6. Inflamasi kulit
Respon kulit terhadap jejasinjury dapat memiliki beberapa bentuk, yang secara kasar mencerminkan beberapa aspek peradangan, gangguan sirkulasi, cedera,
dan nekrosis sel, regenerasi dan perbaikan, atau pembentukan tumor. Penyakit– penyakit kulit yang terpenting adalah penyakit idiopatik, penyakit akibat iritan kimia
dan fisika dalam lingkungan cedera eksogen, penyakit vaskuler, penyakit–penyakit degeneratif, penyakit infeksi, penyakit imunologis, kelainan pigmentasi, neoplasma,
baik jinak maupun ganas Sander, 2003. Inflamasi kulit dapat dibedakan menjadi dua yaitu kronis dan akut.
Inflamasi akut dapat disebabkan oleh radiasi UV, radiasi pengion, alergen, bahan kimia sabun, deterjen, dll.. Inflamasi akut ini dapat sembuh dalam satu atau dua
minggu dengan disertai penghancuran sedikit jaringan Anonim, 2006a.
7. Obat anti inflamasi
Obat–obat anti inflamasi secara umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu obat anti inflamasi golongan steroid dan golongan non steroid. Obat anti inflamasi
golongan kortikosteroid memiliki daya anti inflamasi kuat yang mekanismenya sebagian berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan
menghambat fosfolipase, sedangkan obat anti inflamasi non steroid mekanismenya berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrein dengan
menghambat enzim siklooksigenasenya Tjay dan Rahardja, 2002. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang sangat
beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lipid; efek terhadap kesimbangan air dan elektrolit; dan efek terhadap berbagai
pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Kerja obat ini sangat rumit dan bergantung pada kondisi hormonal seseorang. Namun secara umum efeknya
dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme karbohidrat glukoneogenesis, dan efek antiinflamasi. Umumya, efek anti inflamasi sejalan
dengan efek terhadap metabolisme karbohidrat sehingga pengelompokan kortikosteroid didasarkan atas potensi untuk menimbulkan retensi Na yakni efek
mineralokortikoid dan efek antiinflamasi yakni efek glukokortikoid Anonim, 2000. Kortikosteroid bekerja melalui interaksinya dengan protein reseptor yang
spesifik di organ target, untuk mengatur suatu ekspresi genetik yang selanjutnya akan menghasilkan perubahan dalam sintesis protein lain. Protein yang terakhir
inilah yang akan mengubah fungsi selular sehingga diperoleh, misalnya, efek glukoneogenesis, meningkatnya asam lemak, redistribusi lemak, meningkatnya
reabsorbsi Na, meningkatnya reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif, dan efek antiinflamasi. Dengan berbagai khasiat inilah kortikosteroid digunakan sebagai
terapi pengganti hormon dan anti inflamasi Anonim, 2000. Kortikosteroid topikal dipakai untuk mengobati radang kulit yang bukan
disebabkan oleh infeksi. Khususnya penyakit eksim. Kortikosteroid menekan berbagai komponen reaksi pada saat digunakan saja; kortikosteroid sama sekali tidak
menyembuhkan, dan bila pengobatan dihentikan kondisi semula mungkin timbul PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kembali. Obat–obat ini diindikasikan untuk menghilangkan simpton penekanan tanda – tanda penyakit bila cara lain yang kurang berbahaya tidak efektif.
Kortikosteroid topikal tidak berguna dalam pengobatan utikaria dan dikontra-indikasikan rosacea dan kondisi ulseratif, karena kortikosteroid
memperburuk keadaan. Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk sembarang gatal di sini kerjanya dengan mengurangi radang dan tidak direkomendasikan untuk
acne vulgaris Anonim, 2000. Secara umum kortikosteroid topikal yang paling kuat hanya dicadangkan
untuk dermatosis yang membandel seperti lupus erythemathosus discoid kronis, lichen simplex kronis, hypertrophic lichen planus dan palmoplantar pustulosis.
Dengan beberapa pengecualian, kortikosteroid yang kuat tidak boleh digunakan pada wajah karena dapat menimbulkan kelainan mirip rosacea dan menyebabkan atrofi
kulit Anonim, 2000. Berbeda dengan golongan yang kuat dan sangat kuat, kelompok
kortikosteroid yang sedang dan lemah jarang dihubungkan dengan efek samping. Semakin kuat sediaannya, semakin perlu untuk berhati – hati. Keduanya tergantung
dari daerah tubuh yang diobati dan lamanya pengobatan. Absorpsi terbanyak terjadi dari kulit yang tipis, permukaan kasar serta daerah lipatan kulit dan absorpsi
ditingkatkan oleh oklusi Anonim, 2000. Hidrokortison asetat merupakan salah satu sediaan topikal golongan
kortikosteroid dengan potensi ringan. Sediaan ini diindikasikan dalam radang kulit ringan seperti eksim, ruam popo, dan penyakit kulit yang disebabkan alergi. Sediaan
ini diberikan sekali atau dua kali sehari tidak perlu mengoleskan obat ini lebih sering Anonim, 2000.
Gambar 4. Struktur hidrokortison asetat Anonim, 2007b
E. Beta Karoten
Karotenoid, yaitu tetraterpenoid C
40
, merupakan golongan pigmen yang larut lemak yang ditemukan di tanaman. Pada tumbuhan, karotenoid mempunyai dua
fungsi yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga dan buah. Dalam bunga karotenoid kebanyakan berupa zat warna
kuning sementara dalam buah dapat juga berupa zat warna jingga atau merah Harbone, 1984. Dari 600 jenis karotenoid yang ada di alam hanya 10 persen
diantaranya yang mempunyai aktivitas sebagai provitamin A diantaranya beta karoten Anonim, 2002.
Beta karoten merupakan salah satu dari 600 karotenoid yang ada di alam. Beta karoten mempunyai dua peran, yaitu sebagai prekursor vitamin A dan
antioksidan. Beta karoten yang terdapat pada wortel, pepaya, sayur mayur yang berwarna kemerahan dan minyak kelapa sawit berpotensi sebagai antioksidan
Anonim, 2004. Beta karoten berkhasiat antioksidan spesifik untuk menetralkan oksigen singlet reaktif dan mencegah pembentukan radikal peroxyl akibat
peroksidasi lipida. Beta karoten adalah provitamin A terpenting yang diperoleh dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
algae laut Dunaliella salina yang membentuknya dalam jumlah besar Tjay dan Rahardja, 2002.
Beta karoten mampu menangkap oksigen reaktif dan radikal peroksil Paiva dan Russel, 1999 lalu menetralkannya, menghambat oksidasi asam arakhidonat
menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim lipoksigenase Lieber dan Leo, 1999. Apabila oksidasi asam arakidonat dapat dihambat maka tidak terbentuk
oksigen reaktif yang dapat menyebabkan inflamasi sehingga proses inflamasi dapat dihambat. Penurunan aktivitas enzim lipoksigenase menyebabkan tidak
terbentuknya leukotrien yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan.
Gambar 5. Struktur kimia all-trans β-karotenAnonim, 1989
F. Radiasi Ultraviolet
Sinar ultraviolet UV secara fisik mirip dengan cahaya tampak, hanya saja sinar UV tidak memungkinkan untuk dilihat. Cahaya yang memungkinkan untuk
dilihat dikenal sebagai cahaya tampak dan terdiri dari warna – warna seperti dalam pelangi. Daerah ultraviolet dimulai setelah akhir warna ungu dalam pelangi. Secara
ilmiah, radiasi UV merupakan radiasi elektromagnetik seperti halnya pada cahaya tampak, sinyal radar dan sinyal pemancar radio Anonim, 2007c.
Radiasi UV mempunyai panjang gelombang lebih pendek frekuensi lebih tinggi dibandingkan cahaya tampak dan lebih panjang frekuensi lebih rendah
dibandingkan Sinar-X. Radiasi UV berada pada kisaran panjang gelombang 100 – 400 nm dan sering dibagi menjadi tiga berdasarkan daerah panjang gelombang,
yaitu: •
UVA 315-400 nm, sering disebut gelombang panjang “black light” •
UVB 280-315 nm, sering disebut gelombang medium “medium wave” •
UVC 100-280 nm, sering disebut gelombang pendek “short wave” Anonim, 2007c
Gambar 6. Spektrum elektromagnetik Anonim, 2007c
Efek fotobiologi radiasi ultraviolet khususnya UVB sangat eritematogenik dan karsinogenik, dan dapat merusak DNA, RNA, dan protein– protein lain dalam
sel kulit. Meskipun demikian radiasi UVA juga memegang peranan penting dalam pembentukan eritema yaitu dengan fotosensitif akibat dari Reactive Oxygen Species
ROS, seperti oksigen singlet
1
O
2
, superoksida O
2 •–
, radikal hidroksil OH
•
, yang dapat merusak DNA dan membran sel dan dapat juga menyebabkan
karsinogenik. Oleh sebab itu UVA dan UVB merupakan komponen pencetus terjadinya respon inflamasi akut yang nampak dalam bentuk eritema Tedesco,
1997. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sifat dari eritema yang terbentuk akibat radiasi UV bergantung pada intensitas dan dosis dari panjang gelombang UV yang digunakan. Radiasi UVC
dapat menginduksi eritema dengan intensitas lemah dan akan hilang setelah beberapa jam. Sedangkan eritema yang dihasilkan dari UVB dan UVA dapat
berlangsung selama beberapa hari. UVB memang lebih eritematogenik jika dibandingkan dengan UVA Tedesco, 1997.
Perubahan histopatologi yang terjadi di kulit setelah radiasi juga bergantung pada panjang gelombang. Pada kasus UVB, perubahan tersebut dapat
didahului oleh adanya sel diskeratotik dan berkurangnya jumlah sel Langerhan. Sedangkan untuk radiasi UVA perubahan histopatologi yang berarti terdapat pada
dermis dan bergantung pada sebagian besar fotosensitiser Tedesco, 1997. Studi terbaru oleh Lavker dkk 1995 pada manusia yang mengalami radiasi kronik dari
UV dengan dosis sub eritematogenik juga dapat menyebabkan sel diskeratotik dan pengurangan sel Langerhans.
Respon inflamasi dari fotoinduksi merupakan hasil dari serangkaian reaksi fotokimia yang terjadi setelah adanya absorbsi radiasi non ion oleh kromofor kulit.
Pada suhu kamar sebagian besar molekul berada dalam keadaan groundstate. Karena adanya radiasi yang diabsorpsi memberikan energi yang membuat molekul tersebut
mengalami transisi elektronik sehingga tereksitasi. Di alam keadaan tereksitasi tersebut dapat berupa singlet ataun triplet tergantung pada kromofor dan
lingkungannya keadaan tersebut berkisar dari picodetik sampai nanodetik untuk singlet dan mikrodetik untuk triplet. Keadaan tersebut dapat dapat berlangsung
cukup lama untuk reaksi tertentu dan dalam keadaan seperti itu akan menghasilkan perubahan kimia dan mengakibatkan terbentuknya radikal bebas atau yang sering
dijumpai Reactive Oxygen Species ROS. Radikal oksigen inilah yang dapat merusak sel termasuk menginduksi terjadinya peroksidasi lemak bahkan sampai
kematian sel Tedesco, 1997.
G. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah senyawa dengan struktur molekul terdiri dari elektron tak berpasangan atau ganjil. Elektron yang tidak memiliki pasangan ini bersifat
sangat reaktif, karena selalu berusaha untuk mencari pasangan elektron lainnya agar menjadi bentuk yang stabil Fessenden dan Fessenden, 1997. Mekanisme reaksi
radikal bebas paling tepat dibayangkan sebagai salah satu deret reaksi bertahap, yaitu: 1 permulaan inisiasi ialah tahap awal pembentukan radikal – radikal bebas,
2 perambatan propagasi ialah tahap pembentukan radikal bebas baru, 3 pengakhiran terminasi ialah tahap yang memusnahkan radikal bebas atau
mengubah radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tak reaktif Anonim, 2006c.
Radikal bebas merupakan molekul–molekul tak stabil yang dihasilkan oleh berbagai proses kimia normal tubuh, radiasi matahari UV atau kosmis, asap rokok,
dan pengaruh lingkungan lainnya. Di dalam tubuh mayoritas radikal bebas berasal dari proses kimia komplek saat oksigen digunakan di dalam sel. Radikal bebas yang
secara kimia tidak lengkap tersebut dapat mencuri partikel dari molekul–molekul yang lain. Kemudian dapat menghasilkan senyawa radikal lain dan membuat reaksi
berantai yang dapat merusak sel, dengan menyebabkan perubahan mendasar pada materi genetik dan bagian–bagian penting sel lainya Afriansayah, 2002.
Radikal bebas terpenting yang terdapat dalam tubuh adalah radikal derivat oksigen atau sering disebut sebagai Reactive Oxygen Species ROS. Radikal-radikal
tersebut berada dalam bentuk triplet
3
O
2
, singlet
1
O
2
, superoksida O
2 •
, radikal hidroksil OH
•
, nitrit oksida NO
•
, dll Kurniani, 2001. Proses perusakan organ tubuh oleh radikal bebas dapat dihambat dengan
jalan memberikan antioksidan Tjay dan Rahardja, 2002. Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat oksidasi, atau juga disebut dengan inhibitor
radikal bebas Fessenden dan Fessenden, 1997. Ketika suatu radikal bebas mendapatkan pasangan elektronnya yang berasal dari suatu antioksidan, maka
radikal bebas tersebut tidak perlu mencari dan berikatan dengan sel–sel dalam tubuh. Secara nyata, setelah antioksidan mendapatkan sebuah elektron dari suatu
radikal bebas, maka akan terbentuk radikal bebas yang baru. Tapi pada keadaan ini, radikal bebas hasil pengikatan dengan antioksidan tidak bersifat reaktif, karena
antioksidan mampu mengubah elektron tersebut ke energi yang lebih rendah Anonim, 2004. Beberapa antioksidan yang terpenting antara lain : vitamin A,
vitamin E, vitamin C, likopen, katalase, superoxide-dismutase SOD, glutation
peroksidase GPx serta asam lipogen Tjay dan Rahardja, 2002.
H. Metode Uji Antiinflamasi
Sekitar 12 teknik pengujian telah diperkenalkan untuk mengevaluasi anti inflamasi ini. Perbedaan diantara metode-metode pengujian tersebut terletak pada
cara menginduksi inflamasi pada hewan percobaan, yaitu induksi secara kimia menggunakan berbagai bahan kimia dan berbagai cara pemberian induktor, secara
fisika penyinaran radiasi UV, secara mekanik dan induksi mikroba ajuvan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Freund. Senyawa-senyawa kimia yang dapat menginduksi radang antara lain adalah formalin, egg white, dextran, mustard dan kaolin Turner, 1965. Umumnya hewan
percobaan yang digunakan adalah tikus, walaupun demikian terdapat juga beberapa metode yang menggunakan mencit atau marmut sebagai hewan percobaan Anonim,
1991.Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur efek anti inflamasi adalah sebagai berikut :
1. Uji eritema
Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan hewan uji tikus putih, marmut, kelinci atau mencit putih. Iritan yang digunakan untuk membentuk eritema
antrara lain : minyak kroton, ester–ester phorbol terisolasi, asam arakhidonat dan etil fenil propionat yang masing–masing dilarutkan dalam aseton. Iritan juga dapat
berupa radiasi sinar UV Mutschler, 1986. Antagonis yang dipakai adalah ekstrak tumbuhan dan sebagai antagonis pembanding dapat digunakan indometasin,
quersetin, hidrokortison, mepyramin, thianizole, atau propanolol. Metode ini diawali dengan mengelompokkan hewan uji, tiap kelompok
terdiri dari 5-7ekor dan tiap kelompok mewakili tiap peringkat dosis. Ekstrak tanaman atau bahan anti radang diberikan pada daerah kulit yang sudah dipersiapkan
sebelum diberikan iritan pada daerah yang sama. Pelarut juga diuji untuk aktivitas inflamasi atau anti inflamasi pada hewan uji sebelumnya.
Uji eritema merupakan percobaan yang sederhana dan mudah dilakukan. Selanjutnya, penilaian eritema dilakukan dengan pengamatan pada daerah yang .
Jika terjadi eritema secara nyata diberi tanda ++, ringan +, dan jika tidak ada 0.Williamson dkk, 1996.
2. Radang telapak kaki belakang
Percobaan ini menggunakan hewan uji tikus atau mencit. Bahan penginflamasi yang digunakan adalah karagenin 1 dalam 0,9 natrium klorida
paling sering digunakan dengan volume pemberian 0,1ml tikus dan 0,05ml mencit, atau kapsaisin 1-10 gkg dalam etanol 10 atau 10 tween 80 atau 0,9
natrium klorida, atau dekstrim 0,1ml dari 6
w v
dalam gom akasia 2
w v
, atau dapat juga menggunakan kaolin 0,1ml 5. Sebagai bahan anti inflamasi
digunkakn ekstrak tanaman yang disuspensikan dalam 2-5 gom akasia atau pelarut lain yang sesuai, dan sebagai obat pembanding yaitu indometasin,
kortikosteroid, difenhidramin, atau metisergid Williamson dkk, 1996. 3.
Induksi arthritis Hewan uji yang digunakan dalam metode ini adalah tikus atau mencit.
Hewan uji dibagi dalam kelompok masing-masing 5 ekor per dosis. Induksi dilakukan menggunakan suspensi Mycobacterium tuberculosis yang sudah
dimatikan 0,5
w v
dalam parafin cair secara intradermal pada kaki belakang 0,05 ml untuk tikus; 0,025 ml untuk mencit. Obat anti inflamasi diberikan sehari
sebelum injeksi bahan penginduksi arthritis dan diteruskan sesuai yang diinginkan sampai selama 28 hari, untuk memberikan informasi tentang perkembangan arthritis
dan perawatan obat secara kronis. Pengukuran dilakukan ketika pembengkakan muncul biasanya hari ke-13 menggunakan metode pemindahan volume seperti
pada uji udema. Ekstrak tanaman yang diuji disuspensikan dalam gom akasia atau pelarut lain yang sesuai Williamson dkk, 1996.
4. Tes granuloma
Hewan uji berupa tikus putih betina galur wistar diinjenksi bagian punggung secara subkutan dengan 10-25 ml udara, kemudian 0,50 ml minyak kapas
sebagai senyawa yang sama. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong, udara dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot,
selanjutnya diukur volume cairannya. Model percobaan ini lebih sensitif untuk uji obat anti inflamasi steroid daripada nonsteroid Turner, 1965.
Disamping metode uji anti inflamasi secara in vivo diatas juga terdapat metode secara in vitro, diantaranya yaitu dengan metode kultur sel. Salah satu model
uji ini adalah uji in vitro inflamasi gastrointestinal. Uji ini terdiri dari mikroporus beserta selapis sel epitelial yang kontak dengan medium nutrisi di dalam sumur
kultur. Uji ini dilakukan dengan menempatkan sel yang bertanggung jawab terhadap sistem imun PMN beserta material uji pada medium. Selanjutnya dilakukan
penentuan terhadap perubahan pada penanda imunologis terutama sitokinin TNF dan agr atau IL-8 sebagai respon dari material uji. Material ujinya dapat berasal dari
galur Lactobacillus atau Bifidobacterium atau material lain yang berupa probiotik Dianzani, Massimo, Margherita G, and Roberto, 2006.
I. Keterangan Empiris
Penelitian ini bersifat ekploratif untuk memperoleh bukti ilmiah efek anti inflamasi ampas wortel yang dinyatakan dengan penurunan skala eritema dan
perubahan histopatologis pada kulit punggung kelinci yang diradangkan dengan radiasi sinar UV A pada panjang gelombang 352 nm.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang efek anti inflamasi ampas wortel terhadap kelinci putih betina merupakan penelitian ekperimental murni dengan menggunakan rancangan
acak lengkap pola searah.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel utama
a. Variabel bebas : Lama masa pemberian ampas wortel
Dosis ampas wortel yang digunakan adalah lama masa pemberian ampas wortel selama 1 – 6 hari. Ampas wortel yang diberikan seberat 2 gram, yang
ditempelkan selama 4 jam dalam daerah kulit kelinci seluas 4 cm
2
. b.
Variabel tergantung : Nilai skala eritema yang terbentuk.
Efek anti inflamasi ampas umbi wortel merupakan kemampuan yang dimiliki ampas wortel dalam menurunkan pembentukan eritema, berdasarkan
pengurangan mean skor eritema setelah diradiasi dengan lampu TL UV A, pada panjang gelombang 352 nm.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali
1. Jenis kelamin kelinci
: betina 2.
Berat badan : 1,5 – 2 kg
3. Umur kelinci
: 4 – 6 bulan
28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. umur wortel
: 3,5 bulan 5.
varietas :
Imperator 6.
Pembuatan ampas wortel : pemerasan ampas wortel b.
Variabel pengacau tak terkendali yaitu keadaan patologis kelinci
C. Subyek dan Bahan Penelitian
1. Subyek penelitian
Subyek uji yang digunakan berupa daerah kulit punggung seluas 4 cm
2
dari kelinci putih betina, umur 4 – 6 bulan dengan berat badan berkisar antara 1,5 – 2 kg
diperoleh dari peternakan Bpk Suparno, Jl.Godean km 10, Sleman, Yogyakarta.
2. Bahan penelitian