BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tahun 1805, Inggris memberlakukan Undang-undang yang membenarkan atau mengakui hak suami untuk menjual istrinya. Masyarakat Romawi Kuno
menempatkan perempuan di bawah kekuasaan bapak atau saudara laki-laki, dan setelah menikah di bawah kekuasaan suami. Demikian pula masyarakat Hindu
mengatur hak hidup perempuan sesuai dengan umur suaminya. Artinya jika suami meninggal maka istri pun harus mengakhiri hidupnya Oedjoe dalam
http:www.indomedia.composkup20060308edisi080803pin1.htm, 2006. Kondisi yang sudah berjalan berabad-abad lamanya ini menunjukkan bahwa perempuan hidup
dalam budaya patriarki. Budaya patriarki adalah budaya yang dikonstruksi berdasarkan dominasi dan sub ordinasi yang menempatkan pandangan laki-laki
menjadi suatu
hirarki dan
norma Manupil
dalam http:www.hariankomentar.comarsiparsip_2007mar_08lkOpin001.html, 2007.
Wujud dari budaya patriarki yang umum terjadi di masyarakat adalah nama belakang keluarga ayah yang disandang anaknya. Fakta di Bali, jika seorang
perempuan dari kasta yang rendah menikah dengan pria yang berkasta jauh diatasnya dan mereka mempunyai anak, maka si anak tidak diperbolehkan makan sepiring
dengan ibunya. Sang ibu pun wajib berkomunikasi dengan anaknya dalam bahasa Bali halus Maharatni, 2003.
Budaya patriarki menempatkan kaum lelaki di posisi yang dominan atau superior, sehingga mau tidak mau kedudukan perempuan yang memiliki hubungan
interpersonal dengannya menjadi inferior atau posisinya lebih rendah. Adanya internalisasi dalam budaya yang sudah berkembang berabad-abad lamanya ini
memberi kesempatan pada lelaki untuk menguasai hidup perempuan yang menjalin relasi
dengannya istri,
adik. Umar
dalam http:www.sistersinislam.org.myBMKudrat.pdf,
2006 mengatakan
bahwa internalisasi budaya patriarki sudah berada dalam fase unconscious seseorang
sehingga seakan-akan itu adalah sebuah kodrat berasal dari bahasa Arab qudrah yang artinya ditentukan Tuhan. Internalisasi budaya dan kepatuhan terhadap ajaran agama
semakin memperlemah posisi atau kedudukan perempuan yang hidup dalam budaya patriarki.
Saat budaya patriarki begitu mengendap dalam tatanan masyarakat, maka dominasi lelaki begitu merajai setiap aspek lapisan dalam kubu inferior perempuan
serta menghalangi segala upaya dalam penyerataan gender. Perempuan tidak lagi punya kuasa untuk menyalurkan ide kreatifnya, adu argumentasi dengan kaum lelaki
untuk mencari kebenaran, menyatakan opini ataupun sanggahan. Perempuan tidak lagi punya bargaining power. Dominasi kaum lelaki secara tidak langsung mengikis
kekuasaan atau kemampuan perempuan dan menyamarkan haknya akan sebuah kehidupan yang setara dan seimbang.
Inferioritas perempuan memicu munculnya berbagai tindakan diskriminatif. Karl Mannheim http:matakala.wordpress.comcategoryessay, 2007 membedakan mata
pencaharian antara perempuan dan lelaki, dimana laki-laki bekerja sebagai prajurit dan pemburu yang dianggap sebagai pekerjaan mulia, sedangkan perempuan bekerja
di bidang pertanian, yang dianggap sebagai pekerjaan rendahan. Dalam bidang politik, partisipasi perempuan di lembaga eksekutif pemerintah Indonesia tergolong
rendah yakni dibawah 20 dari 30 kuota yang disediakan. Data hasil pemilu legislatif 2004 mengungkapkan hanya 11,09 jumlah perempuan anggota legislatif
dengan spesifikasi bahwa dari 17 parpol yang memiliki kursi di DPR, hanya 9 parpol yang memiliki wakil perempuan http:www.kalteng.go.idFORYOU00000023.htm,
2006. Masih banyaknya perempuan pekerja yang rentan terhadap PHK, tidak tersentuh pendidikan, pelatihan dan promosi, rentan pelecehan seksual, pembagian
upah, tunjangan keluarga dan kesehatan yang tidak seimbang, serta minimnya kebebasan hak reproduksi, cuti haid dan melahirkan, merupakan bentuk diskriminasi
perempuan di tempat kerja http:www.lbh-apik.or.idkpkb-profil.htm, 2006. Diskriminasi perempuan merupakan implikasi dari anggapan masyarakat akan
kedudukan perempuan yang rendah, menilai bahwa mereka lemah dan tidak berdaya. Perempuan dianggap remeh dan dianggap tidak memiliki power untuk melakukan
apapun. Ketiadaan power ini menghilangkan hak perempuan untuk ikut serta dalam proses penentuan dan pengambilan keputusan dalam bidang apapun. Suara perempuan
diabaikan, bahkan sengaja dilupakan karena ada kepentingan pribadi, kelompok dan golongan dari kaum lelaki. Mereka seakan-akan tidak rela memberi kesempatan pada
perempuan untuk mengambil keputusan di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif
hqweb01.bkkbn.go.idhqwebpikasartikel210403.htm, 2003.
Kondisi di atas mencerminkan realita umum masyarakat perempuan saat ini. Bisa dibayangkan betapa besar dampaknya jika yang mengalaminya adalah perempuan
atau dalam hal ini istri yang tidak bekerja karena mereka adalah orang-orang yang sangat tergantung pada suami, terutama dalam hal ekonomi.
Istri yang tidak bekerja bukan hanya bergantung pada suami, tetapi juga terbiasa atau terkondisi untuk tidak mengekspresikan diri dan menyatakan eksistensinya di
tempat lain. Kondisi tersebut akan semakin memperlebar jurang kedudukan antara lelaki dan perempuan. Ini mengakibatkan proses kerjasama antara suami dan istri
tidak akan lancar atau berjalan dengan baik, sehingga sebagian besar beban akan jatuh ke pundak suami karena ketergantungan yang sangat besar dari istri yang tidak
bekerja. Perempuan selain berperan sebagai seorang istri, juga berperan sebagai ibu. Istri
yang tidak bekerja tentunya akan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah mengurus anak dan kebutuhan rumah tangga. Secara langsung kesempatan untuk
berinteraksi dengan anak juga akan lebih besar dibandingkan dengan suami ayah. Kuantitas waktu yang sedemikian tinggi juga membuka kesempatan yang lebih luas
bagi seorang istri yang tidak bekerja untuk lebih mengenal kepribadian, mengetahui kebutuhan dan permasalahan serta mendidik anaknya, maka bisa dikatakan bahwa
perempuan sebagai ibu punya akses yang sangat besar terhadap perkembangan dan pendidikan anak.
Ditambahkan pula, istri yang mengurus rumah tangga sering disebut sebagai “ratu rumah tangga” dan merupakan “pekerjaan” mulia. Sebutan “ratu” seharusnya
berimplikasi pada peran perempuan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga, namun faktanya, bukan perempuan yang lebih berperan dalam
pengambilan keputusan penting, melainkan laki-laki http:www.rahima.or.idSR12- 04Fokus.htm.
Istri yang tidak bekerja memiliki peran yang besar terhadap anak. Peran tersebut tidak akan teraplikasi dengan baik jika istri tidak diberi kesempatan untuk
menyuarakan pendapat dalam pengambilan keputusan bargaining power.
Pola yang sama berlaku dalam hal ekonomi rumah tangga. Meski istri dengan status tidak bekerja itu yang mengatur jalannya roda kehidupan rumah tangga,
menarik pula untuk diketahui apakah istri tersebut punya peran dalam memutuskan pengalokasian dana penghasilan keuangan keluarga.
Saat lelaki dan perempuan memutuskan untuk hidup bersama dan berkeluarga, ada pembagian tugas dan tanggung jawab. Artinya, mereka harus bekerja sama agar
pernikahan atau rumah tangga tersebut berjalan dengan baik dan bahagia, termasuk diantaranya dalam hal pengambilan keputusan.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui apakah istri yang tidak bekerja, yang tergantung pada suami dan hidup dalam budaya patriarki, mempunyai
peran dalam pengambilan keputusan, terutama dalam hal pendidikan anak dan ekonomi keluarga.
B. PERUMUSAN MASALAH