31. Kota Sibolga 32. Kota Tanjungbalai
33. Kota Tebing Tinggi Dari 25 kabupaten, 8 Kota dahulu kotamadya tersebut terdapat 325 Kecamatan dan 5.456
kelurahandesa.
B. Otonomi Daerah
Sistem otonomi luas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan pilar utama bagi negara
kesatuan, atau terpeliharanya integrasi nasional. Secara logis hal itu disebabkan bahwa daerah merupakan benteng negara yang paling kokoh. Oleh karenanya, penguatan nasional berbasis
daerah yang tentunya ditujukan demi terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran, dan kemandirian harus diperkuat melalui otonomi yang luas.
4
Dengan otonomi daerah, maka akan tercipta mekanisme dimana daerah dapat mewujudkan sejumlah fungsi politik pemerintahan, hubungan kekuasaan menjadi lebih adil,
sehingga dengan demikian daerah akan memiliki tingkat kepercayaan dan akhirnya akan terintegrasi ke dalam pemerintahan nasional.
5
Namun demikian dalam rangka implementasi paket otonomi daerah tidaklah semudah yang dibayangkan. Paket otonomi daerah dapat berperan
sebagai pengaturan integrasi nasional, sepanjang hal itu diupayakan dengan tepat dan benar. Untuk menemukan pengertian tentang otonomi daerah sebagai sarana membangun
kualitas kemandirian zelfstandingheid yang integral, demikian diungkapkan Solly Lubis, yaitu :
6
“Dengan memberikan otonomi daerah, akan tumbuh prakarsa dan kreativitas daerah, meningkatkan partisipasi dan demokrasi, meningkatkan efektivitas pembangunan dan
semakin kuatnya integrasi nasional, dan pada akhirnya akan terhindar ketidakadilan selama ini dimana daerah-daerah terlalu tergantung pada putusan dan sistem subsidi dari
pusat”.
4
M. Ryaas Rasyid, Op.Cit, hal. 285.
5
Bambang Indra Gunawan, Peranan Bawasda Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Fakultas Hukum USU, Medan, 2006, hal. 2.
6
M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
Otonomi dan pengawasan memiliki hubungan logis yang sulit dipisahkan. Antaranya keduanya memiliki konsekuensi yang dapat saling mengukuhkan atau sebaliknya, apabila
dijalankan dengan tanpa mempertimbangkan realitas dan manfaatnya bagi penguatan ekonomi menyebabkan kebebasan yang tidak terarah.
Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa sistem pengawasan juga menentukan kemandirian suatu otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan
otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik, baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya.
7
Tegasnya lagi, semakin banyak dan semakin intensifnya pengawasan, maka semakin semput pula kemandirian daerah. Begitu juga sebaliknya, tidak boleh ada sistem otonomi yang
menaifkan pengawasan. Hal tersebut justru akan menyebabkan munculnya sistem berotonomi yang mengabaikan kepentingan nasional.
8
Seiring dengan bergulirnya arus reformasi yang menginginkan adanya perbaikan di segala bidang kehidupan bangsa dan negara Indonesia, maka salah satu substansi dari tuntutan reformasi
adalah kebutuhan dan desakan untuk melakukan perubahan atau sistem pemerintahan yang sentralistis kepada pemberian kewenangan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah.
Alasan mengadakan pemerintah daerah semata-mata disebabkan karena banyaknya urusan-urusan pemerintah pusat mengurusi kepentingan daerah. Hal ini sebagaimana dikatakan
oleh Boedi Soesetyo yaitu :
9
“Bahwa alasan mengadakan pemerintahan daerah adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Hal yang dianggap doelmating untuk diurus oleh pemerintah
setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat diurus oleh pemerintah pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat yang bersangkutan. Dengan demikian,
maka persoalan desentralisasi adalah persoalan teknik belaka yaitu teknik pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil yang sebaik-
baiknya.”
7
Bagir Manan,Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 39.
8
Ibid
9
Boedi Soesetyo, dalam Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Gunung Agung, Jakarta, 1989, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
TAP MPR
Nomor IVMPR2000
tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, telah menggariskan bahwa kebijakan otonomi diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :
1. Peningkatan pelayanan publik dan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah;
2. Kesatuan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan;
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah; dan
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
10
Keharusan pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dilihat ketentuan dalam pasal 18 dan pasal 18 A amandemen ke empat UUD 1945, dalam
ketentuan tersebut termaktub keharusan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Artinya, terdapat keharusan untuk menerapkan asas
desentralisasi. Sebab, asas tersebut memberikan indikasi positif bagi penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah.
Sebagaimana disebutkan Amrah Muslimin, “Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dan daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri”.
11
Sedangkan menurut Riant Nugroho D. Mengartikan desentralisasi sebagai prinsip pendelegasian, prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of
control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama.
12
Pemerintah daerah merupakan sub sistem dari pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala tujuan dan cita-cita yang diamanatkan oleh pembukaan UUD
1945 adalah juga merupakan cita-cita dan tujuan pemerintah daerah yang harus dicapai. Dengan dilaksanakannya asas desentralisasi, pemerintah daerah menjadi pemegang kendali bagi
pelaksanaan pemerintah di daerah.
10
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan-Ketetapan MPR Pada Sidang Tahunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 23.
11
Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni Bandung, 1982, hal. 4.
12
Riant Nugroho D., Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa revolusi Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di IndonesiaI, PT. Alex Media Komputindo, Jakarta
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah penekanan terhadap aspek demokrasi, keadilan,
pemerataaan dan partisipasi masyarakat serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai wujud dari penekanan berbagai
prinsip di atas, telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara sendiri, luas, nyata, dan bertanggungjawab.
Paradigma baru desentralisasi membuka tantangan besar bagi seluruh bangsa Indonesia, namun apabila pemahaman terhadap wawasan kebangsaan keliru, akan menimbulkan tuntutan-
tuntutan yang bersifat memperlemah kesehatan dan persatuan bangsa, seperti tuntutan atas pengalihan sumber-sumber pendapatan negara, bahkan tuntutan bentuk pemisahan diri daerah dari
negara di luar sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan pada hakekatnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip manajemen modern, dimana fungsi-fungsi
manajemen senantiasa berjalan secara simultan, proporsional dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi.
Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonomi. Menurut Hans Kelsen desentralisasi lebih luas yaitu sebagai lingkungan tempat juga
lingkungan orang suatu kaidah hukum yang berlaku sah. Oleh karena itu desentralisasi mengandung teritorial dan fungsional. Lebih spesifik Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dalam pasal 1 ayat 7 dijelaskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan
daerah otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi, pasal ini menunjukkan bahwa otonomi merupakan aplikasi dari azas desentralisasi tersebut.
Menurut Bagir Manan
13
, otonom adalah hak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu di bidang administrasi negara yang merupakan urusan rumah tangga
daerah. Hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri menimbulkan adanya otonom atau dikenal
13
Bagir Manan, Op.Cit, hal. 40
Universitas Sumatera Utara
dengan daerah otonom. Sedangkan secara tegas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Seiring dengan pendapat-pendapat di atas, Mohammad Hatta menyebutkan :
14
“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri melainkan juga pada tiap tempat di kota, didesa, dan di
daerah. Tiap-tiap golongan persekutuan itu mempunyai badan perwakilan sendiri, seperti gemeenterraad, Provincial Road dan lain-lain, dengan keadaan demikian tiap-tiap atau golongan
mendapat otonom”. Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam Negara kesatuan yang diikuti dengan prinsip
demokrasi, penyerahan kewenangan pusat kepada daerah merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Dengan desentralisasi pemerintah akan dapat memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda antara satu dengan daerah lain. Tujuan utama pemberian otonomi luas kepada daerah adalah untuk lebih
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan menumbuhkan kemandirian daerah untuk mengelola serta mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam
pelaksanaan otonomi daerah adalah “Terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab” yang berarti bahwa pemberi otonomi daerah didasarkan pada faktor-faktor
perhitungan dan tindakan atau kebijaksaan yang benar-benar menjamin daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Sehubungan dengan paparan di atas, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan yang sangat penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah disahkannya pengaturan mengenai pemerintahan daerah dengan pemerintahan desa. Apabila sebelumnya pemerintahan daerah dan pemerintahan
desa diatur dalam dua paket undang-undang yang berbeda, maka dalam Undang-Undang Nomor
14
Mohammad Hatta, dalam Bagir Manan, Op.Cit, hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
32 Tahun 2004, selain mengatur tentang pemerintahan desa sehingga terjadinya penghematan produk hukum serta pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah.
C. Pengawasan Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah