Efek anti inflamasi ampas wortel [Daucus Carota L.] pada kelinci putih betina.

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek anti inflamasi ampas wortel (Daucus carota L.) serta mengetahui perubahan histopatologi dengan adanya pemberian ampas wortel sebagai anti inflamasi.

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan acak pola satu arah. Metode uji yang digunakan adalah uji eritema yang telah dimodifikasi dengan peradang lampu TL UV 10 W, Black light, Sankyo, λ 352 nm. Hewan uji yang digunakan adalah kelinci putih betina, dewasa 4 – 6 bulan dan berat badan 1,5 – 2 kg. Empat puluh daerah uji dibagi dalam 8 kelompok secara acak, setiap kelompok terdiri 5 daerah uji @ 4 cm2. Kelompok I dan II merupakan kelompok kontrol negatif radiasi UVA selama 10 jam dan kelompok kontrol positif krim Hidrokortison asetat Bufacort®. Kelompok III–VIII merupakan kelompok perlakuan pemberian ampas wortel secara topikal selama 4 jam dengan rentang masa pemberian 1 – 6 hari. Evaluasi penilaian dilakukan melalui pengamatan eritema pada jam ke-24 dan pemeriksaan histopatologi pada daerah uji. Data keduanya diskor dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskal – Wallis dan Uji Mann – Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan pemberian ampas wortel 3 dan 4 hari. memiliki efek anti inflamasi yang ditandai dengan penurunan mean skor eritema. Hal ini juga terlihat pada perubahan histopatologi kulit yang berupa berkurangnya penebalan stratum korneum beserta udem cairan inter sel.

Kata kunci : anti inflamasi, eritema, ampas wortel, UVA, kelinci


(2)

ABSTRACT

This research has been done with objective to prove the anti inflammation capability of carrot waste (Daucus carota L) and reveal the histopathology changes since carrot waste is given as an anti inflammation.

This research is experimental with one way pattern randomized plan. The test method which is used is erythema testing modified with TL UV 10 W lamp inflammation, Black light, Sankyo, λ 352 nm. The animal which is tested is a whit female rabbit. The age is 4-6 months, the weight is 1,5 – 2 kg. The 40 test daerahs are divided into 8 groups randomly. Each group consists of 5 test daerahs @ 4 cm2. Group I and II are a negative controlled group of UVA radiation for 10 hours and a Hydrocortisone Acetate Bufacort® cream positive controlled. Group III – VIII are a group receiving carrot waste treatment topically for 4 hours within 1- 6 days. The evaluation is held by observing the erythema at 24th hour and histopathology analyzing on a test daerah. The results will be ranked and analyzed statistically with Kruskal – Wallis testing and Mann – Whitney testing.

The observation results indicate that carrot waste has an anti inflammation capability. It’s shown by its capability of decreasing the erythema mean point and histopathology changes on a group receiving a carrot waste treatment within 3 and 4 days.

Keywords : anti inflammation, erythema, carrot waste, UVA, rabbits.


(3)

EFEK ANTI INFLAMASI AMPAS WORTEL (

Daucus carota

L.)

PADA KELINCI PUTIH BETINA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh : Yuda Kristama NIM : 028114025

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007


(4)

EFEK ANTI INFLAMASI AMPAS WORTEL (

Daucus carota

L.)

PADA KELINCI PUTIH BETINA

Diajukan oleh : Nama : Yuda Kristama

NIM : 028114025

Telah disetujui oleh :

Pembimbing I

Yosef Wijoyo, M.Si, Apt. Tanggal : September 2007


(5)

Pengesahan Skripsi berjudul

EFEK ANTI INFLAMASI AMPAS WORTEL (

Daucus carota

L.)

PADA KELINCI PUTIH BETINA

Oleh : Yuda Kristama NIM : 028114025

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma pada tanggal : 6 Agustus 2007

Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

Rita Suhadi, M.Si., Apt.

Pembimbing :

Yosef Wijoyo, M.Si., Apt.

Panitia Penguji :

1. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. ………..

2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. ………..

3. Drs. Mulyono, Apt. ………..


(6)

v

Va dove Ti porTa il cuore

Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang dihadapanmu

dan kau tak tahu jalan mana yang harus kauambil, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan

tunggulah sesaat. Tariklah napas

dalam – dalam, dengan penuh kepercayaan,

seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apapun mengalihkan

perhatianmu, tunggulah dan tunggulah

lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu.

Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah,

dan PERGILAH KEMANA HATI MEMBAWAMU...

Susanna Tamaro

Kupersembahkan karya sederhana ini bagi,

Bapak & Ibu yang membawaku ke Dunia ini

Dek I, Enci dan Ke CERIA an di hatiku “Nare”


(7)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat dan

kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Anti

Inflamasi Ampas Wortel (Daucus carota L.) pada Kelinci Putih Betina“. Skripsi ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi

(S.Farm) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak

baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu dengan segala

kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Yosef Wijoyo, M.Si, Apt, selaku dosen pembimbing yang telah berkenan

membimbing, mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. Mulyono, Apt, selaku dosen penguji yang bersedia menguji dan

memberikan saran demi kemajuan skripsi ini.

3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si, selaku dosen penguji yang bersedia menguji dan

memberikan saran demi kemajuan skripsi ini.

4. Rita Suhadi, MSi. Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma.

5. dr. Luciana Kuswibawati, M. Kes selaku pembimbing akademik penulis atas

segala bimbingannya selama ini.

6. Ign. Kristio Budiasmoro, M.Si., Mas Sigit, dan Mas Andre, atas bantuan

determinasi dan pembuatan herbarium wortel.


(8)

7. Yohanes Sugianto, M.Si., atas bantuan dalam pembuatan preparat beserta

bimbingan dan diskusinya dalam penyesaian skripsi ini.

8. Mas Parjiman, Mas Heru dan Mas Kayat selaku laboran bagian farmakologi, atas

segala bantuan dan dinamika selama di laboratorium.

9. Bapak, Ibu, Dek I, dan Dek Enci yang selalu mendukung terutama doa dan kasih

sayang selama ini.

10.Nina ”Nare” atas kasih sayang, Ke”Ceria”an, dukungan dan perhatiannya.

11.Ina, Jeane, Dophing, Hendra, Supri, Lian, Thomas, Antok, Riasa, Ardhiyan dan

Peter atas diskusi, masukan dan bantuan di laboratorium.

12.Teman-teman seperjuangan angkatan 2002 teristimewa kelompok A, kelas A,

atas kebersamaannya disinilah kita merajut persahabatan.

13.Teman – teman komunitas kontrakan Kobo, Heri, Gopa, Nowo, Danu, TP dan

seluruh squadra Viola atas kebersamaan dan guyonannya selama ini.

14.Teman – teman se“Kandang Manuk” Adhit, Pak Eko, Vicky, Kirman, Beni,

Bowo, Bean, Fery dan “manuk – manuk” yang lain atas “Man For Others”nya.

15.Sahabat – sahabat ku dan pihak–pihak lain yang turut membantu penulis namun

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 6 Agustus 2007

Penulis


(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Agustus 2007

Penulis

Yuda Kristama


(10)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek anti inflamasi ampas wortel (Daucus carota L.) serta mengetahui perubahan histopatologi dengan adanya pemberian ampas wortel sebagai anti inflamasi.

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan rancangan acak pola satu arah. Metode uji yang digunakan adalah uji eritema yang telah dimodifikasi dengan peradang lampu TL UV 10 W, Black light, Sankyo, λ 352 nm. Hewan uji yang digunakan adalah kelinci putih betina, dewasa 4 – 6 bulan dan berat badan 1,5 – 2 kg. Empat puluh daerah uji dibagi dalam 8 kelompok secara acak, setiap kelompok terdiri 5 daerah uji @ 4 cm2. Kelompok I dan II merupakan kelompok kontrol negatif radiasi UVA selama 10 jam dan kelompok kontrol positif krim Hidrokortison asetat Bufacort®. Kelompok III–VIII merupakan kelompok perlakuan pemberian ampas wortel secara topikal selama 4 jam dengan rentang masa pemberian 1 – 6 hari. Evaluasi penilaian dilakukan melalui pengamatan eritema pada jam ke-24 dan pemeriksaan histopatologi pada daerah uji. Data keduanya diskor dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskal – Wallis dan Uji Mann – Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan pemberian ampas wortel 3 dan 4 hari. memiliki efek anti inflamasi yang ditandai dengan penurunan mean skor eritema. Hal ini juga terlihat pada perubahan histopatologi kulit yang berupa berkurangnya penebalan stratum korneum beserta udem cairan inter sel.

Kata kunci : anti inflamasi, eritema, ampas wortel, UVA, kelinci


(11)

ABSTRACT

This research has been done with objective to prove the anti inflammation capability of carrot waste (Daucus carota L) and reveal the histopathology changes since carrot waste is given as an anti inflammation.

This research is experimental with one way pattern randomized plan. The test method which is used is erythema testing modified with TL UV 10 W lamp inflammation, Black light, Sankyo, λ 352 nm. The animal which is tested is a whit female rabbit. The age is 4-6 months, the weight is 1,5 – 2 kg. The 40 test daerahs are divided into 8 groups randomly. Each group consists of 5 test daerahs @ 4 cm2. Group I and II are a negative controlled group of UVA radiation for 10 hours and a Hydrocortisone Acetate Bufacort® cream positive controlled. Group III – VIII are a group receiving carrot waste treatment topically for 4 hours within 1- 6 days. The evaluation is held by observing the erythema at 24th hour and histopathology analyzing on a test daerah. The results will be ranked and analyzed statistically with Kruskal – Wallis testing and Mann – Whitney testing.

The observation results indicate that carrot waste has an anti inflammation capability. It’s shown by its capability of decreasing the erythema mean point and histopathology changes on a group receiving a carrot waste treatment within 3 and 4 days.

Keywords : anti inflammation, erythema, carrot waste, UVA, rabbits.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...

HALAMAN PENGESAHAN...

HALAMAN PERSEMBAHAN ...

PRAKATA...

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...

INTISARI...

ABSTRACT... DAFTAR ISI...

DAFTAR TABEL...

DAFTAR GAMBAR ...

DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I. PENGANTAR ...

A. Latar Belakang ...

1. Permasalahan ...

2. Keaslian Penelitian ...

3. Manfaat Penelitian ...

B. Tujuan Penelitian ...

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ...

A. Tanaman Wortel ... ii

iii

iv

v

vi

viii

ix

x

xi

xv

xvi

xviii

1

1

2

3

4

4

5

5


(13)

1. Nama daerah ...

2. Morfologi ...

3. Varietas ...

4. Ekosistem pertumbuhan ...

5. Kandungan kimia ...

B. Kulit ...

C. Inflamasi ...

1. Definisi ...

2. Penyebab ...

3. Gejala ...

4. Respon inflamasi ...

5. Mekanisme ...

6. Inflamasi kulit ...

7. Obat anti inflamasi ...

D. Kortikosteroid ...

E. Beta karoten ...

F. Radiasi Ultraviolet ...

G. Radikal Bebas ...

H. Metode Uji Anti Inflamasi ...

1. Uji eritema...

2. Radang telapak kaki belakang...

3. Induksi arthritis ...

4. Tes Granuloma ... 5

5

7

7

7

8

10

10

10

11

12

13

16

16

17

19

20

23

24

25

26

26

27


(14)

I. Keterangan Empiris ...

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ...

B. Variabel Penelitian ...

C. Subyek dan Bahan Penelitian ...

D. Alat Penelitian

E. Tata Cara Penelitian ...

1. Penyiapan bahan uji ...

2. Penyiapan hewan uji ...

3. Penetapan eritema ...

4. Orientasi penetapan lama penyinaran UV A ...

5. Orientasi penetapan waktu pengamatan eritema ...

6. Orientasi penetapan waktu pemberian kontrol positif ...

7. Orientasi penetapan lama masa pemberian ampas wortel ...

8. Pengujian efek anti inflamasi ...

9. Analisis data ...

10. Pembuatan histologi kulit ...

11.Pemeriksaan histopatologi ...

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

A. Determinasi Tanaman ...

B. Uji Pendahuluan ...

1. Penetapan eritema ...

2. Orientasi penetapan lama penyinaran UV A ... 27

28

28

28

29

30

30

30

31

31

31

32

32

32

32

33

33

34

35

35

35

36

36


(15)

3. Orientasi penetapan waktu pengamatan eritema ...

4. Orientasi pemberian kontrol positif krim hidrokortison

asetat ...

5. Orientasi penetapan lama masa pemberian ampas wortel ...

C. Pengujian Efek Anti Inflamasi ...

D. Pemeriksaan Histopatologi ...

E. Perbandingan Uji Eritema dan Pemeriksaan Histopatologi ...

BAB V. PENUTUP ...

A. Kesimpulan ...

B. Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ...

BIOGRAFI PENULIS ... 38

40

42

44

49

55

58

58

58

59

63

97


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

I

II

III

IV

V

VI

VII

VIII

Penetapa nilai skor eritema ...

Hasil uji statistik orientasi penetapan lama penyinaran UV A ...

Hasil uji statistik orientasi penetapan waktu pengamatan eritema ..

Hasil uji statistik orientasi waktu pemberian krim hidrokortison

asetat ...

Hasil uji statistik orientasi lama masa pemberian ampas wortel ...

Hasil uji statistik mean skor eritema pada perlakuan pemberian

ampas wortel dengan kajian lama masa pemberian...

Hasil uji statistik skor histopatologi daerah kulit uji ...

Perbandingan uji eritema dan pemeriksaan histopatologi ... 36

37

39

41

42

45

51

56


(17)

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Struktur kulit ...

Patogenesis dan gejala suatu peradangan ...

Skema dari mediator – mediator yang berasal dari asam

arakhidonat dan titik tangkap kerja obat anti-inflamasi ...

Struktur hidrokortison asetat ...

Struktur kimia all-trans ß-karoten ...

Spektrum elektromagnetik ...

Grafik orientasi penetapan lama penyinaran UV A...

Grafik orientasi penetapan waktu pengmatan eritema...

Grafik orientasi pemberian krim hidrokortison asetat ...

Grafik mean skor eritema pada orientasi lama masa pemberian

ampas wortel ...

Grafik mean skor eritema pada perlakuan pemberian ampas

wortel ...

Histopatologi daerah uji kulit kelinci normal tanpa perlakuan

pada perbesaran 40x ...

Histopatologi daerah uji setelah diradiasi UV A pada perbesaran

100x (1) dan pemberian hidrokortison asetat Bufacort® pada

perbesaran 40x (2) ... 8 10 15 19 20 21 38 40 41 43 49 50 52 xvi


(18)

14

15

16

Histopatologi daerah uji pemberian ampas wortel 1 hari pada

perbesaran 40x (1) dan pemberian ampas wortel 2 hari pada

perbesaran 40x (2) ...

Histopatologi daerah uji pemberian ampas wortel 3 hari pada

perbesaran 40x (1) dan pemberian ampas wortel 4 hari pada

perbesaran 40x (2) ...

Histopatologi daerah uji pemberian ampas wortel 5 hari pada

perbesaran 40x (1) dan pemberian ampas wortel 6 hari pada

perbesaran 40x (2) ... 53

54

54


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Surat pengesahan determinasi ...

2. Foto tanaman wortel dan wortel ...

3. Foto ampas wortel ...

4. Foto lampu TL UV 10 W, black light, Sankyo, λ 352 nm ... 5. Foto radiasi sinar UV A pada kelinci...

6. Foto eritema kulit punggung kelinci ...

7. Data skor eritema pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pemberian

ampas wortel ...

8. Data skor histopatologi daerah uji ...

9. Skema kerja uji efek anti inflamasi...

10. Hasil analisis statistik data orientasi penetapan lama penyinaran UV A

menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney ...

11. Hasil analisis statistik data orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney ...

12. Hasil analisis statistik data orientasi pemberian kontrol positif menggunakan

uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney...

13. Hasil analisis statistik data orientasi lama masa pemberian ampas wortel

menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney ...

14. Hasil analisis statistik data pada perlakuan pemberian ampas wortel 1 – 6 hari

beserta kontrolnya menggunakan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney... 63

64

64

65

65

66

67

68

69

70

72

78

79

85


(20)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Inflamasi merupakan mekanisme normal pertahanan tubuh. Disadari

maupun tidak, setiap orang pasti pernah mengalami inflamasi. Sebenarnya inflamasi

bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu pembentukan keadaan yang

membantu netralisasi, penghancuran jaringan nekrosis, yang dibutuhkan pada proses

penyembuhan (Price dan Wilson, 1995). Akan tetapi kehadirannya selalu disertai

dengan pelepasan mediator–mediator kimia yang dapat menyebabkan

ketidaknyamanan seperti adanya kemerahan (eritema), panas, pembengkakan, rasa

sakit atau nyeri (Anonim, 2006a). Jika proses inflamasi lepas dari keseimbangan,

bukan hanya sel pencedera yang dibuang, tapi sel yang sehat juga mengalami

kerusakan, sehingga inflamasi menjadi lebih berat dan mengakibatkan kerusakan

jaringan yang serius (Price dan Wilson, 1995). Karena dipandang dapat merugikan

maka inflamasi tetap membutuhkan pengatasan dan pengendalian (Tjay dan

Rahardja, 2002).

Wortel merupakan salah satu bahan alam yang dapat dikembangkan dalam

industri obat. Beberapa informasi tentang khasiat tanaman wortel bukan hal yang

asing lagi, seperti diantaranya sebagai anti kanker, radang, penyakit dalam

pencernaan, mencegah serangan jantung dan penyempitan pembuluh darah dan

masih banyak lagi (Cahyono, 2002). Beberapa penelitian juga telah membuktikan

secara ilmiah khasiat wortel, diantaranya adalah sebagai hepatoprotektif (Widari,

2004), analgesik (Putra, 2003) dan anti inflamasi (Widarsih, 2003). Dari hasil


(21)

penelitian tersebut semakin meyakinkan peranan wortel dalam pengobatan dan

memungkinkan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan bentuk dan khasiat wortel

yang lebih baik.

Bagian dari wortel yang belum banyak diketahui pemanfaatannya adalah

ampasnya. Terkadang ampas hanya dianggap sampah atau limbah. Ampas

merupakan hasil samping dari pembuatan perasan wortel. Beberapa penelitian

tentang khasiat wortel sebagai anti inflamasi lebih sering menggunakan bentuk

infusa (Hapsari, 2003), perasan atau sari (Widarsih, 2003) dan kombinasi jus

(Inaktia, 2005). Dalam kehidupan sehari – hari telah ada yang menggunakan ampas

wortel sebagai masker penghalus kulit dan untuk mengatasi luka bakar (Anonim,

2006b), akan tetapi hingga saat ini sepanjang penelusuran penulis penelitian tentang

khasiat wortel dalam bentuk ampasnya belum pernah dilakukan.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka ampas wortel menjadi hal baru yang

menarik untuk dibuktikan secara ilmiah khasiatnya sebagai obat anti inflamasi.

Penelitian ini dapat juga digunakan sebagai informasi pengembangan obat anti

inflamasi dari wortel yang diaplikasikan secara topikal.

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dimunculkan permasalahan sebagai

berikut:

a. Apakah ampas wortel mempunyai efek anti inflamasi yang ditandai dengan

penurunan mean skor eritema?

b. Adakah perubahan histopatologi kulit daerah uji dengan adanya pemberian


(22)

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran penulis selama di Universitas Sanata Dharma

penelitian tentang efek anti inflamasi ampas wortel belum pernah dilakukan.

Beberapa penelitian tentang daya anti inflamasi tanaman wortel yang telah

dilakukan diantaranya adalah :

a. Daya anti inflamasi sari umbi wortel (Daucus carota, L) pada mencit jantan

(kajian terhadap lama masa pemberian) (Rasmandani, 2004).

Pemberian sari umbi wortel dengan dosis 5mg/KgBB dari hari ke-1 sampai

hari ke-4 menunjukkan penurunan berat rata-rata udema kaki mencit

dibandingkan hari sebelumnya. Lama masa pemberian mempengaruhi daya

anti inflamasi sari umbi wortel pada mencit jantan yang ditunjukkan dengan

pemberian sari umbi wortel secara berlebihan ternyata menurunkan daya anti

inflamasi sari umbi wortel.

b. Daya anti inflamasi perasan umbi wortel (Daucus carota L.) pada mencit

jantan. (Widarsih, 2003).

Air perasan umbi wortel memiliki daya anti inflamasi dimana persen daya

anti inflamasi perasan umbi wortel pada dosis 1,25; 2,5; 5; 10 dan 20

ml/kgBB berturut-turut sebesar 15,28%; 31,19%; 51,50%; 45,68% dan

37,80%.

c. Daya anti inflamasi infusa umbi wortel (Daucus carota L.) pada mencit

jantan. (Hapsari, 2003).

Infusa umbi wortel memiliki daya anti inflamasi dimana persen daya anti

inflamasi infusa umbi wortel pada dosis 14,75; 9,5; 19 dan 38 g/kgBB


(23)

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Menambah pengetahuan tentang khasiat tanaman wortel dalam bidang

kefarmasian sebagai obat anti inflamasi, terutama bagian ampasnya.

b. Manfaat praktis

Memberikan informasi ilmiah dan kebenaran kepada masyarakat

mengenai efek anti inflamasi ampas umbi wortel.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian dapat memberikan informasi alternatif pengembangan obat

anti inflamasi dari ampas yang selama ini kurang dimanfaatkan.

2. Tujuan khusus

a. Membuktikan efek anti inflamasi ampas wortel yang ditandai dengan

penurunan mean skor eritema.

b. Mengetahui perubahan histopatologi kulit daerah uji dengan adanya


(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tanaman Wortel

Wortel merupakan tanaman beriklim sedang (sub tropis). Menurut

sejarahnya tanaman ini berasal dari timur dekat (Asia kecil, dataran tinggi,

Turkmenistan, Transcaucasia, dan Iran) dan Asia Tengah. Tanaman ini diketemukan

tumbuh liar sekitar 6500 tahun yang lalu (Rukmana, 1995). Dalam sistematika

tumbuh–tumbuhan, tanaman wortel mempunyai nama spesies Daucus carota L yang

termasuk dalam famili Apiaceae. (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963, 1965).

1. Nama daerah

Di Indonesisa wortel mempunyai nama daerah, diantaranya :

Sunda / Priangan : Bortol

Jawa : Wertel, wertol, bortol

Madura : Ortel (Rukmana, 1995).

2. Morfologi

Secara morfologi organ–organ penting yang terdapat pada tanaman wortel

adalah sebagai berikut :

a. Daun

Daun wortel termasuk majemuk, menyirip ganda atau tiga, dan berantai.

Daun memiliki anak–anak daun yang berbentuk lanset (garis–garis). Setiap tanaman

memiliki 5 – 7 tangkai daun yang berukuran agak panjang. Tangkai daun kaku dan

tebal dengan permukaan yang halus, sedangkan helaian daun lemas dan tipis.


(25)

b. Batang

Batang tanaman wortel sangat pendek sehingga hampir tidak tampak,

berbentuk bulat, tidak berkayu, agak keras, dan berdiameter kecil (sekitar 1 – 1,5

cm). Pada umumnya, batang berwarna hijau tua. Batang tanaman tidak bercabang,

namun ditumbuhi oleh tangkai–tangkai daun yang berukuran panjang, sehingga

kelihatan seperti cabang–cabang. Batang memiliki permukaan yang halus dan

mengalami penebalan pada tempat tumbuh tangkai–tangkai daun.

c. Akar

Tanaman wortel memiliki sistem perakaran tunggang dengan serabut akar.

Dalam pertumbuhannya, akar tunggang akan mengalami perubahan bentuk dan

fungsi menjadi menjadi tempat penyimpanan cadangan makanan. Bentuk akar akan

berubah menjadi besar dan bulat memanjang, hingga mencapai diameter 6 cm dan

memanjang samapai 30 cm, tergantung varietasnya. Akar tunggang yang telah

berubah bentuk dan fungsi inilah yang sering disebut atau dikenal sebagai umbi

wortel. Serabut akar menempel pada akar tunggang yang telah membesar (umbi),

tumbuh menyebar ke samping dan berwarna kekuning–kuningan.

d. Bunga

Bunga tanaman wortel tumbuh pada ujung tanaman, berbentuk paying

berganda, dan berwarna putih atau merah jambu agak pucat. Bunga memiliki tangkai

yang pendek dan tebal. Kuntum–kuntum bunga terletak pada bidang lengkung yang

sama. Bunga wortel yang telah mengalami penyerbukan akan menghasilkan buah


(26)

e. Umbi

Umbi wortel terbentuk dari akar tunggang yang berubah fungsi menjadi

tempat penyimpanan cadangan makanan. Kulit umbi tipis berwarna kuning

kemerahan atau jingga kekuningan, karena kandungan karoten yang tinggi. Umbi

wortel memiliki ukuran yang bervariasi, tergantung varietasnya (Cahyono, 2002).

3. Varietas

Jenis wortel berdasarkan bentuk umbi dikelompokan dalam 3, yaitu :

a. Tipe Imperator, yaitu golongan wortel yang bentuk umbinya bulat panjang dengan ujung runcing, hingga mirip bentuk kerucut.

b. Tipe Chantenay, yaitu golongan wortel yang umbinya bulat panjang dengan ujung tumpul dan tidak berakar kerucut.

c. Tipe Nantes, yaitu golongan wortel yang mempunyai bentuk umbi tipe peralihan

antara tipe Imperator dan Chantenay.

4. Ekosistem pertumbuhan

Tanaman wortel memerlukan lingkungan tumbuh yang suhu udaranya

dingin dan lembab, berkisar antara 15,6 – 21,1 °C. Suhu terlalu panas menyebabkan umbi kecil–kecil (abnormal) dan warnanya pucat dan kusam. Sebaliknya bila suhu

rendah maka umbi yang terbentuk menjadi panjang dan kecil (Rukmana, 1995).

5. Kandungan kimia

Menurut Dalimartha (2000) wortel segar mengandung air, serat, abu,

nutrisi anti kanker, gula alamiah (fruktosa, sukrosa, dekstrosa, laktosa, dan maltosa),

pektin, mineral (kalsium, natrium, magnesium, krom). Sebuah wortel ukuran sedang


(27)

B. Kulit

Kulit merupakan organ tubuh yang penting yang merupakan permukaan

luar organisme dan membatasi lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar.

Kulit berfungsi :

1. melindungi jaringan dari kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan

mekanik dan terhadap masuknya mikroorganisme,

2. mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan air

secukupnya tetap terjadi (perspiratio insensibilis),

3. bertindak sebagai pengatur panas dengan melakukan konstriksi dan dilatasi

pembuluh darah kulit serta pengeluaran keringat,

4. dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan

5. bertindak sebagai alat pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu

reseptor tekan, suhu, dan nyeri (Mutschler, 1991).

Gambar 1. Struktur kulit (Anonim, 2007a)

Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan jaringan

subkutis. Epidermis, lapisan terluar kulit, terdiri dari empat jenis sel: keratinosit,


(28)

menghasilkan pigmen; sel Langerhans, sel fagositik berperan dalam pengambilan

dan pengolahan antigen; dan sel Merkel, sel neuoroendokrin yang fungsinya belum

diketahui (Sander, 2003).

Keratinosit tersusun membentuk beberapa lapisan: lapisan basal, terdiri

dari sel–sel yang dapat membelah; lapisan spinosa, terdiri dari sel–sel polygonal

yang dihubungkan satu sama lain melalui jembatan antar sel (intercellular bridge);

lapisan granulosa, terdiri dari sel–sel yang agak gepeng dengan sitoplasma kebiruan

kaya granula keratohialin; dan akhirnya, lapisan permukaan keratinisasi, terdiri dari

lembaran–lembaran skuama yang tidak berinti. Lapisan epidermis ini mencerminkan

pematangan bertahap keratinosit, yang bergerak dari lapisan basal ke permukaan,

dalam tenggang waktu sekitar 30 hari. Perlu dicatat bahwa mitosis hanya

berlangsung dilapisan basal, bahwa dalam kulit normal (berlainan dengan epitel

skuamus mukosa) terdapat suatu lapisan granuler, dan bahwa skuamus pada lapisan

keratin tidak memiliki inti. Lapisan keratin yang berinti bersifat abnormal dan

disebut parakeratosis (Sander, 2003).

Epidermis dipisahkan dari dermis oleh sebuah membran basal, komponen

utama taut epidermodermis. Dermis terdiri dari jaringan ikat longgar dan pembuluh

– pembuluh darah halus, dan memiliki folikel rambut. Zona superficial membentuk

papilla dermis. Sedangkan dermis dari jaringan subkutis yang terutama terdiri dari jaringan lemak. Dermis juga mengandung kelenjar keringat, yang memiliki duktus

tersendiri, dan kelenjar Sebacea (sebaceosa), yang melekat ke folikel rambut


(29)

C. Inflamasi 1. Definisi

Inflamasi adalah respon atau reaksi protektif setempat yang ditimbulkan

oleh cedera atau kerusakan jaringan tubuh karena suatu rangsangan yang berfungsi

menghancurkan, mengurangi, baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera

(Mutschler, 1991). Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak

organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat

perbaikan jaringan (Mycek, Harvey, dan Champe, 1997).

2. Penyebab

Penyebab inflamasi banyak dan beraneka ragam. Pengaruh yang sifatnya

merusak sel sering disebut noksi. Noksius penyebab inflamasi dapat berupa kimia

(obat–obatan), fisika (panas atau dingin berlebihan, radiasi, benturan), serta infeksi

mikroorganisme atau parasit atau kombinasi ketiga agen tersebut (Mutschler, 1991).

Secara sederhana, proses terjadinya inflamasi dapat digambarkan sebagai

berikut :

Noksius

Kerusakan sel

Emigrasi leukosit Proliferasi

sel Pembebasan bahan mediator

Eksudasi Gangguan

sirkulasi lokal

Perangsangan reseptor nyeri

Pembengkaka Panas

Pemerahan Gangguan

fungsi

Nyeri


(30)

3. Gejala

Gejala reaksi radang yang dapat diamati adalah pemerahan (rubor), panas

meningkat (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi

(fungsio laesa). Gejala tersebut merupakan akibat dari gangguan aliran darah yang

terjadi akibat kerusakan jaringan dalam pembuluh pengalir terminal, gangguan

keluarnya plasma darah (eksudasi) ke ruangan ekstrasel akibat meningkatnya

ketebalan kapiler dan perangsangan resptor nyeri (Mutschler, 1986).

Rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriola yang

mensuplai darah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke

dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja

yang merenggang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini dinamakan

hiperemia (Price dan Wilson, 1995).

Calor atau panas, berjalan sejajar dengan kemerahan reaksi peradangan akut. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas sebab terdapat lebih banyak

darah yang disalurkan dari dalam tubuh ke permukaan tubuh yang terkena daripada

yang disalurkan ke daerah normal (Price dan Wilson, 1995).

Tumor atau pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi yang timbul akibat pengiriman cairan serta sel–sel dari sirkulasi darah ke jaringan radang

(Wilmana, 1995). Pembengkakan sebagai hasil adanya udema yang merupakan

suatu akumulasi cairan di dalam rongga ekstravaskuler yang merupakan bagian dari

cairan eksudat dan jumlah sedikit kelompok sel radang yang masuk dalam daerah


(31)

Dolor atau rasa sakit dari reaksi peradangan dapat ditimbulkan melalui berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion–ion tertentu dapat

merangsang ujung–ujung syaraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang

mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi dapat

menimbulkan rasa sakit (Price dan Wilson, 1995). Beberapa mediator kimiawi

termasuk baradikinin, prostaglandin, dan serotonin diketahui juga dapat

mengakibatkan rasa sakit (Underwood, 1999).

Fungtio laesa atau hilangnya fungsi merupakan konsekuensi dari suatu proses radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara

sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit,

pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan

(Underwood, 1999).

4. Respon inflamasi

Inflamasi biasanya dibagi dalam 3 fase: inflamasi akut, respon imun, dan

inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap cedera jaringan,

hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid serta pada umumnya didahului

oleh pembentukan respon imun (Katzung, 2001). Fase ini ditandai dengan adanya

vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Respon imun terjadi bila

sejumlah sel yang mampu menimbulkan kekebalan diaktifkan untuk merespon

organisme asing atau substansi antigenik yang terlepas selama respon terhadap

inflamasi akut serta kronis. Akibat dari respon imun bagi tuan rumah mungkin

menguntungkan, seperti menyebabkan organisme penyerang menjadi difagositosis


(32)

menjurus kepada inflamasi kronis. Inflamasi kronis melibatkan keluarnya sejumlah

mediator yang tidak menonjol dalam respon akut (Katzung, 2001).

Inflamasi kronis ialah inflamasi yang disebabkan jejas atau injuri yang

berlangsung beberapa minggu, bulan, atau bersifat menetap dan merupakan

kelanjutan dari radang akut. Disebut juga radang proliferatif karena selalu diikuti

dengan terjadinya proliferasi fibroblast (jaringan ikat). Radang kronis secara umum

dibagi menjadi 2 macam, yaitu : radang non spesifik dengan ciri–ciri memberikan

gambaran mikroskopik yang sama pada bermacam–mcam sebab keradangan.

Radang spesifik yang khas adalah radang granulomatik, yaitu radang kronik yang

ditandai dengan terbentuknya sel–sel epiteloid yang dikelilingi sel radang MN

dengan beberapa didapatkan giant cell. Perlu dibedakan antara granulasi dan

granuloma. Granulasi adalah jaringan yang terdiri dari sel–sel radang MN, jaringan

ikat fibrobalast, dan neovaskularisasi. Sedangkan granuloma adalah masa jaringan

granulasi yang membentuk tumor (Sander, 2003).

Ciri–ciri mikroskopik radang akut ialah infiltrasi sel–sel radang akut,

vasodilatasi dan oedema. Sedangkan ciri–ciri mikroskopik untuk radang kronis ialah

infiltrasi sel–sel radang kronis (MN), proloferasi jaringan fibroblast dan

neovaskularisasi (Sander, 2003).

5. Mekanisme

Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi,

fisik, atau mekanis maka enzim fosfolipase A2 diaktifkan untuk mengubah

fosfolipida yang terdapat disitu menjadi asam arakhidonat. Asam arakhidonat

dimetabolisme melalui dua jalur utama yaitu jalur siklooksigenase (COX) dan jalur


(33)

dapat dilihat pada gambar 3. Enzim siklooksigenase yang terlibat dalam reaksi ini

terdiri dari dua isoenzim, yakni siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2

(COX-2). Enzim siklooksigenase-1 terdapat di kebanyakan jaringan antara lain di

pelat-pelat darah, ginjal, dan saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). Enzim

siklooksigenase-1 bersifat konstitutif (bersifat pokok, selalu ada) dan cenderung

menjadi homeostasis dalam fungsinya (Katzung, 2001). Enzim siklooksigenase-2

dalam keadaan normal tidak terdapat di jaringan tapi dibentuk selama proses

peradangan (Tjay dan Rahardja, 2002).

Asam arakhidonat yang dikatalisis oleh siklooksigenase diubah menjadi

endoperoksida dan seterusnya menjadi zat prostaglandin. Peroksida melepaskan

radikal bebas oksigen yang juga memegang peranan timbulnya nyeri. Prostaglandin

yang dibentuk ada tiga kelompok yaitu prostaglandin (PG), prostasiklin (PGI2), dan

tromboksan (TXA2, TXB2). Prostaglandin (PG) dapat dibentuk oleh semua jaringan.

Yang terpenting adalah PGE2 dan PGF2 yang berdaya vasodilatasi dan meningkatkan

permeabilitas dinding pembuluh dan membran sinovial sehingga terjadi radang dan

nyeri. Prostasiklin terutama dibentuk di dinding pembuluh dan berdaya vasodilatasi.

Tromboksan khusus di bentuk dalam trombosit berdaya vasokonstriksi (antara lain

di jantung) (Tjay dan Rahardja, 2002).

Bagian lain dari arakhidonat diubah oleh enzim lipoksigenase menjadi zat

leukotrien (LT). LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4 dibentuk sebagai hasil dari

metabolisme ini. LTC4, LTD4, dan LTE4 terutama dibentuk di eosinofil (Tjay dan

Rahardja, 2002) dan menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler. LTB4

khusus disintesis di makrofag dan neutrofil alveolar dan bekerja kemotaksis yaitu


(34)

menjadi arakhidonat oleh enzim fosfolipase A2 juga diubah menjadi

lyso-glyseril-fosforilkolin yang kemudian diubah lagi menjadi Platelet Activating Factor (PAF).

Platelet Activating Factor menyebabkan agregasi dan pelepasan trombosit, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan adhesi leukosit, dan

kemotaksis leukosit.

Gangguan membran sel

Fosfolipida Fosfolipase A2

Asam arakhidonat Lyso-glyseril fosforilkolin

Antagonis PAF PAF lipoksigenase siklooksigenase leukotrien

LTB4 LTC4/D4/E

prostaglandin

tromboksan prostasiklin Penghambat lipoksigenase OAINS Rangsangan Glukokortikoid (menginduksi terbentuknya lipocortin) Vasodilatasi, kemotaksis inflamasi mengubah permeabilitas vaskular, konstriksi bronkus, meningkatkan sekresi

vasodilatasi inflamasi kemotaksis Bronkospasma, Kongesti, penyumbatan mukus fagosit, kemotaksis

Gambar 3. Skema dari mediator-mediator yang berasal dari asam arakhidonat dan titik tangkap kerja obat anti-inflamasi (Katzung, 2001; Rang, Dale, Ritter dan Moore,

2003)

Keterangan:

OAINS = Obat Anti Inflamasi Non Steroid PAF = Platelet Activating Factor LT = leukotrien

= titik tangkap kerja obat = enzim


(35)

6. Inflamasi kulit

Respon kulit terhadap jejas/injury dapat memiliki beberapa bentuk, yang

secara kasar mencerminkan beberapa aspek peradangan, gangguan sirkulasi, cedera,

dan nekrosis sel, regenerasi dan perbaikan, atau pembentukan tumor. Penyakit–

penyakit kulit yang terpenting adalah penyakit idiopatik, penyakit akibat iritan kimia

dan fisika dalam lingkungan (cedera eksogen), penyakit vaskuler, penyakit–penyakit

degeneratif, penyakit infeksi, penyakit imunologis, kelainan pigmentasi, neoplasma,

baik jinak maupun ganas (Sander, 2003).

Inflamasi kulit dapat dibedakan menjadi dua yaitu kronis dan akut.

Inflamasi akut dapat disebabkan oleh radiasi UV, radiasi pengion, alergen, bahan

kimia (sabun, deterjen, dll.). Inflamasi akut ini dapat sembuh dalam satu atau dua

minggu dengan disertai penghancuran sedikit jaringan (Anonim, 2006a).

7. Obat anti inflamasi

Obat–obat anti inflamasi secara umum dibagi menjadi dua golongan, yaitu

obat anti inflamasi golongan steroid dan golongan non steroid. Obat anti inflamasi

golongan kortikosteroid memiliki daya anti inflamasi kuat yang mekanismenya

sebagian berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan

menghambat fosfolipase, sedangkan obat anti inflamasi non steroid mekanismenya

berdasarkan atas rintangan sintesis prostaglandin dan leukotrein dengan


(36)

D. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas

glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang sangat

beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lipid;

efek terhadap kesimbangan air dan elektrolit; dan efek terhadap berbagai

pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Kerja obat ini sangat rumit dan

bergantung pada kondisi hormonal seseorang. Namun secara umum efeknya

dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme karbohidrat

(glukoneogenesis), dan efek antiinflamasi. Umumya, efek anti inflamasi sejalan

dengan efek terhadap metabolisme karbohidrat sehingga pengelompokan

kortikosteroid didasarkan atas potensi untuk menimbulkan retensi Na yakni efek

mineralokortikoid dan efek antiinflamasi yakni efek glukokortikoid (Anonim, 2000).

Kortikosteroid bekerja melalui interaksinya dengan protein reseptor yang

spesifik di organ target, untuk mengatur suatu ekspresi genetik yang selanjutnya

akan menghasilkan perubahan dalam sintesis protein lain. Protein yang terakhir

inilah yang akan mengubah fungsi selular sehingga diperoleh, misalnya, efek

glukoneogenesis, meningkatnya asam lemak, redistribusi lemak, meningkatnya

reabsorbsi Na, meningkatnya reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif, dan efek

antiinflamasi. Dengan berbagai khasiat inilah kortikosteroid digunakan sebagai

terapi pengganti hormon dan anti inflamasi (Anonim, 2000).

Kortikosteroid topikal dipakai untuk mengobati radang kulit yang bukan

disebabkan oleh infeksi. Khususnya penyakit eksim. Kortikosteroid menekan

berbagai komponen reaksi pada saat digunakan saja; kortikosteroid sama sekali tidak


(37)

kembali. Obat–obat ini diindikasikan untuk menghilangkan simpton penekanan

tanda – tanda penyakit bila cara lain yang kurang berbahaya tidak efektif.

Kortikosteroid topikal tidak berguna dalam pengobatan utikaria dan

dikontra-indikasikan rosacea dan kondisi ulseratif, karena kortikosteroid

memperburuk keadaan. Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk sembarang gatal

(di sini kerjanya dengan mengurangi radang) dan tidak direkomendasikan untuk

acne vulgaris (Anonim, 2000).

Secara umum kortikosteroid topikal yang paling kuat hanya dicadangkan

untuk dermatosis yang membandel seperti lupus erythemathosus discoid kronis,

lichen simplex kronis, hypertrophic lichen planus dan palmoplantar pustulosis. Dengan beberapa pengecualian, kortikosteroid yang kuat tidak boleh digunakan pada

wajah karena dapat menimbulkan kelainan mirip rosacea dan menyebabkan atrofi

kulit (Anonim, 2000).

Berbeda dengan golongan yang kuat dan sangat kuat, kelompok

kortikosteroid yang sedang dan lemah jarang dihubungkan dengan efek samping.

Semakin kuat sediaannya, semakin perlu untuk berhati – hati. Keduanya tergantung

dari daerah tubuh yang diobati dan lamanya pengobatan. Absorpsi terbanyak terjadi

dari kulit yang tipis, permukaan kasar serta daerah lipatan kulit dan absorpsi

ditingkatkan oleh oklusi (Anonim, 2000).

Hidrokortison asetat merupakan salah satu sediaan topikal golongan

kortikosteroid dengan potensi ringan. Sediaan ini diindikasikan dalam radang kulit

ringan seperti eksim, ruam popo, dan penyakit kulit yang disebabkan alergi. Sediaan

ini diberikan sekali atau dua kali sehari tidak perlu mengoleskan obat ini lebih sering


(38)

Gambar 4. Struktur hidrokortison asetat (Anonim, 2007b)

E. Beta Karoten

Karotenoid, yaitu tetraterpenoid C40, merupakan golongan pigmen yang

larut lemak yang ditemukan di tanaman. Pada tumbuhan, karotenoid mempunyai dua

fungsi yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna

dalam bunga dan buah. Dalam bunga karotenoid kebanyakan berupa zat warna

kuning sementara dalam buah dapat juga berupa zat warna jingga atau merah

(Harbone, 1984). Dari 600 jenis karotenoid yang ada di alam hanya 10 persen

diantaranya yang mempunyai aktivitas sebagai provitamin A diantaranya beta

karoten (Anonim, 2002).

Beta karoten merupakan salah satu dari 600 karotenoid yang ada di alam.

Beta karoten mempunyai dua peran, yaitu sebagai prekursor vitamin A dan

antioksidan. Beta karoten yang terdapat pada wortel, pepaya, sayur mayur yang

berwarna kemerahan dan minyak kelapa sawit berpotensi sebagai antioksidan

(Anonim, 2004). Beta karoten berkhasiat antioksidan spesifik untuk menetralkan

oksigen singlet reaktif dan mencegah pembentukan radikal peroxyl akibat


(39)

algae laut Dunaliella salina yang membentuknya dalam jumlah besar (Tjay dan

Rahardja, 2002).

Beta karoten mampu menangkap oksigen reaktif dan radikal peroksil (Paiva

dan Russel, 1999) lalu menetralkannya, menghambat oksidasi asam arakhidonat

menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas enzim lipoksigenase (Lieber dan

Leo, 1999). Apabila oksidasi asam arakidonat dapat dihambat maka tidak terbentuk

oksigen reaktif yang dapat menyebabkan inflamasi sehingga proses inflamasi dapat

dihambat. Penurunan aktivitas enzim lipoksigenase menyebabkan tidak

terbentuknya leukotrien yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya

peradangan.

Gambar 5. Struktur kimia all-trans β-karoten(Anonim, 1989)

F. Radiasi Ultraviolet

Sinar ultraviolet (UV) secara fisik mirip dengan cahaya tampak, hanya saja

sinar UV tidak memungkinkan untuk dilihat. Cahaya yang memungkinkan untuk

dilihat dikenal sebagai cahaya tampak dan terdiri dari warna – warna seperti dalam

pelangi. Daerah ultraviolet dimulai setelah akhir warna ungu dalam pelangi. Secara

ilmiah, radiasi UV merupakan radiasi elektromagnetik seperti halnya pada cahaya

tampak, sinyal radar dan sinyal pemancar radio (Anonim, 2007c).

Radiasi UV mempunyai panjang gelombang lebih pendek (frekuensi lebih


(40)

dibandingkan Sinar-X. Radiasi UV berada pada kisaran panjang gelombang 100 –

400 nm dan sering dibagi menjadi tiga berdasarkan daerah panjang gelombang,

yaitu:

• UVA (315-400 nm), sering disebut gelombang panjang “black light”

• UVB (280-315 nm), sering disebut gelombang medium “medium wave”

•UVC (100-280 nm), sering disebut gelombang pendek “short wave”

(Anonim, 2007c)

Gambar 6. Spektrum elektromagnetik (Anonim, 2007c)

Efek fotobiologi radiasi ultraviolet khususnya UVB sangat eritematogenik

dan karsinogenik, dan dapat merusak DNA, RNA, dan protein– protein lain dalam

sel kulit. Meskipun demikian radiasi UVA juga memegang peranan penting dalam

pembentukan eritema yaitu dengan fotosensitif akibat dari Reactive Oxygen Species

(ROS), seperti oksigen singlet (1O2), superoksida (O2•–), radikal hidroksil (OH•),

yang dapat merusak DNA dan membran sel dan dapat juga menyebabkan

karsinogenik. Oleh sebab itu UVA dan UVB merupakan komponen pencetus

terjadinya respon inflamasi akut yang nampak dalam bentuk eritema (Tedesco,


(41)

Sifat dari eritema yang terbentuk akibat radiasi UV bergantung pada

intensitas dan dosis dari panjang gelombang UV yang digunakan. Radiasi UVC

dapat menginduksi eritema dengan intensitas lemah dan akan hilang setelah

beberapa jam. Sedangkan eritema yang dihasilkan dari UVB dan UVA dapat

berlangsung selama beberapa hari. UVB memang lebih eritematogenik jika

dibandingkan dengan UVA (Tedesco, 1997).

Perubahan histopatologi yang terjadi di kulit setelah radiasi juga

bergantung pada panjang gelombang. Pada kasus UVB, perubahan tersebut dapat

didahului oleh adanya sel diskeratotik dan berkurangnya jumlah sel Langerhan.

Sedangkan untuk radiasi UVA perubahan histopatologi yang berarti terdapat pada

dermis dan bergantung pada sebagian besar fotosensitiser (Tedesco, 1997). Studi

terbaru oleh Lavker dkk (1995) pada manusia yang mengalami radiasi kronik dari

UV dengan dosis sub eritematogenik juga dapat menyebabkan sel diskeratotik dan

pengurangan sel Langerhans.

Respon inflamasi dari fotoinduksi merupakan hasil dari serangkaian reaksi

fotokimia yang terjadi setelah adanya absorbsi radiasi non ion oleh kromofor kulit.

Pada suhu kamar sebagian besar molekul berada dalam keadaan groundstate. Karena

adanya radiasi yang diabsorpsi memberikan energi yang membuat molekul tersebut

mengalami transisi elektronik sehingga tereksitasi. Di alam keadaan tereksitasi

tersebut dapat berupa singlet ataun triplet tergantung pada kromofor dan

lingkungannya keadaan tersebut berkisar dari picodetik sampai nanodetik untuk

singlet dan mikrodetik untuk triplet. Keadaan tersebut dapat dapat berlangsung

cukup lama untuk reaksi tertentu dan dalam keadaan seperti itu akan menghasilkan


(42)

dijumpai Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal oksigen inilah yang dapat merusak sel termasuk menginduksi terjadinya peroksidasi lemak bahkan sampai

kematian sel (Tedesco, 1997).

G. Radikal Bebas

Radikal bebas adalah senyawa dengan struktur molekul terdiri dari elektron

tak berpasangan atau ganjil. Elektron yang tidak memiliki pasangan ini bersifat

sangat reaktif, karena selalu berusaha untuk mencari pasangan elektron lainnya agar

menjadi bentuk yang stabil (Fessenden dan Fessenden, 1997). Mekanisme reaksi

radikal bebas paling tepat dibayangkan sebagai salah satu deret reaksi bertahap,

yaitu: (1) permulaan (inisiasi) ialah tahap awal pembentukan radikal – radikal bebas,

(2) perambatan (propagasi) ialah tahap pembentukan radikal bebas baru, (3)

pengakhiran (terminasi) ialah tahap yang memusnahkan radikal bebas atau

mengubah radikal bebas menjadi radikal bebas yang stabil dan tak reaktif (Anonim,

2006c).

Radikal bebas merupakan molekul–molekul tak stabil yang dihasilkan oleh

berbagai proses kimia normal tubuh, radiasi matahari (UV) atau kosmis, asap rokok,

dan pengaruh lingkungan lainnya. Di dalam tubuh mayoritas radikal bebas berasal

dari proses kimia komplek saat oksigen digunakan di dalam sel. Radikal bebas yang

secara kimia tidak lengkap tersebut dapat mencuri partikel dari molekul–molekul

yang lain. Kemudian dapat menghasilkan senyawa radikal lain dan membuat reaksi

berantai yang dapat merusak sel, dengan menyebabkan perubahan mendasar pada


(43)

Radikal bebas terpenting yang terdapat dalam tubuh adalah radikal derivat

oksigen atau sering disebut sebagai Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal-radikal

tersebut berada dalam bentuk triplet (3O2), singlet (1O2), superoksida (O2•), radikal

hidroksil (OH•), nitrit oksida (NO•), dll (Kurniani, 2001).

Proses perusakan organ tubuh oleh radikal bebas dapat dihambat dengan

jalan memberikan antioksidan (Tjay dan Rahardja, 2002). Antioksidan adalah

senyawa yang mampu menghambat oksidasi, atau juga disebut dengan inhibitor

radikal bebas (Fessenden dan Fessenden, 1997). Ketika suatu radikal bebas

mendapatkan pasangan elektronnya yang berasal dari suatu antioksidan, maka

radikal bebas tersebut tidak perlu mencari dan berikatan dengan sel–sel dalam tubuh.

Secara nyata, setelah antioksidan mendapatkan sebuah elektron dari suatu

radikal bebas, maka akan terbentuk radikal bebas yang baru. Tapi pada keadaan ini,

radikal bebas hasil pengikatan dengan antioksidan tidak bersifat reaktif, karena

antioksidan mampu mengubah elektron tersebut ke energi yang lebih rendah

(Anonim, 2004). Beberapa antioksidan yang terpenting antara lain : vitamin A,

vitamin E, vitamin C, likopen, katalase, superoxide-dismutase (SOD), glutation

peroksidase (GPx) serta asam lipogen (Tjay dan Rahardja, 2002).

H. Metode Uji Antiinflamasi

Sekitar 12 teknik pengujian telah diperkenalkan untuk mengevaluasi anti

inflamasi ini. Perbedaan diantara metode-metode pengujian tersebut terletak pada

cara menginduksi inflamasi pada hewan percobaan, yaitu induksi secara kimia

(menggunakan berbagai bahan kimia dan berbagai cara pemberian induktor), secara


(44)

Freund). Senyawa-senyawa kimia yang dapat menginduksi radang antara lain adalah formalin, egg white, dextran, mustard dan kaolin (Turner, 1965). Umumnya hewan

percobaan yang digunakan adalah tikus, walaupun demikian terdapat juga beberapa

metode yang menggunakan mencit atau marmut sebagai hewan percobaan (Anonim,

1991).Ada beberapa metode yang dapat dipakai untuk mengukur efek anti inflamasi

adalah sebagai berikut :

1. Uji eritema

Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan hewan uji tikus putih,

marmut, kelinci atau mencit putih. Iritan yang digunakan untuk membentuk eritema

antrara lain : minyak kroton, ester–ester phorbol terisolasi, asam arakhidonat dan etil

fenil propionat yang masing–masing dilarutkan dalam aseton. Iritan juga dapat

berupa radiasi sinar UV (Mutschler, 1986). Antagonis yang dipakai adalah ekstrak

tumbuhan dan sebagai antagonis pembanding dapat digunakan indometasin,

quersetin, hidrokortison, mepyramin, thianizole, atau propanolol.

Metode ini diawali dengan mengelompokkan hewan uji, tiap kelompok

terdiri dari 5-7ekor dan tiap kelompok mewakili tiap peringkat dosis. Ekstrak

tanaman atau bahan anti radang diberikan pada daerah kulit yang sudah dipersiapkan

sebelum diberikan iritan (pada daerah yang sama). Pelarut juga diuji untuk aktivitas

inflamasi atau anti inflamasi pada hewan uji sebelumnya.

Uji eritema merupakan percobaan yang sederhana dan mudah dilakukan.

Selanjutnya, penilaian eritema dilakukan dengan pengamatan pada daerah yang .

Jika terjadi eritema secara nyata diberi tanda ++, ringan +, dan jika tidak ada


(45)

2. Radang telapak kaki belakang

Percobaan ini menggunakan hewan uji tikus atau mencit. Bahan

penginflamasi yang digunakan adalah karagenin 1% dalam 0,9% natrium klorida

(paling sering digunakan) dengan volume pemberian 0,1ml (tikus) dan 0,05ml

(mencit), atau kapsaisin (1-10 g/kg dalam etanol 10% atau 10% tween 80 atau 0,9%

natrium klorida), atau dekstrim (0,1ml dari 6%w/v dalam gom akasia 2% w/v), atau

dapat juga menggunakan kaolin (0,1ml 5%). Sebagai bahan anti inflamasi

digunkakn ekstrak tanaman yang disuspensikan dalam 2-5 % gom akasia atau

pelarut lain yang sesuai, dan sebagai obat pembanding yaitu indometasin,

kortikosteroid, difenhidramin, atau metisergid (Williamson dkk, 1996).

3. Induksi arthritis

Hewan uji yang digunakan dalam metode ini adalah tikus atau mencit.

Hewan uji dibagi dalam kelompok masing-masing 5 ekor per dosis. Induksi

dilakukan menggunakan suspensi Mycobacterium tuberculosis yang sudah

dimatikan 0,5%w/v dalam parafin cair secara intradermal pada kaki belakang (0,05

ml untuk tikus; 0,025 ml untuk mencit). Obat anti inflamasi diberikan sehari

sebelum injeksi bahan penginduksi arthritis dan diteruskan sesuai yang diinginkan

sampai selama 28 hari, untuk memberikan informasi tentang perkembangan arthritis

dan perawatan obat secara kronis. Pengukuran dilakukan ketika pembengkakan

muncul (biasanya hari ke-13) menggunakan metode pemindahan volume seperti

pada uji udema. Ekstrak tanaman yang diuji disuspensikan dalam gom akasia atau


(46)

4. Tes granuloma

Hewan uji berupa tikus putih betina galur wistar diinjenksi bagian

punggung secara subkutan dengan 10-25 ml udara, kemudian 0,50 ml minyak kapas

sebagai senyawa yang sama. Pada hari kedua setelah pembentukan kantong, udara

dihampakan. Pada hari keempat, kantung dibuka dan cairan eksudat disedot,

selanjutnya diukur volume cairannya. Model percobaan ini lebih sensitif untuk uji

obat anti inflamasi steroid daripada nonsteroid (Turner, 1965).

Disamping metode uji anti inflamasi secara in vivo diatas juga terdapat

metode secara in vitro, diantaranya yaitu dengan metode kultur sel. Salah satu model

uji ini adalah uji in vitro inflamasi gastrointestinal. Uji ini terdiri dari mikroporus

beserta selapis sel epitelial yang kontak dengan medium nutrisi di dalam sumur

kultur. Uji ini dilakukan dengan menempatkan sel yang bertanggung jawab terhadap

sistem imun (PMN) beserta material uji pada medium. Selanjutnya dilakukan

penentuan terhadap perubahan pada penanda imunologis terutama sitokinin (TNF

dan agr) atau IL-8 sebagai respon dari material uji. Material ujinya dapat berasal dari

galur Lactobacillus atau Bifidobacterium atau material lain yang berupa probiotik

(Dianzani, Massimo, Margherita G, and Roberto, 2006).

I. Keterangan Empiris

Penelitian ini bersifat ekploratif untuk memperoleh bukti ilmiah efek anti

inflamasi ampas wortel yang dinyatakan dengan penurunan skala eritema dan

perubahan histopatologis pada kulit punggung kelinci yang diradangkan dengan


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang efek anti inflamasi ampas wortel terhadap kelinci putih

betina merupakan penelitian ekperimental murni dengan menggunakan rancangan

acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel utama

a. Variabel bebas : Lama masa pemberian ampas wortel

Dosis ampas wortel yang digunakan adalah lama masa pemberian ampas

wortel selama 1 – 6 hari. Ampas wortel yang diberikan seberat 2 gram, yang

ditempelkan selama 4 jam dalam daerah kulit kelinci seluas 4 cm2.

b. Variabel tergantung : Nilai skala eritema yang terbentuk.

Efek anti inflamasi ampas umbi wortel merupakan kemampuan yang dimiliki

ampas wortel dalam menurunkan pembentukan eritema, berdasarkan

pengurangan mean skor eritema setelah diradiasi dengan lampu TL UV A,

pada panjang gelombang 352 nm.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

1. Jenis kelamin kelinci : betina

2. Berat badan : 1,5 – 2 kg

3. Umur kelinci : 4 – 6 bulan


(48)

4. umur wortel : 3,5 bulan

5. varietas : Imperator

6. Pembuatan ampas wortel : pemerasan ampas wortel

b. Variabel pengacau tak terkendali yaitu keadaan patologis kelinci

C. Subyek dan Bahan Penelitian 1. Subyek penelitian

Subyek uji yang digunakan berupa daerah kulit punggung seluas 4 cm2 dari

kelinci putih betina, umur 4 – 6 bulan dengan berat badan berkisar antara 1,5 – 2 kg

diperoleh dari peternakan Bpk Suparno, Jl.Godean km 10, Sleman, Yogyakarta.

2. Bahan penelitian

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Wortel : Tipe imperator, umur 3,5 bulan, diperoleh dari perkebunan

penduduk daerah Kopeng, Magelang, Jawa Tengah.

b. Kontrol positif : Hidrokortison asetat (Bufacort ®), diperoleh Apotek Sahabat

Keluarga, Jl. Godean, km 7,5.

c. Alkohol 75% : diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

d. Formalin 10% : diperoleh dari Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi


(49)

D. Alat Penelitian

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Lampu TL UV 10 W, black light, Sankyo, λ 352 nm b. Alat gelas Pyrek Iwaki Glass, Japan

c. Neraca analitik Merk Mettler Toledo tipe AB 200

d. Kain tipis

e. Parutan wortel

f. Pisau cukur, gunting, silet Goal ®

g. Kapas, kasa steril, plester (perekat kasa)

h. Holder

i. Kamera Digital merk Canon

E. Tata Cara Penelitian 1. Penyiapan bahan uji

a. Pengumpulan dan determinasi tanaman

Tanaman wortel yang digunakan berasal dari tanaman perkebunan

sayur Kopeng, Magelang, Jawa Tengah. Determinasi tanaman dilakukan

menurut Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963, 1965) di laboratorium

Farmakognosi Fitokimia Univesitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Pembuatan ampas wortel

Umbi wortel yang masih segar dan tidak ada lukanya dicuci bersih.

Ambil 500 gram wortel kemudian diparut. Hasil parutan ditimbang dan

kemudian diperas dengan menggunakan kain tipis. Ampas yang baru dihasilkan


(50)

70%), diambil dan ditimbang 2 gram untuk kemudian diberikan selama 4 jam

dan disesuaikan pada lama masa pemberian yang telah ditentukan.

2. Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci putih betina,

usia 4 – 6 bulan, tidak sedang mengandung dan mempunyai berat 1,5 – 2 kg.

Sebelum digunakan, pada bagian punggung kelinci dicukur bulunya hingga bersih

sesuai daerah yang ditentukan yaitu 4 cm2 dan diadaptasikan dalam kandang secara

individual selama 10 hari. Selama adaptasi kelinci hanya diberi makan rumput dan

kangkung.

3. Penetapan eritema

Eritema yang akan diamati terlebih dahulu ditetapkan dengan memberi

nilai skala dan skor sesuai dengan warna merah yang terbentuk dan tingkat

keparahannya.

4. Orientasi penetapan lama penyinaran UV A

Sembilan daerah kulit punggung kelinci seluas @ 4 cm2, yang telah

dibersihkan bulunya, dibagi menjadi 3 kelompok. Masing–masing kelompok

diradiasi dengan lampu TL UV A, λ 352 nm dengan lama penyinaran masing-masing 3, 6, dan 10 jam. Eritema yang terbentuk diamati pada jam ke 0, 24, 48, dan

72 dan dicatat dalam bentuk skor sesuai dengan skala eritema yang telah ditetapkan.

Lama penyinaran UV A penginduksi eritema ditetapkan pada kelompok penyinaran


(51)

5. Orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

Lima daerah kulit punggung kelinci yang sudah disiapkan seperti

sebelumnya diradiasi dengan UV A selama 10 jam. Selanjutnya kelima daerah

tersebut di amati pada jam ke-0, 12, 24, 36, dan 48. Waktu pengamatan eritema

ditetapkan pada saat eritema maksimal terbentuk.

6. Orientasi penetapan waktu pemberian kontrol positif

Sebanyak sembilan daerah kulit uji @ 4 cm2 dibagi menjadi 3 kelompok.

Tiap kelompok diolesi tipis-tipis krim hidrokortison asetat (Bufacort®) dengan

variasi waktu pemberian 15, 30, dan 60 menit sebelum diradiasi dengan UV A

selama 10 jam. Selanjutnya eritema diamati pada jam ke-24. Dosis pemberian

kontrol positif yang dipilih adalah pemberian yang lebih efektif dalam menghambat

terbentuknya eritema.

7. Orientasi penetapan lama masa pemberian ampas wortel

Delapan belas daerah kulit punggung kelinci dibagi dalam 6 kelompok.

Tiap kelompok diberikan ampas wortel dengan cara ditempelkan menggunakan

plester dan kain kasa selama 4 jam. Lama masa pemberian yang digunakan adalah 1,

2, 3, 4, 5 dan 6 hari. Selanjutnya untuk setiap kelompok diradiasi UV A selama 10

jam dan diamati eritemanya pada jam ke-24.

8. Pengujian efek anti inflamasi

Empat puluh daerah uji kulit punggung kelinci yang sudah di adaptasikan,

di bagi menjadi 8 kelompok secara acak, tiap kelompok terdiri dari 5 daerah uji.

Kelompok I : Kontrol negatif, diradiasi lampu UV A, λ 352 selama 10 jam Kelompok II : Kontrol positif, diberi krim hidrokortison asetat (Bufacort®)


(52)

Kelompok III – VIII : Kelompok perlakuan, diberi 2 gram ampas wortel ditempel

selama 4 jam dengan lama masa pemberian 1 – 6 hari dan kemudian di radiasi lampu

UV A, λ 352.

Masing–masing kelompok diberi perlakuan, yang pertama membuat daerah

uji dengan mencukur bulu pada daerah punggung kelinci seluas 4 cm2 menggunakan

pisau cukur dan telah diadaptasikan. Bersihkan daerah dengan alkohol 75% sebelum

perlakuan. Selanjutnya tiap daerah yang sudah dibersihkan, untuk kelompok I tidak

diberikan apa–apa sedangkan untuk kelompok II diberikan krim hidrokortison asetat

sebagai kontrol positif. Sedangkan untuk kelompok IV – VIII diberikan ampas

wortel selama 4 jam dengan lama masa pemberian 1 – 6 hari. Setelah itu semua

kelompok diradiasi dengan lampu UV A, λ 352 selama 10 jam dan eritema yang muncul diamati pada jam ke-24.

9. Analisis data

Data mean skor eritema yang diperoleh dari kelompok perlakuan ampas

wortel dibandingkan dengan kontrolnya diuji dengan statistik non parametrik

Kruskal-Wallis untuk mengetahui perbedaan antar kelompok. Untuk mengetaui

perbedaan yang bermakna antar kelompok dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney U.

10.Pembuatan preparat histologi kulit

Pertama pada daerah kulit yang diuji dipotong ± 2 cm2, kemudian difiksasi dalam formalin 4%. Preparat dimasukkan kedalam larutan etanol secara bertingkat

berturut–turut etanol 50% selama 30 menit, etanol 90% selama 30 menit, etanol

mutlak selama 30 menit, masing–masing 2 kali perlakuan. Preparat kemudian


(53)

suhu 60°C. Setelah itu dipindahkan ke dalam parafin cair selama satu setengah jam dalam blok preparat. Setelah dicetak, preparat dipotong setebal 6 mikron dengan

mikrotom. Pita irisan ditempelkan pada gelas benda dengan perekat gliserin

albumin. Kemudian dimasukkan kedalam larutan etanol secara bergantian, berturut –

turut etanol 96%, 90%, 70%, dan 50%, masing – masing selama 5 – 10 menit, cuci

dengan air, kemudian baru dimasukkan ke dalam larutan hematoksilin-eosin (HE)

dalam alkohol selama 12 menit. Akhirnya preparat dikeringkan dalam suhu kamar

dan ditutup dengan kanada balsam serta obyek gelas. Proses pembuatan preparat

histologi dilakukan di Laboratoriun Anatomi dan Fisiologi Hewan, Fakultas Biologi,

Universitas Gadjah Mada.

11.Pemeriksaan histopatologi

Preparat sel kulit selanjutnya diperiksa histopatologinya dengan

menggunakan mikroskop. Hasil pemeriksaan histopatologi dan fotomikroskopis

merupakan data kualitatif yang kemudian diberian skor dan dianalisis dengan

statistik non parametrik Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney U. Pemeriksaan

histopatologi sel kulit dibimbing oleh Yohanes Sugiyanto, M.Si. di Laboratorium


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman uji merupakan langkah awal sebelum dilakukan

penelitian. Determinasi bertujuan untuk memastikan kebenaran bahan uji tanaman

yang akan digunakan dalam penelitian. Berdasarkan hasil determinasi yang

dilakukan maka dapat dipastikan bahwa spesies tanaman yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Daucus carota L.

B. Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan sebagai orientasi untuk mempersiapkan hal–hal

yang diperlukan pada pengambilan data sebenarnya di dalam perlakuan. Uji ini

bertujuan untuk memvalidasi metode uji anti inflamasi yang akan digunakan,

sehingga hasil yang diperoleh dalam perlakuan lebih akurat dan dapat diterima.

Dalam penelitian ini uji pendahuluan yang dilakukan meliputi: penetapan kriteria

skor eritema, penetapan lama waktu penyinaran UVA sebagai penginduksi eritema,

penetapan waktu pengamatan eritema, penetapan dosis kontrol positif krim

Bufacort®, dan penetapan lama masa pemberian ampas wortel.

Data yang diperoleh uji pendahuluan merupakan hasil skoring dari eritema

yang teramati pada daerah uji. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar

kelompok, data tersebut dianalasis secara statistik dengan uji Kruskal-Wallis dan

untuk mengetahui perbedaan tersebut bermakna atau tidak dilanjutkan dengan uji

Mann-Whitney


(55)

1. Penetapan eritema

Eritema merupakan salah satu gejala inflamasi yang ditandai dengan warna

merah pada kulit dan disebabkan oleh peningkatan aliran darah dalam kapiler

(Anonim, 2007a). Dalam penelitian ini terbentuknya eritema merupakan bagian

yang penting karena berperan sebagai variabel tergantung yang akan diamati. Untuk

menghindari subyektifitas yang berlebih dalam pengamatan maka diperlukan

penetapan nilai skala eritema dalam bentuk skor berdasarkan tingkat kemerahan.

Penetapan ini bertujuan agar hasil yang diperoleh lebih valid dan untuk selanjutnya

data hasil skoring eritema ini dapat dianalisis secara statistik. Hasil penetapan nilai

skor eritema dapat dilihat pada tabel I.

Tabel I. Penetapan nilai skor eritema

Tingkatan eritema Eritema Skor Keterangan Tidak ada eritema 0 0 Tidak ada warna merah Eritema ringan + 1 bercak merah

Eritema ++ 2 merah merata Eritema kuat +++ 3 merah kuat, kulit menebal dan kasar

2. Orientasi penetapan lama penyinaran UV A

Radiasi UV A merupakan salah satu inflamatogen yang dapat menginduksi

terjadinya eritema sebagai gejala terjadinya inflamasi (Tedesco, 1997). Dalam

penelitian ini sumber radiasi UV A yang digunakan berasal dari lampu TL UV 10

W, black light, Sankyo, λ 352 nm. Energi dari radiasi tersebut belum diketahui, sehingga untuk menetapkan dosisnya dilakukan dengan mencari lama waktu

penyinaran. Penetapan ini bertujuan untuk memilih dan menentukan lama


(56)

efektif dalam mengiduksi eritema kuat pada daerah uji. Variasi lama penyinaran

yang dipilih adalah 3, 6 , dan 10 jam. Hasil orientasi dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Hasil uji statistik orientasi penetapan lama penyinaran UV A

Uji Mann-Whitney Kel. Waktu

penyinaran UV A (Jam)

n Mean skor eritema

Uji Kruskal-Wallis

Pembanding Ket. I 3 3 0,33 III

II

Bb Btb II 6 3 1,33 III

I

Bb Btb III 10 3 3

Ada Perbedaan

I, II -

Bb Btb

Keterangan :

Kel. : kelompok Btb : Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) n : jumlah Bb : berbeda bermakna (p ≤ 0,05) Ket. : keterangan

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa mean skor eritema yang terbesar

terjadi pada penyinaran UV A selama 10 jam. Dalam uji Kruskal-Wallis diperoleh

nilai signifikansi sebesar 0,030 (p < 0,05), sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat

perbedaan mean skor eritema yang terbentuk dari ketiga kelompok tersebut.

Sedangkan dari uji Mann-Whitney juga menunjukkan bahwa eritema dengan

penyinaran selama 10 jam memiliki perbedaan yang bermakna dengan eritema pada

penyinaran 3 dan 6 jam. Jadi dapat diasumsikan bahwa penyinaran UV A selama 10

jam telah dapat memberikan efek yang maksimal dalam menimbulkan radang pada


(57)

0.33

1.33

3

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

3 jam 6 jam 10 jam

lama penyinaran

skala eritema

Gambar 7. Grafik orientasi penetapan lama penyinaran UVA

3. Orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

Orientasi ini bertujuan untuk mengetahui dan memilih waktu yang tepat

dalam mengamati eritema kuat akibat radiasi UV A. Pada orientasi penetapan lama

waktu penyinaran sebelumnya, secara sepintas terlihat bahwa waktu terbentuknya

eritema terjadi pada jam ke 24 setelah radiasi UV A, meskipun demikian masih

perlu dilakukan orientasi lagi dengan dosis yang sudah ditetapkan untuk benar–

benar memastikan waktu optimal terbentuknya eritema hasil penyinaran UV A agar

memudahkan dalam pengamatan. Waktu pengamatan yang dipilih dalam orientasi

ini adalah pada jam ke- 0, 12, 24, 36, 48 dan 72 setelah penyinaran UV A selama 10


(58)

Tabel III. Hasil uji statistik orientasi penetapan waktu pengamatan eritema Uji Mann-Whitney Kel. Waktu Pengamatan (jam ke-) n Mean skor eritema Uji

Kruskal-Wallis Pembanding Ket.

I 0 5 0 II, III, IV, V VI

Bb Btb II 12 5 2,2 I, V, VI

III, IV

Bb Btb III 24 5 2,6 I, IV, V, VI

II

Bb Btb IV 36 5 1,8 I, III, VI

II, V

Bb Btb V 48 5 1 I, II, III

IV, VI

Bb Btb VI 72 5 0,6

Ada Perbedaan

II, III, IV I, V

Bb Btb

Keterangan :

Kel. : kelompok Btb : berbeda tidak bermakna (p > 0,05) n : jumlah Bb : berbeda bermakna (p ≤ 0,05) Ket. : keterangan

Tabel diatas menunjukkan bahwa eritema paling kuat terbentuk pada jam

ke-24 dan disusul pada jam ke-12 setelah penyinaran sinar UV A selama 10 jam.

Secara statistik mean skor eritema kedua kelompok pengamatan tersebut

menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna, akan tetapi pada kelompok

pengamatan jam ke-24 jika dibandingkan dengan mean skor eritema kelompok

pengamatan lainnya (jam ke- 0, 36, 48 dan 72) memiliki perbedaan yang bermakna.

Oleh sebab itu waktu pengamatan eritema yang dipilih dalam penelitian ini adalah

pada jam ke-24 setelah penyinaran UV A, karena diasumsikan pada waktu

pengamatan tersebut, penyinaran UV A selama 10 jam telah memberikan efek


(59)

0

2.2

2.6

1.8

1

0.6 0

0.5 1 1.5 2 2.5 3

0 jam 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam 72 jam

waktu pengamatan (setelah)

skala eritema

Gambar 8. Grafik orientasi penetapan waktu pengamatan eritema

4. Orientasi waktu pemberian kontrol positif krim hidrokortison asetat

Hidrokortison asetat dalam krim Bufacort® yang digunakan sebagai

kontrol positif berlaku sebagai pembanding terhadap kelompok perlakuan.

Hidrokortison asetat merupakan salah satu obat inflamasi golongan steroid yang

dapat mengurangi eritema akibat radiasi UV (Richard, Kathryne, Henry, and Mary,

2004). Orientasi kontrol positif ini bertujuan untuk menentukan waktu pemberian

krim hidrokortison asetat yang efektif dalam mengurangi terbentuknya eritema

akibat radiasi UV A. Dosis umum pemakaian luar krim hidrokortison asetat pada

manusia adalah satu sampai dua kali sehari dioleskan tipis dan merata (Anonim,

2000). Menurut Williamson dkk (1996), pemberian kontrol positif dilakukan kurang

lebih 15 menit sebelum peradangan. Untuk itu dalam orientasi ini variasi waktu

pemberian kontrol positif yang dipilih adalah 15, 30 dan 60 menit sebelum diradiasi

UVA dan pemberian ini disesuaikan dengan dosis krim hidrokortison asetat topikal

Bufacort®. Hasil orientasi waktu pemberian kontrol positif disajikan pada tabel IV.


(60)

Tabel IV. Hasil uji statistik orientasi waktu pemberian krim hirdokortison asetat

Kel. Waktu pemberian krim Bufacort® (sebelum diradiasi)

n Mean skor eritema

Uji Kruskal-Wallis I 15 menit 3 0,33

II 30 menit 3 1 III 60 menit 3 1

Berbeda tidak bermakna (p=0,348)

Keterangan :

Kel. : kelompok n : jumlah Ket. : keterangan

Terlihat dari tabel tersebut bahwa pemberian krim hidrokortison asetat

Bufacort® 15 menit sebelum diradiasi UV A mempunyai mean skor eritema paling

kecil. Akan tetapi secara statistik perbedaan antara ketiga kelompok pemberian

kontrol positif tersebut tidak bermakna. Sehingga untuk perlakuan lebih lanjut dapat

menggunakan pemberian kontrol positif dengan waktu pemberian 15 menit sebelum

radiasi UV A.

0.33

1 1

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

15 menit 30 menit 60 menit

waktu pemberian (sebelum diradiasi)

skala eritema


(61)

5. Orientasi penetapan lama masa pemberian ampas wortel

Penentuan lama pemberian ampas wortel perlu dilakukan terlebih dahulu

untuk mencari waktu yang tepat agar ampas wortel sebagai bahan yang akan diuji

dapat bekerja sebagai anti inflamasi. Ketika terjadi aksi anti inflamasi dari ampas

wortel maka akan ditunjukkan dengan adanya penurunan mean skor eritema yang

teramati. Jika mean skor eritema kecil maka menunjukkan adanya kerja anti

inflamasi ampas wortel yang maksimal. Variasi waktu pemberian ampas wortel yang

digunakan adalah 1 sampai 6 hari.Data dan hasil orientasi ditunjukkan pada tabel V

Tabel V. Hasil uji statistik orientasi lama masa pemberian ampas wortel

Uji Mann-Whitney Kel. Lama masa

pemberian (hari) n Mean skor eritema Uji Kruskal-Wallis

Pembanding Ket. I 1 3 2,67 III

II, IV, V, VI

Bb Btb II 2 3 1,67 -

I, III, IV, V, VI Bb Btb III 3 3 0,67 I, VI

II, IV, V

Bb Btb IV 4 3 1,33 -

I, II, III, V, VI Bb Btb V 5 3 1,33 -

I, II, III, IV, VI Bb Btb VI 6 3 2

Ada Perbedaan

(p=0,046)

III I, II, IV, V, VI

Bb Btb

Keterangan :

Kel. : kelompok Btb : Berbeda tidak bermakna (p > 0,05) n : jumlah Bb : berbeda bermakna (p ≤ 0,05) Ket. : keterangan

Hasil uji statistik pada tabel tersebut menunjukkan bahwa dengan

bertambahnya lama masa pemberian ampas wortel memperlihatkan adanya

perubahan eritema pada daerah uji. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan


(62)

penurunan yang bermakna secara statistik terjadi pada pemberian ampas selama 3

hari. Pada pemberian hari ke-4 sampai ke-6 mengalami peningkatan mean skor

eritema jika dibandingkan dengan hari sebelumnya. Oleh sebab itu diputuskan untuk

menghentikan pemberian ampas wortel setelah hari ke-6. Grafik hasil orientasi

tersebut dapat dilihat pada gambar 10.

2.67

1.67

0.67

1.33 1.33 2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

skala eritema

1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari

lama masa pemberian

Gambar 10. Grafik orientasi lama masa pemberian ampas wortel

Dalam orientasi ini bahan uji yang digunakan adalah ampas wortel dengan

dosis 2 gram / 4cm2 yang diaplikasikan selama 4 jam. Dosis ampas wortel sebesar 2

gram digunakan karena memudahkan dalam pengaplikasiannya yang dilakukan

secara topikal, sedangkan waktu aplikasi selama 4 jam dipilih agar ampas wortel

tidak terlalu kering dan bisa mempertahankan kontak dengan daerah uji. Selain itu

juga pada dosis tersebut cukup sesuai dengan luas permukaan daerah uji, sehingga


(63)

C. Pengujian Efek Anti Inflamasi

Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan efek anti inflamasi ampas

wortel pada daerah uji kulit punggung kelinci yang ditandai dengan penurunan mean

skor eritema. Metode yang digunakan adalah metode uji eritema (Williamson,

Okpako, dan Evans, 1996) yang telah dimodifikasi. Alasan penggunaan metode ini

karena merupakan metode yang sederhana dari segi perlakuan, pengamatan,

pengukuran, pengolahan data serta metode ini sangat relevan terhadap bahan uji

ampas wortel yang diaplikasikan secara topikal. Walaupun metode ini agak

subyektif tapi tetap valid dan dapat diterima (Williamson, Okpako, dan Evans,

1996). Penginduksi eritema yang digunakan adalah UV A yang berasal dari lampu

TL UV 10 W, black light, Sankyo, λ 352 nm. Adanya radiasi UV A akan menimbulkan radikal bebas yang dapat merusak membran sel dan memacu

peroksidasi lemak sehingga terjadi peradangan dengan disertai pelepasan mediator–

mediator inflamasi seperti histamin, kinin, prostaglandin, leukotrien dan sebagainya,

yang dapat mengakibatkan vasodilatasi serta peningkatan aliran darah dan

terbentuklah eritema (Tedesco, 1997). Efek anti inflamasi yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah kemampuan ampas wortel untuk mengurangi mean skor eritema

pada daerah kulit uji akibat radiasi UV A.

Dosis pemberian ampas wortel yang digunakan dalam uji efek anti

inflamasi ini, didasarkan pada kajian tehadap lama masa pemberian, yaitu dengan

dosis 2 gram/4 cm2. Alasan menggunakan 2 gram ampas wortel karena

memudahkan dalam pengaplikasian dan berat tersebut juga cukup sesuai dengan

luas daerah uji yang digunakan. Sedangkan untuk peringkat dosis yang digunakan


(1)

Test Statisticsb

9.000 24.000 -.808 .419 .548a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 6.20 31.00

5 4.80 24.00

10 kelompok

pemberian 2 hari pemberian 3 hari Total

skor eritema

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

9.000 24.000 -.808 .419 .548a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 5.80 29.00

5 5.20 26.00

10 kelompok

pemberian 2 hari pemberian 4 hari Total

skor eritema


(2)

-.346 .729 .841a Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 4.40 22.00

5 6.60 33.00

10 kelompok

pemberian 2 hari pemberian 5 hari Total

skor eritema

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

7.000 22.000 -1.247 .212 .310a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 4.80 24.00

5 6.20 31.00

10 kelompok

pemberian 2 hari pemberian 6 hari Total

skor eritema


(3)

Test Statisticsb

9.000 24.000 -.775 .439 .548a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 5.00 25.00

5 6.00 30.00

10 kelompok

pemberian 3 hari pemberian 4 hari Total

skor eritema

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

10.000 25.000 -.600 .549 .690a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 3.60 18.00

5 7.40 37.00

10 kelompok

pemberian 3 hari pemberian 5 hari Total

skor eritema

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

3.000 18.000 -2.154 .031 .056a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]


(4)

5.500 20.500 -1.565 .118 .151a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 3.90 19.50

5 7.10 35.50

10 kelompok

pemberian 4 hari pemberian 5 hari Total

skor eritema

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

4.500 19.500 -1.897 .058 .095a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 4.40 22.00

5 6.60 33.00

10 kelompok

pemberian 4 hari pemberian 6 hari Total

skor eritema


(5)

Test Statisticsb

7.000 22.000 -1.247 .212 .310a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.

Ranks

5 5.80 29.00

5 5.20 26.00

10 kelompok

pemberian 5 hari pemberian 6 hari Total

skor eritema

N Mean Rank Sum of Ranks

Test Statisticsb

11.000 26.000 -.346 .729 .841a Mann-Whitney U

Wilcoxon W Z

Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

skor eritema

Not corrected for ties. a.

Grouping Variable: kelompok b.


(6)

Ampas Wortel (Daucus carota L.) pada Kelinci

Putih Betina

mempunyai nama lengkap Ignatius

Yuda Kristama, merupakan putra sulung dari

pasangan Hermes Subarjan dan M.G. Ani Susanti.

Penulis dilahirkan di Sleman pada tanggal 25

Oktober 1984. Pendidikan formal yang telah

ditempuh oleh penulis yaitu TK Pusposari II

Sidomoyo Godean pada tahun 1989/1990, kemudian

melanjutkan pendidikan tingkat dasar di SDN

Sidomoyo Godean pada tahun 1990-1996.

Pendidikan tingkat menengah pertama ditempuh penulis di SLTP Negeri 6

Yogyakarta pada tahun 1996-1999, dan dilanjutkan pendidikan tingkat menengah

atas di SMA Kolese Debritto pada tahun 1999-2002. Penulis kemudian melanjutkan

pendidikan di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta pada tahun

2002. Selama masa kuliah, penulis pernah tergabung sebagai anggota UKF Sepak

Bola, Ketua Mudika St. Aloysius Gonzaga, Paroki Gamping dan aktif dalam

organisasi serta kepanitiaan di tingkat Fakultas dan Universitas.