dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim melakukan ijtihad dan suatu penilaian
terhadap peristiwa yang terjadi dan fakta yang benar-benar terjadi. Yang tetap berpedoman pada KHI Pasal 229. “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan
rasa keadilan.”
Hakim itu adalah sumber hukum ketika dia harus memutus suatu perkara dimana dia harus menyimpangi dari kaidah dan tidak sesuai dengan maqashid
syariah maka dia akan berpendapat atau berijtihad, misalnya hakim rasa tidak sesuai dengan rasa ketidakadilan dan kondisi masyarakat. Dengan melihat
beberapa asas:
6
1. Tauhidiyah
2. Adalah
3. Musawah
Al-Ghazali merumuskan ijtihad dalam arti bahasa sebagai “pencurahan
segala daya usaha dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat dan sulit”. Ijtihad dalam struktur Islam diidentikan dengan
Mujahadah.
7
Seperti yang terdapat dalam surah Al-Ankabut ayat 69:
او َلا
ܖ ْي اݐ
اج اݕا
د او
ف ْݞ اݒ
ا ال اݒ ْݖ
د اي َݒ
ݖ ْم
س ب ال
اݒ او ا
ا َݑ الا
ل ام
اع ْلا
م ْح
س ݒ ْݞ
اݐ :ۿݘبكݒعلا
٩٦
6
Wawancara pribadi pada tanggal 12 Agustus 2015
7
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam, Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987, Hal. 52.
Artinya: “Dan orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh Mujahadah untuk
mencari keridaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik. ” Al-Ankabut :69
Pembatalan hukum tidaklah identik dengan pembatalan dalam konsepsi hukum Islam. Walaupun pembatalan naskh
terjadi antara syari’at, yang juga sering dikaitkan dengan alasan kemaslahatan, namun pembatalan semacam itu
tidak berlaku lagi setelah berakhirnya wahyu. Hukum adalah pengamalan dan penerapan teks yang sudah ada, dengan mempertimbangkan situasi zuruf teks itu
yang dikaitkan dengan kepentingan dan kemaslahatan yang sifatnya situasional. Dan bila terjadi perubahan kepentingan, maka berubah pulalah hukum yang
diterapkan, tanpa perlu mengubah teks nya sendiri. Perbedaan lainnya adalah bahwa yang berhak membatalkan adalah syar’I Allah sesuai dengan tuntutan
titah-Nya yang terbaru, sedangkan yang mengubah penerapan hukum adalah mujtahid, untuk disesuainkan dengan kemaslahatan yang telah berubah.
8
Dalam perkembangan pemikiran hukum islam, terutama yang dibahas oleh ahli-ahlli ushulfiqh yurisprudensi ada yang membedakan antara hikmah
tindakan kebijaksanaan dan illatt alasan sebab. Dan sebagai kelanjutan dari pembedaan ini dikatakan bahwa hukum hanya bisa ditetapkan berdasarkan illatt
tetapi tidak didasarkan kepada hikmah. Argumentasi yang sering dipergunkan
8
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam, Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987, Hal. 172.
dalam hal ini karena hikmah bersifat abstrak sedangkan illatt adalah sebab yang kongkrit.
Perbedaan antara hikmah dan illatt hanyalah bersifat teoritis, karna setiap illatt yang menjadi landasan setiap tindakan harus mengandung hikmah. Dan jika
tindakan tidak mengandung hikmah maka ia sama saja dengan kebodohan, yang tak mungkin terjadi pada peraturan-peraturan Tuhan Yang Maha Esa.
9
Dalam reinterpretasi hukum maka hakim patut dihargai sebagai suatu ijtihad dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai hukum kewarisan Islam guna
terciptanya keadilan bagi para pencari keadilan. Benar atau salahnya seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara hukum tetap diberikan pahala oleh Allah
SWT karena kebenaran semata-mata milik Allah SWT.
ااݒاثَداح دْباع
ََ ݐْب
اديܚاي ئرْقمْلا
ݜِكامْلا ااݒاثَداح
۽اݘْݞاح ݐْب
حْيارش ݜݒاثَداح
ديܚاي ݐْب
دْباع ََ
ݐْب ܓااݖْلا
ْݐاع دَماحم
ݐْب امݞݕاارْبإ
ݐْب ثرااحْلا
ْݐاع رْسب
ݐْب دݞعاس
ْݐاع ݜباأ
سْݞاق ݚالْݘام
ورْماع ݐْب
صااعْلا ْݐاع
ورْماع ݐْب
صااعْلا ݔَݑاأ
اعماس ا݇ݘسار
ََ ݚَلاص
ََ ݔْݞالاع
امَلاساو ݇ݘقاي
ااܕإ اماكاح
مكااحْلا اداݖا܂ْجااف
َمث ا۹ااصاأ
ݔالاف ݏاارْجاأ
ااܕإاو اماكاح
اداݖا܂ْجااف َمث
اأاطْخاأ ݔالاف
رْجاأ ا݇ااق
܀ْثَداحاف ااܖاݖب
܄يداحْلا ااباأ
رْكاب اݐْب
ورْماع ݐْب
ْܚاح ا݇ااقاف
ااܖاكاݕ ݜݒاثَداح
ݘباأ اةامالاس
ݐْب دْباع
ݐامْحَرلا ْݐاع
ݜباأ ا۽ارْيارݕ
ا݇ااقاو دْباع
ܚيܚاعْلا ݐْب
ۺلَطمْلا
9
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam, Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987, Hal. 173-174.
ْݐاع ْباع
د ََ
ݐْب ݜباأ
رْكاب ْݐاع
ݜباأ اةامالاس
ْݐاع ِݜبَݒلا
ݚَلاص ََ
ݔْݞالاع امَلاساو
ݔالْثم ݓاور
ݛراخبلا
10
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid Almuqri‟ Almakki telah menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah menceritakan kepadaku
Yazid bin Abdullah bin Al-had dari Muhammad bin Ibrahim Al-Harits dari Busr bin Said dari Abu Qais mantan budak Amru bin Ash ia mendengar Rasulullah
Shallallahu alaihi wassallam bersabda: “Jika seorang hakim mengadili berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, jika
seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya salah meleset, baginya satu
pahala”. Kata Amru, Maka aku ceritakan hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru bin Hazm dan Dia berkata, Beginilah Abu Salamah bin Abdurrahman
mengabarkan kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul Aziz bin al Muththalib dari Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari Nabi ShallAllahu alaihi wa
Salam Shallallahualaihiwa sallam semisalnya.
” HR. Bukhari.
10
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, Jakarta: Gema Insani, 2003, hal 562.
58