Bidang Hukum

A. Bidang Hukum

Lahirnya berbagai institusi atau lembaga-lembaga hukum seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lainnya belum membawa perubahan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Kejahatan dan pelanggaran hukum tetap terjadi di negeri ini dengan menggunakan modus yang semakin canggih dan beradaptasi dengan instrumen-instrumen hukum baru. Perubahan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (pasal 3. Ayat 1) belum mampu menunjukan kekuatan hukum sebagai panglima dan pijakan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan masih tetap mewarnai perilaku elit pemerintahan dan elit politik. Korupsi, manipulasi birokrasi, tindakan represif TNI-Polri atas aspirasi rakyat, sengketa tanah rakyat, dan lain sebagainya nyatanya masih mendominasi dan terpelihara di negeri ini. Indonesia sudah memiliki beragam regulasi, namun persoalan hukum di Indonesia masih menumpuk. Berbagai permasalahan hukum muncul dalam ruang-ruang kehidupan. Masalah hukum muncul karena tidak adanya pengawasan yang efektif, baik oleh parlemen, pengadilan, pengawasan internal pemerintah dan komisi negara independen. Di sisi lain pastisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan masih minim dalam setiap proses, baik dari akses mendapatkan informasi, perencanaan, dan pembahasan peraturan. Tak hanya itu, independensi hakim masih dipertanyakan dan bermasalah, para penegak hukum masih rentan terhadap suap. Hakim juga masih belum akuntabel dalam memutus perkara karena kurangnya integritas. Proses peradilan di Indonesia masih bermasalah karena tidak adanya jaminan atau pengaturan dalam larangan dari suap dan pungutan liar. Penegakan hukum Indonesia “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Hukuman hanya berlaku bagi rakyat kecil. Hal itu nampak dari masih ditemukannya praktik diskriminasi karena status ekonomi dan sosial masyarakat. Temuan lainnya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan yang masih tinggi. Kasus korupsi juga masih mewarnai suramnya penegakan hukum di Indonesia. Beberapa kasus yang pernah terbongkar belum tuntas terusut. Para koruptor masih melenggang dengan senang. Ditambah usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan beberapa fraksi di DPR sebagai upaya lanjutan pelemahan terhadap lembaga antirasuah itu. Bukan hanya pelemahan, namun langkah untuk membubarkan KPK. Revisi itu seakan memberikan wewenang pemberantasan korupsi yang lebih kepada Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Padahal, kedua institusi tersebut sarat ditunggangi kepentingan kelompok. Beberapa poin revisi yang menjadi perhatian antara lain, KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. KPK juga dilarang menangani perkara yang nilai kerugian negaranya di bawah Rp 50 Miliar. Selain itu, KPK diusulkan hanya memiliki masa kerja selama 12 tahun. Fungsi pendidikan anti korupsi pada KPK juga diusulkan dihilangkan. Ada juga usulan bahwa hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) Polri, Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang boleh menjadi pegawai KPK. Padahal KPK telah hadir di tengah-tengah kita sebagai lembaga yang berjuang memberantas praktik korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Praktik korupsi dari kelas bawah hingga kelas atas di tubuh kementerian tak luput dari pengawasan KPK. Banyak prestasi yang telah dibuktikan oleh KPK. KPK berhasil menjerat para menteri, para kepala daerah, jenderal polisi, ketua MK, bahkan pimpinan partai. Sejak KPK beroperasi, uang negara yang telah diselamatkan mencapai Lahirnya berbagai institusi atau lembaga-lembaga hukum seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lainnya belum membawa perubahan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Kejahatan dan pelanggaran hukum tetap terjadi di negeri ini dengan menggunakan modus yang semakin canggih dan beradaptasi dengan instrumen-instrumen hukum baru. Perubahan UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (pasal 3. Ayat 1) belum mampu menunjukan kekuatan hukum sebagai panglima dan pijakan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan masih tetap mewarnai perilaku elit pemerintahan dan elit politik. Korupsi, manipulasi birokrasi, tindakan represif TNI-Polri atas aspirasi rakyat, sengketa tanah rakyat, dan lain sebagainya nyatanya masih mendominasi dan terpelihara di negeri ini. Indonesia sudah memiliki beragam regulasi, namun persoalan hukum di Indonesia masih menumpuk. Berbagai permasalahan hukum muncul dalam ruang-ruang kehidupan. Masalah hukum muncul karena tidak adanya pengawasan yang efektif, baik oleh parlemen, pengadilan, pengawasan internal pemerintah dan komisi negara independen. Di sisi lain pastisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan masih minim dalam setiap proses, baik dari akses mendapatkan informasi, perencanaan, dan pembahasan peraturan. Tak hanya itu, independensi hakim masih dipertanyakan dan bermasalah, para penegak hukum masih rentan terhadap suap. Hakim juga masih belum akuntabel dalam memutus perkara karena kurangnya integritas. Proses peradilan di Indonesia masih bermasalah karena tidak adanya jaminan atau pengaturan dalam larangan dari suap dan pungutan liar. Penegakan hukum Indonesia “tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Hukuman hanya berlaku bagi rakyat kecil. Hal itu nampak dari masih ditemukannya praktik diskriminasi karena status ekonomi dan sosial masyarakat. Temuan lainnya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat hukum baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan yang masih tinggi. Kasus korupsi juga masih mewarnai suramnya penegakan hukum di Indonesia. Beberapa kasus yang pernah terbongkar belum tuntas terusut. Para koruptor masih melenggang dengan senang. Ditambah usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan beberapa fraksi di DPR sebagai upaya lanjutan pelemahan terhadap lembaga antirasuah itu. Bukan hanya pelemahan, namun langkah untuk membubarkan KPK. Revisi itu seakan memberikan wewenang pemberantasan korupsi yang lebih kepada Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Padahal, kedua institusi tersebut sarat ditunggangi kepentingan kelompok. Beberapa poin revisi yang menjadi perhatian antara lain, KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. KPK juga dilarang menangani perkara yang nilai kerugian negaranya di bawah Rp 50 Miliar. Selain itu, KPK diusulkan hanya memiliki masa kerja selama 12 tahun. Fungsi pendidikan anti korupsi pada KPK juga diusulkan dihilangkan. Ada juga usulan bahwa hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) Polri, Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang boleh menjadi pegawai KPK. Padahal KPK telah hadir di tengah-tengah kita sebagai lembaga yang berjuang memberantas praktik korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Praktik korupsi dari kelas bawah hingga kelas atas di tubuh kementerian tak luput dari pengawasan KPK. Banyak prestasi yang telah dibuktikan oleh KPK. KPK berhasil menjerat para menteri, para kepala daerah, jenderal polisi, ketua MK, bahkan pimpinan partai. Sejak KPK beroperasi, uang negara yang telah diselamatkan mencapai

dunia. Langkah ini juga sebagai bentuk menjatuhkan negara dalam jurang kehancuran. Di mana tak ada lagi keadilan dan hukum yang mampu ditegakkan.

Berdasarkan analisa di atas maka PMII melalui MUSPIMNAS XVIII Ambon mengawal dan merekomendasikan:

1. Menegaskan kembali tentang kedudukan, peran dan fungsi hukum, sebagai dasar sekaligus patokan (pedoman) dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Percepat perubahan RUU KUHP.

3. Penegakan supremasi hukum yang tegas bagi pejabat maupun pengusaha yang kebijakan dan perilakunya bertentangan dengan hukum.

4. Membongkar dan mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang “mangkrak” tak ada kabar dan tindak lanjut.

5. Menghormati, melindungi, memajukan dan menegakkan hak-hak dasar warga negara.

6. Mendorong terciptanya anti money politic hukum dalam legislasi UU.

7. Pengawalan terhadap penegakan hukum dan melakukan bantuan hukum baik litigasi maupun non litigasi.