BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kosmologi Masyarakat
Kosmologi masyarakat Kabupaten Labuhanbatu Utara secara umum dapat digambarkan sebagai Tanah Bertuah, masyarakat Multi Etnis yang beradab,
rukun dan mufakat menjunjung tinggi Adat Istiadat dan Budaya Melayu, taat beragama dan menjujung tinggi nilai kemanusian.
2.1.1 Sejarah Singkat Kesultanan Kualuh – Leidong
Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, Kualuh dan Panai mempunyai hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah
dengan adiknya sendiri mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution. Batara Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut
menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang
bernama Siti Onggu. Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar
putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil.
Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata
mempunyai masalah dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba
terbunuh, kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu. Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra
Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai
mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam
pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus
menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil
Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak. Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam,
Haro-haro bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi
dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan
Bahu Kiri. Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu
Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam 1771. Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini,
Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh
Asahan sendiri.
Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam
kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang
bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kawin daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja
di Bedagai. Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa
mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin putra Sultan Ali dengan Raja Ishak putra Sultan Musa. Situasi ini ditemui John Anderson ketika
ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan
Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong. Maka dinobatkanlah Raja Ishak menjadi Sultan dinegeri Kualuh bergelar yang dipertuan
Muda, pada tahun 1829. Ketika yang dipertuan Muda Ishak mangkat Baginda meninggalkan putra
dan putri. Untuk menggantikan marhum yang dipertuan Muda Ishak, dinobatkanlah Tengku Ni’mat menjadi Sultan dinegeri Kualuh dan Leidong.
Setelah Tengku Ni’matsyah menikah dengan permaisuri dan mempunyai seorang putra. Dinamai Tengku Biyong. Sesudah Tengku Biyong berumur lebih kurang 6
tahun, berangkatlah Baginda dan permaisuri membawa anakanda Baginda ke Mekkah. Selain dari pada meyempurnakan rukun Islam yang kelima. Baginda
menyampaikan juga nazar dan kaul untuk putranya.
Sejak itu Baginda bergelar Tengku Alhaji Abdullahsyah dan putranya Tengku Biyong bergelar Tengku Alhaji Muhammadsyah. Setelah selesai dari pada
mengerjakan haji kembalilah Baginda dan Permaisuri serta putranya ke Kualuh. Tiada lama kemudian dari pada itu, mangkatlah Permaisuri Tengku Tengah,
dimakamkan di Singgasana. Sesudah Permaisuri mangkat, Baginda beristri pula dua orang. Dari kedua istri itu Baginda memperoleh empat orang putra. Tak lama
kemudian yang dipertuan Tengku Alhaji Abdullahsyah mangkat pada 29 hari bulan Rabi’ul akhir 1299 H 1882 M dimakamkan di Kampung Mesjid. Ketika
ayahandanya mangkat, Tengku Biyong bergelar Tengku Alhaji Muhammadsyah, putra mahkota dari kerajaan Kualuh dan Leidong, masih muda, karena itu belum
ditetapkan Governement Hindia Belanda menjadi Raja. Setelah diadakan musyawarah dengan orang – orang besar negeri Kualuh
serta menimbang menurut adat negeri maka diangkatlah Tengku Uda Negeri Kualuh untuk menggantikan sementara Tengku Alhaji Muhammadsyah sembari
menunggunya setelah dewasa. Setelah dewasa, sesuai dengan hasil musyawarah orang – orang besar Negeri Kualuh, maka digantikanlah tahta kerajaan oleh putra
mahkota yang dipertuan Tengku Alhaji Muhammadsyah. saat Baginda sudah dinobatkan menjadi Raja Kualuh, baginda belum mempunyai Permaisuri. Di
dalam suatu musyawarah orang – orang besar di negeri Kualuh mempunyai suatu ketetapan untuk meminang putri dari Tengku Pangeran Nara Deli Tengku
Sulung Laut Bedagai. Setelah selesai perkawinan Agung itu kembalilah Baginda membawa Tengku Zubaidah dengan segala pengiringnya ke Kualuh. Seraya
ditabalkan menjadi Permaisuri dan diberi gelaran Tengku Puan.
Dikampung Mesjid sebelumnya kedudukan ke Sultanan pindah ke Tanjung Pasir, dari Tengku Puan yang dipertuan Alhaji Muhammadsyah memperoleh putra
– putri, yaitu : Tengku Randlah kawin dengan Tengku Mahsuri dari Sultan Mahmud Langkat. Tengku Mansyursyah, Tengku Besar Negeri Kualuh atau putra
Mahkota. Tengku Kamilah kawin dengan Tengku Sahmenan, Putra dari Tengku Alang Yahya, Gep. Regent van Asahan. Tengku Salmah kawin dengan Tengku
Ibrahim, Tengku Seri Maharaja Binjei. Dan yang terakhir adalah Tengku Darmansyah. Di masa kepemimpinan Tengku Alhaji Muhammadsyah lah ada
berkembang cerita tentang sosok Tengku Raden. Putra yang tertua dari yang dipertuan, ialah Tengku Mansyursyah. Setelah
Tengku Mansyursyah tamat di H.I.S Tanjung Balai, beliau pergi ke Betawi melanjutkan pelajaran. Dengan besluit Gubernement tgl 10 Mei 1916 No. 25
Tengku Mansyursyah diangkat menjadi Tengku Besar. Tengku Mansyursyah merupakan Raja terakhir di Kerajaan Kualuh dan Leidong.
2.1.2 Sistem Sosial Budaya