Kajian Undang-Undang Money Laundering Dikaitkan Dengan Prinsip Know Your Costumer Pada Perusahaan Asuransi
“Kajian Undang-Undang
Money Laundering
Dikaitkan dengan Prinsip
Know Your Costumer
pada Perusahaan Asuransi ”
Disusun Oleh :
Sri Rahayul Bayti Nasution 060200015 Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
“Kajian Undang-Undang
Money Laundering
Dikaitkan dengan Prinsip
Know Your Costumer
pada Perusahaan Asuransi ”
Disusun Oleh : Sri Rahayul Bayti Nasution
060200015 Departemen Hukum Pidana
Disetujui oleh
NIP. 196107021989031001 (Abul Khair, S.H., M.Hum.)
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
(Abul Khair, S.H., M.Hum.)
NIP. 196107021989031001 NIP. 197503072002122002 (Dr. Marlina, S.H., M.Hum.)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat merampungkan penulisan skripsi ini sebagai kewajiban akhir bagi setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan pendidikannya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Terwujudnya skripsi ini bukanlah semata-mata merupakan jerih payah penulis sendiri, tetapi tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak, sehingga pantaslah penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu,SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.
2. Bapak Prof. Dr Suhaidi, S.H.,M.H, selaku pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Syarifudin Hasibuan, S.H.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Abul Khair, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Dr. Marlina, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini.
(4)
6. Bapak Sunarto Adiwibowo, S.H,M.Hum, selaku dosen wali penulis selama masa perkuliahan.
7. Seluruh Dosen-dosen dan staf pengajar yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun jasa-jasa kalian tidak akan pernah terlupakan oleh penulis.
8. Kepada kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Husni Thamrin Nasution dan Ibunda Masliana Nasution yang mana dengan cinta dan kasih sayang serta memberikan dukungan yang berlimpah kepada saya.
9. Kepada saudari perempuan saya yaitu Asro laila Julianti Nasution dan Indriani Agustina Nasution serta Irsan Afandi Nasution sebagai saudara laki-laki saya, terima kasih atas dukungannya selama ini kepada saya.
10. Untuk keponakan saya yaitu Yola, Ara, dan Anna yang turut meramaikan kehidupan saya serta buat seluruh keluarga besar yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
11. Kepada teman-temanku untuk belajar sekaligus bermain yaitu Dila dan Ais yang telah mendahului saya menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini, kepada Aya dan Rini yang sekarang berjuang bersama saya dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini , kepada Anov, Jefri, Kukuh, Nina, Dewi, Octris, Rizka, dan teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya.
(5)
Demikianlah skripsi ini penulis perbuat, semoga dapat bermanfaat bagi semua. Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Medan, 24 Februari 2010
Hormat Saya,
(6)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………... i
DAFTAR ISI……….. iii
ABSTRAKSI………. vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10
D. Keaslian Penulisan ... 12
E. Tinjauan Kepustakaan... 12
F. Metode Penulisan ... 22
G. Sistematika Penulisan ... 26
BAB II PENGATURAN MONEY LAUNDERING PADA PERUSAHAAN ASURANSI ... 28
A. Sejarah dan Perkembangan Praktik Pencucian Uang ... 28
B. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang... 31
C. Peraturan khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang... 43
D. Kejahatan Money Laundering pada Perusahaan Asuransi ... 45
E. Tahap-Tahap dan Proses Money Laundering pada Perusahaan Asuransi ... 55
(7)
BAB III PENERAPAN PRINSIP KNOW YOUR CUSTOMER
PADA PERUSAHAAN ASURANSI ... 70
A. Pengaturan Prinsip Know Your Cuntomer pada Perusahaan Asuransi ... 70
B. Penerapan Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi ... 74
C. Ketentuan Sanksi ... 102
BAB IV HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP KNOW YOUR CUSTOMER SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN MONEY LAUNDERING TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI ... 108
A. Kurang Kooperatifnya Perusahaan Asuransi dalam Penerapan Prinsip Know Your Customer ... 111
B. Kurangnya Koordinasi Aparat Terkait Untuk Melakukan Pelaporan dan Penggawasan Penerapan Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi ... 115
BAB V PENUTUP... 124
A. Kesimpulan... 124
B. Saran ... 126
DAFTAR PUSTAKA ... 128
(8)
ABSTRAKSI
Abul Khair, SH.,M.Hum* Dr. Marlina, SH, M.Hum** Sri Rahayul Bayti Nasution***
Akibat dari perkembangan ekonomi global yang sangat pesat telah terjadi berbagai kejahatan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok orang yang melakukan kejahatan melalui suatu wadah korporasi yang legal. Salah satunya adalah kejahatan money laundering. Kejahatan ini dilakukan dengan berbagai metode dan modus, diantaranya melalui penempatan (placement) pada perusahaan asuransi. Money laundering sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berikut dengan pencegahannya. Prinsip Know Your Customer merupakan salah satu upaya untuk pencegahan dan pemberantasan
money laundering. Perusahaan asuransi sebagai salah satu Penyedia Jasa Keuangan yang ditunjuk oleh Undang-Undang Pencucian Uang diharapkan dapat melaksanakan kewajibannya terhadap penerapan prinsip ini.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian normatif yang didukung dengan penelitian empiris. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian empiris dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak asuransi dan beberapa nasabah terkait dengan penerapan Prinsip Know Your Customer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa money laundering telah berkembang dengan cepatnya pada perusahaan asuransi. Money laundering pada perusahaan asuransi diatur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,disebutkan bahwa salah satu pemicu tindak pidana money laundering adalah kejahatan di bidang asuransi, Perusahaan asuransi dijadikan sebagai vehichle money laundering. baik itu dana hasil penipuan asuransi yang dicuci melalui Penyedia Jasa Keuangan lain maupun perusahaan asuransi dijadikan sebagai wadah pencucian uang. Penerapan Prinsip Know Your Customer pun menjadi suatu point penting pada perusahaan asuransi. Ternyata dalam praktiknya, pelaksanaan Prinsip Know Your Customer pada perusahaan asuransi masih terdapat berbagai kendala, baik itu dari perusahaan asuransi yang kurang konsisten dan kooperatif dalam pelaksanaan Prinsip Know Your Customer
maupun lembaga terkait yakni PPATK dan unit penanggung jawab atau petugas khusus dalam penerapan Prinsip Know Your Customer pada perusahaan asuransi. Dosen Pembimbing I*
Dosen Pembimbing II**
(9)
ABSTRAKSI
Abul Khair, SH.,M.Hum* Dr. Marlina, SH, M.Hum** Sri Rahayul Bayti Nasution***
Akibat dari perkembangan ekonomi global yang sangat pesat telah terjadi berbagai kejahatan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok orang yang melakukan kejahatan melalui suatu wadah korporasi yang legal. Salah satunya adalah kejahatan money laundering. Kejahatan ini dilakukan dengan berbagai metode dan modus, diantaranya melalui penempatan (placement) pada perusahaan asuransi. Money laundering sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang berikut dengan pencegahannya. Prinsip Know Your Customer merupakan salah satu upaya untuk pencegahan dan pemberantasan
money laundering. Perusahaan asuransi sebagai salah satu Penyedia Jasa Keuangan yang ditunjuk oleh Undang-Undang Pencucian Uang diharapkan dapat melaksanakan kewajibannya terhadap penerapan prinsip ini.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian normatif yang didukung dengan penelitian empiris. Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Penelitian empiris dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak asuransi dan beberapa nasabah terkait dengan penerapan Prinsip Know Your Customer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa money laundering telah berkembang dengan cepatnya pada perusahaan asuransi. Money laundering pada perusahaan asuransi diatur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,disebutkan bahwa salah satu pemicu tindak pidana money laundering adalah kejahatan di bidang asuransi, Perusahaan asuransi dijadikan sebagai vehichle money laundering. baik itu dana hasil penipuan asuransi yang dicuci melalui Penyedia Jasa Keuangan lain maupun perusahaan asuransi dijadikan sebagai wadah pencucian uang. Penerapan Prinsip Know Your Customer pun menjadi suatu point penting pada perusahaan asuransi. Ternyata dalam praktiknya, pelaksanaan Prinsip Know Your Customer pada perusahaan asuransi masih terdapat berbagai kendala, baik itu dari perusahaan asuransi yang kurang konsisten dan kooperatif dalam pelaksanaan Prinsip Know Your Customer
maupun lembaga terkait yakni PPATK dan unit penanggung jawab atau petugas khusus dalam penerapan Prinsip Know Your Customer pada perusahaan asuransi. Dosen Pembimbing I*
Dosen Pembimbing II**
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Kejahatan pencucian uang ( money laundering ) belakangan ini makin mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, yang bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga meregional dan mengglobal melalui kerja sama antar negara-negara. Gerakan ini terpicu oleh kenyataan di mana kini semakin maraknya kejahatan money laundering dari waktu ke waktu, sementara kebenyakan negara belum menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan yang harus diberantas. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menarik perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini didorong karena kejahatan money laundering
mempengaruhi sistem perekonomian khususnya menimbilkan dampak negatif baik secara langsung maupun tidak langsung.
Apa yang dimaksud dengan pencucian uang atau money laundering? Di Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor 15 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi pencucian uang dalam Pasal 1 angka 1 yang berbunyi sebagai berikut:
(11)
“Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asak usul Harata Kekayaan sehinnga seolah-olah menjadi Harata Kekayaan yang sah.”
Dalam prakteknya, banyak dana potensial yang dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam investasi di bidang property pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh lebih rendah.1Diperkirakan jumlah yang dihasilkan melalui tindak pidana, seperti drug trafficking, arms trafficking, bank fraund, counterfeiting dan sejenisnya, melalui
money laundering di seluruh dunia mencapai US $ 600 milyar per tahun. 2
Tahun 1988 diadakan konvensi internasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan money laundering yang sudah tergolong pula sebagai kejahatan internasional yaitu United Nation Convention Againts Illictit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Substances atau lebih dikenal dengan nama UN Drug Convention. Kemudian untuk menindaklanjuti konvensi tersebut, dibentuklah Financial Action Task Force ( selanjutnya disingkat FATF), sebuah
1
Bismar Nasution, Rejim Anti-Money laundering di Indonesia. Bandung: Pusat Informasi Hukum Indonesia, 2005,hal.1
2
N.H.T. Siahaan, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005, hal. 2
(12)
organisasi yang bertujuan membebaskan Bank dari praktek money laundering. Organisasi ini di bentuk pada bulan Juli 1989 di Paris, Perancis.
FATF memperkirakan jumlah uang yang diputihkan setiap tahun di seluruh dunia melalui transaksi bisnis haram natkotik berkisar antara US $ 300 milyar hingga US $ 500 milyar.3Pada tanggal 22 Juni 2001, FATF memasukkan Indonesia, di samping negara lainnya ke dalam daftar hitam Non Cooperative or Territories ( selanjutnya disingkat NCCT’s) atau kawasan yang tidak kooperatif dalam menangani kasus money laundering. Kesembilan belas negara lainnya ialah Mesir, Rusia, Hongaria, Israel, Lebanon, Philipina, Nauru, Nigeria, Niue, Cook Island, Republik Dominika, Guatemala, ST. Kitts dan Nevis, St. Vincent dan Grenadines, serta Ukraina.4
FATF memasukkan Indonesia ke dalam daftar hitam NCCT’s setelah dikeluarkannya rekomendasi yang dikenal dengan mana The 40 FATF Recommendations. Rekomendasi inilah antara lain belum ditindaklanjuti oleh negara Indonesia, di mana salah satu hal penting ialah mengenai diberlakukannya
Jika Indonesia dan negara lainnya di atas tidak menangani money laundering secara sunguh-sungguh, maka FATF akan memberikan tindakan
pinitif approach yang makin keras. Tidak tertutp kemungkinan diberikan sanksi berupa hambatan transaksi perbankan seperti transfer, Letter of Credit (L/C), pinjaman luar negeri, dan lain-lain.
3
Ibid.
4
(13)
Undang-Undang Anti Money Laundering. Hingga pada Februari 2005 barulah Indonesia keluar dari NCCT’s setelah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang dan melakukan upaya-upaya lainnya yang sesuai dengan The 40 FATFRecommendations.
Berhubung money laundering merupakan salah satu aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu, bangsa dan negara maka pada gilirannya, sifat
money laundering menjadi universal dan menembus batas-batas yurisdiksi negara, sehingga masalahnya bukan saja bersifat nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional. Praktek money laundering busa dilakukan oleh seseorang tanpa harus misalnya ia bepergian ke luar negeri. Hal ini bisa dicapai dengan kemajuan teknologi melalui sistem cyberspace (internet), di mana pembayaran melalui bank secara elektronik (cyberpayment) dapat dilakukan. Begitu pula seseorang pelaku
money laundering bisa mendepositokan uang kotor (dirty money, hot money) kepada suatu bank tanpa mencantumkan identitasnya, seperti halnya berlaku di Austria.
Sifat kriminalitas money laundering adalah berkaitan dengan latar belakang perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram atau kotor, lalu sejumlah uang kotor ini kemudian dikelola dengan aktivitas-aktivitas tertentu seperti dengan membentuk usaha, mentransfer atau mengkonversikannya ke bank atau penyedia jasa keuangan lainnya yang non perbankan, seperti perusahaan asuransi, sebagai langkah untuk menghilangkan latar belakang dari dana haram tersebut.
(14)
Masalah money laundering telah dikenal sejak lama yaitu sejak tahun 1930. Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan laundry, yakni perusahaan pencucian pakaian. Perusahaan ini dibeli oleh mafia America Serikat atas hasil/dana yang diperoleh dari berbagai uaha gelap (illegal), yang untuk selanjutnya dipergunakan sebagai cara pemutihan uang hasil dari transaksi illegal berupa pelacuran, minuman keras atau perjudian. Kemudian istilah ini populer pada tahun 1984 tatkala Interpol mengusut pemutihan uang mafia Amerika Serikat yang terkenal dengan Pizza Connection. Kasus demikian menyangkut dana sekitar US $ 600 juta, yang ditransfer ke sejumlah bank di Swiss dan Italia. Cara pencucian uang itu dilakukan dengan menggunakan restoran pizza yang berada di Amerika Serikat sebagai sarana usaha untuk mengelabui sumber-sumber dana tersebut.5
Cara pemutihan atau pencucian uang dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara ilegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit guna menyulitkan para pihak untuk mengetahui asal-usul uang tersebut. Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling disukai karena kerumitannya dan daya jangkaunya menembus batas-batas yurisdiksi. Kerumitan inilah kemudian dimanfaatkan para pelaku money laundering guna melakukan tahap proses pencucian uang. Salah satu transaksi finansial yang digunakan dalam pemutihan asuransi kerap dijadikan kendaraan untuk melakuan tindak pidana pencucian uang. Hal ini erat kaitannya dengan
5
(15)
kejahatan di Perusahaan Asuransi.
Sama halnya dengan bank, biasanya pelaku kejahatan money laundering
di asuransi menggunakan modus-modus yang canggih agar sulit ditelusuri, namun tidak menutup kemungkinan kejahatan tersebut dilakukan secara tradisional sehingga mudah mendeteksinya. Pada dasarnya kejahatan money laundering asuransi bisa dilakukan oleh orang dalam perusahan maupun orang luar atau tertanggung. Terkadang kejahatan asuransi ini juga diinisiasi oleh pihak perantara yaitu agen maupun broker asuransi.6
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang mengatur antara lain, pertama, telah memperluas berlakunya ketentuan identifikasi nasabah dan membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( selanjutnya disingkat PPATK) yaitu kerangka kerja bagi suatu Financial Intelligence Unit
(selanjutnya disingkat FIU). FIU adalah lembaga yang berwenang menerima Kejahatan pencucian uang yang terjadi pada Perusahaan Asuransi antara lain dilakukan dengan melakukan pembayaran polis yang nilainya jauh di atas kemampuan keuangan yang wajar, penggelapan premiasuransi, tindakan pembayaran lump-sump terhadap wire-transfer dengan menggunakan uang asing dan tindakan lain yang dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan pada asuransi.
6
Fahmi Aulia, Waspadai Merebaknya Insurance Fraudulent, Jurnal Uang dan Bank, Nomor 5, Maret 2005, hal.49
(16)
laporan dari penyedia jasa keuangan.
Kedua, mengkriminalisasi pencucian uang hasil kejahatan dan mengharuskan dibuatnya pelaporan mengenai transaksi-transaksi yang mencurigakan (suspicious transactions) oleh penyedia jasa keuangan, sekalipun defenisi dari transaksi-transaksi yang demikian masih sangat terbatas.7
Berkaitan dengan pencegahan money laundering pada penyedia jasa keuangan non bank maka Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dikeluarkanlah ketentuan mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) untuk Lembaga Keuangan Non Bank yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 yang diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/KMK.012/2006. Peraturan ini mencakup pada lembaga keuangan non bank berupa perusahaan perasuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan. Ketentuan tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang agar sistem perbankan di Indonesia tidak digunakan sebagai sarana money laundering.8
Perusahaan Asuransi merupakan salah satu penyedia jasa keuangan yang oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/KMK.012/2006 diwajibkan untuk menetapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) dengan konsisten. Hal ini terkait dengan semakin banyaknya kejahatan pencucian uang yang terjadi
7
Yusuf Saprudin, Money Laundering. Jakarta: Grafika Indah, Februari 2006, hal.3
8
(17)
pada perusahaan asuransi antara lain melakukan pembayaran polis yang nilainya jauh di atas kemampuan keuangan yang wajar, tindakan pembayaran lump-sump
terhadap wire-transfer dengan menggunakan uang asing dan tindakan lain yang dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan dan lain sebagainya yang seluruhnya mengarah pada praktik money laundering.
Selain hal tersebut, guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang maka menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di bentuklah Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK). Lembaga ini merupakan lembaga independen yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas tindakan-tindakan yang dicurigai berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
Fungsi PPATK ini sangat penting karena merupakan kunci untuk membongkar praktik pencucian uang. Fungsi PPATK mirip dengan Financial Intelegence Unit yang diberi otoritas sebagai suatu lembaga strategis dalam pemberantasan pencucian uang secara preventif maupun represif. 9
Adanya penerapan Prinsip Know Your customer dan terbentuknya PPATK ini diharapkan tindak pidana pencucian uang bias dicegah dan diberantas terutama pada sektor lembaga keuangan. Akan tetapi kenyataan di dalam praktikya sendiri, penerapan Prinsip Know Your customer pada perusahaan
9
(18)
asuransi masih belum terlaksana dengan baik. Baik itu yang dilakukan oleh perusahaan asuransi itu sendiri maupun dari pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan penerapan tersebut yakni PPATK dan Direktorat Jenderal Menteri Keuangan yang saling terkait dan berkoordinasi di dalam pelaksanaan Prinsip
Know Your customer tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis merasa tertarik membahas masalah penerapan Prinsip Know Your customer sebagai upaya pencegahan money laundering pada perusahaan asuransi dan hal-hal apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan prinsip tersebut. Untuk menguraikan masalah ini, penulis melihat ketentuan dari Undang-Undang Nomor 15 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, ketentuan mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) untuk Lembaga Keuangan Non Bank yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 yang diubah menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/KMK.012/2006, serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penerapan Prinsip Know Your customer. oleh karena itu untuk membahas hal terebut penulis memilih judul skripsi ini, yaitu “Kajian Undang-Undang Money Laundering Dikaitkan dengan Prinsip Know Your Costumer pada Perusahaan Asuransi .”
(19)
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan dibahas oleh penuils pada skripsi ini, antara lain:
1. Bagaimanakah pengaturan money laundering pada perusahaan asuransi? 2. Bagaimanakah pengaturan dan ketentuan sanksi dalam penerapan
Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi ?
3. Bagaimanakah hambatan dalam pelaksanaan Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah
a. Untuk mengetahui pengaturan tentang money laundering pada Perusahaan Asuransi
b. Untuk mengetahui pengaturan dan ketentuan sanksi terhadap penerapan Know Your Customer Principle’s pada perusahaan Asuransi.
c. Untuk mengetahui perihal hambatan dalam pelaksanaan Know Your Customer Principle’s pada perusahaan Asuransi
(20)
2. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain: a. Secara Teoritis
Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam permasalahan tersebut di atas akan memberikan kontribusi pemikiran dan pandangan terhadap kejahtan money laundering dan upaya pencegahannya melalui Prinsip Mengenal Nasabah terutama dalam penerapannya, serta peran PPATK dalam upaya pelaporan kejahatann money laundering. Selama ini diketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya tindak pidana pencucian uang di Indonesia disebabkan lemahnya atau kurangnya lembaga keuangan untuk menetapkan identifikasi dan pengenalan nasabah seningga cenderung dapat dimanfaatkan untuk dilakukannya tindak pidana pencucian uang.
b. Secara Praktis
Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya lembaga keuangan dalam hal ini terkait dengan perusahaan asuransi yang berhubungan langsung dengan penerapan prinsip tersebut sehingga dapat menerapkan prinsip ini sebaik-baiknya sehingga tindak pidana pencucian uang dapat dicegah, serta Indonesia tidak lagi masuk dalam daftar hitam sehingga NCCT’s oleh FATF.
(21)
D. Keaslian Penulisan
“Kajian Undang-Undang Money laundering Dikaitkan dengan
Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi” merupakan judul skripsi yang belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Kalaupun ada terdapat judul yang hampir sama dengan ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Penulis menyusunnya melalui referensi buku-buku, media cetak dan elektronik, sertabantuan dari berbagai pihak. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam tinjauan kepustakaan penulis mencoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang akan menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna bagi penulis untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada di dalam topik yang diangkat dari permasalahan yang telah disebutkan diatas
1. Pengertian Money Laundering
Secara etimologis money laundering terdiri dari kata money yang berarti uang dan laundering yang berarti pencucian.10
10
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cetakan IX. Jakarta: PT. Gramedia, 1980.
(22)
maundering adalah pencucian uang. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana pencucian Uang menyatakan bahwa:
“Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut dicurigai merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehinnga seolah-olah menjadi Harata Kekayaan yang sah.”
Sesuai dengan Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, tindak pidana yang memicu terjadinya pencucian uang meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajaakn, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius, baik terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara
(23)
keseluruhan.11 Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi dan bersifat transnasional yang sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup besar. Tindak pidana pencucian uang merupakan
organized crime sehingga penangulangannya merupakan tanggungjawab negara per negara yang diwujudkan dalam kerjasama regional atau internasional melalui forum bilateral dan multilateral.12
Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni “money laundering.”Apa yang dimaksud dengan money laundering, memang tidak ada definisi yang universal karena baik negara-negara maju maupun negara-negara dari dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi-definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda. Namun, para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering
dengan pencucian uang.
Menurut Pasal 641 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1999-2000 dinyatakn bahwa:
“Setiap orang yang menyimpan uang di bank atau tempat lain, mentransfer, menitipkan, menghibahkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar dengan uang atau kertas bernilai uang yang diketahui atau patut diduga diperoleh dari tindak pidana narkotika atau psikotropika, tindak pidana ekonomi atau finansial, atau tindak pidana korupsi,....”
11
Adrian Sutedi.Op.Cit,hal:12
12
(24)
Penjelasan pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 641 tersebut lazim dikenal dengan istilah pencucian uang hasil kejahatan (money laundering).
Pengertian money laundering telah banyak dikemukakan oleh para ahli hukum. Menurut Welling, money laundering adalah:
“money laundering is the process by wich one counceals the existence, illegal source, or illegal applicaton of income, and tahan disguises that income to make it appear legitimate (pencucian uang adalah proses yang satu counceals keberadaan, sumber ilegal, atau ilegal applicaton pendapatan, dan tahan penyamaran bahwa pendapatan untuk membuatnya tampak sah)”.13
“money laundering is the concealment of existence, nature of illegal source of illicit fund in such a manner that the funds will appear legitimate if discovered
Pamela H. Bucy dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime: Cases and Marerial, definisi money laundering diberikan sebagai berikut:
14
Demikian juga dengan yang dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sebagai berikut:
(pencucian uang adalah penyembunyian keberadaan, sifat ilegal sumber dana ilegal sedemikian rupa sehingga dana akan muncul sah jika ditemukan)”.
15
13
Sarah N welling..Smurfs, Money Laundering and The United States Criminal Federal
Law.The Law Book Company, 1992,hal.201
14
Pamela H. Bucy.White Collar crime: Case and Materials. St.Paul:west Publishing Co,1992, hal.128
15
Henry Campbell Black.Black Law Dictionary,Sixth Edition. St.Paul Minn: West Publishing Co,1991 ,hal.611
(25)
“term used to describe investment or other transfer of money flowing form racketeering, drug transactions, and either illegal sources into legitimate channels so that its original source can not be traced (istilah yang digunakan untuk menggambarkan investasi atau pengalihan bentuk uang mengalir pemerasan, transaksi narkoba, dan salah satu sumber yang ilegal ke saluran sah sehingga sumber aslinya tidak dapat ditelusuri)”.
Dari beberapa definisi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa pencucian uang adalah kegiatan-kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seorang atau organisasi kejahatan terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam system keuangan (financial system) sehingga apabila uang tersebut kemudian dikeluarkan dari system keuangan itu, maka uang tersebut telah berubah menjadi sah.
Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi kejahatan, kejatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotik, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahan. Pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehinga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa asset tersebut berasal dari kegiatan yang legal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari
(26)
kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal.
2. Money Laundering dalam Perusahaan Asuransi
Menurut Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 telah disebutkan secara limitatif yaitu sebanyak 25 jenis kejahatan yang memicu terjadinya pencucian uang yang salah satunya di bidang asuransi.
Menurut Pasal 246 KUHD dinyatakan bahwa:
“Asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi untuk memberikan penngantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya jarena suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa:
“Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Perwujudan dari lembaga asuransi tidak lain adalah sebagai perusahaan asuransi dengan semua kelengkapannya sebagai suatu
(27)
organisasi kerja dalam dunia usaha.16 Perusahaan itu sendiri menurut
Kamus Hukum Ekonomi Elips17 dinyatakan sebagai persekutuan orang yang bekerja sama untuk mencari keuntungan. Perusahaan asuransi melakukan kegiatan-kegiatan dengan mengadakan dan melaksanakan perjanjian-perjanjian asuransi dengan banyak pihak, menempatkannya menjadi suatu lembaga dengan fungsinya yang bersifat ganda. Pertama, perusahaan asuransi dalam mengadakn perjanjian-perjanjian asuransi dan nanti pada suatu saat ia melukukan kewajibannya sesuai perjanjian, berarti perusahaan bersedia mengambil alih dan menerima resiko pihak lain, dengan siapa ia mengadakan perjanjian asuransi. Dalam hal ini perusahaan berfungsi sebagai lembaga penerima dan pengambil risiko pihak lain.18
Kedua, Perusahaan Asuransi pada hakikatnya mempunyai potensi pula sebagai penghimpun dana dari kumpulam premi yang tidak termanfaatkan untuk operasional perusahaan. Dengan demikian jelas dapat dikatakan nampak perusahaan asuransi sebagai lembaga penghimpun dan penyerap dana masyarakat. Hal inilah yang menunjukkan lembaga asuransi pada fungsi keduanya sebagai penyerap dana pada masyarakat. 19
16
Sri Rejeki Hartono. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika,2008, hal.79
17
Normin S.Pakpahan. Loc.Cit.
18
Sri Rejeki Hartono .Loc.Cit.
19
Ibid.
(28)
Menurut pasal menurut pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa:
“Perusahaan perasuransian adalah Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Reasuransi, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi, dan Perusahaan Konsultan Aktuaria.”
Perusahaan Asuransi sebagai suatu lembaga keuangan non bank sangat rentan terhadap terjadinya tindak pidana pencucian uang . perusahaan asuransi yang berhubungan langsung dengan dengan masyarakat dan khususnya yang dapat menerima transaksi tunai dapat digunakan untuk pencucian uang. Sebagai contoh, pembayaran premi secara tunai untuk polis asuransi yang kemudian dibatalkan untuk mendapatkan pengembalian premi atau pembayaran klaim. Selain itu adanya lump sum investment dalam produk-produk likuid (terutama yang bernilai tinggi) misalnya pembayaran premi asuransi kerugian, sangat rentan untuk digunakan oleh pelaku tindak pidana sehingga dibutuhkan alat bukti yang cukup untuk memudahkan pengusutan dikemudian hari terutama terhadap transaksi bisnis tunai.20
20
http//:www.surya.co.id.di akses tanggal:5 Februari 2010
Hal-hal yang demikianlah yang mengakibatkan bahwa perusahaan asuransi sebagai salah satu pemicu dilakukannya tindak pidana pencucian uang.
(29)
3. Pengertian Prinsip Know Your Customer pada Perusahaan Asuransi
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Customer Prinsiple (KYC principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, tetapi juga dalam rangka untuk melindungi bank atau lembaga keuangan non bank, dalam hal ini salah satunya adalah asuransi dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah. Khususnya terhadap terhadap para nasabah, pihak asuransi harus mengenali para nasabah agar tidak terjerat di dalam pencucian uang.21
Mengenai identitas nasabah sendiri telah ada pengaturannya di dalan pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang mewajibkan kepada setiap Lembaga Keuangan untuk meminta kepada nasabahnya untuk memberitahukan secara lengkap dan akurat mengenai identitas Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Prinsip Menenal Nasabah dinyatakan bahwa:
“Prinsip Menenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank untuk mengetahui identitas nasabah dan memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.”
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Prinsip Mengenal Nasabah dinyatakan bahwa:
“Prinsip Menenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh Lembaga Keuangan Non Bank untuk mengetahui identitas dan latar belakang nasabah serta memantau kegiatan transaksi nasabah.”
21
(30)
dirinya dengan mengisi formulir yang telah di sediakan oleh pihak Lembaga Keuangan. Identifikasi nasabah ini diwajibkan bagi nasabah itu sendiri atau orang lain dengan meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain.
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada perusahaan asuransi sendiri telah diwajibkan. Dalam lampiran I-AI Keputusan Direktur Jendral Keuangan, Nomor Keputusan 2833/LK/2003 telah diatur tentang Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah . Pedoman inilah sebagai dasar dari perusahaan asuransi untuk menetapkan standar dalam penerapan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada perusahaan asuransi dan diharapkan semua unsur staf perusahaan asuransi remasuk agen perusahaan asuransi wajib mempelajari dan mengikuti pedoman tersebut.
Pelaporan dan pengawasan tentang palaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sendiri di atur dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. PPATK berkedudukan di pusat dan bertanggungjawab kepada Presiden.
Fungsi PPATK sangat penting karena merupakan kunci untuk membongkar praktik pencucian uang. Baik secara preventif maupun
(31)
represif.22
1. Jenis Penelitian
F. Metode Penulisan
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini tujuannya lebih terarah, maka metode penulisan yang yang digunakan, antara lain:
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jaaln menganalisanya. Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan.23
Penelitian hukum dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu penelitian hokum normatif dan penelitian hukum empiris. Perbedaan mendasar dari klasifikasi penelitian hukum tersebut terletak pada cara pandang peneliti terhadap hukum. Dalam penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai suatu norma atau kaidah yang otonom dan terlepas dari hubungan hukum dengan masyarakat. Sementara penelitian hukum empiris atau sosiologis, hukum dipandang dalam kaitannya dengan masyarakat atau
22
Edi Setiadi dan Rena Yulia Loc.Cit.
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: UI Pres.1986, hal.43.
(32)
sebagai gejala sosial. 24
2. Sumber Data
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yang didukung dengan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah bahan hukum primer dan sekunder, yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan money laundering dan prinsip know your customer. Selain itu digunakan juga bahan-bahan tulisan yang terkait dengan penulisan skripsi ini. Kemudian dikaitkan dengan penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang berupaya untuk melihat bagaimana pihak-pihak yang terkait responsif dan konsisten dalam menggunakan aturan-aturan yang terkait dengan itu. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak asuransi dan beberapa nasabah terkait dengan penerapan Prinsip Know Your Customer.
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui riset dengan meminta data yang berkaitan dengan skripsi serta dengan melakukan wawancara terkait dengan data yang dibutuhkan tersebut b. Data Sekunder yang terdiri dari:
1) Bahan / Sumber primer, berupa: bahan-bahan hokum yang mengikuti yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku dan norma/kaidah hukum yang terkait.
24
(33)
2) Bahan hukum sekunder, berupa: Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian yang terkait dengan skripsi, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber lainnya yang terkait dengan persoalan diatas.
c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan ketentuan-ketentuan yangmendukung data primer dan data sekunder, seperti : kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu: penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yangdigunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambildari media maupun setak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.
b. Penelitian Lapangan (Fields Research), yaitu: suatu pengumpulan data dengan cara terjun ke lapangan guna memperoleh data-data yang diperlukan, dan data yang diperoleh itu disebut data primer. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara. Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka , seketika dengan seseorang yakni pewawancara yang mengajukan pertanyaan-pertanyaanyang dirancang
(34)
untuk memperoleh jawaban-jawabanyang relevan dengan masalah penelitian kepada responden.
4. Analisis Data
Penelitian hukum umumnya dikenal 2 (dua) macam yaitu analisis data, yakni analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif memandang bahwa yang terpenting adalah meneliti fakta atau sebab-sebab terjadinya gejala-gejala sosial tertentu. Biasanya hal tersebut dilakukan dengan mengumpulakan data melalui daftar pertanyaan yang terstruktur yang menghasilkan data-data serta memungkinkan melakukan korelasi antara gejala-gejala dengan menggunakan bantuan statistik.25
Sebaliknya analisis kualitatif memandang yang terpenting adalah memahami prilaku manusia dari sudut pandang orang yang bersangkutan sendiri. Oleh karena itu seorang peneliti akan berusaha mengumpulkan data dengan menggunakan pengamatan pertisipatif, pedoman pertanyaan atau pedoman wawancara dan jika memugkinkan menganalisis dokumen-dokumen yang bersifat pribadi. Penelitian ini sering disebut penelitian yang holistic karena mencari informasi yang sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya tentang aspek yang diteliti. Dengan ketentuan bahwa data-data yang berbeda tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dari
25
Edy Ihksan dan Mahmul Siregar, Diktat Perkuliahan Metode Penelitian Hukum.
(35)
objek yang diteliti. 26
Penulis melakukan penelitian denan analisis data kualitatif. Data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis oleh penulis kemudian di analisis secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan apa yang dinyatakan oleh responden atau informan27
26
Ibid.
27
Responden adalah orang yang memberikan informasi tentang sikap, tindakan, persepsi, tanggapan, atau segala sesuatu menyangkut dirinya sendiri. Sedangkan informan adalah orang yang memberikan informasi mengenai sikap, tindakan, persepsi, tanggapan atau segala sesuatu tentang orang yang memiliki hubungan tertentu dengan dirinya.
secara lisan dan prilaku nyata dari responden yang diamati, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan skripsi ini sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Secara sisrematika, dalam penyusunan skripsi ini penulis membahasnya dalam lima bab, yaitu:
BAB I : pada bab ini penulis mencoba untuk memberikan gambaran awal tentang latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
(36)
BAB II: pada bab ini penulis mencoba untuk memaparkan tentang sejarah dan perkembangan praktek money laundering, latar belakang pembentukan Undang-Undang money laundering, peraturan khusus dalam Undang-Undang money laundering , kejahatan money laundering pada perusahaan asuransi, tahap-tahap dan proses money laundering pada perusahaan asuransi serta money laundering pasif pada asuransi.
BAB III: pada bab ini penulis membahas pengaturan tentang prinsip know your customer pada perusahaan asuransi, penerapan prinsip know your customer pada perusahaan asuransi, dan ketentuan sanksi.
BAB IV: pada bab ini penulis mencoba memaparkan tentang kurang kooperatifnya perusahaan asuransi dalam penerapan prinsip know your customer, kurangnya koordinasi aparat terkait untuk melakukan pelaporan dan penggawasan penerapan prinsip know your customer. BAB V: pada bab ini penulis menutup seluruh pembahasan pada skripsi ini.
Dalam bab ini penulis menarik kesimpulan yang menjawab permasalahan yang dimaksud dan beberapa saran sebagai kontribusi pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana.
(37)
BAB II
PENGATURAN MONEY LAUNDERING PADA PERUSAHAAN ASURANSI
A. Sejarah dan Perkembangan Praktik Money laundering
Problematika pencucian uang yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata, problematik uang haram iu sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahaan yang menyangkut, terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalu lintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan, yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, tetapi pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahaan pencucian uang ini terus merajalela.
Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kejahatan dengan memakai si genius Meyer Lansky, orang Polandia. Lansky seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al Caponemelalui usaha binatu (laundry). Demikianlah asal muasal muncul nama “money laundering”. 28
28
(38)
Istilah pencucian uang atau money laundering telah dikenal sejak ahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut laundromats yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian pakaian ini berkembang maju dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian, dan hasil usaha pelacuran. Pada tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya bisnis haram, seperti perdagangan narkotik dan obat bius yang mencapai miliaran rupiah. Karenanya, kemudian muncul istilah “narco dollar”, yang berasal dari uang haram hasil perdagangan narkotik. 29
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini banyak bank telah menjadi sasarna utama untuk kegiatan pencucian uang disebabkan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak malampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Melalui mekanisme ini maka dana hasil kejahaan bergerak dari suatu negara ke negara lain yang belum mempunyai sistem hukum
29
(39)
yang cukup kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara sangat ketat.
Berdasarkan statistik IMF, hasil kejahatan yang dicuci melalui bank diperkirakan hampir mencapai nilai sebesar US$ 1.500 miliar per tahun. Sementara itu, menurut Associated Press kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius, prositusi, korupsi, dan kejahatan lainnya sebagian besar diproses melalui perbankan untuk kemudian dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan kegiatan ini mampu menyerap nilai US$ 600 miliar per tahun ini berarti sama dengan 5% GDP seluruh dunia.30
Namun, menurut Michael Camdessus (Managing Director IMF), memperkirakan volume dari cross-border money laundering adalah antara 2% sampai dengan 5% dari gross domestic product (GDP) dunia. Bahkan, batas terbawah dari kisaran tersebut, yaitu jumlah yang dihasilkan dari kegiatan
narcotics trafficking, arm trafficking, bank fraud, securities fraud, counterfeiting,
dan kejahatan yang sejenis dengan kejahatan tersebut, di cuci diseluruh dunia setiap tahun mencapai jumlah hampir US $ 600 miliar.
31
30
Yunus husein, “money laundering:Sampai Dimana Langkah Negara kita”.Jakarta:Rafflesia,Juni 2001,hal.31
31
(40)
Selain itu, menurut Financial Action Task Force (FATF), perkiraan atas jumlah yang dicuci setiap tahun di seluruh dunia dari perdagangan gelap narkoba (illicit drug trade) berkisar antara US$ 300 miliar dan US$ 500 miliar. 32
Besarnya pasar perdagangan gelap di Kanada diperkirakan antaran $ 7 miliar sampai dengan $ 10 miliar. Menurut para ahli bahwa antara 50% - 70% dari hasil penjualan dengan $ 10 miliar. Menurut para ahli bahwa anara 50% - 70% dari hasil penjualan narkoba tersedia untuk dicuci dan kemudian diinvestasikan. Apabila diasumsikan bahwa 50% - 70% uang yang dicuci di Kanada berasal dari perdagangan gelap narkoba, jumlah uang haram (illicit funds) yang dicuci di Kanada setiap ahun adalah anara $ 5 miliar dan $ 14 miliar. 33
B. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
1. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Berbagai kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi, baik dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut, antara lain, berupa tindak pidana korupsi; penyuapan (bribery); penyelundupan barang, tenaga kerja, dan imigran; perbankan; perdagangan gelap narkotika dan pskotropika; perdagangan budak, wanita dan anak; perdagangan senjaa gelap;
32
Ibid.hal.4
33
(41)
penculikan; terorisme; pencurian, penggelapan; penipuan; dan berbagai kejahatan kerah putih. 34
Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya. Hara kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan, akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama kedalam sistem perbankan (banking system). Dengan cara demikian, asal usul harga kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).35
Bagi organisasi kejahatan, harta kekayaan sebagai hasil kejahatan ibarat darah dalam satu tubuh, dalam pengertian apabila aliran harta kekayaan melalui sistem perbankan internasioanl yang dilakukan diputuskan, orgnaisasi kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya, bahkan menjadi mati. Oleh karena itu, harta kekayaan merupakan bagian yang sangat
34
Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang
35
(42)
penting bagi suatu organisasi kejahatan. Untuk itu, terdapat suatu dorongan bagi organisasi kejahatan melakukan pencucian uang agar asal usul harta kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh penegak hukum.
Perbuatan pencucian uang disamping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara unuk mencegah dan memberantas praktik pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerja sama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral.
Terkait konteks kepentingan nasional ditetapkannya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan penegasan bahwa pemerintah dan sektor swasta bukan merupakan bagian dari masalah, melainkan bagian dari penyelesaian masalah, baik di sektor ekonomi, keuangan, maupun perbankan.
Pertama-tama, usaha yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk dapat mencegah dan memberantas praktik pencucian uang adalah dengan membentuk undang-undang yang melarang perbuatan pencucian uang dan menghukum dengan berat para pelaku kejahatan tersebut. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas,
(43)
antara lain, kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas : 36
a. Penempatan (placement)
Yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial sysem) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan.
b. Transfer (layering)
Yakni upaya menransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering akan menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.
c. Menggunakan harta kekayaan (Integration)
Yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.
36
Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana pencucian Uang
(44)
Penyedia jasa keuangan diatas diartikan sebagai penyedia jasa dibidang keuangan termasuk, tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi. Adapun yang dimaksud dengan : 37
1) Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbankan.
2) Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai lembaga pembiayaan.
3) Efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat adalah efek, kustodian, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan efek, pengelola reksa dana, rekening efek, reksa dana, dan wali amanat sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pasar modal.
4) Pedagangan valuta asing adalah pedagang valuta asing sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang valuta asing.
5) Dana pensiun adalah dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dana pensiun.
37
(45)
6) Perusahaan asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perusahaan asuransi.
Berkaitan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dalam undang-undang ini dibentuk pula Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang disingkat dengan PPATK, yang bertugas : 38
1) Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan undang-undang ini.
2) Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh penyedia jasa keuangan.
3) Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan.
4) Memberikan nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
5) Mengeluarkan pedoman dan publikan kepada penyedia jasa keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan.
6) Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
38
(46)
7) Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan.
8) Membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala enam bulan sekali kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan.
Disamping itu, untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang, undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran harta kekayaan kepada penyedia jasa keuangan. Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk meminta keterangan dari penyedia jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
Selain kekhususan diatas, undang-undang inipun mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran terdakwa. Dalam hal tedakwa yang telah dipanggil tiga kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hadir, majelis hakim dnegna putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengna tanpa kehadiran terdakwa.
(47)
2. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintasa dana antar negara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan ini disamping mempunyai dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional ataupun internasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana hasil tindak pidana (money laundering).
Berkenaan dengan itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun ketentuan dalam undang-undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif. Perubahan dalam undang-undang ini, antara lain, meliputi : 39
a. Cakupan pengertian penyedia jasa keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan, tetapi juga meliputi
39
Penjelasan Undang-Undang Nomr 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
(48)
jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksud untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat, tetapi belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk penyedia jasa keunagan baru yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.
b. Pengertian transaksi keuangan mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp. 500.000.000,00 atau lebih atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.
d. Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan di mana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil tindak pidana, tetapi perbuatan tersebut tindak pidana.
(49)
Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal, antara lain : 40
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; 2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan
4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5) Jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dipersingkat, yang semuala 14 hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak.
6) Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan, antara lain, untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan
40
Yunus husein, Implementasi Undang-Undang Nomr 15 dan Kaitannya dengan
perundang-undangan yang lainnya. Disampaikan dalam rangka Lokakarya terbatas khusus untuk
hakim mengenai UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan oleh Pusdiklat MA-RI bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum. Jakarta, 29 Oktober 2002.hal.7.
(50)
lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 7) Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal
assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia menerima dan membentikan bantuan dalam rangka pengakan hukum pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balik merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan membetantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama internasioanl telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral, tetapi juga regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang erorganisasi.
Namun, pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus tetap memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negaera Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang karena undang-undang tersebut dalam perjalanan dan kenyataannya belum menampung seluruh aspirasi masyarakat dan perkembangan hukum pidana mengenai pencucian uang serta standar internasional. Disamping itu, undang-undang tersebut telah mendapatkan perhatian dari dunia intenasional khususnya Financial Actioan task Force on Money Laundering (FATF), dan telah
(51)
merekomendasikan yang berkaitan dengan pencegahan pendanaan teorisme. Dalam kaitan dengan upaya pencegahan dna pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia menyadari arti pentingnya rekomendasi dan standar yang berlaku secara internasional tersebut. Rekomendasi tersebut menjadi bagi penting dalam merumuskan kebijakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Upaya Indonesia untuk memenuhi rekomendasi tersebut harus dilaksanakan secara maksimal, mengingat sejak Juni 2001 telah dimasukkan dalam daftar Non-cooperative Countries and Territories
(NCCT’s) bersama-sama dengan beberapa negara lainnya oleh FATF, bahkan sampai sekarang Indonesia masih dikategorikan dalam NCCT’s sebagai rehasil
review yang dilakukan oleh FATF.41
Untuk memberi gambaran mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 yang baru saja ditetapkan dewan menjadi undang-undang, akan disampaikan kembali pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar ditetapkannya rancangan undang-undang tersebut dan prinsip-prinsip pokok pengaturan materi rancangan undang-undang sebagai berikut.
42
41
Adrian sutedi.Op.Cit,hal.11
42
Penjelasan Undang-Undang Nomr 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pertama, kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain melalui forum bilateral aau multilateral dalam masalah tindak pidana pencucian uang dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Adapun bentuk kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain tersebut, antara lain,
(52)
pengambilan barang bukti dan pan pernaytaan seseorang, termasuk pelaksanaan surat rogatori.
Kedua, dicantumkannya “azas double criminality” dalam Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang baru saja disetujui untuk ditetapkan dan disahkan menjadi undang-undang Hukum Pidana Indonesia, yakni bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana di suatu negara, hanya dapat dipidana apabila perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana di Indonesia.
Ketiga, adanya larangan bagi pejabat atau pegawai penyedia jasa keuangan memberitahukan kepada orang lain atau kepada pengguna jasa keuangan mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
C. Peraturan Khusus Dalam Undang-Undang Money Laundering
Sebagaimana halnya dengan berbagai peraturan perundangan-perundangan yang mengatur tentang tindak pidana yang tersebar di luar KUHP, maka dalam pengaturan tindak pidana pencucian uang juga memberlakukan aturan khusus, antara lain:43
1. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan adalah sebagai instansi yang independen untuk menganalisis tindak pidana pencucian uang (Pasal 18 ayat (2))
43
(53)
2. Penyedia jasa keuangan, pejabat, serta pegawainya yang mempunyai kewajiban melaporkan transaksi keuangan tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana (Pasal 15, 13, dan 43)
3. Pemblokiran harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana oleh Penyedia Jasa Keuangan atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim (Pasal 32 ayat (1))
4. Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya tidak berlaku dalam hal pemeriksaan tindak pidana pencucian uang (Pasal 33 ayat (2))
5. Beban pembuktian terbalik bagi terdakwa (pasal 35)
6. Pemeriksaan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia) (pasal 36)
7. Harta kekayaan terdakwa yang telah disita dan terdakwanya kemudian meninggal dunia sebelum putusan hakim, dapat dirampas untuk Negara (Pasal 37)
8. Kewajiban merahasiakan identitas pelapor bagi PPATK, penyidik, penunutut umum, atau hakim (Pasal 29 dan 41)
9. Ancaman pidana penjara dan denda mengatur asas minimum (Pasal 3, 6, 8, 9, dan 10)
10.Melakukan percobaan, pembantuan, permufakatan jahat tindak [pidana pencucian uang, dipidana sama dengan delik yang sudah selesai dilakukan (Pasal 3 ayat (2))
(54)
12.Terpidana yang tidak mampu membayar pidana denda, diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun (Pasal 11).
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa aturan khusus yang menyimpang dari aturan-aturan umum, baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata. Tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana yang masih baru dikenal memerlukan sosialisasi agar pemahaman dan kesatuan pendapat sehingga dalam penanganannya tidak ada perbedaan penafsiran.
D. Kejahatan Money Laundering pada Perusahaan Asuransi
Kejahatan di bidang asuransi terbilang kejahatan yang rumit. Lazimnya dilakukan oleh mereka yang mengerti seluk beluk bisnis perasuransian, yang bisa dilakukan oleh orang dalam persahaan maupum orang luar atau tertanggung. Terkadang juga diinisiasi oleh perantara yakni agen atau broker asuransi.
Kejahatan ini dapat dilakukan paling tidak karena beberapa faktor.
Pertama, adanya faktor baik sekedar mencari uang, mengatasi kerugian menjalankan bisnis, desakan ekonomi atau kebutuhan sehari-hari, atau bermotif kejahatan murni.
Kedua, adanya kesempatan dan peluang. Misalnya kondisi polis yang terlalu umum sehingga celah yang bisa diterobos oleh tertanggung, atau sebaliknya perusahaan mengakali tertanggung.
(55)
Ketiga, lemahnya pengawasan dari regulator dan otoritas asuransi. Akibatnya lemahnya pengawasan membuat perusahaan asuransi kerap melakukan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dengan tertanggungnya untuk mengakali terjadinya suatu klaim.
Keempat, sebab-sebab di luar kendali perusahaan maupun tertanggungnya sendiri. Misalnya pihak yang mengaku sebagai agen asuransi tertentu dan menjual polis tertentu, namun ternyata polis yang di jual adalah fiktif.
Menurut Ketua Umum Dewan Asuransi Indonesia, Hot Bonar Sinaga, kejahatan asuransi memiliki beberapa modus yang secara teknis memungkinkan terciptanya kejahatan tersebut. Seperti melakukan mispresentation, dimana sang tertanggung menyampaikan fakta yang tidak benar termasuk diantaranya bukti palsu. Terkadang pelaku melakukan kejahatan asuransi dengan menyembunyikan fakta material, prilaku ini biasa dikenal dalam asuransi sebagai non disclosure. Bahkan tertanggung bisa saja menciptakan kerugian yang disengaja misalnya membakar rumah atau menabrakkan mobil sendiri. Jenis kejahatan asuransi ini biasanya dilakukan oleh para tertanggung, moral hazard inilah yang di kenal dengan penipuan klaim (frudulent claim). Perusahaan asuransi juga kerap melakukan rekayasa keuangan (financial engeneering) seperti mengecilkan jumlah cadangan agar perusahaan bisa mencetak laba. Cara yang biasa disebut
under reserve ini sering ditempuh oleh perusahaan asuransi jiwa. Cara lain ditempuh perusahaan dengan menyajikan laporan keuangan kepada Direktorat Asuransi Dirjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan. Bahkan puncak kejahatan asuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi adalah perusahaan
(56)
seolah-olah telah membayar klaim namun sebenarnya klaim tersebut belum diterima tertanggung.44
Dalam hukum terdapat suatu azas penting yang dikenal dengan lex specialis derogat legi generalis. Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus mengenyampingkan aturan yang bersifat umum.
Kejahatan di dalam asuransi dapat digolongkan ke dalam dua bagian, antara lain tindak pidana dalam usaha perasuransian dan tindak pidana asuransi yang ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
45
Aturan hukum yang mengandung lex specialis derogat legi generalis, berlaku bukan hanya menyikapi perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam aturan pidana yang terdapat dalam KUHP, tetapi juga bahkan terutama terhadap aturan pidana yang terdapat dalam undang-undang yang di atur di luar KUHP. Bahkan sepanjang di atu sebaliknya, azas ini juga berlaku terhadap sesama
Hal ini di atur dalam Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tang berbunyi:
“Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan pidana yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yangakan diberlakukan.”
44
Fahmi Aulia,Op.Cit. hal.50
45
Chirul Huda dan Lukman Hakim, Tindak Pidana Dalam Bisnis Asuransi. Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, hal.35
(57)
undang-undang di luar KUHP. Hal ini didasrkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP yang menentukan:
“ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali kalau undang-undang (Wet) tindakan Umum Pemerintahan Algemene Maatregelen van Bestuur atau Ordonansi menentukan peraturan lain.”
Sepanjang sutu peraturan perundang-undangan memuat aturan pidana yang khusus, maka mengenai hal yang sama yang secara umum diatur dalam KUHP (atau Undang-Undang di luar KUHP yang memiliki sifat lebih umum), menjadi tidak abah atau valid lagi, termasuk salah satunya tindak pidana pada asuransi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Undang-undang ini selain memuat kebijakan sosial berkenaan dengan usaha perasuransian, juga memuat kebijakan kriminal mengenai tindak pidana asuransi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian ini adalah undang-undang administratif (administratief wet), sehingga penggunaan hukum pidana dalam hal ini mestinya semata-mata untuk mengamankan norma-norma administratif tersebut. Ketika rumusan tindak pidana ditujukan untuk mengamankan ketentuan administratif yang berisi larangan, maka ketentuan afministratif tersebut menjadi inti dari tindak pidana. Dengan demikian pada dasarnya rumusan perbuatannya terdapat dalam ketentuan administratif tetapi ancaman pidananya terdapat dalam ketentuan pidana.
(58)
Ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut bukan hanya berisi tindak pidana administratif, tetapi juga tindak pidana lain yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan ketentuan administratif tesebut. Dengan demikian dari perumusan pidananya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bukan saja berisi norma pidana administratif tetapi juga sebagai hukum pidana khusus. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian mengecualikan ketentuan-ketentuan pidana yang umum yang terdapat dalam KUHP.
Selain kejahatan yang tersebut di atas, kejahatan lain yang cukup menyita perhatian yang terjadi pada perusahaan asuransi yang berkembang pesat pada saat ini adalah tindak pidana pencucian uang (money laundering), terutama pada tahap
placement dan integration, sebagai contoh pembayaran premi secara tunai untuk polis asuransi, yang kemudian dibatalkan untuk mendapatkan pengembalian premi atau pembayaran klaim. Terbukti selama dua tahun terakhir telah terjadi pelaporan transaksi mencurigakan sebanyak 1.182 kasus yang seluruhnya di laporkan oleh 25 perusahaan asuransi, sekitar 1.180 kasus pelaporan transaksi mencurigakan berasal dari perusahaan asuransi jiwa dan hanya 2 dari asuransi kerugian.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003 sebagaimana di atur di dalam Pasal 2 angka 1 disebutkan bahwa :
“hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana meliputi korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, narkotika,
(59)
psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.”
Biasanya perusahaan asuransi jiwa lebih rawan dijadikan tempat pencucian uang (money laundering). Hal ini disebabkan karena premi asuransi jiwa yang bernilai besar memungkinkan seseorang memanfaatkan asuransi jiwa sebagai medium pencucian uang hasil kejahatan.46
Indikasi adanya pencucian uang pada usaha asuransi jiwa patut diwaspadai pada nasabah dengan pertanggungan besar, namun jangka waktunya sangat singkat sedangkan untuk asuransi kerugian, hal itu sangat sukar terjadi karena nilai preminya rata-rata hanya seperseribu dari nilai barang yang diasuransikan. Hal ini diperkuat oleh Ketua Dewan Asuransi Indonesia, Hot Bonar Sinaga. Menurut dia, besarnya premi pada asuransi jiwa berjangka pendek dapat dimanfaatkan tertanggung atau pemodal untuk memasukkan uang hasil kejahatan pada mekanisme perbankan yang ilegal. Apalagi kalau nasabah ngotot membayar premi sekaligus meskipun jangka waktu pembayarannya sampai lima tahun.47
Ditambahkan pula oleh Firdaus bahwa perusahaan asuransi jiwa diharapkan dapat menerapkan aspek prudential atau kehati-hatian kepada
46
http//:www.kompas.com. Asuransi Jiwa Rawan Terhadap pencucian Uang. Diakses
tanggal 30 Januari 2010
47
(60)
nasabahnya. Umumnya money laundering lewat asuransi jiwa karena transaksinya dilakukan lewat individu. Pembeli dana biasa membeli produk asuransi jiwa misalnya untuk sepuluh tahun. Ketika itu si pembeli mengatakan akan mencicil asuransi dengan premi tiap bulan misalnya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Selanjutnya pihak asuransi menghitung santunannya yaitu misalnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), namu tak berapa lama pemegang polis mengatakan akan melunasi premi sekaligus sehingga tidak mencicil premi lage. Selang beberapa bulan si pembeli asuransi mebarik dananya lagi walaupun dikenai denda, dengan alasan untuk keperluan seperti membeli properti. Selanjutnya mereka akan menaruh dananya di bank dengan alasan habis mencairkan asuransi.48
Modus lain yaitu pembelian polis asuransi jiwa jenis unit linked dengan jumlah premi besar yang di bayar secara reguler dimana pemegang polis adalah perusahaan berbadan hukum dan tertanggung adalah pimpinan perusahaan tersebut. Perusahaan didirikan berdekatan dengan waktu pengajuan polis,
Modus yang digunakan oleh para pelaku money laundering melalui jasa asuransi adalah dengan membeli polis asuransi jiwa dengan premi tinggi yang langsung dibayarkan pada penutupan polis tersebut. Selang beberapa waktu, polis akan dibatalkan, dan premi yang dibayarkan akan dikembalikan walaupun dikurangi denda.
48
http//:www.balispost.co.id. Tak Laporkan Transaksi Mencurigakan-Lembaga keuangan
(1)
antaranya Penyedia Jasa Keuangan, PPATK, Kepolisian, Kejaksaan dan pihak-pihak lain yang bisa turut ambil bagian dalam pencegahan dan pemberantasan money laundering ini. Perusahaan Asuransi sebagai salah satu Penyedia Jasa Keuangan sudah diwajibkan untuk turut serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan money laundering dan diharapkan dapat melaksanakan upaya tersebut dengan sebaik-baiknya.
Hukum dapat dijadikan sebagai sarana untuk pencegahan dan pemberantasan money laundering sehingga sudah sewajarnya hukum turut ambil bagian dalam pengaturan money laundering ini, dikarenakan kejahatan ini berpengaruh pada kondisi perekonomian suatu negara bahkan kehidupan masyarakatnya. Penguatan dalam setiap aspek terkait dengan money laundering ini diharapkan dapat meminimalisir dan mencegah money laundering di Indonesia.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Fahmi. Waspadai Merebaknya Insurance Fraudulent, Jurnal Uang dan Bank, Nomor 5, Maret 2005.
Bucy, Pamela H White Collar crime: Case and Materials. St.Paul:West Publishing Co,1992.
Campbell Black,Henry.Black Law Dictionary,Sixth Edition. St.Paul Minn: West Publishing Co,1991.
Fuady, Munir. Hukum Perbankan di Indonesia, Seri buku Ketiga, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,1999.
Hartono, Sri rezeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika,2008.
Huda, Chairul dan Lukman Hakim, Tindak Pidana Dalam Bisnis Asuransi. Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia.
Husein,Yunus.“money laundering: Sampai Dimana Langkah Negara kita”.Jakarta:Rafflesia,Juni 2001.
---, “Kata Sambutan” dalam Risalah Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: Direktorat Hukum dan Regulasi PPATK, 2006.
Ihksan, Edy dan Mahmul Siregar, Diktat Perkuliahan Metode Penelitian Hukum. Medan: Universitas Sumareta Utara.
(3)
M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cetakan IX. Jakarta: PT. Gramedia, 1980.
Mamoedin, A.S. Analisis Kejahatan Perbankan, Jakarta:Rafflesia,1997.
Nasution, Anwar. ”Sistem Keuangan dan Proses Money laundering”, dalam Jurnal hukum Bisnis,Volume 3.1998.
Nasution, Bismar. Rejim Anti-Money laundering di Indonesia. Bandung: Pusat Informasi Hukum Indonesia, 2005.
Pakpahan, Normin S. Kamus Hukum Ekonomi. Jakarta: Proyek ELIPS,1997.
Salim,H. Abbas. Asuransi dan Menejemem Resiko, Cetakan Ketujuh Edisi Revisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2003.
Saprudin,Yusuf. Money Laundering. Jakarta: Grafika Indah, Februari 2006.
Siahaan,N.H.T. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Sitompul, Zulkarnaen. Makalah Penerapan UUTPPU:Peran PPATK. Disampaikan pada acara video conference nasional mengenai Undang-Undang Anti-Money Laundering dan kenali nasabah anda serta transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK dan Bank Indonesia bekerjasama dengan UI, USU, UNDIP, UNAIR dan ELIPS Bandung di Gedung Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, jakarta 2004.
(4)
Sjahdeini, Sutan Remy. Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme.Jakarta:PT. Pusat Utama Grafiti, 2004.
Soekanto, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: UI Pres.1986.
Swadarma,Gema. “Mari Mengenal Nasabah”, Edisi Nomor 028/III. September 2001.
Welling, Sarah N. Smurfs, Money Laundering and The United States Criminal Federal Law.The Law Book Company, 1992.
Akses Internet
http//:www.khn.go.id.J.E.Sahetapy.
http//www.surya.co.id. Ridwan ihcsan. Asuransi Ladang Pencucian Uang.
http//:www.balispost.co.id. Tak Laporkan Transaksi Mencurigakan-Lembaga keuangan Diancam Sanksi.
http//:www.ppatk.go.id. Refleksi Akhir Tahun 2006 Pusat pelaporan dan analisis Transaksi Keuangan.
http//:www.kompas.com. Curiga pencucian Uang,PPATK Periksa Unit Link.
http//:www.kompas.com. Budiman Tanuredjo, Yenti Garnasih dan Pencucian Uang.
(5)
http//:www.unisosdem.org. Khresna Guntarto, Kerjasama Bumiputera dan Perum Perhutani Diduga Lahan Cuci Uang.
http//:www.kompas.com. Kapler A. Marpaung, UU Anti pencucian uang wajib Dipatuhi Nasabah Asuransi.
http//:www.djpp.depkumham.go.id. Yenti Gamasih. “Anti pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahannya dalam Implementasinya (suatu Tinjauan awal)”.
http//:www.surya.co.id. Ridwan Ichsan. Asuransi ladang pencucian Uang.
http//:www.ppatk.go.id. Rublik Tanya-jawab.
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomr 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Penjelasan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Prinsip Menenal Nasabah pada Lembaga keuangan Non Bank.
(6)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Prinsip Menenal Nasabah pada Lembaga keuangan Non Bank.
Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Keputusan 2833/LK/2003 tentang Pedoman Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada Lembaga Keuangan Non Bank
LAMPIRAN I-AI Keputusan DJLK Nomor Kep-2833/LK/2003 tentang Petunjuk Penyusunan pedoman pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Keputusan Direksi AJB Bumiputera 1912 No.SK.1/DIR/2004 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Keputusan Direksi AJB Bumiputera No.PE.1/DIR/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah.